Ovi melamun di kelas, sempat terpikir untuk melanjutkan petualangan dengan kotak ajaib meskipun tanpa Alsa. Ia yakin sekali bahwa sosok yang dilihatnya di perjalanan tempo hari itu adalah Kiki. Tak mungkin salah orang, tetapi ia heran bagaimana Kiki bisa sampai di Beijing. Terakhir mereka terpisah di Menara Kembar Malaysia. Ingin sekali Ovi kembali ke sana, tetapi kotak ajaib tak mungkin mengulang perjalanan ke tempat yang sama. Satu-satunya cara agar dapat bertemu Kiki adalah segera menyelesaikan semua teka-teki dan entah dimana kotak ajaib akan memberikan petunjuk untuk dapat menemukan Kiki kembali.
“Ra, kamu siap ga kalau kita teruskan petualangan berdua?” ajak Ovi setelah pulang sekolah.
“Hm... Cuma kita berdua?” Indira tak yakin.
“Iya. Kalau Alsa bisa sendiri sampai di Korea, masak kita ga bisa?”
Indira terdiam dan berpikir, mencoba menalar. Sebenarnya bisa saja mereka melakukan itu, tetapi ia sedikit tak yakin. Bukan karena Ovi tak cerdas tetapi lebih karena sikap Ovi yang terkadang tak sejalan dengannya. Ia khawatir jika terjadi selisih paham, mereka tak dapat menemukan jawaban dari teka-teki dan tak dapat kembali ke rumah.
“Atau kita bujuk Arum dan Yanu untuk ikut?” Indira mencari alternatif lain.
“Arum mungkin bisa, Tetapi, aku ga yakin kalau Yanu mau ikut lagi,” jawab Ovi.
“Tapi, aku lihat Yanu antusias bertanya tentang setiap petualangan yang kita selesaikan…”
“Dia cuma ingin tahu, tapi ga bakal mau ikut lagi. Rasa takutnya lebih besar dari badannya,” ucapan Ovi seperti itulah yang terkadang membuat teman-teman kurang menghargainya. “Gimana? Mau ga?” Ovi mendesak Indira.
“Eh… Ya sudah. Kalau Arum mau, kita lanjut…” Indira menjawab dengan gugup.
Lalu Ovi berbicara pada Indira tentang rencana mereka. Ovi pun membujuknya untuk ikut berpetualang kembali, mungkin terkesan lebih memaksa untuk ikut. Indira tak banyak bicara untuk ikut membujuknya, meskipun mengajak Arum adalah idenya. Ia melihat Arum akhirnya pasrah untuk mengikuti keinginan Ovi. Lalu mereka berencana ke rumah Alsa tanpa Yanu, setelah Indira meneleponnya. Di perjalanan, Indira masih merasa tidak yakin untuk melanjutkan petualangan tanpa Alsa. Tetapi karena Ovi ingin segera menyelesaikan teka-teki kotak ajaib demi untuk menemukan Kiki, Indira pun mengiyakan saja.
“Kamu tinggal di rumah sendiri, Al? Apa nanti balik lagi ke rumah mbahmu?” tanya Indira memberondong ketika ia bertemu Alsa di rumahnya. Ia mengikuti Alsa ke kamarnya.
“Hm…aku harus balik lagi, Ra,” jawabnya lirih. “Kalian pasti bisa selesaikan ini.”
“Al, gimana kalau sebelum balik, kita main satu kali dulu. Aku…aku…” Indira tak melanjutkan kalimatnya.
“Ovi pasti bisa memimpin. Percaya deh…” ucap Alsa meyakinkan Indira yang galau.
“Tapi dia itu kan suka mau menang sendiri dan temperamental. Please, Al… Please…” Indira membujuk Alsa untuk ikut berpetualang. “Setelah itu kamu bisa balik ke rumah mbah...”
“Hhh…aku izin dulu ya sama Mama,” melihat Indira memohon, Alsa tak kuasa mengabaikannya. Sama seperti Ovi yang begitu peduli terhadap sahabatnya, Alsa pun demikian terhadap Indira.
Begitu kotak biru dikeluarkan dari lemari dan diletakkan di atas meja belajar, Alsa menelepon orangtuanya untuk izin kembali ke rumah mbah agak terlambat karena ia kedatangan teman-teman sekolahnya.
“Sekarang sudah mau jam 3, berarti kalian harus segera supaya ga sampai terlalu sore,” Alsa menyarankan kepda teman-temannya.
