Gadis berbalut pakaian tidur itu menapaki ubin tangga, langkah demi langkah pelannya perlahan turun hingga ia tiba di ruangan tengah. Mulanya ia berniat menuju dapur untuk mengambil air minum, namun kini gelas yang sedari tadi dipegangnya telah tertata di atas meja.
Matanya hanya terpokus pada satu benda, benda mati yang menjadi muara semua kenangan indahnya. Benda yang menyimpan nada-nada bahagia masa kecilnya. Nada yang menjadi saksi bisu betapa semesta pernah memberinya bahagia yang sempurna, hingga luka yang teramat parah.
Tangan lentik Kinara akhirnya menyentuh ujung piano putih yang terpatri di tengah rumahnya itu. Perlahan ia mengangkat keatas penutupnya lalu mengedarkan jemarinya pada susunan tuts monokrom.
Perasaan tak menentu kembali berkecamuk di dalam dadanya. Ada rindu dan sesal yang berbaur menjadi satu, menyisakan sesak tak berkesudahan. Waktu selalu hebat menebar sebuah rindu, waktu juga tak kalah hebat memutar keping masa lalu. Masa indah kala itu yang kini hanya menjadi semoga yang dirapal Kinara. Semoga yang dirapalnya dalam setiap hembusan napasnya.
Jemari putih itu telah menari kesana kemari mengalunkan nada demi nada kepiluan.
Di atas sana, di salah satu dinding rumah mereka seorang lelaki ikut mematung dalam lamunan panjang. Entah sejak kapan Alan berdiri di sana, bersandar menikmati sentuhan nada yang biasa dimainkan mendiang Ibunya. Tangannya menyilang di depan dada dengan kedua matanya yang terpejam seakan hanyut dalam permainan nada pilu.
Kenangan indah dan tragis yang terjadi di sepanjang hidupnya berputar terus menurus bak kaset rusak di kepala Kinara. Kenangan pertama yang diingatnya semasa kecil, kenangan pertama ketika tangan mungilnya menyentuh tuts piano, ketika Qya memberinya boneka beruang di ulang tahun ke enamnya, ketika Alan mengajarinya bersepeda di taman komplek, ketika Ayahnya menerbangkan balon gas di halaman rumahnya, hingga kenangan menyeramkan ketika Mamanya meregang nyawa di hadapannya.
Jrengg!
Kinara membanting kasar kedua tangannya menciptakan denting nada tak beraturan ketika kenangan tragis kembali menghantuinya. Gadis itu mengatur napasnya yang terengah, meremas kasar kerah piyamanya berusaha membuang sesak yang kian menjadi di dalam sana. Keringat dingin mengucur di seluruh tubuh itu, dia bahkan tidak ingat sejak kapan air matanya mengguyur deras pipi pucatnya.
Tes!
Setetes cairan merah kental ikut luruh menemani derai air matanya yang menggenagni salah satu tuts di bawah sana. Kinara merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, kepalanya dihantam sakit yang mematikan.
Kinara mengusap pelan hidungnya dengan sebelah tangan, menunduk dalam waktu yang cukup lama. Gadis itu tidak menunjukan reaksi apapun pada cairan kental yang terus mengucur dari hidung mancungnya, tidak ada keterkejutan juga ketakutan. Pelan ia menidurkan kepalanya setelah deretan tuts hitam putih itu selesai di tutupnya.
Denting jam menyempurnakan kesunyian malam, jarum pendek itu menunjuk pada angka sebelas.
"Mama," lirihnya ketika bayang itu tersenyum ke arahnya. Kinara memaksakan senyum samar pada sosok fiksi imajinasinya.
Senyumnya mengendur Ketika samar-samar bayangan itu memudar digantikan sosok tinggi tegap yang berjalan ke arahnya dengan wajah cemas. Pandangan gadis itu meremang hingga figur laki-laki itu ikut lenyap ditelan gelap.
****
Kinara mengerjapkan mata menyambut lampu sorot yang menyilaukan dari kedua arah, senyum kegetiran mengembang seiring tangis dan langkahnya yang kian maju ke depan.
Hanya sepersekian detik sebelum tubuhnya berdebam, tangan itu menariknya. Dalam sekejap kesadarannya kembali, telinganya diisi bising sahut-sahutan klakson kendaraan.
"LO UDAH GILA?!"
"Gue gak gila tapi Tuhan yang gila, dia udah ngancurin hidup gue dan semua orang yang gue sayang."
"Sakit Lo! percuma nyalain Tuhan, yang namanya takdir gak ada yang bisa ngerubah! Lo pikir yang punya masalah di dunia ini cuma lo doang? Lo pikir, masalah lo bisa selesai dengan lari ke jalanan? Yang lo lakukan sekarang cuma lari dari kenyataan!"
