Minggu ujian tengah semester telah selesai, membuat para murid berbahagia dengan hal tersebut. Belum lagi kompetisi antar kelas yang sudah mereka nanti-nanti akhirnya dimulai. Jauh-jauh hari bahkan saat ujian berlangsung, para anggota OSIS dan klub-klub yang ada di sekolah mulai mempersiapkan diri untuk menggelar acara perlombaan.
Untuk OSIS sendiri tengah sibuk memilih kandidat ketua OSIS selanjutnya, membuat jadwal mereka menjadi lebih padat dari biasanya. Para calon ketua OSIS sudah memulai kampanye mereka sejak sebelum dimulainya kompetisi antar kelas. Kampanye dilakukan selama lima hari, membuat hari pertama kompetisi antar kelas menjadi hari pemilihan ketua dan wakil ketua OSIS yang baru.
Hari kedua menjadi hari resmi dilaksanakannya kompetisi antar kelas selama dua minggu. Para murid sangat antusias untuk menjadi perwakilan kelas mereka dalam bertanding dengan kelas lainnya.
Bio sendiri mewakili kelas MIPA 4 dalam kompetisi basket putri dan taekwondo putri, gadis itu sendiri yang menyatakan mampu untuk berpartisipasi dalam kedua kompetisi tersebut. Lyn mengajukan dirinya untuk ikut kompetisi e-sport, gadis itu sangat bersemangat saat mendengar jika kompetisi tersebut diadakan pada kompetisi antar kelas ini. Lane sendiri yang tergabung dalam klub PMR bertugas untuk menjaga ruang kesehatan dan juga sebagai staff kesehatan yang memberi pertolongan pertama jika ada peserta lomba yang cedera atau memiliki gangguan kesehatan lainnya.
Sedangkan Lili kini tengah nerveous sebab dirinya tengah menunggu tes wawancara bagi para murid yang ingin menjadi anggota OSIS. Gadis itu terus menerus mengusap-usapkan kedua tangannya, berusaha menghilangkan kecemasannya. Lili juga terus menggumamkan doa agar dirinya dapat tenang, namun tetap saja kecemasan menghantui dirinya.
“Jangan nerveous Lili, lo pasti bisa, ini cuma wawancara kok.”
Tiba-tiba ada sebuah tangan yang menyodorkan tisu padanya, membuat Lili menoleh ke arah datangnya tisu tersebut dan menemukan jika Chiv duduk tepat di samping dirinya. Pemuda itu sama-sama membawa map photoprofil yang diperlukan untuk tes wawancara OSIS.
“Chiv? By the way, thanks tisunya.” ucap Lili sambil mengambil tisu di tangan Chiv, kemudian mengusapkannya pada tangannya yang berkeringat sedari tadi karena nerveous.
“Lo juga daftar OSIS?”
“Iya, OSIS itu target gue ngomong-ngomong.” jawab Chiv.
“Sama dong? Gue juga nargetin OSIS waktu MPLS. Terus ekskul lo gimana? Masih terus lanjut?”
“Lanjut sih, lagipula basket latihannya fleksibel, gue sendiri juga nggak ngerasa terbebani dengan itu. Lo sendiri? Klub musik masih lanjut?”
“Kok lo tau kalau gue masuk klub musik? Kan gue nggak pernah ngomongin ini ke lo.”
“Gue nggak sengaja liat lo main piano di ruang musik, lagipula waktu itu pintunya kebuka dan lo lagi mainin piano, yaudah gue nonton aja.”
“Anjir lah, malu banget gue, permainan piano gue nggak sebagus itu buat ditonton.”
“Nggak bagus apaan njir?! Lo itu udah setara dengan profesional tau nggak.” Tentu saja Chiv tak akann percaya dengan ucapan Lili, mana ada amatis yang bermain sebagus gadis itu, para anggota klub musik bahkan Julian yang terkenal pemilih dalam memilih anggota saja sampai bertepuk tangan setelah mendengar permainan Lili.
“Nggak lah, nggak sebagus itu.”
“Ye, nggak percaya.” Lili hanya tertawa mendengar jawaban Chiv.