“Kamu jadi ikut kan, Al?” tanya Indira memastikan. Ovi memandang Alsa dengan tatapan memastikan juga, menunggu respon Alsa.
“…iya aku ikut,” jawabnya singkat. Indira terlihat lega.
“Kalau Alsa bersedia ikut, aku yang jaga kotak saja,” tiba-tiba Arum berubah pikiran setelah mendengar kesanggupan Alsa.
“Kamu tetap ikut aja, Rum. Siapa tahu petualangan yang nanti lebih menyenangkan,” bujuk Alsa untuk tetap membuat Arum ikut bersama. Dengan ragu, Arum mengangguk mau.
“Yes…” Indira bergumam senang.
Kali ini petualangan akan dilakukan dengan formasi empat orang dengan harapan cepat selesai menemukan jawaban dari teka-teki selanjutnya. Setelah diskusi singkat, keputusan mereka menyatakan bahwa Alsa yang dipersilakn untuk memasukkan kelereng ke dalam kotak. Alsa memilih kelereng berwarnan hitam dengan bintik emas yang berkilau.
Tempat suci untuk berserah diri tapi haram bagi kejahatan. Keinginan besar dan kecil terkabulkan.
Duduklah, langit akan menyampaikan harapan.
Alsa, Indira, Ovi dan Arum saling menggenggam erat. Bersiap terhisap oleh cahaya yang membawanya melewati portal waktu dan tiba di suatu tempat yang baru. Mereka berempat muncul disebuah kota yang tak pernah sepi, bukan karena penduduknya tetapi karena peziarah yang datang. Alsa dan Arum tersadar lebih dahulu lalu terkesima dengan pemandangan di sekitarnya. Mereka membangunkan Indira dan Ovi perlahan. Begitu semua tersadar dan hendak beranjak dari tempat duduknya, seorang wanita dengan pakaian panjang dan bercadar menghampiri mereka.
“Min anti?” tanya wanita itu sedikit terkejut. Matanya yang bulat melihat keempat remaja tanpa penutup kepala dan berpakaian yang tidak menutup sebagian aurat.
“Hm…mm…Ana…” Indira mencoba menjawab tetapi tak tahu bagaimana kalimatnya.
“Nahnu min andunisya. Aasif ya ukhti…” dengan bahasa Arab yang pernah sedikit dipelajari, Alsa meminta maaf atas kehadirannya yang membuat wanita itu memperhatikan mereka dengan penampilannya.
“Ah…Indonesia. Kenapa kamu tidak pakai baju muslim? Ini tanah haram,” tegur wanita itu yang kemudian membuat Alsa dan teman-teman begitu terkejut. Mereka berada di Tanah Haram berarti ada di Kota Suci Mekah. Tempat yang mereka dambakan sebagai muslimah. Wanita itu melihat keempat remaja yang kebingungan dan akhirnya ia menyuruh mereka untuk tetap berada di posisinya, melarangnya keluar sebelum memakai baju yang lebih menutup auratnya.
“Kalian pakai ini sekarang, jika mau keluar,” ucap wanita itu dengan bahasa Indonesia yang lancar namun beraksen seperti orang Arab.
“Tapi saya tidak punya uang untuk membeli ini semua,” Indira khawatir dengan pakaian yang diberikan untuknya.
“Ini hadiah. Kalian harus menutup aurat supaya tidak mendapat kemaksiatan,” imbuhnya.
“Syukron, ukhti,” ucap Alsa kemudian mengenakan gamis berwarna hitam beserta kerudung panjang dengan warna yang sama.
“Nama saya Khawla dari Yaman. Nama kamu siapa?” wanita itu bertanya pada Alsa dan teman-temannya. Ia juga membantu mengenakan jilbab mereka. Alsa dan yang lainnya menyebutkan nama masing-masing. Khawla menjelaskan bahwa ia bekerja di kamar mandi khusus wanita di Masjidil Haram, dan ada beberapa temannya berasal dari Indonesia. Maka dari itu ia bisa berbahasa Indonesia. Lalu Khawla menanyakan alasan mereka datang bersama. “Apa kalian terpisah dari orangtua dan jama’ah?”
“Tidak juga. Kami…” belum selesai Alsa menjelaskan, ada seseorang yang memanggil Khawla. Lalu ia izin untuk keluar sebentar menghampiri sesorang yang memanggilnya.
“Kita harus bilang apa? Kita ga bisa bohong di sini nanti pasti kena azab,” Arum khawatir.