"TAU APA LO MASALAH GUE? TAU APA? "
"Mungkin gue emang gak tau apa-apa. Gue bahkan gatau lu siapa! Tapi dengerin gue baik-baik. Kalau lo mati malam ini, lo ga bakal bisa nemuin orang yang lo sayang. Kalo lo mati, mereka gak akan bisa bantu lo lewatin masalah lo!"
Kalimat panjang itu membuat lutut kinara seketika lemas dan jatuh terduduk di trotoar.
"Kalo lo mati sekarang, gue jamin lo akan menyesal karena nggak sempat tau kalau sebenernya banyak yang peduli sama lo. Gue gak tau apa-apa tapi gue tau lo berharga di mata mereka, orang yang lo sayang."
Kinara membuka kelopak matanya ketika jiwanya kembali ke dunia nyata. Gadis itu mengatur napasnya yang terengah, menyeka butiran kristal di sudut matanya.
Matanya sedikit menyipit berusaha menyesuaikan dengan cahaya ruangan serba putih itu. Bau obat-obatan menyeruak membuatnya sedikit mual. Kepala gadis itu terasa nyeri, tangan kanannya susah bergerak karena tertanam jarum infus di pembuluh darahnya.
Kinara menyadari sesuatu, ia Melepas rantai yang melingkar di lehernya. Di tatapnya lekat-lekat kalung berbandul kunci silver itu. Air matanya kembali berjatuhan diiringi rasa bersalah yang pekat.
"Ternyata itu Lo kak. Orang itu benar-benar Lo, Kak Vero," lirihnya disela isakan kecil.
Satu lagi kenyataan pahit yang menamparnya. Jika malam itu orang yang ditemui Vero adalah dirinya, maka jelas dialah orang yang membuat Vero gagal melindungi orang yang dia sayangi dari percobaan bunuh diri.
Kalung berbandul kunci itu menjadi awal jawaban teka-teki menyedihkan mengenai takdir mereka. Kalung yang ia temukan selepas perginya cowok yang menyelamatkan Kinara tiga tahun silam, menemukan rumahnya ketika Kinara mengunjungi Rumah Kasih seminggu yang lalu, saat acara sosial bersama kakaknya, Qya. Entah datang dari mana rasa penasaran Kinara hari itu. Sengaja ia mendekati rumah pohon dibelakang panti, melihat kesamaan inisial di pahatan rumah kayu dan kunci itu. Semua penasarannya terjawab sempurna ketika rumah pohon itu berhasil terbuka.
"Pagi princess," sapa Wanita berkemeja denim.
Segera Kinara memalingkan muka, mengatur sebaik mungkin napasnya dan berusaha tersenyum untuk menutupi kemelut dihatinya.
"Kakak.. I'm not a lil princess anymore. Kinar udah gede." Ujar Kinara menampilkan sederet gigi putih di ujung bicaranya.
"You are still a princess, my princess Alea," Goda Qya sambil mengacak gemas puncak kepala Kinara.
"Tadi ada telpon dari pacar kamu, Kakak gak sempet jawab maaf ya." Azqya duduk di sisi brankar Kinara.
"Gak papa Kak, bagus deh. Jangan bilang kalau Ki lagi di rawat ya Kak."
"Kenapa? Gak pengen dijenguk sama Mas Pacarnya?"
"Ihhhh Kakak! Paan sih."
"Pipinya merah tandanya apa nih?" goda Qya terus-terusan diiringi cekikikan.
"Kakakk... ngambek nih!" ancam gadis itu.
"Yee ngambek pake bilang-bilang, dasar bocil!"
"Ihhh mana ada bocil, Ki udah gede, udah cantik, udah rajin, udah penurut, udah jadi anak yang baik, udah kuat meski sering disakitin," cerocos Kinara diiringi tawa khasnya yang menggemaskan.
Air muka Qya seketika berubah, meski nampak bercanda dia bisa menemukan luka di dalam tawa adiknya itu.
"Ki cuma gak mau bikin orang-orang khawatir Kak," urainya.
"Kak.. kakak! Melamun wae ih!"
Qya kembali tersenyum menutupi raut sendunya barusan, tangan kanannya mencubit gemas pipi Kinara. "Iyaa princess sayang, adik kecilnya Kakak yang sekarang katanya udah gede, kenapa?"
"Ki minta tolong ambilin hp boleh? Suntuk ngeliatin dinding mulu."
Qya beranjak mengambil ponsel Kinara di meja sudut ruang inapnya. Setelah memberikannya pada Kinar, perempuan itu berpamitan keluar.
Kinara meletakkan ponselnya di atas nakas, mengabaikan ratusan notifikasi yang belum sempat ia buka. Nanti akan dia pikirkan alasan yang tepat untuk menyempurnakan kebohongannya. Kembali ditatapnya lekat kalung di dalam genggaman tangannya.
"Sekarang gue takut Kak, gue takut akan seburuk apa permainan takdir, jika lo tau semua nanti."