“Oh iya, kemaren wakil ketua yang kepilih itu kembarannya Lyn, temen gue.”
“Iya, Ven kan? Dia temen gue. Si Ven juga cerita kalau dia punya kembaran cewek yang juga sekolah di sekolah ini. Gue sendiri nggak nyangka kalau adeknya Ven temenan sama lo.”
“Gue sama Lyn aja sekelas waktu MPLS. Lyn itu temen pertama gue di sekolah ini.”
“Yang bener? Lo sepopuler itu padahal.
“Mana gue tau, pada takut kali.”
“Lilian Wagner, silahkan masuk ke ruang wawancara.” Tak lama kemudian nama Lili di panggil untuk memasukki ruang wawancara.
“Gue duluan, doain gue.”
“Aman.”
Lili kemudian melangkahkan kakinya ke arah ruang wawancara dengan tangan memegang erat amplop yang berisi data diri itu. Wawancara dilakukan selama sepuluh menit setiap calon anggota.
“Chivalry Dananjaya, silahkan masuk ke ruang wawancara.” Tepat setelah Lili keluar dari ruangan, nama Chiv dipanggil untuk memasukki ruangan. Dengan saling menatap, Lili memeberi semangat dan diterima dengan baik oleh Chiv.
Lili sendiri kemudian memutuskan untuk pergi ke kamar mandi sebelum menghampiri Lyn dan Bio untuk makan di kantin. Setelah beberapa menit, Lili keluar dari kamar mandi dan menemukan Chiv tengah berdiri di seberang kamar mandi, pemuda itu sepertinya menunggu Lili.
“Lili.” panggil Chiv.
“Chiv? Lo ngapain di sini? Wawancara lo udah selesai?’
“Udah, gue pengen ngajakin lo ke kantin, nggak masalah kan?”
“Ke kantin? Ayo lah, gue haus banget dari tadi.”
“Tapi nggak masalah kan? Nggak akan ada yang marah kan ya?” tanya Chiv memastikan. Pemuda itu tidak ingin menjadi bahan amukan shipper Lili dan Hadden.
“Apaan dah? Nggak akan ada yang marah lah, emang siapa yang mau marah coba? Udah ayo, gue haus banget anjir.”
Lili dan Chiv kemudian berjalan bersama menuju ke kantin, membuat banyak pasang mata yang kini memperhatikan keduanya. Lili sendiri bodo amat atas semua itu, namun Chiv sendiri merasa tengah di kuliti hidup-hidup oleh tatapan tersebut.
Sesampainya mereka di kantin, keduanya dihadapkan dengan keadaan kantin yang cukup ramai. Menyadari tak mungkin Lili ikut mengantri untuk memesan, Chiv kemudian mencari tempat duduk terlebih dahulu agar keduanya dapat duduk.
“Li, gue aja yang mesen, lo duduk aja, biar nggak keambil tempatnya. Lo mau pesen apa?”
“Beneran nih?”
“Beneran lah, masa gue bohong.”
“Yaudah, gue pesen jus semangka aja, lagi nggak laper gue.”
“Okay, jus semangka satu, gue pesen dulu.”
Chiv kemudian meninggalkan Lili dan memesan minuman untuk mereka berdua. Setelah hampir duapuluh menit, Chiv kembali dengan kedua tangan memegang cup berisi jus, kanan milik Lili sedangkan kiri miliknya sendiri.
“Ini, jus semangka pesenan lo.” Chiv kemudian mendudukkan dirinya di kursi yang berseberangan dengan Lili.
“Thank you, antriannya panjang ya, sorry ngerepotin.”
“Enggak kok, santai aja kali, lagian kalo lo ikutan nanti yang ada malah nggak dapet tempat duduk plus lo-nya capek berdiri nanti.”
“Iya deh iya. Lo sendiri kenapa nggak pesen makanan? Emang nggak laper?”
“Nggak begitu laper gue, lagian sebelum wawancara gue di jejelin makanan sama Han.”
“Han?”
“Temen gue yang satunya, dia lagi ikutan lomba basket di gymnasium satu.”