“Di manapun juga kita ga boleh bohong,” tukas Ovi.
“Aasif… Saya harus kembali bekerja. Ini kartu kerja saya, bisa kamu foto atau catat. Jika ada masalah bisa cari saya atau datanglah ke Masjid Al-Haram. Insha Allah di sana selalu ada pertolongan,” Khawla lalu pergi meninggalkan mereka setelah izin pamit.
“Sekarang kita mau kemana?” Indira menanyakan tujuan setelah keluar dari tempat mereka dating. Tempat yang terletak di antara gedung-gedung tinggi dan di atasnya terlihat beberapa balkon penginapan. Arah selatan tempat itu menuju ke sebuah tempat tinggal berlantai tiga yang sepertinya dihuni oleh khusus muslimah. Alsa dan yang lain berjalan ke arah utara, menuju keluar dari gang kecil tersebut lalu berbelok ke kanan. Di luar sana begitu cerah, matahari terik dan udara terasa kering. Terlihat di kejauhan bangunan masjid yang begitu megah dengan menara yang menjulang mencakar langit biru.
“Masya Allah… Allahu akbar…” keempat remaja mengagumi apa yang dilihatnya.
“Ini beneran kita di Mekah ya?” Arum masih tak percaya.
Alsa mengajak teman-temannya untuk memasuki masjid terbesar di dunia itu. Momen yang luar biasa bisa sampai ke tanah suci ini, tetapi ada rasa khawatir karena mereka datang tanpa identitas paspor ataupun izin sebagai jama’ah umroh. Jika terjadi sesuatu akan sulit berhubungan dengan birokrasi pemerintah. Yang harus mereka lakukan saat ini adalah tetap bersama menjaga satu sama lain, dan menggunakan kesempatan ini untuk shalat dan berdzikir.
Bruukkk… Seseorang tak sengaja menabrak Indira dari samping karena berjalan terlalu tergesa-gesa. Indira limbung hingga jatuh terduduk. Arum terkejut dan hampir menjerit. Alsa langsung menghampirinya dan membantunya berdiri, memastikan Indira tak terluka atau terkilir.
“Hei… Watch out your way!” Ovi kesal sambil meneriaki lelaki bertubuh besar yang menabrak Indira, tetapi ia hanya berlalu tanpa meminta maaf. Indira sudah terbangun, namun ia terlihat panik.
“Eh, HP-ku ga ada,” semua terkejut atas hilangnya ponsel Indira.
“Serius, Ra? Ada di kantong baju yang sebelah ga?” Alsa meminta Indira untuk mengecek kantong bajunya.
“Ga ada, Al…”
“Jangan-jangan lelaki yang tadi mencuri HP kamu, Ra,” Ovi menduga.
“Hush… Jangan langsung menuduh, belum tentu dia. Waktu kamu pakai gamis, kamu yakin HP-nya masih di kantong?” tanya Alsa memastikan.
“Masih. Pas di depan pintu masuk tadi juga masih ada. Aku mau ambil foto, tapi ga jadi. Trus, bapak-bapak tadi itu nabrak aku dan…HP-nya ga ada,” Indira menjelaskan dengan sedih.
“Pasti. Udah pasti yang tadi nabrak itu yang ambil,” Ovi mulai kesal. “Tunggu di sini. Aku kejar dia!” Belum sempat yang lainnya menahan, Ovi sudah berlari mengejar lelaki tadi. Berharap masih dapat bertemu dan menyergapnya untuk mengembalikan barang curiannya.
“Al, kalau Ovi ga balik gimana? Jangan sampai hilang juga kayak Kiki…” Arum khawatir kejadian di Malaysia terulang lagi.
“Maaf ya. Gara-gara aku jadi begini,” Indira merasa bersalah.
“Ga kok… Udah, kita berdoa aja supaya Ovi balik ke sini dengan selamat. Aku yakin dia akan baik-baik saja,” Alsa menenangkan teman-teman yang mulai terlihat gelisah.
“Tapi, kita kan ga bisa bahasa Arab,” ujar Arum. “Kita juga ga tau lokasi area masjid. Ini luas banget, Al…”
Alsa tetap bersabar dan mengajak teman-temannya menunggu Ovi dengan bersandar pada tembok masjid dekat penitipan sandal. Wajah Arum dan Indira tak bisa ditutupi dari kegelisahan dan kesedihan. Alsa teringat dengan Khawla. Ia berniat untuk menemuinya di kamar mandi khusus wanita, tetapi urung karena Ovi belum kembali.
