Mahasiswi Pindahan
Karya : Nabila
Duduk dibangku kuliah adalah impian banyak orang aku pun bersyukur karena telah di terima di perguruan tinggi yang jaraknya masih dapat dijangkau. Aku di terima di perguruan tinggi dan mengambil program studi (jurusan) Akuntansi. Terdengar suara motor yang berhenti di depan rumah.
“Nae, Naela.” ucap Ranti sambil mengetuk pintu.
“Ranti, mari masuk silahkan duduk.”
“Siapa Nae?” tanya ibu.
“Ranti bu, teman SD Nae dulu.”
“O . . . sangat berbeda , gemuk sekali Ranti.” gurau ibu.
Begitu terkejut saat Ranti datang ke rumah sekitar enam tahun yang lalu kami tidak pernah bertemu karena ia pergi untuk menimba ilmu agama di luar kota sesuai saran yang ibunya berikan sejak itulah kami tak lagi berkomunikasi dan sekarang ia datang ke rumah secara tiba-tiba membicarakan hal-hal yang diperlukan untuk kegiatan MPLS di kampus. Awalnya ia tak percaya jika aku daftar dikampus yang sama, ibunyalah yang memberitahu tentang aku padanya. Mendengarkan perkataan yang diucapkan begitu banyak canda tawa yang terlontar dari mulutnya dan hal itulah yang menjadi salah satu kebahagiaannya hingga bisa memiliki tubuh gemuk seperti ini. Ranti pun langsung membacakan catatan berisikan perlengkapan yang harus di bawa ke kampus. Tanpa sengaja Ranti melontarkan kata yang membuat ibu terkejut.
“Nae kalo program studi Akuntansi warna mapnya kuning kan?” tanya Ranti.
“Iya.” sambil menyamakan catatan.
“Apa, Nae mengambil jurusan apa, Akuntansi?” tanya ibu dengan heran.
“Iya bu.” dengan berat mengatakannya.
“Bukankah Nae sudah sepakat untuk mengambil program studi Pendidikan Matematika? Nae sudah bilang jika Matematika adalah pelajaran yang disukai dan akan memperdalaminya di perguruan tinggi?” pinta ibu.
Ranti yang tidak mengetahui hal ini menjadi kebingungan, dengan singkat aku jelaskan padanya jika sebelumnya aku sudah mendaftar di perguruan tinggi dengan program studi pendidikan matematika, namun hal ini harus pupus karena aku telah ditolak oleh dua perguuan tinggi yang aku inginkan. Dari situ dapat dismpulkan jika pendidikan matematika bukanlah untukku dan seketika itu aku tertarik dengan Akuntansi dan mendaftar di sebuah salah satu perguruan tinggi dan aku diterima. Setelah mendengar penjelasan ini, tak lama telepon Ranti berbunyi yang mengharuskan dirinya segera pulang.
Di malam hari aku merenung sambil memegang selembar kertas tak terasa kertas itu dibasahi dengan deraian air mata yang jatuh diatasnya. Perasaan sedih saat itu mungkin sudah tak dapat diobati hingga terdengar ketukan pintu kamarku.
“Nae, ibu masuk ya?” ucap ibu sembari mengetuk pintu.
“Nae, sudah jangan menangis, keputusan yang telah diambil tidak salah, tetapi bukankah Nae sendiri yang bilang kepada ibu jika Nae akan mengambil pendidikan Matematika sesuai apa yang Nae inginkan dan ibu memberi dukungan penuh melihat beberapa orang yang menjadi guru, bekerja pun tidak terlalu berat apalagi Nae seorang perempuan pasti akan memiliki anak ketika mengajar anak Nae bisa dititipkan ke ibu dan sebagai anak terakhir ada baiknya jika tinggal bersama ibu melihat kakak yang pertama dan kedua mengambil jurusan bisnis mereka bekerja di tempat yang jauh dan ibu tidak mau hal ini terulang kembali.” jelas ibu.
“Jadi Nae harus bagaimana ibu?” sambil menangis.
“Pindah jurusan saja ya Nae?” sambil mengusap air mata.