“Ah okok, berarti lo nggak ikutan dong lomba basketnya?”
“Tenang sih, lagian kelas gue banyak yang masuk klub basket, jadinya gue santai-santai aja.”
Keduanya terus mengobrol sampai-sampai seluruh atensi kantin mengarah pada keduanya. Siapa yang tidak penasaran jika mereka melihat princess of school dapat mengobrol dengan santai bahkan tertawa dengan pemuda selain Hadden dan kedua temannya, paling-paling Lili hanya menyapa dengan senyuman, tak sampai sesantai itu dengan murid laki-laki lainnya.
Kebetulan sekali Hadden yang baru saja menyelesaikan pertandingan tiba-tiba datang ke kantin untuk membeli air minum sebab miliknya sudah dihabiskan oleh Lio. Pemuda itu tak menyangka jika akan mendapati Lili mengobrol dengan Chiv tanpa merasa canggung. Lili dan Chiv kini bahkan terlihat dekat sekali di mata Hadden, membuat pemuda itu cemburu.
Hadden kemudian langsung merebut minuman yang tengah Juven pegang dan meminumnya hingga tandas, tak menyisakan setetes pun untuk pembelinya. Juven sendiri hanya dapat menatap nanar minuman pesanannya yang kini tinggal wadahnya. Pemuda itu kemudian memesan kembali dan membayarnya. Hadden sendiri sudah keluar dari area kantin dengan ide yang tiba-tiba muncul di kepalanya, meninggalkan Juven yang menatap tajam sahabatnya itu.
“Anak setan.” batinnya.
*
*
*
Lili dan Chiv memutuskan untuk berpisah setelah mengobrol banyak. Chiv sendiri memutuskan untuk bergabung kembali dengan sahabatnya sedangkan Lili kini tengah mencari Lyn, gadis itu bilang bahwa ia menunggu Lili di depan lab komputer. Lili kemudian bergegas menghampiri Lyn yang terlihat sudah menunggunya cukup lama.
“Dah lama?”
“Santai aja, tadi ada anak-anak kelas juga kok.”
“Abis ini mau kemana? Gue pengen nonton pertandingan yang lain sih.”
“Ayo aja sih, nonton pertandingan basketnya Bio aja gimana? Gue denger tadi dari anak-anak kelas kalau kelas kita tanding sekarang.”
“Yaudah ayo, nanti biar makan siang bareng sekalian.”
Keduanya kemudian berjalan bersama menuju gedung gymnasiun satu, tempat dimana pertandingan basket diadakan. Sesampainya mereka di sana, Lili dan Lyn memilih untuk duduk di bangku penonton di lantai bawah agar lebih mudah untuk menghampiri Bio nantinya.
Dapat mereka lihat wajah serius Bio mengarahkan teman-teman satu timnya untuk mencetak poin. Saat waktu hampir selesai, dapat Lili lihat jika Bio melakukan shoot dari tengah lapangan dan berhasil mencetak tiga poin tepat saat peluit dibunyikan sebagai tanda berakhirnya pertandingan.
Seluruh tim langsung mengerubungi Bio dan mengekspresikan kekaguman mereka pada gadis itu. Bio sendiri hanya dapat terseyum canggung, dirinya tak terbiasa menjadi bahan kekaguman orang lain. Saat Bio melihat Lili dan Lyn yang tengah melambai ke arah mereka, gadis itu langsung pamit pada timnya dan mengambil tas miliknya yang tergeletak di sebelah bangku pemain lalu menghampiri kedua sahabatnya itu.
“Udah lama?” tanya Bio.
“Nggak begitu lama Bi, sekitaran waktu setengah pertandingan terakhir gue sama Lyn udah di sini.” jawab Lili.
“Lama dong kalau gitu? Kenapa nggak nunggu gue selesai tanding aja dah?”
“Elah, mana mungkin kita berdua ngelewatin buzzer beater keren punya lo tadi hah? Lo bener-bener keren tadi.” ujar Lyn.
“Kalian berdua liat shoot terakhir gue?”
