Jam pelajaran pertama adalah bahasa Jerman. Kanselir yang sedang fokus menjawab soal-soal di hadapannya dikejutkan oleh tangan jahil yang menarik-narik ujung belakang jilbabnya dengan tidak beradab.
"Sel ... Sel ..." panggil orang tak beradab di belakangnya yang tak lain adalah Gunay.
"Apa, sih? Iya, iya, ntar gue contekin kalo udah selesai, tunggu aja dulu ... gak sabaran banget, sih." Kanselir menepis kasar tangan tersebut tanpa sedikit pun menoleh.
"Bukan itu ... gue ... gue mau bilang sesuatu sama lo."
Dimas yang juga sedang menanti contekan dari Kanselir menatap Gunay jijik, lalu berbisik ke ke arahnya. "Lo kok gak tau tempat banget, sih? Lo mau ngungkapinnya sekarang? Gila lo emang."
"Bukan, Mas. Gue cuma mau minta dia buat temuin gue ntar pulang sekolah," jawab Gunay dengan suara normal.
"Ntar aja bilangnya, gue lagi fokus ini," sahut Kanselir setelah beberapa lama.
"Palingan juga ngomongin hal gak berfaedah, kan?" sambungnya, sedangkan tangannya masih sibuk berkutat menjawab soal-soal di depannya.
"Berfaedah, kok, terutama buat kehidupan gue."
Kanselir diam beberapa saat, kemudian ia pun membalik badan menyampingkan duduknya membawa serta buku tulisnya lalu meletakkannya ke meja dua pemuda tersebut.
"Nih," ucapnya meletakkan buku tersebut tepat di hadapan Gunay.
"Lo mau bilang apa?"
"Gue ...." Gunay memutar bola matanya ke segala arah, tampak gugup. Sedangkan Dimas malah merampas buku tersebut dan menyalin untuk dirinya sendiri.
"Apa?"
"... nanti temuin gue di taman sekolah, ada hal penting yang mau gue kasih tau."
"Emang gak bisa dikasih tau di sini aja?"
"Gak, gak bisa." Gunay menggeleng cepat.
Kanselir memutar badannya kembali, memperbaiki posisi duduknya. "Haaah, sejak kapan Gunay sengklek jadi ngomong serius gini," ucap Kanselir malas.
Namun tepat saat dia sudah duduk lurus, rona wajahnya seketika memerah.
Sementara di belakangnya, Gunay menyadari rona wajah tersebut, lantas ia pun membatin, Pasti Kanselir udah peka sama perasaan gue, yakin nih! Gue bakal diterima! Congrats buat lo Nay! Dah Mirza si pangeran tampan yang terlupakan~
Setelah membatin dengan percaya diri begitu, Gunay langsung merampas kembali buku Kanselir yang sedang disalin Dimas dengan hikmat. Senyumnya terus mengembang, sementara mulutnya tak henti bersenandung ria.
Tepat setelah bel pulang sekolah berbunyi, Gunay langsung berlari dengan semangat menuju ke taman sekolah, Dimas menyusul di belakangnya.
"Gue pantau dari sini aja," ucap Dimas tepat saat berhenti di pembelokan.
"Oke, lo liat, ya, sebentar lagi sahabat lo ini gak akan jomblo lagi," tutur Gunay dengan percaya diri.
"Cepet sana lo, dia udah nungguin tuh," usir Dimas sembari mendorong punggung Gunay ke arah taman. Namun dalam hati dia mencela dengan sukacita, Oke, gue liat kok, Nay. Liat penolakan yang bakal lo terima hahahaha. Mana mungkin cewe kaya Kanselir mau pacaran?
Tepat di kursi taman sekolah itu, duduk seorang gadis cantik dengan hijab menutup dada sedang memasang tampang bersungut-sungut. Wajahnya terlihat kesal sembari bolak-balik melihat ke arah jam tangan.
"Kansel!" sapa Gunay sok asik. Ia benar-benar tak menyadari aura gelap yang sudah menyelimuti gadis itu.
"Gunay! Gue udah nunggu sampe 30 menit lebih tau, gak?! Yumna jadi ninggalin gue gara-gara lo, dari mana aja, sih?" bentak Kanselir sambil menghentakkan kakinya dengan marah.
"Uhmm, tadi gue BAB bentar," jawab Gunay menggaruk-garuk pelipisnya.
"Haishhh, terserah deh! Lo mau ngomongin apaan?" Setelah berkata begitu, pipi Kanselir mulai bersemu merah. Kali bukan karena marah, tapi karena jantungnya berdegup tidak karuan dicampur dengan rasa malu.
"Uhmm ... gini ...."
Kanselir masih diam menanti ucapannya. Matanya menatap lekat Gunay yang telinga dan lehernya juga sudah sangat merah.
