Satu minggu kemudian ...
Seperti yang dijanjikan, semua murid kelas 11 IPA 2 sudah berkumpul di halaman sekolah mereka. Sedang menunggu untuk pergi naik bus yang sudah disediakan oleh sekolah. Bus mereka kali ini cukup besar, berbeda dari bus yang ditumpangi oleh kelas IPA 1 melihat jumlah mereka yang cukup banyak.
Waktu yang mereka butuhkan untuk sampai ke tujuan adalah kurang lebih dua jam perjalanan.
Selama perjalanan itu, Kanselir hanya duduk sembari memandang kosong keluar jendela, sedangkan di sampingnya, Yumna terlihat pucat sambil menutupi mulutnya. Dia mabuk.
"Lo mabuk, Na?" tanya Kanselir yang baru saja menyadari perubahan raut wajah sahabatnya.
Yumna hanya mengangguk mengiyakan.
"Kenapa gak bilang dari tadi?"
Kanselir pun mulai mengobrak-abrik isi tasnya.
"Nih, untung masih ada satu, ini obat mabuk perjalanan yang dikasih mama, harusnya sih diminum satu jam sebelum perjalanan, tapi gak apa coba diminum aja siapa tahu bereaksi cepat."
Kanselir menyodorkan pil anti mabuk perjalanan itu ke Yumna sedangkan tangannya mencoba meraih botol minum yang tergeletak di samping tempat duduk.
15 menit setelah meminum pil itu, Yumna terlihat tenang. Ternyata obat itu bereaksi cepat seperti yang diharapkan.
Di sudut belakang bis itu, terdengar suara berisik anak laki-laki yang sedang bernyanyi sambil memainkan gitar. Yang memegang gitar adalah Dimas, sedangkan yang bernyanyi paling keras adalah Gunay dan anak laki-laki yang lain yang begitu percaya diri dengan suara sumbang mereka. Padahal sebelumnya, Pak Agus sudah melarang mereka membawa barang yang tak perlu, entah bagaimana mereka tetap membangkang dan membawa benda seperti gitar itu.
Tak jauh dari mereka, Mirza tampak duduk tenang dengan earphone yang menyumbat pendengarannya dari suara-suara yang memekakkan telinga itu. Dia menutup matanya, seolah sedang berada di dunia lain.
Sedangkan di tempat lain, terlihat seorang gadis yang terus-terusan melirik ke arah belakang sambil tersenyum. Dia adalah Mingyan, yang tak henti-hentinya menatap Gunay sejak mereka naik ke dalam bus.
Sejak awal melihat Gunay, hatinya memang sudah kecantol pada pemuda satu itu. Sepertinya dia memang gadis yang sangat menyukai tipe pemuda aktif dan humoris. Setiap hari memandanginya diam-diam dan terkadang ikut tertawa dengan lawakannya dari jauh.
.
.
Setelah lebih dari dua jam perjalanan, mereka semua pun akhirnya sampai ke tujuan. Mereka yang masih terlihat lemas dan pusing karena tidak terbiasa melalui perjalanan jauh, harus dipaksa segera turun dan berbaris untuk diabsen.
"Sebenarnya ada dua puluh jenis tanaman herbal yang sudah bapak perkenalkan pada kalian dan semua jenis tanaman itu ada di sini, tapi kalian cukup menemukan sepuluh saja dan memasukkannya ke dalam kantung ini."
Pak Agus tampak mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya, menunjukkan sebuah kantung yang terbuat dari jenis kain pada mereka.
Kantung itu mirip seperti kantung uang jaman dulu yang memiliki tali di atasnya untuk mengeratkan. Ukurannya juga cukup besar.
"Kalian akan diberikan masing-masing satu kantung, kumpulkan tanamannya dalam jumlah yang cukup, tak perlu berlebihan agar semuanya muat."
Setelah semuanya mendapatkan bagiannya, mereka pun kembali berbaris lagi.