“Jelas lah, gue nggak nyangka kalau sahabat gue bisa sekeren itu.” ucap Lyn.
“Udah Lyn, lo nggak liat muka Bio yang udah kayak udang rebus, merah semua.” ujar Lili sambil tertawa.
Dapat keduanya lihat jika wajah Bio kini telah memerah karena malu. Dipuji habis-habisan oleh kedua sahabatnya adalah hal baru bagi Bio, selama ini tak ada yang memuji kerja kerasnya, malah cenderung menyuruhnya berhenti bermain basket dan taekwondo, alasannya klasik, hanya karena dirinya perempuan.
“Udah-udah, nanti pingsan ni anak malah.” ujar Lili.
“Iya dah iya, abis ini mau kemana?”
“Ntar dulu kali Lyn, Bio baru selesai tanding masa mau langsung jalan lagi, biar istirahat dulu dianya.”
“Iya juga ya, sampe lupa gue.”
Ketiganya kemudian duduk di bangku penonton sambil memakan buah yang Bio bawa dari rumah. Lili dan Lyn sendiri tidak menyangka jika isi kotak bekal Bio kali ini adalah buah, biasanya gadis itu akan membawa makanan masakannya yang selalu menggugah selera.
“Nggak bisanya bawa buah Bi? Lo lagi mager masak ya?” tanya Lili sambil mengunyah semangka yang baru saja dia makan.
“Gue lagi nggak makan yang berat-berat dulu, takut muntah, kan gue baru selesai tanding, perut rasanya masih ke keaduk kalau maksain buat langsung makan makanan berat.”
“Oh gitu, gue kira lo lagi diet.”
“Diet gimana sih Li, lo nggak liat badan Bio sebagus apa? Gue aja ngiri.” celetuk Lyn.
“Nggak sebagus itu juga kali Lyn, ini mah efek karena gue ikut basket sama taekwondo aja.” ujar Bio.
“Tapi kan tetep bikin ngiri Bi.”
“Oh iya, wawancara tadi gimana Li? Lancar?” tanya Bio.
“Lah iya, gue lupa kalau lo tadi ada wawancara OSIS, gimana-gimana? Lancar dong pastinya.”
“Lancar dong pastinya, kan udah persiapan.”
“Wah, temen gue bentar lagi bakalan jadi anggota OSIS nih, bisa lah spill kalau ada razia sekolah.” ujar Lyn.
“Baru wawancara kali Lyn, belum tau bakalan diterima atau enggak.”
“Jangan pesimis gitu lah Li, gue yakin lo bakalan diterima, kan waktu itu udah latihan kan. Gue rasa latihan lo waktu itu udah bagus banget.”
“Iya deh, percaya gue sama omongan sahabat-sahabat gue.”
“Kalian mau nonton pertandingan lainnya nggak? Masa kita mau duduk di sini doang.” tanya Bio.
“Gue pengen nonton badminton, ada di gedung mana yak?” tanya Lili.
“Setau gue badminton ada di gedung gymnasium tiga, mau kesitu aja?” tanya Lyn.
“Yaudah kesitu aja, ayok.”
Ketiganya kemudian beranjak dari duduk dan berjalan menuju gymnasium tiga. Sesampainya mereka di sana, sudah banyak murid yang menonton pertandingan tunggal putra. Lili sendiri terlihat bersemangat saat kedua pemain mulai melayangkan smash andalan mereka serta strategi untuk mendapatkan poin.
Permainan berlangsung cukup lama sebab kedua pemain saling mengeluarkan kemampuan terbaik mereka, membuat rally permainan menjadi lebih panjang. Lili, Lyn, dan Bio lebih memilih duduk di bangku penonton atas sebab lebih leluasa melihat permainan yang tengah berlangsung.
Game berakhir dengan skor 19-21 dan 17-21, skor yang cukup ketat menurut Lili. Gadis itu kemudian beranjak dari duduknya, diikuti kedua sahabatnya. Saat akan berjalan, Lyn tidak sengja menabrak Bio yang tiba-tiba berhenti. Gadis itu ingin sekali memarahi sahabatnya itu namun diurungkannya saat melihat Bio tengah bersitatap dengan Andreas, kakak kedua Bio.
