"Sesuatu yang paling berat untuk diterima adalah sebuah kenyataan pahit."
****
Anna memberanikan diri, mengetikkan pesan singkat kepada seseorang yang amat ia hindari, Alan.
"Kinar di Apartemen gue, gak usah gengsi gue tau lo khawatir."
Tanpa repot-repot menunggu balasan, Anna mematikan ponselnya. Menata kembali perasaannya yang tak menentu sebelum menoleh ke Kinara.
"Ki, Lo gak mau pulang?" tanya Anna pada Kinar, yang masih sibuk mengunyah roti bakarnya.
Sejak pulang kuliah, Kinar tidak langsung ke rumahnya tapi malah ke Apartemen Anna. Orang tua Anna berada di luar negeri. Jadi, dia hanya tinggal sendirian di Apartemen.
"Males ketemu Abang, gue nginep sini boleh ya."
"Em, bukannya gue gak mau nih tapi gue gak mau keluarga lo khawatir nantinya. Kalo lo emang mau, lo harus kabarin Abang lo Ki," runtut Anna.
"Gak mau An, lo udah tau kan masalah keluarga gue?"
"Iya gue ngerti, tapikan lo tetap gak boleh kek gini. Nanti kalo mereka nyariin gimana?"
"Bawel ish! Dramanya belum kelar juga, gada yang bakal nyariin gue kok!" ketus Kinara tak acuh. Namun, raut wajahnya menyiratkan sedih yang luar biasa.
"Ki-"
"Yaampun gue baper gilak sih, Abang Lee min ho romantis parah!" seru Kinar mengalihkan topik pembicaraan.
"Sotoy lu ah! Mana ada Lee min hoo, itu yeo jin goo geblek! Paan baper? Orang lagi dikejer setan, lo gak pinter boong sih."
"Rese! Sana tidur! Gue masih mau nonton!" titah Kinar sembari melempar guling ke pangkuan Anna.
"Dihh sejak kapan lo suka drama Jenab?"
"Yaudah, gue pulang aja deh," ujar Kinar serius.
"Tuh kan ngambek!"
"Gue serius An, gue pulang ya."
"Lah si ogeb, udah tengah malem Kinar! Kalo mau pulang tuh dari tadi, astaga anak orang!" omel Anna.
"Yaudah sih berisik banget! Mau nganterin gak? Kalo gak mau gue jalan kaki nih!"
"Anak manja sok mau jalan kaki," ledek Anna.
"Gue gak manja! Buruan mau nganterin gak?"
"Iya ihh sabar Kinar, heran gue berasa pesuruh lo mulu."
"Kan lo temen gue An,"
"Garis bawahi 'temen' bukan kacung!"
"MAU NGANTER GAK?"
"IYA SABAR NAPA?!"
Setelah turun dari mobil Anna, Kinara beranjak masuk ke dalam rumahnya. Untung saja ia selalu membawa kunci rumahnya, di dalam tas sekolah.
Awalnya Ia pikir tidak ada orang di rumah, karena Papa dan Kakaknya sedang berada di luar kota. Lalu Alan? Ada atau tidaknya di rumah, dia tidak akan mempedulikan Kinar.
Namun dugaannya keliru, Reno sedari tadi sudah menunggunya di ruang keluarga. Kinar melewati Reno seolah tidak orang sama sekali di sana.
"Dari mana saja kamu Kinar?" Suara bariton itu menghentikan pergerakan Kinara.
"Rumah temen!" ketus Kinara tanpa membalikkan wajah.
"Ke rumah teman sampai tengah malam begini?"
Kinara menoleh. "Bukan urusan Anda!"
"Jaga bicara kamu!"
Kinara memalingkan muka, detik berikutnya ia melanjutkan langkah menuju tangga.
"Kinara! Papa sedang bicara dengan kamu!" bentak Reno, membuat jantung Kinara berdegub lebih kencang.
"Apa lagi? Apa peduli Anda?"
"Kamu itu anak perempuan, tidak seharusnya kamu pulang selarut ini!"
Jantung Kinar berdebar namun, meski begitu ia masih bisa memasang tampang datar.
"Apa hak Anda melarang saya? Anda bisa melakukan semua yang Anda mau, begitu juga saya boleh melakukan apa yang saya inginkan!"
"Kinara jaga ucapan Kamu!"
"Apa ada yang salah dengan ucapan saya? Anda tidak pernah mengajari saya etika berbicara, lalu apakah pantas Anda mengingatkan saya tentang itu?"
"Kinara cukup!" Suara Reno naik beberapa oktaf membuat mata Kinara memanas.
"Jangan usik kehidupan saya maka, saya tidak akan ikut campur urusan Anda. pedulikan saja wanita simpanan Anda!"
Dada Reno terasa sesak, hampir saja tangannya melayang jika tidak bisa menguasai dirinya.
Kinara kembali menaiki tangga dan terhenti ketika Alan menghadangnya dari arah yang berlawanan.
