“Wow. Ini seri ke 16 yang terbaru, kau mempunyainya?” dengan antusias, ia membuka buka halaman buku yang aku bawa di pelukanku hari ini. “Entahlah aku harus bilang apa, tapi, ini keren banget. Kau beli edisi terbatasnya. Buku dengan desain berkilauan.” Dia dengan antusias melihat lihat sekeliling buku. Mengangumi setiap hiasan dan desain yang tertuang dalam sampul buku tersebut.
Saat itu ruangan kelas masih tidak begitu ramai, meskipun jam di dinding ruangan sudah menunjuk angka enam dan tiga. Mungkin karena ini masih minggu pertama sekolah, sehingga semua warga kelas berangkat lebih santai, dalam artian sengaja untuk telat, dari hari hari biasanya.
“Apa kau sudah membaca keseluruhannya?" ucapnya dengan membuka buka sedikit buku yang ada ditangannya. Aku hanya menjawab dengan gelengan pelan, lalu ia kembali membuka suara, “Jujur aku juga suka dengan buku karyanya, Dhiripity, sudah banyak buku darinya yang telah aku baca, contohnya Tiga Batu Legenda, Keturunan Tetua, sampai yang paling bagus menurutku adalah seri Petualang yang ke 10, Keabadian Sementara.” Dia dengan antusias menceritakan pengalamannya membaca buku buku dari penulis yang sama seperti Buku baru yang aku bawa tersebut, Dhiripity. Tanpa kusadari bibirku menarik sedikit ke atas, ternyata lingkungan Sekolah Menengah Atas—disingkat SMA, tidak terlalu buruk. Atau mungkin aku saja yang sedikit beruntung, mendapatkan teman baru yang memiliki kegemaran yang sama, yaitu membaca novel. Dan lebih kebetulannya lagi, kami berdua menyukai novel dari penulis yang sama. Oh ya, nama dia Dion.
Sudah hampir seminggu aku kembali beraktivitas di sekolah, setelah selama dua bulan penuh aku menjalani liburan kelulusanku. Mungkin bisa dibilang kalau itu bukan liburan, karena apa yang aku lakukan di rumah hanyalah duduk membaca buku sepanjang hari, yang mana buku buku itu sudah kubaca untuk yang kesekian kalinya, sambil menguap dan memikirkan apa yang sebaiknya aku lakukan saat masuk SMA nanti. Aku bukan orang yang bisa dikatakan sebagai orang yang ekstrovert, dalam artian orang yang mudah bergaul dengan siapa. Tak ayal aku bahkan hanya kenal dekat dengan 3 orang saja sepanjang 3 tahun masaku saat di Sekolah Menengah Pertama—disingkat SMP, dulu. Beruntung sekali selama 3 tahun pula aku selalu sekelas dengan 3 temanku tersebut. Dan sekarang kami berempat telah berpisah dan menentukan di sekolah yang kami minati masing masing, sehingga kami pun jadi jarang bertemu semenjak pengumuman kelulusan saat SMP dulu.
“Oh ya. Ngomong ngomong, aku terlalu fokus dengan buku novelmu itu. Sampai aku lupa akan sesuatu,” lanjutnya setelah satu detik terdiam, memecahkan lamunanku. "Kamu kemarin bilang, kamu melewatkan buku seri Petualang yang ke 15 kan, beruntung sekali aku mempunyai serinya lengkap dari seri ke 10 hingga ke 15, jadi aku bisa meminjamkanmu terlebih dahulu seri yang ke 15," ia berucap sambil mengambil sebuah buku dari dalam tasnya, dilihat dari dimensinya, buku tersebut tak jauh berbeda dari buku baru yang sedang aku bawa. Dilihat dari ketebalannya, mungkin bisa kuperkirakan dia ada di antara 400 hingga 500 halaman. Dan memang aku belum membaca seri Petualang yang ke 15 seperti yang Dion katakan.
Ia lalu menyerahkan buku miliknya kepadaku, berbeda dengan buku seri ke-16 yang bersampulkan warna hitam, buku itu terlihat kelam namun sedikit cerah dengan sampul berwarna abu abu. Setelahnya bel berbunyi dengan nyaring, menandakan jam pelajaran akan segera dimulai. Tanpa kusadari kelas sudah hampir penuh saat itu, yang menandakan bahwa aku tidak terlalu memerhatikan teman kelas yang berjalan memasuki kelas saat mengobrol dengan Dion. Disusul dengan Dion yang beranjak dari bangku dan menepuk pundakku pelan, "Kita lanjutkan siang nanti," ucapnya sambil berjalan ke bangku belakang yang ada di pojokkan. Sedangkan bangku yang kutempati berada di paling depan, berdekatan dengan pintu kelas, yang menyebabkan terkadang mejaku terlihat lebih menyilaukan karena terkena sinar matahari langsung dari luar kelas.
