———
3 tahun yang lalu. (Perhitungan waktu dihitung dari masa kini—masa sewaktu SMA)
"Aku bingung, Mytha." Ujar Violin.
Dia melipat kedua tangannya di dada. Lalu, menoleh ke arah Mytha yang ada di depannya. Sekarang Violin tengah berada di kamar mandi, dia bersandar pada dinding di belakangnya, satu kakinya naik di tanjakan tempat toilet. Sementara, Mytha yang berdiri di depannya hanya menatapnya dengan tatapan lembut miliknya.
Mytha juga melipat kedua tangannya di dada. Dia memakai sebuah dress dengan rok yang mengambang, terlihat cukup cantik dengan rambutnya yang tergerai. Bibirnya melengkung senyum.
"Ada apa, Violin? Kenapa kau selalu kebingungan seperti itu?" Tanya Mytha.
Violin mendongak, "Bagaimana menurutmu jika aku menyukai seseorang?"
Wajah tadinya Mytha seketika hilang diganti dengan perasaan terkejut. "Hah?! Kamu suka anak cowok?!" Tanyanya dengan nada meninggi.
Violin menundukkan kepalanya. "Toh aku pubertas sekarang, bukankah ini hal yang wajar?"
Mytha menatap Violin dengan wajah yang masih terkejut. Lalu, dia menatap dari bawah ke atas Violin. "Siapa orang yang kau suka?" Tanyanya.
Violin memalingkan kepalanya karena merasa malu. "Dia teman sekelasku di SMP, bahkan juga les di sini." Jawabnya.
Mytha menutup mulutnya. "Jangan bilang dia Aden?!"
Violin tersenyum kecil lalu mengangguk. "Ya. Kayaknya dia."
"Bagaimana bisa?! Kalian lho bahkan engga dekat!" Protes Mytha.
"Namanya juga perasaan Tha! Gaada yang tahu kan!" Jawab Violin.
Tok! Tok! Barusan ada yang mengetuk kamar mandi. Violin segera sadar dari lamunannya. Lalu, dia menoleh ke samping.
"Violin.. Kamu lama sekali di kamar mandinya! Keluar dong, aku mau beritahu sesuatu!"
Violin kenal suara itu. Dia Rena, teman satu lesnya yang cukup dekat. Violin segera memegang ganggang pintu, lalu menurunkannya ke bawah hingga pintu terbuka. Setelah terbuka, dia bisa melihat wajah Rena yang berbinar.
Violin mengernyitkan dahinya. "Kenapa kamu senang begitu?"
Rena tersenyum malu-malu bahkan menundukkan kepalanya. "Sebenarnya... Ada anak baru.. barusan dia datang."
Violin mengedipkan matanya sesaat. Seberapa lama dia di kamar mandi bahkan sampai melewatkan seorang anak baru.
"Lalu? Kenapa? Dia tampan begitu?" Tanya Violin.
Rena langsung mendongak dengan wajah yang tidak bisa diartikan. Kemudian, dia memegang kedua tangan Violin.
"Violin, aku suka dia. Sepertinya."
Violin menatapnya dengan tatapan aneh. "Hah?! Dia bahkan baru masuk hari ini lho?!"
Rena menundukkan kepalanya, pipinya bersemu merah. "Sepertinya.. aku menyukainya pada pandangan pertama."
"Bahkan kau menyukai Aden butuh beberapa waktu hingga bisa mengenal kepribadiannya. Tetapi, dia justru sudah menyukainya bahkan saat pertama kali bertemu." Itu suara Mytha di pikiran Violin.
Violin segera menggelengkan kepalanya. Lalu, beralih fokus pada Rena kembali. "Memangnya siapa sih dia? Apa dia bahkan sudah berkenalan di kelas?"
Rena tersenyum lalu mengangguk. "Sudah! Namanya Cakra Danish Kenan, dia memakai kacamata dan terlihat cukup pintar! Wajahnya juga cukup menawan! Aku suka dia!"
Violin hanya bisa terdiam di tempatnya karena bingung harus menjawab kata-kata Rena. Dia menggaruk rambut pendeknya tidak gatal. "Lalu? Kau ingin berpacaran dengannya?" Tanyaku.