"Nah, bapak akan membagi kalian menjadi sembilan kelompok yang terdiri dari empat orang, kelompok laki-laki dan perempuan akan dibedakan."
Pak Agus pun mengumumkan nama-nama untuk sembilan kelompok itu. Namun setelah semua mendapatkan kelompoknya, ada dua aura gelap yang terasa dari arah kelompok Gunay.
Kelompok Gunay terdiri dari Dimas, Sahrul dan satu orang lainnya yaitu Mirza. Tidak perlu ditanyakan lagi dari mana aura gelap itu muncul. Tentu saja dari aura permusuhan dua pemuda dengan sifat yang bertolak belakang itu.
Gunay dan yang lainnya berjalan memasuki hutan dengan keheningan, benar-benar tidak seperti biasanya. Jika saja tak ada Mirza di sini, sudah dipastikan tiga orang lainnya itu akan tertawa terbahak-bahak sepanjang jalan oleh lelucon bodoh Gunay, namun kali ini, sepertinya dia tampak menjaga image dirinya di hadapan musuh bebuyutannya ini.
Selang beberapa lama, kantung milik Mirza sudah tampak menggembung. mereka berjalan terus sebelum sebuah suara rintihan terdengar di telinga mereka.
"Tolong ... ada orang gak di sana? Tolongin gue ...."
Sontak mereka berempat terkejut lalu bergegas mencari sumber suara.
"Nay! Sini, Nay! Kayaknya suara itu dari sini." Dimas memanggil Gunay sembari menggiring mereka ke sebuah lubang yang bahkan lebih terlihat seperti Gua.
Gunay mengambil ponselnya lalu menghidupkan senter, mengarahkan ke dalam lubang itu.
Seketika mereka berempat terkejut.
"Lo?!"
Seorang gadis tampak terduduk sambil memegangi kakinya. Dia menatap ke atas dengan mata yang sembab.
"Tolongin gue ... tadi gue gak sengaja jatoh trus kaki gue sekarang gak bisa digerakin." Suaranya terdengar menggema dari dalam.
Itu adalah Mingyan, entah bagaimana dia bisa berada di dalam lubang itu dan terpisah dari kelompoknya.
Keempat pemuda di atas sana tampak saling tatap, bingung harus melakukan apa.
"Kita mesti gimana nih?" tanya Sahrul pada yang lainnya
"Kaki dia terluka, apa kita panggil pak guru aja?" Dimas memberikan pendapat.
"Gak perlu," tiba-tiba Mirza membuka suaranya dan berjalan ke arah pohon besar yang berada tepat di dekat lubang.
Dia tampak berjinjit dan menarik seutas sulur dari pohon besar itu.
Sulur berwarna hijau itu tebal dan juga menjulur panjang, terlihat seperti tali tambang.
"Biar gue aja yang turun." Gunay sepertinya mengerti dan ikut menarik sulur-sulur itu lalu mengarahkan ke dalam lubang.
"Gue juga mau turun, Nay, penasaran gue apa aja yang ada di dalam," kata Sahrul.
"Kita gak lagi main-main." Suara teredam Mirza terdengar lagi, mencoba mengingatkan mereka bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk penasaran.
"Emang siapa yang mau main-main? Lagian kalo kita mau keluar kan bisa naik sulur-sulur itu lagi, pengecut banget, lo!" ucapan Sahrul terdengar seperti menantang Mirza.
Tanpa memedulikan dua orang itu, Gunay langsung beranjak turun. Tangannya berpegangan erat pada sulur itu, sedangkan kakinya menginjak dinding lubang yang licin perlahan.
Lubang itu memiliki kedalaman kurang lebih tujuh meter dengan kemiringan yang hampir 90 derajat. Melihat kemiringan itu, jelas sekali sangat sulit hanya untuk turun ke bawah sana.