Aku kembali memerhatikan dua buku yang ada ditanganku, buku 'Kutukan sang Dewa'—Seri ke-15, dan 'Kembalinya Pemilik Agung'—Seri ke 16, lalu perlahan kumasukkan buku tersebut ke dalam tas sambil berpikir bahwa mungkin 2 mingguku akan kuhabiskan untuk melahap habis total 1000 halaman yang dimiliki kedua buku tersebut. Setelahnya mejaku telah dipenuhi dengan beberapa keperluan jam pelajaran saat itu, satu buku paket, satu buku tulis kosong—belum terisi sama sekali karena memang baru hari itu jam pelajaran ini diajarkan, dan kotak alat tulis—yang hanya berisi satu bolpoin dan correction pen. Aku terlalu sibuk dengan menyiapkan ini itu hingga baru menyadari bahwa kawan sebangkuku belum datang hingga sekarang, kulirikkan mataku sekilas ke jam dinding di depan kelas, jam panjang masih di angkat satu, masih belum terlalu banyak untuk dikatakan dia telat. Mungkin setelah ini dia akan datang.
Aku membuka buku kosong yang baru saja aku keluarkan dan membuka halaman pertama, kuangkat bolpoinku dan menuliskan identitas diriku disana,
Nama : Robert Fenderson
Kelas : X IPS 3
Sekolah : SMA Negeri Mulya
Setelahnya aku menghela nafas pelan dan menaruh bolpoin di sisi buku. Sambil menunggu guru datang ku pejamkan mataku sedikit sambil mengingat pertemuan pertamaku dengan temang sebangku yang sampai sekarang belum sampai di kelas.
“Permisi. Apakah disini kosong?” aku ingat sekali saat itu badanku tersentak ketika seseorang tiba tiba bertanya dari samping bangkuku. Aku mengangkat kepalaku, dan mendapati seorang perempuan berambut panjang dengan tas biru muda di punggungnya. Rambutnya dikuncir kuda, memperlihatkan lehernya yang cerah, senada dengan wajahnya yang berwarna kuning langsat. Aku mengangguk cepat, dan secepat itu pula ia menaruh badannya di atas kursi.
“Kau suka membaca buku?” tanya perempuan itu memecah keheningan di antara kami. Aku mengangguk ketika ia mengangkat buku hitam yang baru saja kusentuh. Lalu melihatnya dengan teliti. “Seru pasti ya membaca buku fantasi. Oh iya, namaku Mita. Tidak enak kan kalau kita satu bangku tapi tidak saling mengenal.”
“Robert,” jawabku dengan anggukan, tidak dengan jabatan tangan. Karena beberapa orang bilang apabila bersentuhan dengan lawan jenis, akan ada sesuatu yang tersetrum di badanmu—entah kenapa aku asal mempercayai ucapan tersebut.
“Salam kenal, semoga betah satu bangku denganku,” ucapnya kemudian sambil tersenyum. Ia lalu membuka tas ranselnya, dan mengambil ponselnya. Ponsel tipis dengan sebuah figur koala bertengger di bagian atasnya. Lamunanku terbuyarkan ketika sebuah bantingan tas yang cukup kasar terdengar di sebelahku, Mita dengan rambutnya yang terurai panjang menatapku yang tersentak kaget. "Sorry, ngagetin dikit."
Kedatangan Mita tepat waktu, karena begitu ia duduk memposisikan diri di atas bangku, seorang perempuan tua dengan kacamata berbingkai hitam gelap masuk ke dalam kelas, mengalihkan perhatianku. Dia memakai baju seragam dinas berwarna coklat muda dengan nama Jennifer Lily tertempel rapi di dada kanannya. Baru kali ini aku melihat beliau, mungkin juga dikarenakan ini hari pertama mata pelajaran yang beliau ajar, Sejarah.
Ia berdehem sambil berjalan menuju meja guru, mengalihkan pandangan seisi kelas ke arahnya. Ia tersenyum tipis, lalu memasang wajah dinginnya. Sekejap ia merapikan rambut hitam dengan uban yang jarang, dan mulai angkat bicara. “Selamat pagi anak anak, mungkin saya terlihat asing di mata kalian. Perkenalkan, saya Jennifer Lily, guru mata pelajaran Sejarah kalian. Salam kenal.” Ia berdehem lagi sambil membuka buku yang ia turunkan dari pelukannya.
"Untuk hari pertama kita, aku hanya akan memberikan sedikit catatan dan penjelasan penjelasan, dan aku harap," Dia menjeda ucapannya dan berjalan cepat ke depan papan tulis putih sambil mengangkat spidol di tangannya, "kalian memperhatikannya dengan seksama," lanjutnya sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Dan menit menit berikutnya Bu Jennifer sudah berkutat dengan spidol, fokus menumpahkan semua materi hari itu di atas papan tulis.