Rena terkejut di tempatnya. "A, apa maksudmu?! Aku bahkan baru menemuinya hari ini! Tentu saja aku harus mengenalnya lebih dahulu dong.."
Violin tertawa pelan. "Lalu? Kau ingin meminta bantuanku seperti itu, huh?"
Rena mengambil kedua tangan Violin kembali, lalu menatapnya dengan tatapan memohon. "Kumohon.. bantu aku agar dekat dengannya..." Ujarnya.
Violin tersenyum mengerti. "Iya. Iya. Kubantu! Kan kamu temanku. Ayo masuk kelas deh!"
Setelahnya, mereka berjalan beriringan di lorong. Lalu, berbelok ke arah kelas mereka. Pintu dibuka oleh Violin karena Rena yang masih malu-malu di tempatnya. Tatapan Violin langsung tertuju pada sosok asing yang dia sedang duduk di kursi paling depan, tengah menulis rangkuman dari papan tulis.
Sosok asing tersebut adalah Cakra. Seperti yang diceritakan oleh Rena, dia dihiasi kacamata di wajahnya. Wajahnya mungkin juga cukup enak dipandang, bahkan kulitnya cukup putih dari kebanyakan orang. Dilihat dari segi fisiknya, Violin membaca kepribadiannya pasti cukup tenang dan pendiam, tetapi pandai.
Dia terlihat seperti orang yang genius. Violin mengerti kenapa Rena langsung menyukainya bahkan saat pertama kali masuk.
Violin berjalan masuk ke dalam kelas. Rena mengikutinya dari belakang, berjalan malu-malu masuk karena semua anak-anak di les melihat ke arah mereka sekarang. Violin duduk di bangkunya, sementara Rena duduk di sebelahnya.
Pandanganku langsung ke arah sosok lain yang duduk di belakang Cakra. Itu Aden, orang yang kusukai. Violin tersenyum kecil, lalu segera memalingkan kepalaku dengan membuka buku. Rena di sampingku masih sibuk mencuri pandang ke arah Cakra.
————
"Kamu suka Aden, Lin?" Tanya Rena kembali.
Violin menganggukkan kepalanya. Setelah seminggu berpikir panjang, akhirnya dia memilih untuk memberitahukan hal itu pada Rena. Rena tersenyum senang, lalu dia beralih memeluk Violon. Saat ini, mereka tengah duduk di bangku yang berada di lorong.
"Wah! Jadi kita sama-sama punya crush ini di les?!" Ujarnya.
Violin tersenyum lalu mengangguk. "Kalau orang yang kusukai ini, juga kusukai di sekolah, haha."
Rena mengurutkan bibirnya, dia melepaskan rangkulannya. "Seandainya saja Cakra juga satu sekolah denganku!"
Violin menatap Rena. "Memangnya dia dari SMPN mana?"
"Dia SMPN 2." Jawab Rena.
Violin hanya menganggukkan kepalanya mengerti. "Oooh, anak SMPN 2 ya ternyata."
Bel tanda istirahat berbunyi dengan keras, bahkan membuat Violin terkejut di tempatnya. Dia mengajak Rena untuk segera kembali ke kelas, karena kegiatan pembelajaran kedua akan segera dimulai. Di jam kedua terdapat mapel matematika. Kakak les menjelaskan materi dengan terperinci agar anak-anak paham, tetapi Violin tidak memahaminya sama sekali.
Saat dia menoleh, seluruh anak les bahkan termasuk Rena mengerjakan soal yang diberikan. Violin tersenyum miris, lalu melihat pekerjaan Rena agar bisa lebih memahaminya. Setelahnya, dia juga ikut mengerjakan walaupun tidak terlalu memahaminya.
Aden hari ini tidak masuk les, Violin diberitahu olehnya lewat pesan. Violin menghembuskan nafasnya, tidak melihat orang yang dia sukai selama seharian membuatnya malas menjalani hari. Seolah tidak ada semangat dari dalam dirinya.
