Bab 1 : Kantin syahdu
Anjir lah! Tuh guru pasti semalem nggak dikasih jatah sama istrinya dan kita jadi pelampiasan. Bangke emang!"
"Gue doain nanti Pak Herman pas pulang nyungsep di kasur!"
"Gila!! Tau gini kemarin gue hafalan rumus fisika," sungut Amel yang meletakkan kepalanya di atas meja kantin. Napasnya terdengar hingga meja di belakangnya. Keringat sebesar biji jagung membasahi kening yang kini tengah diusapnya kasar dengan tissu yang diulurkan Aura. "Sumpah!! Makin lama makin sensitif aja tuh guru."
"Kita nggak pernah lho, nyenggol dia. Tapi kenapa kalo sama kelas kita jahat banget?"
"Kemarin kan, gue udah bilang bakalan ada ulangandadakan. Lo sih, nggak percaya," jelas Aura. Dia masih tertawa saat meletakkan tiga mangkuk mie ayam di hadapan sahabatnya.
"Bukan nggak percaya! Cuman kesel aja."
"Makanya belajar. Jangan joget mulu," sindir Aura karena temannya suka sekali dengan aplikasi tok tok.
"Iya, iya, Mbak Einstein. Lagian, heran deh, bisa-bisanya Pak Herman bikin soal kek gitu," gerutu Amel.
Dengan cepat Amel menerima mangkuk mie ayam lalu memberinya saos, kecap juga sambal. Perutnya keroncongan dan kerongkongannya kering kerontang seperti musim kemarau. Haus melanda sebab hukuman yang diberikan sang teladan murid sangat tidak manusiawi. Lari lapangan sepuluh kali. Ya kali dia atlet, dirinya hanya siswi cantik nan manis yang sedang mengalami masa pubertas.
"Ya, gue pikir ulangan dadakan kayak biasa, Ra. Dikasih lembaran terus kita silang gitu aja. Jadi bisa nyontek lo gitu. Ternyata oh ternyata ...."
Aura tertawa lagi. Iya, ulangan hari ini diluar ekspektasinya. Biasanya, guru akan memberikan soal berupa lembaran yang jawabannya silang atau isian. Namun, hari ini tidak. Pak Herman, guru fisika itu memberikan inovasi baru dalam ulangan yang mampu membuat darah tinggi dan jantungan. Paling fatal pingsan di tempat.
Begitu memasuki ruang kelas dan menyapa muridnya, Pak Herman langsung menulis soal sebanyak dua puluh lima nomor. Satu anak satu soal. Satu anak mengerjakan soal sesuai absensi kelas. Dikerjakan di lembaran dengan batas waktu dua puluh menit dan hebatnya, soal itu tidak ada yang sama. Kan, nggak bisa nyontek. Terobosan baru nggak, tuh??
Aura masih tertawa saat mengingat moment dimana ia dan teman sekelasnya dibuat takjub sekaligus melongo bersamaan. Kepalanya menggeleng sambil memegang perut. Bukan bermaksud sombong atau menghina, hanya saja ia juga sempat bereaksi seperti itu. Lucunya lagi, satu soal bisa memakan tiga rumus turunan. Beuh!
"Mana pesanan gue??"
Bila, sahabat Aura yang juga mendapatkan hukuman langsung duduk di hadapan keduanya. Meminum Es teh dengan sekali teguk dan berhasil menghabiskan isinya separuh gelas. "Gila!! Pms kali tuh, guru."
Menarik mangkuk yang disodorkan Aura mengisinya dengan saos, kecap dan sambal. Meski asap masih mengepul, Bila meniupnya perlahan. Sungguh, kali ini rasa lapar yang melanda bukan sekadar drama.
"Kenapa lo lama banget?" tanya Amel yang sudah mendorong mangkuknya ke tengah meja. Kecepatan kilat dalam usaha menghabiskan isi mangkuk tersebut berhasil dengan sukses.
"Hellooo, absensi lo berapa Amelia Putri Syaletta? Terus absensi gue berapa? Mikir pakai otak jangan pakai dengkul!" emosi Bila.
"Halah, lari lo aja yang lelet."
"Oke, berarti antusias lari lo yang gede."
"Heh, mana ada orang dihukum malah seneng."
"Ya lo lah. Buktinya makan mie ayam aja kagak bisa santai." Amel berkata dengan melipat dada.
"Buruan makan. Nanti kita telat," lerai Aura yang sudah terbiasa dengan adu mulut keduanya. Ia juga tengah menelan makanan di depannya. Menikmati.
"By the way, Ra. Cuma lo sama Cena yang nggak kena hukum," terang Bila. "Otak jenius kalian tuh, harusnya ditransfer ke gue. Bukan di dan dnikmati sendiri."
"Bukannya lebih enak transfer duit, ya?" Amel bertanya polos.
"Tapi, kalo ditransfer kepintaran, kita nggak bakal kena hukuman."
"Ditransfer duit apalagi?! Nggak usah mikir. Kita pasti lolos ulangan, ujian dan rapotan."
"Iya juga, sih."
"Yeehh, si dodol. Cepet makannya! Lo lama, gue tinggal."
"Gue bisa ke kelas sendiri tanpa google map," sengit Bila.
"Hallaaahh, lo tau. Kemarin ...."
Aura dan Bila makan dengan tenang tidak peduli pada Amel yang bercerita panjang lebar. Amel sesekali menjahili Bila. Namun, tiba-tiba Bila tersedak karena kakinya di senggol Amel. "Gue tau lo nggak sabar pengen ngadem, tapi sabar dong, Mel. Perut gue minta diisi."
"Bukan itu, ih. Itu, ada Alden." Amel menunjuk seorang siswa dengan dagunya. Sontak keduanya menatapnya dengan rasa kagum. "Kayaknya suasana kantin lebih adem deh, Bil. Disini aja, biar mata, otak dan hati gue seger."
