Bu, Ajari Aku untuk Mencintaimu Seutuhnya
Nama lengkapku Nisa Rahmadani tapi teman-teman dekatku lebih sering memanggilku Ica. Aku siswi kelas XI di salah satu Madrasah Aliyah di kotaku. Aku bukan siswa yang berprestasi atau hebat dalam bidang tertentu, aku hanya siswa biasa yang memiliki hari-hari yang dipenuhi tugas sekolah seperti siswa-siswa lainnya. Satu hal yang selalu aku syukuri dalam hidupku adalah memiliki keluarga yang hangat dan menyenangkan. Aku dulu berpikir bahwa hal tersebut pasti dimiliki setiap orang di dunia ini tapi setelah melihat dan mendengar begitu banyak keluh kesah dari teman-temanku akupun sadar bahwa uang ataupun kekuasaan tak akan memberikan kenyamanan dan kebahagian seperti memiliki keluarga yang selalu ada setiap waktu untukmu.
Hari ini Ibu memasakkan makanan kesukaanku, dadar telur untuk sarapan pagi ini. Aku yang sedang memasang kerudung dipanggil untuk segera sarapan dan bergegas pergi ke sekolah. Akhir-akhir ini aku sengaja telat pergi ke sekolah untuk membantu pekerjaan rumah seperti menyapu dan membereskan kamarku tapi alasannya sebenarnya adalah aku ingin berlama-lama bersama Ibu. Aku memiliki dua orang Kakak yang sedang sibuk menuntut ilmu di salah satu perguruan tinggi di Indonesia sedangkan Ayah sejak pagi sudah sibuk bersiap berangkat kerja. Dengan senyum manis aku menyalami tangan Ibu yang selalu lembut dan penuh kehangatan.
Setiba di sekolah, teman-temanku sudah seperti biasa berkumpul disudut ruangan dan mulai bercerita tentang film atau drama korea yang sedang booming saat ini. Akupun segera bergabung dan mulai mendengarkan cerita serta celotehan mereka hingga sepuluh menit kemudian bel tanda masuk berbunyi. Pelajaran pagi ini seperti biasa diawali dengan pelajaran matematika yang selalu menjadi “obat tidur” untuk sebagian teman-teman dikelas. Aku fokus memperhatikan papan tulis hingga Miza temanku memegang bahuku dan membisikkan sesuatu, aku awalnya hanya cuek dan tak mempehatikan namun yang terjadi malah teman-teman di belakangku semakin tertawa terbahak-bahak hingga mengalihkan perhatianku. Lihatlah tepat dibelakangku mereka sedang asyiknya memperhatikan seorang teman yang tanpa merasa bersalah tidur dengan nyenyak dengan lengan sebagai bantalnya. Bukan itu pemandangan yang sedang mereka tertawakan tapi kemunculan fenomena “air terjun” yang mereka secara gamblang menyebutnya air terjun antar samudera. Terganggu dengan keributan orang-orang di sekitanya ia pun bangun dan mendapati wajah kami dipenuhi gelak tawa dan aku sontak menunjuk tepat ke dagunya yang basah oleh “air terjun” yang tak terduga itu. Sontak saja teman-teman yang lain semakin menjadi-jadi mengolok-oloknya.
Aku masuk ke dalam kamar dan segera melemparkan tubuh ke atas kasur setelah pulang dari sekolah. Telepon genggamku berdering dengan nada piano yang lembut dan menyentuh. Aku segera melihat ke layar telepon genggam dan nama seseorang yang tertera disana membuat jantungku berdegup kencang bahkan seketika rasa lelahku menghilang. Aku menggeser lembut garis hijau dilayar hingga terdengarlah suara seseorang yang sudah berbulan-bulan ini aku rindukan. Dia seseorang spesial yang selalu membuatku menunggu setia setiap panggilan teleponnya. Kami tak memiliki hubungan istimewa seperti remaja-remaja saat ini tapi kami tahu perasaan masing-masing. Kami bertemu ketika aku pindah ke sekolah dan kelas yang sama dengannya dua tahun yang lalu. Mungkin dua tahun yang lalu adalah masa tersulit bagiku untuk mengontrol hatiku yang kadang aku sendiri tak mengerti mengapa bisa hati dan pikiranku selalu tertuju pada orang yang sama setiap harinya. Setahun berada di dalam kelas yang sama denganya memberikan kenangan yang manis dan sulit untuk dilupakan. Bagaimana mungkin dua orang yang berada dalam kelas yang sama selama hampir setahun bahkan selalu bertemu setiap enam hari dalam seminggu tapi tak pernah saling bicara sekalipun dan hanya mampu saling melihat dari jauh. Kami saling mengagumi dan saling bertukar tatapan tapi satu tahun itu hanya berakhir dengan senyuman kecil tanda perpisahan yang menyakitkan karena mungkin kami tak akan bisa bertemu seperti biasa di dalam kelas karena kami akan melanjutkan pendidikan ke sekolah yang berbeda.
