"Hujan menurunkan air dan kerinduan, air yang tergenang dan hati yang mengenang."
****
Hiruk pikuk hujan belum berhenti, malah semakin deras. Entah langit yang sedang bersedih atau karena Ia sudah terlalu rindu pada sang Bumi. Malam ini jalanan nampak lengang. Hanya terdengar rinai hujan dan riuhnya kecipak air yang diterjang kendaraan.
Sembari menunggu Abangnya datang, Kinar berlari menuju sebuah ruko yang tertutup lalu berdiri di sana. Setidaknya atap ruko ini cukup melindungi tubuhnya dari guyuran hujan walau tidak sepenuhnya, karena sepatu dan celana Kinara sudah basah akibat cipratan air yang diterjang kendaraan.
Sial, jika tau akan turun hujan sudah pasti Kinar tidak akan memilih berjalan kaki menuju Minimarket. Letak rumahnya memang tidak bisa dibilang jauh dari tempat ini, tapi untuk berlari menembus hujan bukanlah pilihan yang tepat.
Kinara mendesah panjang, andai dia tau akan turun hujan maka dia akan membawa payung dari rumah. Sayangnya tidak ada yang bisa memprediksi, langit penuh dengan teka-teki.
Kinara menghela nafas berat seraya mengetuk-ngetukkan jari pada ponsel hitamnya yang sudah mati. Menunggu, hanya itu yang bisa Dia lakukan. Bosan? Tentu. Tidak ada yang betah untuk menunggu bukan? Sudah pukul enam petang, langit sudah berganti warna sebentar lagi akan gelap sempurna, namun belum ada tanda-tanda kehadiran orang yang dinantikannya.
Kinar kembali melirik arloji di pergelangan tangan kirinya karena malam hampir datang. Jalanan di sekitarnya sudah semakin sepi, beberapa pedagang asongan sudah selesai membereskan dagangannya dan telah pergi meninggalkan tempat itu.
Kinara menengadah menatap langit dengan sendu.
Dulu setiap kali hujan datang, Kinara kecil akan berlarian keluar rumah menyambut air langit dengan penuh sukacita. Ia akan menari dan bermain bersama Abangnya di bawah jutaan air.
Alasan mengapa kehidupannya dulu begitu bahagia karena orangtuanya tidak pernah membatasi waktu main, serta tidak melarang anak-anaknya untuk melakukan hal yang mereka suka. Selama mereka bisa mengatur waktu untuk beristirahat dan menyelesaikan kewajiban. Termasuk bermain hujan, Mamanya tidak pernah marah setiap kali Kinara merengek ingin mandi hujan di halaman bersama Alan.
Tiiinnnnn
Bising klakson kendaraan bermotor memecah lamunan Kinara yang entah sudah berlangsung berapa lama. Hujan memang hebat selalu berhasil melemparnya pada kenangan masa yang lalu.
Kinara mengusap bulir bening yang berhasil lolos dari sudut matanya. Ia memijit kepalanya yang tiba-tiba pusing. Guyuran air deras membuat bayang-bayang luka lama itu kembali melintas.
Hujan, genangan, teriakan, benturan, ledakan petasan, mobil, jalanan, darah....
Ctarrrrrrrr!!
Kinara menutup telinganya sekuat yang ia bisa, dia jatuh meringkuk memeluk kedua lututnya.
Tidak! dia tidak boleh lemah, tidak! jangan di sini, jangan sekarang, jangan lagi.
"Jangan lagi Tuhan, kumohon! Hentikan kemarahan langit, hentikan kenangan itu."
Kinara menetralkan napasnya berulang kali, mengatur ritme jantungnya untuk lebih tenang. Dia bisa melewati zona itu, dia pernah berhasil keluar dari zona terkutuk itu dan sekarang dia pasti bisa mengatasinya. Kinara memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan.
"Ayolah Kinara."
Perlahan kenangan itu memudar, ketakutan itu menghilang. Kinara membuka kedua matanya menghirup angin malam yang menerpa wajah pucatnya.