“Kalian ngapain disitu? Ayo keluar terus cari makanan, gue laper nih.” seru Lili memanggil kedua sahabatnya.
“Udah Bi, bang Andreas nggak akan naik kok, kita keluar aja.”
“Iya, gue tau kok.”
Keduanya kemudian bergegas menyusul Lili yang sudah keluar dari gymnasium. Ketiganya memutuskan untuk membeli makan siang mereka di stand kelas mereka. Memang selain adanya pertandingan, setiap kelas diwajibkan untuk membuat stand yang menjual apapun yang mereka inginkan, entah itu makanan atau barang-barang kerajinan. Kelas Lili sendiri memutuskan untuk menjual jajanan streetfood Jepang.
Sesampainya mereka di stand kelas, aroma wangi dari bumbu yang mereka gunakan langsung menguar dan membuat ketiganya semakin lapar. Dapat Lili lihat berbagai macam jajanan kaki lima khas Jepang yang membuat dirinya serasa ingin memakan semuanya.
“Lo mau beli apa Li? Gue yang bayarin dah hari ini karena menang.” ujar Bio.
“Wedeh, asik nih, gue juga kan?” Bio menggelengkan kepalanya, meledek Lyn.
“Ish kok lo pilih kasih gitu? Kan gue juga sahabat lo.” rengut Lyn.
“Bercanda Lyn, ambil aja yang lo mau, gue yang bayar hari ini.”
“Asik, gue beli yang mahal nggak masalah kan ya.” ucap Lyn sambil tertawa. Gadis itu kemudian memesan kakigori, es serut dengan berbagai pilihan rasa serta susu kental manis. Lyn sendiri memesan kakigori dengan sirup strawberry dan susu kental manis.
“Lili, lo nggak beli? Ambil aja, katanya lo laper tadi.”
“Beneran?”
“Bener Lili, lo tinggal pilih mau yang mana.” Bio sendiri tersenyum pada sahabatnya itu.
“Kalau gitu gue pesen yakitori aja satu porsi.”
“Gue pesen onigiri aja dua .”
Tak lama kemudian pesanan keduanya telah sampai di tangan mereka masing-masing, Bio kemudian membayar makanan tersebut. Ketiganya kemudian berjalan menuju kursi taman di bawah pohon rindang yang memang disediakan oleh sekolah.
Ketiganya duduk di sana sembari menunggu Lane datang sebab gadis itu kini tengah sibuk berkutat dengan pasien-pasiennya di ruang kesehatan. Tak lama kemudian Lane datang dengan masih memakai jubah putih serta tanda palang merah di lengannya, menandakan dirinya merupakan tim PMR sekolah.
“Udah lama?”
“Nggak juga, barusan kok.” ujar Lili. Lane kemudian duduk di sebelah Bio dan menenggak air dari botol minum Bio.
“Capek banget kah? Banyak ya pasiennya?” tanya Lyn.
“Banyak banget, mana tadi ada yang berantem dan berakhir pada babak belur. Ruangan kesehatan tadi bener-bener penuh sama pasien yang babak belur. Dan kalian semua tau nggak mereka berantem karena apa? Cuma karena salah satu dari mereka nggak sengaja ngedorong dan ngebuat lawannya cedera, pertandingan basket cowok tadi sampai diberhentiin katanya.” ucap Lane dengan menggebu-gebu. Bio yang berada di sampingnya pun hanya bisa mengelus punggung temannya itu dan mengodorkan onigiri yang tadi ia beli.
“Thanks Bi, oh iya, lo harus awasin abang lo, gue takut lukanya nanti nggak dibersihin dengan baik waktu di rumah.” Ucapan Lane langsung membuat Bio kebingungan, sebab setahunya tak ada satu pun dari abangnya yang mengikuti ekstrakurikuler basket, Andreas dengan badmintonnya, Xander dengan vollynya dan sebentar lagi akan pensiun sebab pemuda itu telah duduk di bangku kelas duabelas.