Setelah mengikuti kegiatan MPLS aku berusaha untuk mencari informasi dan menanyakan tentang pindah jurusan. Tampaknya untuk semester ini aku tidak bisa pindah dari jurusan Akuntansi ke jrusan Matematika hal ini dikarenakan data yang telah masuk tidak bisa di rubah. Jika benar-benar ingin pindah jurusan aku harus menyelesaikan semester satu ini kemudian baru diperbolehkan untuk pindah jurusan. Tak lupa informasi ini aku sampaikan kepada ibu.
Hari pertama masuk kuliah sebagai mahasiswi rasanya begitu berbeda jika sewaktu SMA selalu menggunakan seragam kini dibangku kuliah mahaisiswa memakai pakaian bebas. Saat memasuki ruangan yang mencantumkan namaku di jendela dengan perlahan aku berjalan memasuki ruangan yang begitu besar dan dipenuhi oleh mahasiswa baru. Tampaknya aku sedikit gugup saat memasuki ruangan dan bingung untuk memilih tempat duduk yang akan ditempati lantaran semua bangku hampir terisi semua dan hanya bagian depan yang belum terisi aku memilih duduk di barisan paling depan tepat di depan meja dosen.
“Salam kenal dari saya Naela panggil saja Nae, nama mbak siapa?” sambil berjabat tangan.
“Lita.” jawabnya sambil melontar senyuman.
Hal yang unik adalah saat mahasiswi dengan jilbab berwarna merah menanyakan nama, identitas dan alamat tempat tinggal sekarang, ia begitu semangat menanyakan hal ini dari ujung ke ujung. Tak sampai di situ disela-sela perbincangannya dengan mahasiswa lain tak ketinggalan jika ia begitu membawa suasana menjadi cair dari suasana yang begitu tegang.
“Perkenalkan nama aku Jermani, panggil saja Jeje.” ucap mahasiswi yang mengenakan jilbab berwarna merah.
“Wah Jermani namanya! Ini mah lahirnya bukan di Indonesia pasti di Jerman kalo mendengar dari namanya.” seru mahasiswa yang berasal dari Sunda yang bernama Willy.
“Ih apaan si mas, orang aku lahir di Indonesia ko.” ucap Jeje dengan tersipu.
Dengan bergantinya hari tak terasa jika pertemanan yang dijalani di dalam kelas begitu harmonis rasa kekeluargaan dan solidaritas yang kental membuat kelas begitu kompak dalam mengambil keputusan tidak ada geng dalam kelas semuanya membaur dengan yang lain. Misalnya saja saat mengikuti seminar nasional di kampus ketika ketua kelas menginformasikan adanya seminar nasional tentu anggota kelas ini justru berbondong-bondong ingin mengikuti saminar yang telah diinformasikan.
Hari demi hari telah dilewati. Semua teman dikelas sangat dekat denganku entah itu laki-laki atau perempuan. Aku memiliki teman yang sangat dekat yang bernama Marani dan Andriyani. Aku sampaikan niatku untuk pindah jurusan kepada teman kelas sekaligus berpamitan.
Begitu panjang proses yang harus dilewati untuk pindah jurusan bahkan sempat ada pikiran untuk menyerah dan tetap bertahan di jurusan Akuntansi. Namun hal ini segera ditepis mengingat keinginan ibu untuk melihat aku mengambil jurusan keguruan. Aku merasa tegang ketika bertemu dengan ketua jurusan Matematika.
“Ini Naela dari jurusan Akuntansi pindah ke Matematika. Neng beneran mau pindah ke Matematika?” tanya ketua jurusan bernama ibu Cinta yang berasal dari Sunda.
“Iya ibu, sudah saya pikirkan matang-matang.” sambil melontarkan senyuman.
“Kenapa tidak memilih pendidikan ekonomi, bukankah ini masih berkaitan?” kata ibu Cinta sambil memegang kertas.
“Em . . . berhubung anak terakhir ibu menyarankan aku untuk mengambil keguruan kebetulan juga dari dulu aku suka Matematika dan sekarang aku ingin memperdalaminya.” jawabku dengan gugup.
Ibu Cinta sesekali merasa kebingunan dengan kedatanganku yang mendadak baru pertama kali bagi beliau menerima mahasiswi pindahan dari luar masuk ke pendidikan Matematika. Saat melihat kertas yang berisi kontrak kuliah dengan khususuk beliau memeprtimbangkan mata kuliah yang harus aku ambil.
