"Sejatinya kamu hanya terjebak di masa lalu."
***
"Anak itu berdiri di depan Villa kami dengan kepalanya yang sudah bercucuran darah."
Ingatan itu terus mengudara seiring kecepatan motornya yang terus bertambah. Cerita Reno sesaat sebelum ia memutuskan pergi mencari Kinara.
Kinara
Hanya satu nama yang terus berputar di kepalanya. Entah dimana dan dalam keadaan apa gadis itu sekarang. Semakin memikirkannya semakin membuat Vero merasakan sesak yang teramat. Hatinya sakit, membayangkan cerita pilu masa lalu gadis yang ia cintai itu.
"Saat itu hujan deras sedang mengguyur langit bogor. Entah apa yang om pikirkan malam itu, hingga membawa om untuk keluar Villa dan akhirnya menemukan Kinara. Mungkin takdir yang menggerakkan."
"Tanpa berpikir panjang, om langsung membawa anak itu ke rumah sakit. Lukanya cukup parah, kemungkinan kepalanya membentur sesuatu degan keras. Selama dua hari gadis kecil itu tidak sadarkan diri. Tidak ada yang mengira bahwa ia akan sadar kembali. Namun Tuhan berkehendak lain. Keesokan harinya, mata itu terbuka. Sepasang iris bening yang di dalamnya nampak guratan luka."
"Sejak pertama kali melihatnya, tante Rosa sudah menyukai Kinara. Kami memutuskan untuk membawa anak itu pulang ke Jakarta sampai menemukan orang tua kandungnya. Selama lima hari anak itu sama sekali tidak bersuara. Matanya selalu kosong dan wajahnya selalu muram. Dokter mengatakan benturan yang diterima olehnya bisa menyebabkan kemampuan otaknya melemah. Dan kemungkinan terburuknya dia kehilangan ingatannya."
"Tante Rosa memanggilnya Kinara sebagai pancingan agar anak itu bisa bersuara. Dan usaha itu berhasil, anak itu mulai tersenyum dan berbicara walau masih terbata. Om masih ingat ketika anak itu tersenyum untuk pertama kalinya, dan memanggil tante Rosa, Mama."
"Beberapa hari setelah itu, orang suruhan om menemukan kabar bahwa telah terjadi kecelakaan tragis di bogor tepat di hari om menemukan Kinara. Sebuah mobil masuk ke jurang. Satu orang meninggal, satu dalam perawatan dan seorang anak dinyatakan hilang. Saat itulah kami tahu identitas sebenarnya gadis malang itu. Ibunya, tante Hana sedang terbaring koma dan kemungkinan dia bisa sadar kembali sangat kecil. Setelah berpikir matang, kami memutuskan untuk mengadopsi Kinara secara legal. Gadis kecil itu telah melalui kehidupan yang menyedihkan, ia telah hancur berkali-kali. Maka kami pikir, ini saatnya ia memiliki dunia yang baru. Dia bisa terlahir sebagai Aleasha Kinara, sebagai putri yang bahagia."
"Di luar dugaan, dua bulan setelahnya Hana terbangun dari komanya, kondisinya mulai membaik dan akhirnya menemukan keberadaan Kinara. Mulanya, ia ingin mengambil kembali putrinya dari kami. Namun setelah mengetahui semua yang terjadi, dia menyerah. Dirinya telah sempurna hilang dari ingatan Kinara. Hana memutuskan untuk merelakan anaknya berada dalam pengasuhan kami. Berharap putrinya akan tumbuh tanpa mengingat luka yang telah ia alami. Selama itu, Hana hanya bisa menemui anaknya tanpa bisa mengatakan siapa dirinya. Dua tahun setelahnya Hana menghilang, dan mengatakan bahwa dia hanya akan kembali jika Kinara sudah mengingat dirinya."
****
Tanpa peduli bajunya yang kuyup oleh guyuran hujan tadi malam, tatapan menyedihkan dari orang-orang sekitar, klakson yang bersahutan saat ia menyebrang asal, atau ejekan anak kecil ketika ia melalui jalanan dengan penampilan menyedihkan.
Matahari hampir terbenam ketika Kinara tiba di taman pemakaman. Langit bogor kelabu, dan mulai menghitam. Gadis itu membungkuk, mengusap Nisan bertuliskan 'Rosalin Anwar'
"Mama ... Maaf Lea gak bawa bunga kesukaan Mama." Suara lirih itu terdengar ditengah gemersik.
"Mama baik-baik aja kan di atas sana?"
"Mama udah di surga kan, Ma? Mama gak kesepian kan? Saat ini, rasanya Lea mau ke tempat Mama. Lea mau nangis sepuasnya di pelukan Mama." Tetesan bening kembali meluncur dari sudut matanya.
"Ma... Lea sakit Ma, Lea sedih, Lea hancur, Lea merasa bersalah dan Lea sangat takut."
Monolog itu terus berlanjut di tengah hening. Hanya isakan kecil yang menjadi musik pengiring.
"Ma, Lea bukan Embun kan, Ma? Iya kan Ma? Lea bukan anak orang itu?" Tenggorokan Kinar tersekat, getaran terdengar jelas di setiap katanya.
"Kalau Lea anak perempuan itu, lalu kenapa dia ngebuang Lea Ma, kenapa? Lea putri Mama kan? Tolong jawab iya, Mama. Tolong bilang, Alea bukan Embun...."
Ada permohonan dalam setiap nada terbata itu.