Detik berikutnya deru motor memenuhi indra pendengaran membuat Kinar menaikkan pandangan karena mengira yang datang adalah Abangnya, Alan. Namun seketika itu juga harapannya pupus. Pasalnya yang datang bukan Abangnya melainkan seorang cowok dengan balutan celana jeans dan jaket hitam, siapapun itu dia tidak ingin tahu.
Laki-laki itu mengambil posisi di sebelah Kinar ikut berteduh di bawah atap yang sama dengannya. Kinara membuang pandangan menatap sneakers nya yang basah. Dia sama sekali tidak berniat untuk berdiri, tetap pada posisi yang sama bersandar pada dinding ruko seolah pasrah tubuhnya diguyur hujan malam.
"Kinar?" Seru cowok itu membuka suara.
Karena merasa terpanggil, Kinar mengangkat kepala menatap manik cowok di sampingnya, cowok yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya.
"Kak Vero," sahut Kinar sedikit terkejut.
"Lo ngapain di situ?"
"Lagi mancing!" Ketus Kinar sembari membangunkan tubuhnya untuk berdiri di sebelah cowok itu.
"Gue baru tau ikan hidupnya di comberan." Kinar hanya mengedikkan bahu.
"Ngapain sih lo ikutan di sini?"
"Emang siapa yang ngelarang? nih ruko bukan punya nenek moyang lo kan?"
Kinara mendengus, lalu melotot tajam. "Iya ini Ruko punya manusia yang sekarang bereinkarnasi jadi papa gue, so ni tempat punya nenek moyang gue!"
Vero menatap lurus, mengunci sorot gadis itu membuat Kinar hampir terlonjak. Tapi lupakan, tidak penting degupan jantung atau desiran darahnya cowok itu tetaplah menyebalkan.
"Oke berarti gue harus izin ke makam nenek moyang lo, dimana?" goda Vero.
"Ihhh kok Lo nyebelin banget sih?!"
"Kok jadi gue yang nyebelin? jelas-jelas Lo yang ngelarang gue."
"Berisik!"
"Lo kenapa gak ngabarin gue setelah pulang dari rumah Dimas?"
Dahi Kinara berkerut. "Emangnya harus banget gue laporan sama Lo?" Vero mengacak gemas puncak kepala Kinara yang sedikit basah.
Dia menatap ke arah pundak Kinar yang sedikit bergetar, jelas sekali cewek itu sedang menggigil karena hawa dingin disini mulai merayap menusuk tulang.
"Hujan jahat ya?" Tiba-tiba saja dia kembali bersuara.
"Ngomong sama gue?"
Tanpa menoleh Vero tersenyum sambil menjawab dengan santai,
"nggak, sama jalanan."
"Oh kirain."
Vero tersenyum lagi lalu sebelah tangannya terulur mengacak puncak kepala Kinara.
"Hujan jahat, suka dateng di saat yang nggak tepat."
"I dont think so, karena gak ada waktu yang gak tepat, semuanya udah jadi ketentuan langit, dan gue suka Hujan kapanpun dia mau datang," balas Kinara menatap langit malam.
"Tapi sekarang hujan menyeramkan," lanjutnya dalam hati.
"Kalo Lo beneran suka Hujan, kenapa harus berteduh?" tanya Vero penasaran.
"Gak ada pertanyaan yang lebih berbobot? Gue berteduh bukan karena gue gak suka Hujan, tapi karena gue gak mau sakit!"
"Kalo Hujan bisa bikin Lo sakit, kenapa masih suka Hujan?"
"Bawel banget sih Kak! sakit itu bukan karena Hujan, tapi karena Tuhan. Semuanya Dia yang ngatur. Sehat, sakit, hidup bahkan mati sekalipun udah jadi ketentuan Tuhan. Hujan cuma perantara, lalu kenapa gue harus benci Hujan sekalipun dia bisa buat gue sakit? Toh dia hanya menjalankan tugas."
Seperti malam ini, Hujan menjadi perantara pertemuan Kinar dengan Vero. Jika saja malam itu tidak turun hujan, Kinar tidak akan berteduh disini dan tidak akan mungkin bertemu dengan cowok itu lagi. Hujan malam ini ditakdirkan Tuhan untuk mempertemukan mereka.
"Good girl." Vero mengacak rambut Kinara sekali lagi.