Violin selesai mengerjakan soal yang bisa dia jawab, tetapi Kakak les justru menambahkan soal yang tidak terlalu dia pahami. Violin menggerutu dalam hati, lalu memilih untuk menaruh kepalanya pada meja bangku. Tanpa sadar, ternyata Rena yang ada di sebelahnya menunjuk-nunjuk bahunya.
Violin otomatis bangun, lalu menoleh. "Ada apa?" Tanyanya.
Rena menunjuk soal yang barusan dia tulis. "Aku tidak memahaminya, Lin."
Violin tersenyum miris. "Apalagi aku, Ren."
Rena mengerucutkan bibirnya, lalu memandang ke arah lain. Violin menatap ke arah sekitar. Keadaan kelas les cukup sepi, ini karena hanya ada sekitar tujuh anak di kelas tujuh, diantaranya empat anak laki-laki, lalu sisanya perempuan. Itu termasuk dengan Aden yang tidak masuk hari ini, artinya di kelas hanya ada ada enam anak.
"Coba tanya ke Cakra apa gimana, Lin?" Ujar Rena sembari tersenyum lebar, dia berbisik.
Violin mengangguk. "Iya, paling dia bisa. Tanya gih."
Rena masih dengan senyumnya lalu menggeleng. "Kamu aja Lin yang tanya." Jawabnya.
Violin menatapnya bingung. "Hah? Kok aku? Kamu aja."
Rena menggeleng dengan cepat. "Please. Aku malu ngajak ngomong dia, huhu."
Violin mengalihkan pandangannya ke arah Cakra yang duduk di depan. Kemudian, dia menoleh ke arah Rena kembali, gadis itu masih mempertahankan wajah memohonnya. Violin menghembuskan nafas, lalu beranjak dari tempatnya. Rena kesenangan bukan main saat Violin akhirnya beranjak berdiri dari tempat. Selanjutnya, Violin berjalan ke arah bangku Cakra. Ini pertama kalinya setelah seminggu dia masuk untuk mengajaknya bicara.
Violin menepuk pundak Cakra hingga membuat pemuda itu menoleh. Kemudian, dia menaruh buku berisi soal tersebut ke meja Cakra. Selanjutnya, dia berjongkok di depan bangku Cakra.
"Kamu tahu engga caranya nyelesaikan ini?" Tanya Violin. Dia menunjuk soal tadi.
Setelahnya, Cakra menjelaskan bagaimana cara untuk mengerjakan soal itu. Pada awalnya Violin mendengarkan penjelasan singkatnya. Tetapi, matanya malah terpaku pada Cakra yang ada di depannya. Setelah menjelaskan, Cakra mendongak. Violin segera sadar dari lamunannya, lalu mengalihkan pandangannya ke arah bukunya.
"Jadi gitu, paham engga?" Tanya Cakra.
Violin mengangguk mengerti sembari tersenyum ramah. "Paham kok." Jawabnya.
Setelahnya, dia mengambil bukunya lagi lalu kembali ke bangku asalnya. Violin segera menjelaskan cara pengerjaan tersebut pada Rena di sampingnya. Cakra menoleh ke arah belakang, tepatnya pada Violin yang tengah menjelaskan pada Rena. Lalu, dia kembali fokus kembali ke bukunya.
————
Violin tengah duduk sendirian di bangku yang terdapat di lorong. Rena hari ini tidak masuk, karenanya dia mengasingkan diri dari anak-anak kelas. Dia mendengar sebuah langkah kaki dari arah ujung lorong. Violin menoleh lalu menemukan Cakra yang tengah berjalan menuju kelas melewati dirinya.
"Oi! Cakra!" Panggil Violin.
Cakra menghentikan langkahnya di depan Violin yang masih duduk. Dia menoleh. "Kenapa?" Tanyanya.
"Menurutmu, Rena gimana?" Tanya Violin tiba-tiba. Dia bersikap sok akrab padahal mereka jarang sekali bicara.
"Hah?" Itu jawaban yang keluar dari Cakra.
Violin tertawa kecil. "Rena lho suka banget sama kamu. Aku cuma pengen kamu tahu, jangan bilang ke dia kalau aku ngomong ke kamu ya."