"Denger-denger dia nyalonin ketua osis lagi," ujar Bila yang matanya masih menatap Alden yang kini berjalan ke salah satu meja.
Aura mendongak ingin tahu. Bukan ia tidak tahu wajah ketua osisnya, hanya saja berita bahwa cowok itu mencalonkan dirinya sekali lagi membuatnya penasaran. Apa seenak itu menjadi ketua osis? Apa akan baik-baik saja dengan tugas dan beban sebagai ketua osis? Apa ia tidak lelah? Apa ia tidak stress? Apa ia menikmatinya? Atau itu semua malah menyiksanya karena tanggung jawab yang diemban?
Sialnya, saat Aura menatap Alden sambil membayangkan cowok itu dengan segala pelik bebannya, mata kedunya malah bertabrakan. Netra hitam gelap Alden berhasil menggetarkan degup jantung Aura layaknya maling tertangkap basah. Aura kembali menunduk dan meminum jusnya.
"Gue bakal ada di barisan terdepan buat dukung dia. Gue rela jadi tim suksesnya meski nggak dibayar asal deketan dia terus," ucap Amel penuh semangat. Matanya menatap Alden penuh damba. "Ah, kapan gue bisa sentuh tangan kekar Alden. Jabat tangan aja, deh."
"Mel, MEL!!" Gemas dengan Amel yang tak kunjung memberikan respon pada panggilannya, Bila menjitak kepala sahabatnya itu. "AMEL!!"
"Apa, sih, Bil!! Kepala gue ini untuk diusap Alden, bukan buat lo jitak. Sakit, tau!" kesal Amel. Matanya melotot, bibirnya maju dan tangannya bergerak mengusap bekas jitakan Bila yang menimbulkan nyeri.
Bila tanpa menjawab, terus menggerakkan bola matanya pada Aura yang tengah minum jus alpukat. Berkedip-kedip sambil menggerakkan mulutnya. Memberi sinyal pada Amel yang sudah keceplosan.
Amel melotot kaget. Sadar dengan maksud Bila. Segera ia memukul mulutnya dan meraih tangan Aura. "Ra, maaf. Gue dukung lo, kok. Gue nggak mungkin selingkuh. Setampan dan sekeren apapun Alden, gue tetap dukung lo, Bestie!! Sorry, ya, Ra."
Meneguk jus yang tinggal sedikit, Aura mendongak sambil tersenyum. Amel dan Bila yang cewek saja terpukau melihat senyum Aura, bagaimana dengan hati para cowok?
Menyingkirkan mangkuk dan gelas yang sudah kosong semua Aura berdeham. Beberapa menit lagi adalah pelajaran matematika dan mereka tidak boleh telat atau akan mengikuti pelajaran di luar kelas.
"Gue mundur," ucap Aura lembut, jelas dan tegas. Tidak ada keraguan atau kebimbangan. Matanya memandang lurus ke arah murid-murid yang lalu lalang.
Amel dan Bila mendekatkan diri pada Aura. Takut takut salah dengar, salah paham dan salah persepsi. Mereka bertiga duduk berdempetan untuk mendengar lebih jelas. Bahkan, Aura harus rela terhimpit karena keduanya terus mendesak.
"Gue sesek. Kalian geseran dikit, kek." Aura meminta keduanya bergeser supaya lebih longgar.
Segera keduanya bergeser ingin mendengar penjelasan Aura. "Kenapa? Kenapa mundur? Kenapa nggak diterima? Ra, itu kesempatan emas, berlian dan juga limited edition. Kenapa dilepas?" Amel bertanya tanpa jeda membuat Aura malas menanggapi.
"Lo udah pikirin lagi? Ayolah, Ra, banyak banget yang dukung lo, kenapa harus mundur?"
"Setelah gue pikir-pikir ... bel bunyi. Ayo masuk!" ucap Aura sambil tertawa kecil membuat kedua sahabatnya mendesah kesal.
Ketiganya berjalan ke arah ruang kelas. Sesekali bercanda sambil mempercepat langkah. Guru matematika ini tidak mengenal maaf dan alasan apapun yang bisa membuat terlambat.
"Ra, disuruh ke ruang guru. Kayaknya Bu Susan nggak masuk, deh," jelas Rizal sang ketua kelas.
"Lo yang ketua kelas, Rizal. Kenapa gue yang kesana?" Aura melirik kesal tapi tetap berjalan ke ruang guru. Memberi tatapan peperangan. Ia sudah hafal dengan ketua kelasnya yang pasti sudah berencana mabar.
"Gue ... magernya kebangetan, Ra,” canda Rizal dengan wajah nyengir lebar. Pamer gigi putih hasil gosok gigi.
Meski mencibir dalam hati Aura tetap berjalan keluar kelas mengambil soal pelajaran yang katanya dari guru matematika. Ia bersenandung kecil saat melangkah.
"Maaf, Bu. Tugasnya di mana, ya?" tanya Aura dengan mata mengelilingi meja tugas. Di ruang guru ada meja khusus tugas yang sudah selesai dan belum.
"Di meja biasanya, Ra," jawab seorang guru mendekati meja. "Lho, tadi ada, kok. Masa tertukar sama kelasnya ips? Coba deh, kamu kesana.” Aura tidak menjawab tapi otaknya berpikir keras.
"Alden ketua osis, Ra. Kelas Ips dua."
"Ah, baik. Saya ke sana sekalian bawa tugas kelasnya dia. Jadi tidak usah kembali ke sini lagi. Saya permisi ya, Bu.
"Iya, Ra. Maaf, ya."
"Tidak apa, Bu. Ini kesalahan tidak disengaja."