Tepat saat Gunay ingin melanjutkan ucapannya, ponselnya tiba-tiba berdering.
"Loh, Bang Addly?" ucap Gunay melihat nama yang tertera di layar. Kalau abang iparnya sudah menelepon begini, pasti ada sesuatu yang terjadi pada kakaknya!
Dia pun buru-buru mengangkat telepon itu. Langsung bertanya, "Halo, Bang? Kakak kenapa?"
"Kakak kamu baru aja ngelahirin, Dek!" Suara Addly terdengar begitu riang. Sampai-sampai aura kebahagiaannya bisa terasa di tempat Gunay.
Gunay terdiam sebentar, mencoba mencerna kata-kata barusan. Seketika matanya membelalak, mulutnya terbuka, "Hah?"
"Iya, cepetan datang ke sini! Rumah sakit di kota, ya, ruang jeumpa vvip."
Setelah merasa cukup menyampaikan kabar itu, sambungan ponsel pun dimatikan.
Gunay menjauhkan ponselnya dari telinga lalu menatap ke arah tempat Dimas bersembunyi. Dia memanggil, "Mas!! Kakak ngelahirin, Mas!!"
Dimas yang saat itu cuma mengintip dengan setengah wajahnya, sebenarnya bingung melihat raut wajah Gunay ketika mengangkat telepon. Tapi setelah mendengar ini, dia pun mengerti dan langsung melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Berlari mendekati Gunay.
Kanselir tidak tau harus tertawa atau menangis. Keberadaannya diabaikan saat itu. Tapi mendengar bahwa kakak Gunay melahirkan, dia turut senang dan mencoba menepiskan keegoisan dirinya. Dia tahu tempat, sangat tahu bahwa tak akan ada perempuan yang bisa menyamai kedudukan Yanli di hati Gunay.
"Yok ke sana, Mas!" ajak Gunay.
Dimas mengangguk cepat, tapi dia tiba-tiba diam. Memberikan kode melalui matanya kalau Kanselir masih di sini.
Gunay yang terlalu bahagia akhirnya sadar. Dia menoleh ke arah Kanselir lalu meminta maaf, "Maaf banget ya, Sel. Gue tunda dulu ngomongnya." Dia menggaruk kepalanya, "Lo ... mau bareng liat Kakak, nggak?"
Kanselir mencoba tersenyum, "Gue kan orang lain, Nay. Rasanya kurang pantes kalo lihat sekarang. Lain kali aja, deh."
"O-oh, oke deh. Gue sama Dimas pergi dulu, ya."
Kanselir mengangguk.
Kedua pemuda itu pun langsung bergegas pergi. Meninggalkan gadis itu sendirian di taman sekolah yang sepi.
Kanselir berjalan sambil menunduk, sesekali menendang kerikil yang menghadang jalannya. Selama berjalan, dia terus memikirkan beberapa hal.
Dia ... yang selama ini selalu terlihat tegar di hadapan Gunay, selalu terlihat ceria dan sedikit pemarah saat berhadapan dengan Gunay. Sebenarnya menyimpan rahasia yang hanya bisa diketahui olehnya. Tak terkecuali Yumna sekalipun. Dia sebenarnya ... sudah lama menyukai pemuda itu.
Bukan, ini bukanlah kisah cinta klise seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. Perasaannya pada Gunay adalah perasaan yang tumbuh seiring berjalannya waktu. Seiring dengan intensitas pertemuan mereka berdua yang bisa dikatakan cukup sering.
Ditambah, perlakuan berbeda Gunay selama beberapa tahun ini sebenarnya beberapa kali sudah membuat Kanselir salah paham.
Melihat Gunay berbicara dengan gadis lain, ughh ... rasanya ia benar-benar ingin datang di antara mereka berdua lalu memukul gadis tersebut. Apalagi gadis bernama Mingyan itu, yang selalu berusaha untuk mendekati Gunay. Ditambah, dia selalu menjadi alasan Gunay seringkali terlibat masalah.
Namun, sekesal apapun dia pada Mingyan, tetap saja dia merasa kasihan dengan nasib malang yang akhirnya gadis itu alami. Sejujurnya Kanselir ingin berterima kasih pada gadis itu. Perasaannya tak main-main, dia lebih bisa membuktikannya dengan menyelamatkan Gunay dari fitnah Bu Nova waktu itu. Sedangkan dia? Dia yang mengaku menyukai Gunay sejak lama bahkan tak pernah melakukan apapun untuk membuktikannya.
Saat tiba di rumahnya, Kanselir langsung mendudukkan pantatnya di tepi kasur. Pikirannya masih mengawang-awang entah kemana.
Berbagai macam pikiran berlebihan, masih berkecamuk dalam otaknya.