Setelah beberapa hari berkonsultasi dengan ibu Cinta akhirnya beliau menyarankan untuk memasukkan aku di kelas H. Saat itu aku merasa sangat berterimakasih kepada beliau dengan kebaikan dan kesabarannya mempermudahkan dan mempercepat proses perpindahan aku untuk masuk ke lingkungan yang baru. Tak lupa beliau memberikan lembaran kontrak kuliah dan jadwal semester dua.
Hari pertama masuk di jurusan yang baru yaitu pendidikan Matematika dengan menggunakan celana bahan aku mencari ruangan sesuai jadwal yang diberikan oleh ibu Cinta. Tampaknya aku datang terlalu pagi hanya satu orang mahasiswi yang duduk di pojok dengan menggenggam hp dan dua mahasiswi sedang berbincang duduk di depan .
“Mbak namanya siapa?” tanyaku dengan sopan.
“Dea.” jawabnya dengan singkat.
“Boleh minta nomor hpnya?”
Ia pun memberikan nomor hpnya. Setelah berkenalan dengannya, aku lanjut menemui mahasiswi yang duduk di depan.
“Mbak boleh kenalan?”
“Boleh.” jawab dua orang tersebut dengan kompak.
“Namanya siapa?” sambil tersenyum.
“Nama aku Ranti dan aku Shela.” jawab mereka.
“Nama kamu siapa?” tanya Ranti.
“Nama aku Naela panggil saja Nae aku pindahan dari jurusan Akuntansi.”
“O . . . kenapa pindah, disana tidak enak ya?” gurau Ranti
Lama berbincang dengan mereka beberapa mahasiwa pun mulai berdatangan aku duduk di barisan kedua. Saat dosen datang tak lupa aku kabarkan jika aku adalah mahasiswi pindahan dari jurusan Akuntansi. Dosen tersebut menggunakan sistem belajar berkelompok dan menyarankan aku untuk ikut ke kelompok 5 bersama ketua kelas dan anggotanya. Saat jam kuliah selesai ada salah seorang mahasiswa yang membuatku terkejut.
“Teman-teman di kelas kita ada yang baru, kita kan belum tau namanya siapa, bagaimana kalo kita suruh dia maju ke depan untuk memperkenalkan dirinya?” kata Aldi dengan semangat.
“Setuju!” seru teman-teman.
Aku memperkenalkan diri dan menjawab pertanyaaan dari mahaiswa lain dan kembali duduk dikursi semula. Di situ aku merasa ada kejanggalan dimana di dalam kelas terdapat beberapa geng, hal ini sangat berbeda sewaktu aku menjadi mahasiswi Akuntansi. Aku hanya ingin untuk dapat membaur dengan mahasiswa lain mengingat aku adalah mahasiswi pindahan. Dalam berteman aku bukanlah orang yang suka memilih contohnya seperti orang yang pintar akan aku dekati dan sebaliknya orang yang tidak pintar akan aku jauhi. Disaat itu juga aku bergabung denga mahasiswi yang duduk disamping ku. Ia bercerita banyak tentang pendidikan matematika ini.
“O iya, nanti kalo ada mata kuliah bapak Supandi jangan pakai celana ya,” saran Asrawati.
“Memangnya kenapa, bukannya celana bahan diperbolehkan?” dengan heran.
“Iya, di kampus ini khususnya pendidikan di perbolehkan memakai celana bahan dan tidak diperbolehkan memakai kaos, celana pesil dan lainnya. Tapi ada aturan sendiri yang di buat oleh dosen bapak Supandi ia menyarankan kepada mahasiswanya untuk tidak memakai celana saat mata kuliahnya karena wanita yang memakai celana itu seperti menyerupai laki-laki.” sambil menggerakkan tangan.
Sudah beberapa bulan menjadi anak Matematika begitu menyenangkan terlebih dengan mata kuliah yang begitu menantang. Hari ini adalah mata kuliah kalkulus mayoritas orang menyebutnya dengan sebutan rajanya Matematika. Saat itu aku mengalami kebingungan untuk memahaminya dan terlihat mahasiswa mengenakan kemeja berwarna biru sedang memegang pensil dan membuka buku.