Setelah melihat Gunay yang sudah mendaratkan kakinya ke dasar dengan aman, wajah Dimas justru tampak cemas, sontak dia ikut turun dan menyusul Gunay.
"Gue ikut, Nay!" katanya sambil bergelantungan di sulur itu.
"Elahh lo mah ngekor mulu hahahah. Ntar pas naiknya gue gamau bantuin lo, ya." Gunay tertawa meledeknya dari bawah membuat wajah Dimas berubah gelap.
"Awas lo, ya."
Dua orang di atas sana masih memperlihatkan aura sengit. Tak ada yang tampak ingin turun duluan.
"Gue bakal turun kalo lo turun duluan," ucap Sahrul memulai pertentangan.
"Gue gak peduli lo mau turun apa enggak." Mirza menjawab datar dan menatap Sahrul dengan wajah datar juga.
"Lo takut, hm? Pengecut banget lo jadi cowo."
Mirza tak menggubrisnya.
"Lemah banget, Gunay emang jauh lebih gentle dibanding lo."
Setelah berkata begitu, Sahrul pun meraih sulur itu hendak turun.
Namun sebelum tangannya sempat menggenggam, tangan lain tiba-tiba menepisnya.
Ternyata Mirza mendahuluinya untuk turun. Sepertinya dibanding-bandingkan dengan Gunay adalah kelemahannya. Mendengar Sahrul berkata seperti tadi, seketika membuat egonya memudar dan memunculkan persaingan antara dirinya dan Gunay.
Mirza pun turut mendarat, lalu dia berjalan menuju Gunay dan Dimas yang sedang memeriksa kaki gadis itu yang terluka.
Tak lama berselang, tiba-tiba terdengar suara teriakan seseorang diikuti suara gedebuk dari mulut lubang.
Gunay langsung berlari ke sumber suara dan mendapati Sahrul yang terbaring di tanah memegangi bahunya. "Ughhh ... pas gue masih di pertengahan tiba-tiba sulurnya putus," ucap Sahrul lemah sambil sesekali merintih kesakitan.
"Sial!! Gimana kita bisa balik ke atas?!" Dimas mulai terlihat tak tenang sehingga mengeluarkan suara yang begitu keras.
Mirza seketika mengeluarkan ponselnya, menghembuskan napas kasar lalu kemudian bersuara lemah, "Gak ada sinyal di sini."
Mereka semua mengerti, tak ada sinyal berarti mereka tak bisa menghubungi siapapun untuk segera datang dan menolong mereka.
"Semua tenang dulu, ayo kita periksa tempat ini dulu, gak mungkin gak ada jalan keluar yang lain." Gunay membuka suaranya dan mengulurkan tangannya pada Sahrul mencoba membantunya berdiri.
"Gak usah, Nay, gue masih bisa jalan, kok."
Mingyan masih terduduk di tempatnya, Sahrul ikut duduk di sampingnya. Sementara ketiga pemuda lainnya mulai mengelilingi lubang itu.
Sebenarnya tak bisa dikatakan lubang lagi, karena bentuknya memang benar-benar seperti gua. Cukup luas disertai dinding-dindingnya dikelilingi batu yang sudah berlumut dan tanahnya yang lumayan becek. Agak mengherankan memang, tapi di tengah-tengah gua itu anehnya terdapat kolam yang airnya agak keruh. Pinggirannya di kelilingi batu-batu kecil berlumut.
Mirza menatap lekat kolam itu, memperhatikan setiap detailnya. Matanya seketika agak membulat saat menemukan sesuatu yang berbeda di kolam itu. Namun suara teriakan seorang gadis tiba-tiba membuyarkan konsentrasinya.
"Kenapa lagi tuh cewek?" tanya Dimas panik mengikuti Gunay yang sudah duluan berlari ke arah suara.
Duagh
Satu tonjokan mengenai pipi kanan Sahrul dengan mulus.