Cakra menatapnya dengan tatapan bingung. Namun, dia akhirnya memilih mengangguk. "Iya." Jawabnya singkat. Dia hendak berjalan tetapi lagi-lagi ditahan oleh kata-kata Violin.
"Kalau bisa balas perasaannya dong." Ujar Violin.
Cakra melirik dengan wajah bingung. "Kenapa?"
Violin menggeleng. "Engga kenapa-kenapa."
Cakra mendengus kasar. Lalu, dia berjalan ke arah kelas. Violin masih menatap punggung pemuda itu bahkan saat sudah berbelok ke arah kelas. Lalu, dia kembali ke arah ponselnya kembali.
————
2 tahun yang lalu.
Sekarang Violin berada di kelas delapan. Rena sudah tidak lagi satu les dengannya, karena gadis itu sudah pindah sekolah bahkan pindah kota di tempat yang jauh. Violin tengah menggambar di halaman terakhir buku les dengan bolpoin. Jam masih menunjukkan pukul setengah empat kurang lima menit. Hanya ada dirinya sendirian di kelas.
Tiba-tiba pintu dibuka, Violin mendongak untuk melihat siapa orang yang baru masuk tersebut. Itu Cakra, dia melanjutkan les dari kelas tujuh ke kelas delapan sama sepertinya. Selanjutnya, dia berjalan masuk ke dalam kelas, lalu duduk di bangku paling depan dan pojok, cukup jauh dari bangku Violin.
Hanya ada keheningan. Violin sibuk dengan gambarannya yang belum selesai, sementara Cakra dengan ponsel di tangannya. Sampai akhirnya, ada salah satu anak les yang masuk hingga suasana canggung bisa teratasi.
———
Bel notifikasi ponsel Violin berdering tidak begitu keras. Violin baru keluar dari kamar mandi dengan handuk di rambutnya. Dia berjalan mendekati ponselnya di meja. Lalu, mengecek sumber notifikasi di sana.
Rena
Violin! Apa kabar???
Violin tersenyum kecil. Sudah lama sekali Rena tidak mengirim pesan padanya. Violin mempercepat untuk mengeringkan rambutnya. Lalu, dia duduk di sofa yang ada di sebelah meja tersebut.
Violin
Baik kok, Ren. Kamu?
Rena
Baik juga dong!!
Violin
Untunglah ☺️☺️☺️
Rena
Bagaimana kabar Cakra? Dia masih les kah??
Violin
Iya, dia nerus ke kelas 8
Rena
Wahhh seandainya aku juga bisa nerus di sana, aku gamau pindah deh
Violin tertawa kecil karena balasan Rena. Rena begitu sangat menyukai Cakra. Dia tidak habis pikir.
Violin
Kamu jalani aja sekolahmu itu lho
Rena
Engga bisa liat Cakra lagi huhu, ga semangat sekolah deh
Violin
Heh engga boleh gitu
Rena
Kamu masih punya nomornya engga, Lin? Aku pengen ngirim pesan ke diaa
Violin
Punya kok, ini nomornya 08xxxxxxxxx
Rena
Makasih Lin!!!
Violin
Kamu mau ngirim pesan apa, Ren?
Rena
Aku mau confes!
Violin
HAH?!
Rena
See yaaa! 👋👋
Violin
LOH??! REN?!! JELASIN DULUU!
Violin membuka mulutnya lebar setelah membaca pesan Rena barusan. Cepat-cepat dia mencari kontak Cakra, lalu mengirimnya sebuah pesan.
Violin
Hehhh Cakra!
Entah apa yang terjadi tiba-tiba Cakra sudah online.
Cakra
Hah? Kenapa?
Violin
Kamu inget Rena engga??
Cakra
Rena? Temen les dulu?
Violin
Iyaaa, dia ngirim pesan ke kamu engga??
Cakra
Aku engga punya nomornya
Oh, ada pesan ga dikenal
Violin
Iya itu diaaa
Cepet balessss
Cakra
Oke
Emang kenapa?
Violin
Rena mau confess
Setelahnya tidak ada jawaban dari Cakra. Violin tersenyum sendiri di tempatnya. Apalagi membayangkan Rena yang mengakui perasaannya pada Cakra. Setelahnya, dia menutup ponselnya, lalu beranjak dari sana.
