Ecclesia duduk di mejanya, pandangannya tertuju pada kursor yang berkedip di layar komputernya. Beban kegagalan akademisnya baru-baru ini memikul beban berat di pundaknya. Dia selalu menjadi siswa yang rajin, berjuang untuk mencapai kesempurnaan dalam studinya, namun serangkaian kemunduran baru-baru ini telah menggoyahkan kepercayaan dirinya hingga ke inti.
Kenangan akan tatapan kecewa orang tuanya dan percakapan diam-diam di antara teman-temannya terulang kembali di benaknya seperti kaset rusak. Dia merasakan beban ekspektasi mereka menekannya, seolah-olah dia tercekik oleh penilaian mereka. Sebagai seorang gadis kota kecil, ekspektasi yang diberikan padanya terasa seperti belenggu, merantainya pada takdir yang dia sendiri tidak yakin dia inginkan.
Ponselnya berdering, ada pesan teks dari sahabatnya, Elara. "Hei, bagaimana kabarmu?" Ecclesia menghela nafas, mengetik balasan yang menutupi perasaannya yang sebenarnya. "Oh, Aku tidak apa-apa." Dia menekan tombol kirim sebelum melemparkan ponselnya ke tempat tidur.
Di sudut kamarnya, sebuah piala berdebu hasil pencapaiannya di masa lalu seakan mengejeknya. Ia teringat akan rasa bangga yang dulu ia rasakan saat memegang piala itu, yang merupakan bukti prestasinya. Sekarang, rasanya seperti peninggalan dari masa hidup yang berbeda, masa ketika kegagalan adalah konsep yang asing.
Suara ibunya bergema di kepalanya, "Ecclesia, kamu selalu menjadi bintang bersinar kami. Jangan biarkan kemunduran ini membatasi dirimu." Tapi bagaimana mungkin dia tidak melakukannya? Sepertinya semua orang di sekitarnya menilai dirinya berharga berdasarkan kesuksesannya, dan sekarang setelah dia tersandung, dia berjuang untuk menemukan pijakannya.
Dia melirik bayangannya di cermin, melihat kelelahan di matanya. Dia harus memasang wajah berani, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dia masihlah Ecclesia yang sama yang selama ini mereka kenal. Namun jauh di lubuk hatinya, dia bertanya-tanya apakah dia bisa benar-benar mendapatkan kembali rasa percaya diri itu.
Hari berganti minggu, dan saat Ecclesia menjelajahi aula sekolahnya, mau tak mau dia menyadari tatapan penasaran yang mengikutinya. Tampaknya berita tentang perjuangan akademisnya telah menyebar dengan cepat ke komunitas kecil. Setiap kali dia melewati sekelompok siswa yang berbisik-bisik, hatinya semakin tenggelam.
Di kafetaria, saat dia memilih makanannya, teman sekelas bernama Marcus mendekatinya dengan senyum ramah. “Hei, Ecclesia, bolehkah aku menanyakan sesuatu padamu?” Ecclesia mengangguk, jantungnya berdebar kencang mengantisipasi. "Tentu apa kabar?"
Marcus ragu-ragu sejenak sebelum bertanya, “Kudengar kamu sedang melalui masa sulit akhir-akhir ini. Bagaimana perkembanganmu pada ajaran gereja ini?” Ecclesia merasakan tenggorokannya tercekat. Pertanyaan itu membuatnya lengah, dan dia tergagap untuk menjawab.
"Itu, um, kamu tahu, aku masih memikirkannya," dia berhasil berkata sambil tersenyum lemah. Marcus mengangguk, tampak puas dengan jawabannya, dan pergi. Tapi Ecclesia tidak bisa menghilangkan kegelisahan yang ada di dadanya.
Ini bukan pertama kalinya seseorang mempertanyakan keyakinannya, dan dia khawatir ini bukan yang terakhir. Dia ingat diskusi yang tak terhitung jumlahnya di pertemuan keluarga dan acara gereja di mana orang-orang bertanya tentang keyakinannya, berharap dia mendapatkan semua jawaban. Beban dari ekspektasi tersebut terasa menyesakkan.
Kemudian pada hari itu, saat berjalan pulang, pikiran Ecclesia diliputi keraguan dan ketidakpastian. Mau tak mau dia bertanya-tanya apakah perjuangannya di dunia akademis ada hubungannya dengan kurangnya keyakinannya. Apakah kegagalannya di sekolah mencerminkan kegagalan rohaninya yang lebih dalam? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di benaknya seperti badai.
Saat dia sampai di teras depan, dia disambut oleh senyum hangat ibunya. "Bagaimana harimu, sayang?" Ecclesia membalas dengan senyuman kecil. "Tidak apa-apa, Bu." Tatapan ibunya menunjukkan sedikit kekhawatiran, tapi dia tidak mendesak lebih jauh.
Ecclesia kembali ke kamarnya, di mana beban pertemuan hari itu membebani dirinya. Dia mengambil Alkitabnya dari meja samping tempat tidur, dan membolak-balik halamannya. Dia selalu membaca kitab suci untuk mendapatkan bimbingan dan penghiburan, namun sekarang bahkan ayat-ayat yang sudah dikenalnya pun sepertinya luput dari perhatiannya.
Meskipun hatinya dipenuhin kekecewaan, dia berharap bahwa dengan membaca dan berdoa maka Tuhan akan menjawab kebutuhannya. Ecclesia senaif itu tanpa mengetahui bahwa Tuhan punya caraNya sendiri dalam menjawab.