“Mas Amir sedang apa, aku mau tanya boleh?” dengan memegang buku.
“Boleh silahkan duduk Nae, mau nanya apa emang?” sambil menggaruk kepala.
“Nanya kalkulus?” sambil tersenyum.
Aku menanyakan beberapa hal yang tidak dimengerti olehnya, ia pria yang penyabar buktinya saat beberapakali di jelaskan ia tak marah seketika aku belum memahaminya. Ia mau mengulangi penjelasannya untukku. Setelah semua pertanyaanku telah dijawab tiba-tiba ia ingin mengenalku lebih dekat. Tak hanya itu ia juga memiliki pribadi yang humoris dan tidak kaku saat diajak bicara.
Beberapa hari kemudian salah seorang dosen menggunakan sistem belajar berkelompok dan satu kelompok terdiri dari tiga orang. Aturan main dalam permainan ini adalah setiap kelompok harus mempunyai ketua dan bertugas untuk mengajari anggota kelompoknya materi yang dibahas akan dibagikan secara ajcak. Aku sendiri berkelompok dengan Milka dan Aksila. Setelah mempelajari materi yang didapatkan aku merasa bingung dengan beberapa point di materi ini. Aku pun menanyakan ke ketua kelompok yaitu Milka.
“Milka ini di dapat dari mana?”
Milka mejelaskan apa yang aku tanyakan. Ia begitu sabar dan lembut dalam berbicara. Setelah mendengar penjelasannya aku melanjutkan kembali untuk mempelajari sub bab berikutnya. Tampaknya ada hal yang membuatku bigung kembali.
“Kalo yang ini di dapat dari mana?” sambil menunjuk dengan pensil.
“Nae, mending kamu baca dulu semuanya baru kamu tanya!” tegas Aksila.
“udah ga apa-apa.” ujar Milka.
Melihat sifatnya yang seperti itu, aku merasa jika ia tidak menyukai kehadiranku. Bahkan ia tak segan-segan merendahkan orang lain di hadapan orang banyak. Terbukti saat Yanti menanyakan ketidak pahamaannya kepada Aksila. Saat Yanti berulang kali menanyakan hal yang sam tiba-tiba Aksila menjelaskan kepada Yanti dengan suara kencang yang membuat mahsiswa lain terkejut.
Suara pesan berbunyi di malam hari. Tak disangka Amir mengirim stiker kepadaku. Merasa heran aku membalas dengan stiker yang berbeda. Terlihat jelas jika Amir mulai mendekatiku
. Dengan bergulirnya waktu aku dan Amir begitu dekat namun hubungan hami hanya sebatas teman akrab. Hingga suatu hari ada mata kuliah yang harus berkelompok yang terdiri dari dua anggota kelompok setiap kelompoknya. Aku berkelompok dengan Jaelani. Setiap kelompok sibuk dengan tugasnya begitu juga denganku. Saat ingin memulai melaksanakan kegiatan kelompok Amir berada di dekat tempat dudukku.
“Jae, kita mau mengerjakan dimana?” tanyaku padanya.
“Enaknya di tempat yang sepi untuk membuat vidio pembelajaran. Ditempat kos kamu laki-laki boleh main?” tanya Jae
“Boleh tapi hanya di musholla. Jadi kita ketemuan dimana?”
“Nanti aja aku kabari. Besok aku jemput kamu ya Nae.” sambil berjalan
“O . . .” sembari terkejut.
Sejak itu Amir tak lagi menghubungiku, mungkin ia mengira jika aku telah menjalin hubungan dengan Jae. Cara berbicaranya juga berbeda ia seperti ingin menghindariku.
Biodata Penulis
Nabila lahir di desa Lemah Ayu kecamatan Kertasemaya Kabupaten Indramayu. Ia lahir pada tanggal 22 Februari 1997 dan sedang menempuh pendidikan di Universitas Swadaya Gunung Jati mengambil Program Studi Pendidikan Matematika. Jika ada hal yang ingin ditanyakan dapat menghubungi ke nomor 087728759865 atau facebook: Nabila Shobawa.