"Minggir Bang!"
Kinara mendorong tubuh Alan ke samping namun, Alan kembali menggeser tubuhnya ke tengah, untuk menghalangi jalan Kinara.
"Kinar bilang minggir!"
Alan menyilangkan tangan di depan dada dan menatap nyalang Kinara bagaikan seorang musuh.
"Lo udah kurang ajar sama Papa, gue gak bakal biarin lo pergi sebelum minta maaf ke Papa!"
"Dia gak butuh maaf dari gue!"
"Jaga bicara Lo Kinar, jangan bikin gue emosi!" bentak Alan.
"Gak usah ikut campur bang!" sengit Kinar tak kalah nyaring.
"Urusan Papa urusan gue juga! Lo udah bikin papa sakit hati dengan sikap lo yang kurang ajar begini. Itu artinya Lo berurusan sama Gue!"
"Gue gak peduli!" Kinara mendorong keras tubuh Alan dan kembali melangkahkan kaki menuju kamarnya. Namun teriakan Alan lagi lagi menghentikan pergerakan kakinya.
"Kinar gue belum selesai sama Lo!"
Kinar kembali menoleh, namun tatapannya bukan jatuh kepada Alan melainkan pria yang tengah mengurut kening di bawah sana.
"Anda tidak perlu lagi ke rumah ini, urus saja kehidupan Anda di luar kota!"
"KINARA CUKUP!" kali ini Alan terlihat benar-benar emosi dengan napas yang memburu.
Kinara memalingkan wajah ketika teriakan Alan kembali menggema di seluruh penjuru ruangan. "Lo emang gak tau di untung, Lo gak tau diri! sikap lo udah nunjukin kalo lo cuma anak pungut!"
Hanya sebuah kalimat, tapi mampu membuat tubuh itu membeku di tempat. Kinara tidak mampu membalas, sebaris kalimat itu mampu meruntuhkan nyaris seluruh pertahanannya. Lemah, Kinara menoleh, seketika cairan bening meluncur bebas dari sudut matanya.
Perkataan Alan bagaikan godam yang dalam sedetik mampu meruntuhkan dunia Kinara. Tubuh itu masih terdiam, hanya air mata yang mewakili ribuan pertanyaan yang membenak di dalam dada.
Tubuh Kinara melemas lalu luruh ke kabin tangga. Beberapa menit mengurai sesak. Dengan sisa tenaga yang tersisa, Kinara bangkit menapaki satu persatu anak tangga menuju lantai bawah.
Kinara berujar dengan suara parau, "Abang bohong kan? Kinara barusan salah dengar kan?"
"Apa yang gue bilang itu kenyataan, Lo cuma anak pungut di rumah ini, Lo anak pungut!!"
"Itu semua tidak benar Kinara, Kamu putri keluarga ini." Suara Reno kembali terdengar, pernyataan yang semuanya kebohongan. Kinar tau jika papanya sedang berbohong, mata itu tidak pernah bisa membohongi Kinara.
Tapi sekali saja, ia ingin pura-pura tidak mengerti. Ia ingin pura-pura, tidak mendengar perkataan kakaknya. Atau jikalau bisa ia ingin pura-pura lupa.
Kinara terus melangkah melalui Alan.
"Abang bohong kan pa? Abang lagi marah makanya bilang begitu, iya kan Pa?" Air mata Kinara terus berderai, diiringi isakan yang mampu mencabik hati Reno.
"Lo tau kapan gue bohong dan kapan gue berkata jujur Kinara, Papa ataupun gue gak pernah bisa bohongin Lo!"
"Kinar gak denger apa-apa." Kinara menutup kedua telinganya erat dan memejamkan mata.
"Terserah lo mau denger atau nggak! Gue hanya akan bilang kebenarannya. Lo bukan anak Mama, Lo bukan darah daging Mama dan Papa!"
"CUKUPP! BERHENTI BANG."
"Lo dibesarkan di rumah ini hanya karena belas kasih Mama."
"Jangan bicara lagi, please."
"Sekali lagi gue tegasin lo cuma anak pungut di keluarga ini Kinara! Jadi berhenti bersikap seolah lo berharga, berenti buat masalah! Lo bukan tuan Putri!"
"STOP IT!"
"LO ANAK PUNGUT KINARA!"
"Alan hentikan!" Reno memegangi dadanya, hampir saja dia terjatuh jika Alan tidak sigap menopang tubuhnya.
Kinara berlari menaiki tangga dengan derai air mata yang enggan berjeda. Matanya sembab, pandangannya kian memburam. Dia membanting keras pintu kamarnya sebagai penolakan terhadap kenyataan. Kinara ambruk ke lantai, memukul-mukul dadanya yang kian sesak.
Kepalanya berdenyut nyeri, sesuatu di dalam tubuhnya kian berontak menyakiti raga yang kini tanpa daya. Sepanjang malam yang ia lakukan hanya menangis, sampai pagi tiba.
Salam dunia oren🧡