"Terkadang semesta benar, satu hal yang bisa menyembuhkan luka adalah waktu. Dalam setiap detiknya dia berperan menghapus satu-persatu luka hingga perlahan sirna tak bersisa."
****
Kinara menguap berulang kali di kelas perpajakan. Tidak bersemangat sama sekali, hanya melihat sekilas susunan angka dan huruf di papan tulis lalu menidurkan kepalanya di meja.
Setelah menyelesaikan mata kuliah terakhir, Kinara menyusuri lorong-lorong kelas dengan lesu. Genap lima hari Vero menghilang tanpa memberinya kabar. Gadis itu mulai kehilangan minatnya dalam berbagai hal. Terutama perkuliahan yang semakin lama semakin membuatnya jengah. Otaknya terkuras habis dengan ratusan rumus dan angka-angka yang memusingkan.
Seperti hari ini ia hanya mengikuti tiga dari lima mata kuliahnya. Selebihnya ia habiskan di ruang musik dengan dalih ke klinik. Dengan memainkan piano kemelut dihatinya bisa sedikit mereda walau tidak bisa hilang sepenuhnya. Pada waktu istirahat Kinara juga tidak pergi ke kantin, tapi malah ke perpustakaan menenggelamkan dirinya pada buku-buku tebal.
"Pulang bareng gue, ya." Suara Anna yang berjalan di samping Kinara menuju tempat parkir.
Gadis yang diajak bicara hanya manggut-manggut seraya membenarkan letak totebagnya yang melorot dari bahu.
Sampai di parkiran, baru saja hendak membuka pintu mobil Anna sebuah tangan sudah lebih dulu mencekalnya.
Kinara menoleh dengan wajah datarnya. "Apaan sih, Kak!"
"Pulang bareng gue ya," ajak Dimas membuat Anna sedikit terkejut sampai mengurungkan niatnya masuk ke kursi kemudi.
"Gue pulang sama Anna, udah sana pulang! Gue gak mau ngerepotin lo."
"Hari ini aja, Ki. Boleh ya An," tanyanya meminta persetujuan pada Anna. Yang tentu saja cewe itu hanya bisa mengangguk dengan raut bingung, ya sedikit kecewa tentunya.
Kinara mengalah, dia terlalu lelah untuk berdebat atau menyela. Setelah melambaikan tangan pada Anna, Kinara berlalu mengikuti langkah kaki Dimas menuju motor milik cowok itu.
Anggaplah Kinara tidak peka, karena memang dia sedang tidak peka bahwa ada hati yang terluka selepas kepergiannya.
"Apa sih Anna, lo itu bukan siapa-siapa. Cuma temen, gak usah berharap lebih plis dehh!" batin cewek itu sebelum menginjak gas dengan kecepatan cukup tinggi.
Dimas melepas helmet dari kepalanya, memakaikannya pada Kinara.
"Apaan sih! Kan lo yang bawa motor gimana sih malih!" Celetuk Kinara.
Dimas menjawab asal. "Gue udah kebal, lu lebih butuh."
"Helehh, jatoh tau rasa lo! Kebal opo nak? Limbat?"
"Berisik, buru ah! Lebih repot kalo lo yang jatoh nangis!"
"Lah sih ogeb. Makasih deh, kalau kena tilang pakpol gue gak ikutan."
"Tega bener, jangan didoain makanya."
"Iya iya udah, bawel! Buruan ah capek gue panas."
Dimas melepas jaketnya sebelum naik keatas motor, memberikannya pada Kinara.
"Buat nutupin paha lo, ntar gue kena bogem Vero lagi bawa ceweknya sembarangan!"
"Satu lagi, pegang tas gue ya!"
"Ishh bener-bener ya, kok gue jadi ngebabu sih? Mending ikut Anna aja, repot banget!"
"Lama! Gue tinggal juga nih!" Kinara mengeram marah sebelum naik ke atas motor Dimas.
"Apes banget gue hari ini astaga, udah naik motor panas-panasan pake segala megangin tas orang lagi," omelnya. Sembari memukul pundak Dimas berkali-kali ketika cowok itu membawa motor dengan kecepatan tinggi.
Kinara menyadari sesuatu ketika motor yang ia tumpangi berbelok pada arah yang berlawanan dengan rumahnya. Bodoh sekali dirinya. Kini dia tahu kemana Dimas akan membawanya ketika motor itu berhenti di depan pagar tinggi rumah Ber cat putih. Kinara hendak turun namun Dimas menarik gas membuat gadis itu hampir terpental kalau saja tidak refleks memeluk pinggang Dimas.
"Turun! Betah banget di motor gue."
Kinara menarik napasnya dalam-dalam. Kilatan emosi tercetak di jelas dari sorot matanya. Dari awal harusnya ia tahu, apa tujuan cowok itu sebenarnya. Mana mungkin juga niat cowok itu tulus untuk mengantarnya pulang.