"Kak Vero kenapa sih suka banget ngacakin rambut gue?"
"Karena Lo jelek!" goda Vero lagi membuat Kinar bersungut kesal.
"Seenggaknya gue masih sangat bersyukur...." Kinara menjeda kalimatnya membuat vero menautkan alis.
"For?"
"Bersyukur... Karena hujan masih aer."
"Anjay... Saae lu Marpuah."
Kinar tertawa sampai akhirnya terdiam ketika kilat kembali menyambar.
Hampir dua jam hujan mengguyur kota jakarta namun belum ada tanda akan reda.
"Lo pulang sama siapa?"
"Udah minta jemput Abang, tapi gak tau dia mau apa enggak."
"Pulang bareng gue," ajak Vero.
"Gue gak mau pulang ke rumah Kak Vero!"
"Buruan gue anterin ke rumah kinara."
Kinar menengadahkan tangan memastikan hujan yang mulai mereda. "Masih hujan."
"Udah malem."
'dasar cowok gak peka!'
"Dingin." Kinar menatap Vero dengan mata berbinar.
Vero melempar jaketnya tepat mengenai muka Kinara.
"Gue gak butuh," sungut Kinara, mengembalikan jaket kepada pemiliknya.
Tiba-tiba saja Vero menyampirkan jaket di tubuh Kinara membuat cewek itu sedikit kaget dan menolehkan kepala ke arah Vero. Cowok itu tersenyum, senyum yang memabukkan siapa saja yang melihatnya. "Baju Lo nerawang."
"Ayo!" tutur Vero sembari menarik pergelangan tangan Kinara menuju motornya.
Dia Vero Angkasa, cowok populer yang tampak biasa di mata Kinara. Cowok yang digilai hampir seluruh Mahasiswi di Umarta. Dia bukan bad boy seperti karakter novel remaja yang sering Kinar baca, bukan good boy dengan segudang prestasi juga bukan cowok cupu yang berkacamata tebal.
Dia hanyalah Vero, cowok menyebalkan, Wakil Presma tapi bandel di Kampus mereka. Dia senior galak sekaligus humoris, tapi yang jelas dia bukan Dilan karena Vero bukan seorang peramal.
"Ki," panggil Vero yang sedang fokus ke jalanan.
"Apa?!" Balas Kinara jutek.
"Kalo naik motor gue harus meluk!"
"Idihhh gak usah modus! Tangan gue mahal!"
"Gak usah gengsi, bilang aja Lo pengen meluk gue kan? Cewek satu Kampus juga pada ngarep diboncengin gua," goda Vero sembari tersenyum jahil.
"Menurut lo gue cewek apaan main peluk sembarangan, minta peluk sono sama pacar lo!"
"Yaudah ... ayo pacaran!" Vero berujar di tengah bising kendaraan namun Kinar bisa mendengar jelas setiap katanya. Kinara merasa tubuhnya menegang seketika. Dia kehabisan kata-kata karena terlalu surprised dengan kalimat Vero.
Vero menyadari Kinara yang salah tingkah, dia tersenyum dari kaca spion.
"Gimana?"
"Apanya yang gimana? Lo tadi bilang apa?" tanya Kinara memastikan.
Vero berteriak di tengah gemercik, "Kinara lo mau kan jadi pacar gue? Tapi syaratnya lo gak boleh tinggalin gue?"
'ini Vero beneran nembak gue?'
Kinara masih mencerna semuanya, apa Vero lagi mabok? Atau jangan-jangan dia bohong lagi seperti di ruang musik tempo hari.
"Kak Vero gue gak suka di bohongin."
"Gue serius."
"KAK VERO KOK LO GAK ROMANTIS SIH? BUNGA SAMA COKLATNYA MANA?"
Vero tertawa geli, Kinara bisa melihat mata cowok mengerling jahil dari kaca spion.
"Malem sayang, bunganya nyusul."
Kinara terdiam cukup lama, entah mengapa malam ini rasanya sangat indah. Bintang gemerlap kembali muncul menghiasi langit setelah hujan menghilang, lalu bulan tiba-tiba hadir disana. Senyumnya merekah secerah sabit malam ini.