Pagi itu sekolah masih sepi, matahari masih tampak redup dari atas sana. Ditambah dengan awan yang berwarna gelap, menambah kesan dramatis bagi suasana hati Dimas yang memang suka sekali datang cepat ke sekolah.
Dia duduk di kursi Gunay yang memang dekat dengan jendela. Memandang ke luar sana yang menampilkan seluruh halaman sekolah mereka yang luas.
Dilihatnya murid-murid yang datang satu persatu memasuki gerbang di bawah sana. Ada yang datang dengan wajah muram, ada yang berboncengan dengan kekasihnya, ada juga anak mama yang masih diantarkan ke gerbang sambil diciumi pipinya.
Alis Dimas berkedut melihat itu.
Bocah, batinnya mencela.
Tiba-tiba pandangannya teralihkan pada sebuah mobil mewah yang berhenti cukup jauh dari gerbang.
Mata Dimas menyipit mencoba mencari tahu siapa yang akan turun dari mobil tersebut.
Pintu mobil pun terbuka, sebelah kaki turun dengan begitu elegan, lalu kemudian menampilkan seluruh tubuh yang bisa dikatakan sempurna untuk seorang laki-laki.
Namun kesempurnaan itu tak ada artinya, saat melihat wajah seseorang yang penuh dengan kekakuan itu. Wajahnya begitu dingin disertai bibir yang senantiasa turun, tak pernah sekalipun terlihat tertarik ke atas.
Dia melangkah begitu saja tanpa berbasa-basi pada orang lain di dalam mobil.
Mata Dimas agak membulat melihat orang itu, dia mengenalnya. Itu adalah Mirza, teman sekelasnya yang bahkan tak pernah sedikit pun terlihat berminat pada suatu hal.
Dimas benar-benar tak menyangka bahwa orang itu adalah seseorang yang cukup berada, ia berpikir begitu karena melihat mobil yang baru saja ditumpangi pemuda itu bukanlah sembarang mobil, itu adalah mobil keluaran terbaru yang harganya bahkan Dimas tak tahu, ia hanya tahu bahwa itu sangat mahal.
Beberapa menit berlalu dan Dimas masih ingin terus melanjutkan kegiatannya saat suara teriakan marah seorang gadis mengganggunya.
"Udah dibilangin enggak ya enggak!!"
Gadis itu berjalan masuk ke dalam kelas disertai wajahnya yang terlihat kecut. Di belakangnya, ada makhluk astral yang sangat Dimas kenali sedang menarik-narik jilbabnya sambil berkata, "Halah Kansel, gak usah bohong, deh. Lu pasti seneng kan main bareng gue semalem, ya, kan? Makanya lo tadi senyum-senyum gitu."
Kanselir benar-benar tak tahan lagi. Ia pun berbalik menatap bocah bandel itu.
"Gunay sengklek!! Tolong ya, gak usah kegeeran lo! Gue tadi senyum-senyum tuh karena—"
Lelaki tampan yang tiba-tiba masuk kelas seketika membuat Kanselir menghentikan ucapannya, dia langsung mengunci rapat mulutnya dan menuju ke tempat duduknya dengan hening.
Gunay yang heran melihat Kanselir turut membalikkan badannya.
"Ck." Gunay berdecak sebal setelah tahu hal apa itu. Tentu saja si pemuda tampan idaman gadis itu, Mirza. Dia kini sudah sampai di dalam kelas.
"Lo pagi-pagi dah bikin ribut aja, heran gue." Dimas berkomentar setelah Gunay kembali mengambil alih tempatnya dan duduk.
"Iri bilang boss," kata Gunay malas sambil membenamkan wajahnya di antara kedua tangan di atas mejanya.
"Mau ngapain lu?" tanya Dimas.
"Berkultivasi bentar," jawab Gunay enteng.
"Masih pagi, juga."
"Semalam gue kurang tidur, dah ya, jangan ajak gue ngomong lagi, kalo lo masih ngomong, gue gak bisa kalo gak ngejawab, jadi tolong diem dulu."
Suara Gunay semakin meredup seiring dengan dirinya yang perlahan masuk ke alam mimpi. Dimas hanya memutar bola matanya malas.
.
.
Pulang sekolah, Gunay kembali ke rumahnya dengan wajah yang ceria. Pasalnya, dia sudah betul-betul puas melampiaskan rasa mengantuknya di sekolah. Dikarenakan guru-guru yang sedang rapat, membuat para murid terlantar itu melakukan apapun yang mereka inginkan, salah satunya dengan tidur seharian seperti yang Gunay lakukan.
Sore harinya, Yanli tiba-tiba meminta pembantu rumah tangga mereka memanggil Gunay yang sedang asyik bermain game di kamarnya.