Kinara menunduk dalam, meremas dadanya kuat-kuat, merelakan sesak di dalam sana dalam kemenangan. Hening... Mata itu terpejam lelah sampai suara seseorang memutus lamunannya.
"Feli sayang, kan Mama udah bilang mainnya udahan ya." Suara itu berasal dari wanita muda bersama anak perempuannya, tak jauh dari lahan pemakaman.
"Feli masih mau main, Mama."
"Nak, mainnya kita lanjut besok ya. Sekarang kita pulang ke rumah, Papa sendirian memangnya Feli gak kasihan?"
Gadis berambut kepang itu nampak sedih, matanya berkaca-kaca sedang balon merahnya masih ia genggam erat di tangan kanannya.
"Yaudah, sebentar lagi ya. Tapi janji setelah ini kita pulang, Oke?"
"Yeay!" Sorak anak itu girang. Di atas rerumputan hijau, dia berlari kecil membawa balon merahnya yang melayang-layang terbawa angin.
Kinara tersenyum nanar, genangan terbentuk di pelupuk matanya. Kedua sosok itu membias, perlahan berganti visual dirinya sewaktu kecil bersama Mamanya.
"Tuan putri mama gak boleh cemberut dong, nanti cantiknya hilang."
"Mama janji, kalau nanti Papa pulang kita main ke Dufan, Mama beliin kembang Api yang banyak, oke sayang?"
Duaarrrr!!
Kinara terperanjat, dilihatnya anak kecil di depan sana menangis karena balonnya meletus.
Deg!
Kinara memegangi dadanya yang berdebar. Seluruh sarafnya terasa lumpuh. Kinara membeku di tempat. Perlahan pandangannya mengabur seiring dua punggung yang berjalan menjauh.
Rintik yang turun semakin lama semakin deras. Kinara tida bisa beranjak, walaupun ia mau. Seluruh tubuhnya kaku, di bawah langit kelabu yang membuatnya membisu.
Ctaarr!!
Kinara menutup telinganya rapat-rapat tak mau membiarkan kelemahannya menemukan celah, mengoyak sisa pertahanannya.
Pandangannya memburam bersamaan nyeri yang mulai menyerang di area pinggang dan kepalanya. Dari jauh Kinara bisa melihat sesosok lelaki yang berjalan mendekat. Semakin lama, sosok itu semakin mempercepat langkah hingga akhirnya berlari menghampirinya.
Kinara tidak yakin, namun nalurinya tidak mungkin salah. Itu Vero, tidak salah lagi. Dia bisa mencium aroma tubuh cowok itu dari jaket yang disampirkan ke pundaknya.
"Lo gak bisa nolak kenyataan!"
"Lo anak dari wanita itu."
"Ibu kandung yang udah buang lo dua belas tahun yang lalu."
"Lo pembunuh!"
"Gue bukan pembunuh!" Teriak Kinara histeris seraya menutup telinganya kuat-kuat berharap bisa meredam suara-suara di kepalanya.
Vero melupakan guyuran hujan deras dan menarik Kinara ke pelukannya. Gadis itu masih dalam posisi duduk di samping pusara seperti awal ia menemukannya.
"Lepasin! gue bukan pembunuh!" Vero mengusap wajahnya lalu menarik Kinara kasar hingga gadis itu berdiri.
"Ki, dengerin gue!" Teriaknya di tengah gemercik.
"Gue bukan pembunuh, gue bukan pembunuh, Kak Vero." suara itu melemah.
"Ki, tolong dengerin gue! Lo bukan pembunuh, lo gak salah! Lo hanya terjebak di masa lalu!"
"Gue bukan pembunuh! Gue bukan pembawa sial, Kak!" Kinara semakin histeris seiring suara keras yang saling bersahutan di atas sana.
Vero menangkup wajah Kinar dengan kedua tangannya. "Lo cuma terjebak dalam rasa bersalah Lo, Kinara. Lo bukan pembunuh, lo bukan penyebab kematian Mama Lo. Semua itu takdir, Ki. Lo harus bisa terima kenyataan dan berdamai sama diri Lo sendiri."
Kinara menatap Vero, mata cowok itu memerah, rambutnya berantakan dan seluruh tubuhnya basah dengan bercak tanah merah. Untuk sekejap, tangisnya mengendur sebelum suara-suara itu kembali mengisi kepalanya.
"Lo gak pernah diharapkan di rumah ini karena lo cuma jadi pembawa sial di keluarga ini!"
"Dulu gue bangga punya adik kaya lo, tapi sekarang gue bahkan gak mau ngeliat muka lo!"
"Gue harap lo segera lenyap dari kehidupan ini!"
Ctarrr!! Suara itu menghilang digantikan bising hujan.
"Lea bukan pembunuh kan, Ma? Tolong bilang Lea bukan pembawa sial."
Deg!
Tubuh Vero mendadak kaku, kalimat itu terasa tidak asing di telinganya, pun kalimat selanjutnya yang membuat Vero sadar bahwa ia pernah mendengarnya di suatu tempat.
"Maafin Lea, Ma. Maafin Lea."
"Lea salah, Lea minta maaf. Maafin Lea, Mama...."
Vero memegang kedua bahu Kinara, tetapi pikirannya masib berkutat dengan kalimat barusan. Belum sempat mencernanya, tubuh gadis itu tiba-tiba limbung. Dengan sigap Vero menyanggah lalu menggendong Kinara sebelum tubuh itu jatuh ke tanah.