Kinara memandangi rumah Dimas, kemudian turun dari motor, melempar tas ke wajah Dimas lalu hendak pergi ke arah gerbang. Namun tangan kekar itu lebih dulu mencengkeram lengannya, menahannya untuk pergi.
"Lepasin, Kak!"
"Please,"
"Gue kira lo tulus nganterin gue pulang, ternyata gue salah. Kecewa gue sama lo, Kak."
"Lo boleh kecewa dan marah sama gue, Ki. Tapi gue mohon kali ini aja, lo temuin Bunda."
Kinara memalingkan wajah, mengusap kasar air mata sialan dari pipinya. Dia benar-benar belum siap untuk bertemu Hana.
"Dimas, udah pulang, Nak?"
Kinara memejamkan mata seketika mendengar suara itu. Cukup lama, sampai tubuhnya ditarik ke dalam pelukan wanita itu. Pelan, Kinara terisak. Entah mengapa pelukan itu terasa sangat hangat dan menenangkan. Untuk sesaat ia ingin tetap seperti itu, walau logikanya terus saja menolak.
Beberapa saat kemudian Hana mengurai pelukannya, menuntun anak gadisnya masuk ke dalam rumahnya. Sedangkan Kinara hanya menunduk pasrah, bertempur dengan hati dan logikanya yang tidak pernah sejalan.
Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Hampi setengah jam Kinara berada di rumah Dimas. Tidak ada yang ia lakukan. Masih dalam posisi yang sama seperti ketika ia datang. Duduk di sofa berhadapan dengan Hana. Sedang Dimas sudah pergi ke kamar tidurnya, demi memberi ruang untuk Ibu dan Anak itu. Berulang kali Kinara menenggak teh nya untuk menghilangkan gugup. Sampai akhirnya Hana bersuara.
"Kinar," panggilnya lembut. Kinara tidak menjawab, hanya mengangkat kepalanya, melempar senyum canggung pada Hana.
"Maafin Bunda, ya. Bunda banyak salah sama kamu, Bunda gak bisa jadi ibu yang baik untuk kamu, dan gak becus jagain kamu. Maaf, Bunda udah ninggalin kamu-"
"Cukup, Bun." Interupsi Kinar.
"Udah, jangan lanjutin. Ki udah tau semuanya, Kinar ngerti kok Bun."
Hana menangis saat itu juga. Dia menunduk sembari sesekali mengusap wajahnya.
"Kamu pantas untuk marah sama Bunda. Kamu boleh benci sama Bunda."
"Bun, udah! Kinar gak marah kok sama Bunda. Semuanya udah jadi takdir Kinar. Semuanya udah digariskan sama Tuhan untuk Kinar. Bunda gak perlu nyalahin diri sendiri." Kinar terisak pelan di sela ucapannya.
"Kinar malah bahagia, karena ternyata Ibu kandung Kinar masih hidup. Kinar bahagia banget, karena masih punya Bunda. Maafin Kinar bun, baru bisa nemuin Bunda sekarang. Maaf karena butuh waktu lama."
Hana meraih tangan Kinara, membawanya ke dalam genggamannya.
"Makasih sayang, makasih sudah bertahan sejauh ini. Bunda tahu berat untuk kamu melawati semuanya. Tapi Bunda gak bisa ngelakuin apapun untuk kamu. Bunda malu, Kinar."
"Maaf... Maafin Bunda." Wanita itu turun dari sofa dan berlutut sambil memegang kedua tangan Kinara dan meletakkan kepalanya di atas sana.
Kinara mengusap pundak Hana yang bergetar, wanita itu masih terisak "Bunda udah, jangan kaya gini."
"Kinar mohon." Kinara membantu Hana berdiri lalu setelahnya ia lebur dalam pelukan wanita itu. Keduanya menangis dalam diam seolah melepas rindu masing-masing.
"Udah sore, Bun. Kinar pamit pulang ya, nanti dicariin Bibi."
"Em.. Kinar, Bunda boleh gak minta kamu nginep di sini malam ini?"
"Eh? Memangnya gak papa, Bun?"
Hana mengangguk mantap sembari tersenyum simpul. "Boleh ya? Nanti Bunda yang telpon Bi Iim."
"Iya Bun, Ki juga pengin tidur sama Bunda."
***
Kinara tak bisa berhenti tersenyum dan tertawa, seolah semua beban di pundaknya telah hilang entah kemana. Hari ini akan menjadi sangat panjang. Seumur hidupnya ia belum pernah merasa sebahagia ini. Tadi sore mereka berangkat ke supermarket, membeli bahan-bahan makanan untuk menu makan malam. Hana juga membelikan banyak cemilan, untuk mereka nonton. Ya banyak sekali acara yang mereka agendakan secara dadakan, yang tentunya membuat Dimas pusing bukan kepalang menuruti semua kemauan kedua perempuan itu.