Kami mengambil buku tulis masing masing dan membuka halaman pertamanya. Halaman yang masih putih kosong. Beliau berdiri sambil membawa spidol hitam di tangannya, namun langkahnya terhenti seketika karena sesuatu. Begitu juga dengan suasana kelas yang sedikit berisik seketika senyap.
"Kalian merasakannya?” ucap Bu Jennifer sambil menyapukan pandangannya kepada kami. Seperti yang dikatakan oleh Bu Jennifer, kami juga merasakannya, sebuah getaran lembut yang menggetarkan ruangan dalam selang waktu beberapa detik. “Uhm. Kalian tenang saja, itu hanyalah getaran kecil yang terjadi beberapa hari ini. Aku tak tau apa yang menyebabkannya," ucapnya lagi sambil berusaha membuat suasana kelas kembali kondusif. Spidol hitam yang berada di tangannya kembali menari nari di atas papan tulis, menuliskan beberapa kata di atasnya. "Baiklah mari kita mulai pelajarannya, hari ini, kita mempelajari bab pengenalan kita terhadap sejarah, Apa itu sejarah?" Beliau berucap sambil membalikkan badan kepada kami, dia tersenyum kecil sambil menimbang nimbang spidol yang ada di tangannya.
"Sejarah adalah sesuatu yang penting dalam hidup kita. Dan kalian jangan pernah melupakan sejarah, sekecil apapun sejarah tersebut."
****
"Kau langsung pulang?" tanya Dion di depan bangkuku. Aku yang sedang sibuk merapikan buku ke dalam tas mengangguk pelan, lalu mengangkat pandanganku kepada dia.
"Tidak berminat untuk pergi ke perpustakaan?" tanyanya lagi sambil tersenyum canggung.
"Aku akan ikut kalau kau mengajakku," Mita yang daritadi fokus ke ponsel di tangannya menyahuti ajakan Dion sebelum aku sempat menjawab.
"Bisa, aku mengajak kalian berdua sekalian kalau begitu," jawabnya cepat. Mita mengangguk, menyimpan ponselnya di saku, dan ikut merapikan beberapa buku pelajaran yang masih tergeletak di atas meja.
"Kau ada perlu di perpustakaan?" tanyaku setelah selesai membereskan buku. Aku lalu menyangkluk tas di pundak.
"Dua hari lalu aku meminjam beberapa novel disana, dan setelah menyelesaikan semuanya, kurasa lebih baik aku segera mengembalikan dan meminjam yang lain," ucapnya sambil memperhatikan Mita yang sudah selesai merapikan buku, dan menyangkluk tas slempangnya di pundak.
"Seberapa cepat kau membaca mereka? Aku yakin pasti yang kau pinjam novel anak anak dengan 100 halaman," balas Mita ketus kepada Dion.
"Kau menganggapku remeh, aku dapat membaca buku novel dengan ketebalan 600 halaman hanya dalam satu hari, dan mengingat keseluruhan isinya di kepalaku," ucap Dion sambil menunjuk dahinya yang memiliki rambut tipis. Mita mendengus pelan sambil berjalan mendahului kami keluar dari kelas, dengan aku dan Dion mengekor di belakangnya.
"Kalau kau memang sepintar itu, pasti kau akan mendapatkan ranking 1 semester ini," ucap Mita kemudian setelah beberapa langkah meninggalkan kelas. Dia menoleh sedikit ke belakang agar dapat melihat aku dan Dion—yang lebih tinggi sekian senti dari dia, di belakangnya.
"Tentu saja, aku bahkan bisa menjelaskan apa saja yang dijelaskan Bu Jennifer tadi di kelas," balas Dion lagi sambil tertawa kecil.
"Bagaimana aku percaya? Aku saja tahu kau dari awal hingga akhir beliau menjelaskan bahkan hanya tertidur dan menenggelamkan kepalamu di antara dua lenganmu."
Sembari mendengar mereka perdebatan mereka, dalam sudut mata, kulihat sekelebat bayangan yang bergerak dengan cepat di belakangku. Pikiranku yang merasa penasaran membuat kepalaku menoleh ke belakang dan menghentikan langkah untuk mengetahui bayangan apa yang lewat tadi. Namun, aku tak mendapati apapun di sana. Hanya lorong kelas kosong yang tadi kami bertiga lewati.
Mungkin hanya pikiranku saja, ketika aku menoleh ke depan, kedua temanku telah berada jauh di depan. Aku mendengus pelan. seberapa cepat mereka melangkah? Aku lalu memperlebar langkahku agar dapat menyusul mereka. Sepertinya mereka masih asyik berdebat, sampai tidak menyadari kalau aku tertinggal beberapa meter di belakang. Dengan ragu aku kembali menoleh ke belakang sambil terus berjalan cepat, sepertinya bayangan itu hanya khayalanku saja.
To Be Continued