Setelah beberapa menit, apalagi Violin juga sudah agak bosan karena terus melihat TikTok, tiba-tiba ada pesan dari Cakra. Dia langsung beranjak duduk di atas kasurnya. Lalu, cepat-cepat membuka aplikasi chatroom.
Cakra
Iya, barusan dia confes
Violin
Terus?
Terus?
Kamu ga ngomong apapun?
Cakra
Ya gitu deh
Violin
HAH??!
Gitu gimana coba???
Cakra
Btw, besok ada tambahan kan? Kamu ikut apa engga?
Violin
Engga tahu
Sejujurnya aku males sih
Cakra
Yeh
Selanjutnya, entah Violin melupakan masalah awal tentang Rena yang mengakui perasaannya pada Cakra, dia justru keasyikan saling mengirim pesan dengan Cakra. Violin baru tahu jika dirinya dan Cakra cukup sefrekuensi. Bahkan, mereka bisa seharian saling mengirim pesan karena terlalu sefrekuensi.
Hal itu membuat mereka bisa saling mengirim pesan setiap hari. Violin juga merasa nyaman dengan Cakra begitupun sebaliknya, hingga untuk pertama kalinya Violin menceritakan masalah dalam dirinya. Dan benar seperti dugannya, Cakra juga memiliki itu, gangguan kecemasan.
Menurut Violin, saat mengirim pesan pada Cakra tentang apapun pasti akan nyambung dengan sendirinya. Entah apa yang membuat semua hal itu nyambung. Seolah mereka saling memahami satu sama lain. Bahkan saat dia menceritakan Mytha pun, Cakra juga memahaminya.
Namun walaupun dekat dalam dunia virtual, Violin dan Cakra cukup canggung di dunia nyata. Bahkan, di dalam les pun mereka tidak bicara satu sama lain. Mereka hanya akan sibuk saling mengirim pesan bahkan dalam les pun karena terlalu canggung. Sejujurnya, Violin pun takut disalahpahami jika mengajak Cakra bicara di dunia nyata, seperti dianggap pacaran dan sebagainya.
Tetapi hal itu tidak berlangsung lama, di kelas sembilan, Violin mulai mengajak Cakra berbicara di les. Bahkan, mereka juga duduk bersebelahan. Dan benar, semua orang mengira jika Violin dan Cakra memiliki hubungan spesial. Tapi Violin tidak terlalu mempedulikan hal itu, toh akhirnya ada seseorang yang mempedulikan bahkan memahami dirinya selain Mytha. Dan Cakra adalah orang tersebut.
Baginya, Cakra juga sama berharganya seperti Mytha dalam hidupnya.
———
1 bulan lalu.
Violin tengah berada di kumpulan satu alumni SMPN-nya. Mereka tengah berada di depan lobby SMA. Mereka baru saja menyelesaikan tes IQ di kelas-kelas yang berbeda. Violin berada di sana dengan wajah agak murung. Sejujurnya dia tidak terlalu akrab dengan mereka, tapi karena tidak punya barengan, akhirnya dia terpaksa ikut perkumpulan mereka. Walaupun dia tidak memahami pembicaraan mereka.
Violin menatap ke arah sekitar. Lingkungan SMA yang akan dia masuki nanti pada tanggal tujuh belas cukup ramai dengan anak-anak sepantarannya, masih memakai baju khas SMP masing-masing. Matanya menelisik ke arah lain, sampai akhirnya dia terpaku pada satu sosok.
Diantara perkumpulan anak SMPN 2, ada Cakra di sana. Dia tengah berjalan bersama teman-teman satu alumninya ke arah gerbang. Seperti biasa, mata Cakra menatap ke depan dengan tatapan kosong, seolah jiwanya tidak ada di sana.
Violin berjalan maju. "Cakra!!!"
Dia memanggil Cakra dengan suara yang cukup keras. Namun karena keramaian yang begitu padat, Cakra tidak mendengar suaranya. Violin menggerutu di dalam hati, lalu pada akhirnya dia hanya bisa menatap punggung pemuda itu berjalan pergi.
————