Aku segera terbangun dari lamunanku ketika ia memanggilku dari ujung sana. Kami berbicara banyak hal mulai dari bertanya kabar, aktivitas sehari-hari hingga kejadian lucu yang aku alami di sekolah. Tak kusadari Ibu sudah muncul di bingkai pintu kamar menyuruhku segera makan siang dan bertanya dengan siapa aku berbicara di telepon, aku menjawab singkat “ Teman, Bu”. Ibu hanya mengangguk lalu segera berlalu meninggalkan aku yang tak menyangka Ibu akan muncul tiba-tiba seperti itu. Aku mengakhiri panggilan itu sekitar sepuluh menit kemudian. Ada perasaan aneh yang muncul di hatiku seperti takut dan cemas jika Ibu tau aku sedang dekat dengan seseorang. Keluargaku sangat disiplin tentang masalah agama dan pendidikan. Aku tau bahwa orang tuaku amat melarang hubungan seperti pacaran atau dekat dengan seorang laki-laki yang bukan mahram tapi aku yang saat itu sedang dalam romantisme percintaan remaja hanya menganggap bahwa mereka terlalu berlebihan dan akupun berpikir toh aku tak melakukan sesuatu yang dilarang seperti bertemu, berduaan ataupun melewati batas seperti remaja lainnya. Aku berasal dari keluarga yang baik-baik dan sudah diajarkan tentang agama sejak kecil hingga tak ada dalam benakku untuk melakukan hal-hal yang Allah benci. Saat itu aku beralasan bahwa kami hanya sebatas berbicara lewat telpon genggam dan tidak lebih. Benar-benar alasan yang hingga kini masih aku sesali.
Esok harinya tepat hari Ahad aku meminta izin kepada Ibu untuk pergi berkumpul dengan teman-teman semasa di Madrasah Tsanawiyah. Ibu hanya mengangguk pelan dan menyuruhku bergegas pulang jika acaranya sudah usai. Aku berpamitan dari luar rumah untuk terakhir kalinya. Aku sampai disalah satu kafe yang sedang ramai-ramainya dibicarakan remaja-remaja di kota kami setelah dua puluh menit menit berkendara dari rumah. Satu jam aku menunggu sia-sia karena tak ada seorangpun yang datang padahal kami sudah sepakat akan berkumpul di kafe ini pada jam 09.00 pagi. Lelah menunggu akupun melangkah keluar kafe dan berkendara pulang dengan perasaan kecewa dan marah. Setiba di rumah aku yang masih kesal langsung memilih memejamkan mata daripada berusaha menghubungi teman-temanku itu.
Aku mencoba membuka mata dan mengembalikan kesadaranku. Tanganku tanpa perintah sudah mencari-cari telepon genggam seketika aku melihat pukul 14.00 tertera dilayar. Langsung saja aku terbangun dan bergegas mengambil wudhu untuk segera melaksanakan sholat dzuhur. Setelah sholat aku tiba-tiba merasa heran kenapa tidak ada yang membangunkan. Akupun berjalan mengambil al-Qur’an untuk mengulang hafalan tapi tiba-tiba aku mendengar isak tangis yang aku kira berasal dari pekarangan belakang rumah. Aku meletakkan kembali al-Qur’an ditempat semula dan berjalan perlahan menuju belakang rumah. Dari jarak tiga meter aku bisa mendengar jelas Ibuku sedang menangis dengan Ayah yang mencoba menenangkan Ibu. Sayup-sayup aku mendengar percakapan mereka yang mengubah raut wajah dan perasaanku. Aku mundur beberapa langkah hingga berlari dan menutup pintu kamarku.
Air mataku menetes bahkan sebelum aku menyadarinya. Aku terduduk dengan memeluk lututku yang terasa lemah dan tak berdaya. Tangisanku makin menjadi hingga aku segera menutup mulut agar tak ada yang mendengarkan. Sore hingga malam itu menjadi hari yang amat panjang bagiku. Aku bahkan hanya keluar untuk mengambil wudhu untuk sholat ashar dan maghrib. Hatiku terasa sakit dan menyesal. Aku dengan bodohnya membuat Ibu yang amat aku cintai menangis dan mengkhawatirkan aku selama ini. Iya, Ibu tau tentang aku dan dia. Ibu bahkan ditengah isakan tangisnya mengatakan akan memindahkan aku ke sekolah yang jauh agar aku tak lagi berhubungan dengannya. Ibu bilang ia takut, takut akan masa depanku, takut akan aku yang selalu ditelepon olehnya bahkan takut jika tiba-tiba aku pergi dengannya dan tak pernah kembali. Aku melihat layar telepon genggamku yang sudah menunjukkan pukul 19.00 WIB. Mataku sembab tapi hatiku lebih perih oleh rasa penyesalan atas kebodohanku sendiri.