“Iya Bi, abang lo yang pertama, bang Xander, dia lebam lumayan banyak juga ada beberapa luka yang susah buat diobatin sendiri.”
“Dia ikut basket? Lo nggak salah Lane?” tanya Bio memastikan.
“Iya, orang dia tadi pake seragam anak basket kok. Mata gue masih normal Bi buat bedain seragam basket sama volly.”
“Okay, nanti gue cek.”
“Udah-udah, mending dimakan dah, kalian nggak liat kakigorinya Lyn udah habis setenganya.”
Keempatnya kemudian memakan makan siang mereka sembari melemparkan candaan satu sama lain. Dengan suasana yang sejuk dan tidak begitu panas, mereka menikmati makan siang mereka sembari menatap sekeliling mereka yang penuh dengan para murid berjalan kesana-kemari untuk bertanding atau sekedar menonton.
*
*
*
Sepertinya kesialan tengah menghampiri Chiv yang kini sedang menatap nanar mobilnya dengan keempat ban yang telah kempes. Pemuda itu tak tahu mengapa ban mobilnya kempes secara bersamaan dan tiba-tiba pula. Pemuda itu kemudian mengambil ponselnya, berniat menelfon Han, sahabatnya, untuk menjemput dirinya. Namun dirinya dibuat bingung dengan pesan yang baru saja masuk ke kotak pesannya.
“Jauhi Lili, or else.”
Chiv sendiri tambah kebingungan sebab nomor tersebut tak terdaftar dalam kontak ponselnya, saat akan di telfon nomor tersebut tidak bisa dihubungi. Dirinya kemudian memilih untuk tak menghiraukan hal tersebut dan menelfon Han untuk segera menjemputnya.
“Han, jemput gue, ada di jalan mawar merdeka.”
“Okey, emang mobil lo kenapa dah?”
“Dah jan banyak tanya, buruan, mendung cok.”
“Iya bawel, kek cewek aja lo.”
“Bacot.”
Setelah memutuskan panggilan tersebut, Chiv kemudian mengirimkan pesan pada supir keluarganya untuk mengambil mobilnya dan mengganti ban di bengkel. Selang limabelas menit kemudian mobil keluaran Jerman berwana hitam itu menghampiri Chiv yang terlihat tengah memainkan ponselnya.
“Coy, masuk buru.” ujar Han.
“Dateng juga lo, lama jasa ni monyet satu.” Chiv kemudian masuk ke mobil tersebut.
“Gue lagi makan ya tadi cumi, gara-gara lo gue harus ngebut makannya, sampe dikira kesurupan sama mamah.” Chiv langsung tertawa mendengar rengutan sahabatnya itu.
“Sorry-sorry, lagian mobil gue aneh, masa tiba-tiba bannya kempes semua.”
“Empat-empatnya?”
“Iya, mana gue dapet pesan aneh, katanya gue harus ngejahuin Lili. Apa salahnya coba gue deket sama Lili?”
“Jangan-jangan salah satu shipper Hadden sama Lili lagi?”
“Geh, Lili aja bilang kalau dia sama Hadden nggak ada hubungan, kan nggak salah kalau gue deket sama dia.”
“Lo suka ya sama Lili?” tanya Han dengan tatapan penuh selidik.
“Y-ya emang kenapa? Lagipula dia single kan.”
“Jiahh, temen gue akhirnya jatuh cinta juga.”
“Diem babi, buruan jalan, gue laper.”
“Cie, seorang Chivalry Dananjaya yang terkenal bodo amat sama cewek akhirnya jatuh cinta juga.”
“Bacot, jalan buru, sebelum lo gue makan.”
Han kemudian melajukan mobilnya sambil terus menertawakan sahabatnya itu yang baru saja mengakui perasaannya. Chiv sendiri terlihat kesal sekali sebab Han terus menerus meledek dirinya sepanjang jalan. Ingin sekali pemuda itu memukul kepala Han namun dirinya masih sayang nyawa. Tunggu saja sampai keduanya sampai di rumah Chiv, Han sepertinya akan habis di tangan sahabatnya itu.
@cf