Matahari memancarkan sinar hangat ke seluruh ruangan saat Ecclesia memasuki pusat komunitas setempat. Dia ada di sana untuk menghadiri kelas pengembangan pribadi yang dia dengar dari Elara. Ruangan itu dipenuhi sekelompok individu yang beragam, masing-masing mencari jalan mereka sendiri menuju pertumbuhan dan penemuan diri.
Saat kelas dimulai, Ecclesia mendapati dirinya asyik dengan ajaran instruktur karismatik. Kata-katanya selaras dengan dirinya, menyentuh pentingnya kesadaran diri dan kekuatan berpikir positif. Dia menulis catatan di buku catatannya, merasakan secercah kegembiraan karena prospek mendapatkan wawasan yang berharga.
Setelah kelas selesai, instruktur mendekatinya, dengan senyum ramah di wajahnya. “Apa kamu tahu cerita tentang hamba yang diberi talenta?” dia berkata. Ecclesia sempat bingung karena dia tidak mengingat begitu jelas cerita itu. "Apakah itu cerita satu hamba yang akhirnya memiliki 10 talenta?"
Instruktur itu syok dan sempat terkejut, lalu dia mengingatkan Ecclesia secara pelan-pelan.
Ini cerita mengenai tiga hamba yang diberi tuannya talenta selagi dia pergi,
Hamba yang pertama mendapatkan lima talenta,
Hamba yang kedua mendapatkan dua talenta,
Hamba yang ketiga mendapatkan satu talenta,
Setelah tuannya kembali dia meminta pertanggung jawaban ketiga hambanya itu,
Hamba yang pertama mendapatkan untung lima talenta lagi sehingga totalnya sepuluh,
Hamba yang kedua juga mendapatkan untung dua talenta lagi sehingga totalnya empat,
sedangkah hamba yang ketiga, dia menyembunyikan ke dalam tanah karena takut akan dicuri.
Maka marahlah tuan itu, dia mencampakan hamba yang ketiga lalu memberikan satu talenta itu kepada hamba yang pertama
"Apa kau tau kenapa ke hamba yang pertama, Ecclesia?"
"S-saya tidak berani jawab, saya tidak tau"
"Ini seperti investasi, seseorang akan berinvestasi ke seseorang yang lebih sukses dan membawa keuntungan lebih banyak, Ecclesia"
Tapi saat Ecclesia sempat tertegun, mencoba mencerna perkataan itu, "Saya baru tau itu, terima kasih, saya harus pergi."
Ketika Ecclesia hendak pergi, nada suara instruktur berubah menjadi serius. "Ada satu hal lagi yang harus kau ingat" katanya, tatapannya menusuk, "Bacalah kitab suci, pesan dan moral kehidupan sebenarnya ada disitu."
Hati Ecclesia mencelos saat kata-katanya menyentuh hati. Dia mengharapkan dorongan, bukan tantangan terhadap keyakinannya. Dia menggumamkan terima kasih dan meninggalkan tengah, pikirannya berputar-putar dengan emosi yang campur aduk. Keraguan selalu menjadi teman setianya, terutama saat menghadapi tekanan dari orang lain.
Malam itu, Ecclesia duduk di kamarnya, kata-kata instruktur bergema di benaknya. Dia melihat Alkitabnya di meja samping tempat tidur, bertanya-tanya apakah imannya benar-benar kurang. Dia memikirkan saat-saat dia bertanya, saat-saat dia mencari jawaban di luar keyakinannya.
Namun saat dia merenungkan perjalanannya, sebuah kesadaran muncul di benaknya. Imannya bukanlah tentang ketaatan buta atau kepastian yang tak tergoyahkan. Itu tentang mencari, mempertanyakan, dan berusaha untuk memahami. Keyakinannya adalah sebuah perjalanan, sebuah jalan yang terkadang dipenuhi ketidakpastian namun selalu dipandu oleh keinginan untuk bertumbuh.
Ecclesia membuka aplikasi dari mana dia sebaiknya membaca alkitab dan mendalaminya. Dari yang awalnya bingung baca dari kitab yohanes, lalu mengikuti kelas pendalaman alkitab online, Ecclesia semakin bertumbuh dalam iman dan dia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti:
Mengapa Yesus yang disalib?
Siapakah Yesus?
Perjanjian lama dan baru
Kerajaan Allah
Alkitabnya dan membaca sebuah ayat yang selalu menghiburnya: "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu." Kata-kata tersebut sepertinya berbicara langsung kepadanya, menegaskan kembali bahwa keraguan bukanlah penghalang bagi imannya, melainkan katalisator untuk mencari kebenaran yang lebih dalam.
Saat dia memejamkan mata, Ecclesia membisikkan doa, bukan agar keraguannya hilang, tapi agar dia diberi kekuatan untuk menerimanya sebagai bagian dari perjalanannya. Dia menyadari bahwa imannya adalah permadani yang ditenun dengan benang keraguan, ketidakpastian, dan harapan yang tak tergoyahkan.
Dan pada saat itu, Ecclesia menemukan tujuan baru. Dia akan melanjutkan perjalanannya, menerima pertanyaan-pertanyaan yang menghadangnya, dan mencari keyakinan bukan pada ketiadaan keraguan, melainkan pada tengah-tengah keraguan. Dia tidak tahu bahwa kesadaran ini hanyalah awal dari sebuah transformasi yang akan membawanya menjadi kekuatan persatuan dan perubahan di komunitasnya.