Langsung saja Gunay mencampakkan ponselnya dan berlari dengan semangat memenuhi panggilan kakaknya itu.
"Kenapa, Kak?" tanya Gunay yang mendapati Yanli sedang mengemas sesuatu di dapur.
Mata Gunay pun menangkap sesuatu yang berwarna-warni dan cantik di atas meja. "Itu bukannya ...."
Yanli menatapnya, lalu tersenyum. "Iya, ini kesukaan kamu, kan?Kakak tahu kok kamu dulu sering banget ngerengek-rengek ke Bunda supaya dibikinin Turkish delight, jadi kakak belajar buat bikin, dan Alhamdulillah hasilnya bagus."
Turkish delight
Permen jelly khas Turki.
Mata Gunay berbinar cerah menatap permen warna-warni di hadapannya itu, dan seketika mencomot satu buah yang berwarna hijau, mengunyahnya dengan lembut.
"Enak, Kak! Kakak emang yang terbaik!!" ucapnya memuji dengan mulut penuh sambil memberikan jempol.
"Karena hasilnya bagus, jadi kakak coba buat lagi lebih banyak, kamu mau ngaterin buat Kanselir, gak?"
"Hm?" Mulut Gunay seketika berhenti mengunyah sebentar.
"Alasan lain kakak bikin ini sebenernya, malam kemarin kakak denger Kanselir bilang pengen banget makan Turkish Delight, tapi ternyata gak ada yang jual di fun fair."
Beberapa saat Yanli terdiam, kemudian melanjutkan ucapannya sambil menatap Gunay dengan tatapan yang sulit digambarkan.
"Selain itu ... Kakak juga tau kok kalo kamu seneng banget kan ketemu dia?"
Deg
Gunay benar-benar kaget mendengar ucapan kakaknya barusan, seketika rona merah muncul di kedua telinganya yang menjalar hingga ke leher. Dia malu.
"Ketahuan banget, kok." Yanli mencubit telinga Gunay yang sudah seperti kepiting rebus itu sambil tertawa rendah.
Yanli kemudian menggeser sebuah kotak transparan dengan tutup berwarna merah yang sudah berisi penuh Turkish delight ke arah Gunay.
"Nih, ya, anterin ke rumahnya."
Gunay menelan permen jelly di tenggorokannya dengan susah payah. Lalu meraih kotak itu dan menatapnya cukup lama.
.
.
.
Kanselir dengan santainya menaikkan kedua kakinya di atas lengan sofa sambil berbaring malas dengan tangan yang sibuk mengotak-atik ponsel.
Belum lama kedamaiannya itu berlangsung, tiba-tiba suara mamanya menggelar dari arah dapur.
"KANSEL ... ANGKAT JEMURAN ... UDAH MENDUNG ITUU ...."
Kanselir menghirup napas dalam. Ia letakkan ponselnya lalu berjalan hendak menuju ke halaman depan, tempat pakaian mereka dijemur.
Saat ia membuka pintu ...
Brak!
Ia langsung menutup pintu itu lagi keras-keras. Napasnya tersengal-sengal.
Tidak disangka, di luar pagar rumahnya, ternyata ada seorang pemuda minim akhlak yang sedang sibuk bercermin di spion sepeda motornya.
Ngapain Gunay ke sini? tanyanya dalam hati. Di balik pintu, dia terus memegang dada menenangkan napasnya yang tak beraturan. Kemudian memegang kepalanya, meraba-raba.
Sial! Dia sedang tidak mengenakan jilbab!
Lalu dia menoleh kebawah.
Ugh! Benar-benar sial!
Dia sedang pakai celana pendek!
Dia masuk ke kamarnya dengan buru-buru, berpikir apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
Di luar sana, Gunay sudah tersenyum-senyum tidak jelas. Dia benar-benar merasa senang! Baru kali ini dia melihat bidadarinya dengan penampilan seperti itu.
Kurang ajar, ternyata dia sempat melihat Kanselir saat berpenampilan seperti itu.
Tenang Nay tenang ... ntar kalo dah nikah bakalan sering liat dia begitu kok, hahahaha, kata Gunay dalam hati dengan pikiran kotornya.
Sepeda motornya ia parkirkan tepat di depan pagar rumah yang sederhana itu. Dia membuka pagarnya lalu melangkah masuk begitu saja. Benar-benar tidak sopan.
Kotak transparan berisi Turkish delight itu ia letakkan di teras, kemudian melangkah ke arah jemuran, mengangkat semua pakaian di jemuran itu dengan begitu profesional.
Dari dalam rumah, Kanselir sudah selesai mengenakan jilbab dan juga pakaian yang tertutup. Dia pun memantapkan hati menemui Gunay yang tidak diketahui punya tujuan apa datang ke rumahnya.
Kanselir membuka pintu dengan perlahan, dan seketika langsung tercengang.