Setelah makan malam di halaman belakang, Dimas membentang layar proyektor di salah satu cabang pohon. Lalu ketiganya larut dalam cerita komedi bersama senda gurau dan kehebohan Kinara.
Wajah Gadis itu tampak bercahaya dibawah penerangan lampu taman dan purnama yang menggantung di atas sana. Mata Kinara berbinar menampilkan raut bahagia yang sempurna.
Setelah merasa cukup lelah dan mengantuk mereka memutuskan kembali ke rumah. Hana dan Kinara berjalan lebih dulu menuju kamar tidur Hana. Sementara Dimas harus rela merapikan semua barang-barang dan membawanya ke dalam rumah dibantu Mbok Darmi.
Sial sekali nasibnya, namun lelahnya terbayar tuntas dengan kebahagiaan Hana dan Kinara. Dimas merasakan lega yang luar biasa, sampai rasanya ia ingin menghentikan waktu untuk menahan kebahagiaan itu sedikit lebih lama. Dia berjanji, akan memastikan kedua perempuan itu selalu bahagia dan tidak akan pernah terluka.
Kinara menimang-nimang boneka kelinci kecil di hadapannya. Tadi sore Hana membelikannya boneka berwarna putih itu di supermarket. Seperti anak kecil memang, namun entah mengapa Kinara merasa sangat bahagia.
"Bunda, Kinar jadi ingat waktu Kinar TK deh. Bunda kan yang ngasih Ki boneka kelinci?" Kinara berucap dengan kepalanya yang berada di atas paha Hana.
Wanita itu tersenyum, "Kamu masih inget?"
"Iya Bun, Ki kasih nama boneka itu Lili. Nah yang satu ini namanya Lala, biar kembaran."
Baik Kinara maupun Hana terkikik geli. Tangan Hana masih sibuk menata potongan mentimun di atas wajah Kinara. Sementara pikirannya terbentur pada sesuatu.
"Kamu tau gak? Waktu kecil kamu punya sepasang kelinci dan namanya lala sama lili?"
Kinar sontak bangun dari tidurnya membuat beberapa mentimun berjatuhan ke kasur.
"Beneran, Bun? Masa iya?"
"Iya, waktu itu kamu nangis minta beliin kelinci sama Ayah. Waktu Ayah kamu pulang kerja dia bawa dua kelinci deh, yang satu warna putih satunya warna abu."
"Ihhh asik banget, Ayah Kinar orangnya baik ya Bun?"
Hana tersenyum sendu, ada raut sedih dan rindu di garis wajahnya. "Sangat baik," lirihnya.
"Kamu mau Bunda ajak ke makam Ayah?"
Kinara mengangguk setuju.
Selang beberapa menit, Hana membersihkan wajahnya meletakkan sisa mentimun dari wajah mereka ke tempat sampah. Malam sudah mulai larut, tapi keduanya belum juga berniat untuk tidur.
"Mau liat foto kamu?"
"Maauu!"
Hana meraih beberapa album dari dalam laci, membawa semuanya ke atas tempat tidur.
"Lihat deh, kamu lucu banget waktu kecil. Giginya ompong lagi." Keduanya tertawa.
"Ini Ayahnya Kinar ya Bun?" Tunjukknya pada foto seorang lelaki yang sedang menggendong seorang bayi.
"Iya, waktu kamu bayi cuma bisa tidur kalau digendong Ayah."
"Ihhhh lucu banget."
"Liat yang ini, waktu kamu seumuran ini kita sering pergi ke taman hiburan sama Ayahmu."
"Ahh aku pasti suka naik bianglala, iyakan Bun?"
Hana menyela, "enggak sayang. Ayah kamu yang suka. Kalau kamu setiap naik bianglala pasti nangis karena takut, dan Bunda juga yang repot."
"Kamu dulu suka liat pesulap dan kembang api." Kinar mengangguk-anggukkan kepalanya tertarik dengan semua bahasan tentang masa kecilnya.
"Sayang banget, Kinar gak ingat apa-apa Bun. Pasti seru banget ya masa kecil Kinar. Aku pasti anak yang ceria, iya kan Bun?"
Hana tersenyum lagi. "Tentu, kamu sangat ceria." Hana mengelus rambut putrinya dengan lembut.
"Kinar, setelah hari ini Bunda janji gak akan ada kesedihan lagi. Kita mulai dari awal lagi ya. Bunda bersyukur banget, akhirnya bisa menjadi Ibu kamu lagi. Bunda gak punya permintaan apa-apa lagi. Hanya agar Tuhan memberi Bunda waktu yang lebih lama untuk menjaga kamu dan bahagia."
"Kinar.. eh Embun sayang Bunda." Mata Hana berkaca-kaca, dia
menarik Kinara ke dalam pelukan sampai keduanya terlelap dalam damai.