Akhirnya pagi datang walau seluruh isak tangis atas kesedihan masih bergelantung di mata-mata yang sembab tapi pagi selalu membawa kebahagiaan akan kehidupan yang lebih baik dengan sinar mataharinya yang indah. Aku beranjak keluar kamar setelah selesai memakai seragam dan merapikan peralatan sekolah hari ini. Aku berjalan perlahan menuju ruang makan. Ibu sudah duduk dengan Ayah di sampingnya. Aku mencium tangannya yang terasa kaku hari ini. Ibu mengawali percakapan hari ini dengan kata-kata itu “Ibu harap Ica tau apa kesalahan yang Ica perbuat. Jangan membuat Ibu mengkhawatirkan Ica setiap harinya. Ibu mohon jangan lagi Ca.” dengan mata yang mulai berkaca-kaca aku menjawab “Bu,,,,, Ica minta maaf. Sungguh Bu, sungguh Ica tak pernah bermaksud membuat Ibu sedih apalagi menangis. Ica menyesal Bu, maafkan Ica.” Air mataku sudah tak dapat lagi aku bendung. “Ibu tak ingin Ica menyesal, Ibu hanya ingin Ica bahagia dengan cara yang baik dan halal. Lihatkan betapa hebat sosok Ayahmu. Ia membimbing dan menjadi imam yang hebat dalam keluarga ini tapi Ibu tak mendapatkan Ayah dengan cara yang justru dibenci Allah. Allah mempertemukan dan menyatukan dua insan yang berbeda dengan cara yang baik yaitu pernikahan. Perempuan baik-baik akan mendapatkan laki-laki yang baik pula sebagai jodohnya. Jadi tak perlu khawatir seseorang itu jodoh kita atau bukan, jika kita baik dan sholehah insyaAllah jodoh kita juga akan seperti itu”. Ibu berkata dengan suara yang lirih. Aku segera memeluknya, menangis sekuat-kuatnya di pundaknya. “Bu, Ica mencintaimu sungguh Ica amat mencintaimu Bu.” ucapku dalam hati.
Sepulang sekolah aku pergi ke mini market di dekat sekolah. Aku membeli beberapa roti dan keripik kesukaan Ibu. Aku tiba di rumah dengan perasaan yang jauh lebih baik. Aku segera makan siang dan mengganti seragam sekolah. Aku menghampiri Ibu yang baru saja menyelesaikan sholat ashar. Aku menatap wajahnya yang tak lagi muda. Ibu memegang tangaku dan berkata “Ibu tak ingin Ica menjadi orang yang mengejar kesuksesan hingga ke ujung negara yang jauh. Ibu tak ingin semua orang di dunia ini mengenal Ica sebagai orang yang hebat dan patut dibanggakan. Ibu hanya ingin Ica menjadi anak perempuan Ibu yang tetap semangat belajar agama dan terus berusaha menjadi pribadi yang Allah ridhoi. Karena di akhirat nanti, bukan harta maupun kekuasaan yang akan membawa Ibu masuk surga tapi anak yang soleh dan sholehah lah penyelemat Ibu di sana.” Aku menatap wajah Ibu yang tersenyum begitu indah. “Bu, aku akan menjadi anak yang baik bagi agama maupun keluarga dan aku akan berusaha menjadi penghafal al-Quran suatu saat nanti sehingga aku bisa membuat Ayah dan Ibu duduk di singgasana dengan mahkota yang indah di surga karena hafalanku Bu.” Jawabku dengan air mata yang lagi-lagi tak dapat kutahan. Ibu memelukku dan akupun dengan suara yang lirih berkata “Bu, terima kasih telah mengajariku untuk mencintaimu seutuhnya. Terima kasih telah menjadi guru pertama dalam hidupku. Terima kasih untuk semua cinta dan kasih sayangmu Bu.”
Sore itu aku mengetikkan pesan di telepon genggamku.
Assalamu’alaikum wrwb aku tahu tentang perasaan dan kebahagiaan yang kita lewati selama ini tapi aku belajar bahwa memilikimu bukan dengan cara yang bodoh dan salah seperti ini. Jika kau adalah jodoku maka kau akan datang padaku suatu saat nanti tapi jika bukan kau maka ada seseorang yang lebih baik yang telah Allah persiapakan untukku. Aku ingin menyelesaikan segalanya tentang kau dan aku karena aku ingin belajar untuk mencintai Ibuku seutuhnya. Semoga Allah selalu memaafkan kesalahan-kesalahan aku ataupun kau padaku. Wassalamu’alaikum wrwb.
=TAMAT=