“Assalamu’alaikum,” seorang wanita paruh baya datang mendekati dan manyapa. “Ta’al bannati…ta’al…ta’al…” ia mengajak ketiga remaja itu untuk memasuki area masjid dengan gerakan tangannya. Arum yang panik langsung menggeleng, menolak ajakan. Namun, wanita itu tetap mengajaknya dan membei isyarat dengan tangannya seperti gerakan shalat. Ketiganya mulai berjalan masuk dengan ragu. Alsa dengan hati bergumam memohon maaf, lalu mengikuti wanita tersebut, meninggalkan tempat dimana ia berjanji untuk tetap menunggu Ovi.
“Wudhu?” wanita itu mengatakan dengan maksud bertanya apakah mereka sudah berwudhu. Alsa menggeleng. “Ta’al ila hammam. Wudhu…” ucapnya sambil menggandeng Alsa menuju ke arah tangga bawah dan mengajaknya untuk berwudhu. Yang lain mengikuti.
“Al, gimana Ovi? Kalau dia balik tapi kita ga di sana, gimana?” tanya Indira yang mengkhawatirkan temannya akan mencari-cari mereka.
“Berdoa saja di dalam,” ucap seseorang wanita bercadar hitam lainnya yang ternyata mendengar ucapan Indira. Lagi-lagi mereka terkejut karena wanita itu dapat berbahasa Indonesia. “Ke dalam saja, mba. Shalat dan berdoa, insya Allah nanti dipertemukan sama temannya.”
“Kok ibu bisa bicara bahasa Indonesia?” tanya Arum.
“Saya dari Cianjur. Kerja di sini…” jawabnya singkat. Seperti bertemu dengan saudara, ketiganya mengucap syukur karena bertemu dengan TKI dari Cianjur yang memberikan petunjuk pada mereka ketika gundah. “Tadi temannya terpisah dimana?” ibu itu mencoba membantu mencarikan solusi. Setelah mendengar penjelasan Indira, ibu itu lalu berbicara dengan wanita yang tadi mengajak Alsa untuk berwudhu. Dengan bahasa Arab yang lancar ia menyampaikan sesuatu kepada wanita yang ternyata berasal dari Mesir. Wanita itu mengangguk-angguk, memahami apa yang dimaksudkan oleh Bu Siti, seorang TKI yang sudah lima tahun bekerja di masjid Al-Haram. “Ikut sama Hajjah Maryam saja ya. Saya sudah beritahu kondisi kalian. Nanti dia akan ajak kalian ke tempat mustajab untuk shalat dan berdoa. Insha Allah nanti temannya ketemu lagi,” Bu Siti bagaikan malaikat penolong mereka di situasi seperti ini.
Alsa melangkah mantab bersama Bu Maryam, diikuti Arum dan Indira yang berpeganggan erat dan tak menoleh kemana pun, khawatir Alsa luput dari pandangannya. Bu Maryam berjalan dengan langkah cepat sambil berdoa dan bershalawat. Alsa mengikuti shalawat yang didengarnya. Terlihat sebuang bangunan kotak hitam di tengah masjid, kokoh berdiri dengan hiasan tulisan Arab berwarna emas. Ketiga remaja tak bisa membendung air matanya yang tiba-tiba menetes perlahan. Rasa syukur tidak terperi dapat melihat ka’bah tepat di hadapan mereka. Sambil terus berjalan mengikuti Bu Maryam, ketiga remaja berjalan penuh haru. Tak pernah terbayangkan mereka akan sampai di tempat suci melalui portal waktu, meski kini harus terpisah dengan salahsatu temannya lagi. Alsa tetap berharap akan bertemu dengan Ovi.
“Ini tempat suci. Ini rumah Allah, doa dan harapan apapun pasti akan didengar dan dikabulkan,” gumam Alsa dalam hati. Ia benar-benar memiliki tanggung jawab besar karena sudah dua temannya hilang. “Ya, disinilah tempat terbaik untuk memohon. Allah Maha Mendengar...”
“Hiya… Ijlis yaa bannati. Shallu wa dzikrullah…” Bu Maryam menyuruh mereka untuk duduk, shalat dan berdoa pada Allah. “Shallu ila Multazam,” ia menyuruh Alsa untuk shalat tepat di garis lurus dari pintu Multazam. Alsa mengangguk. Bu Maryam meminta izin untuk pamit.
“Syukron ya Ummi…” Alsa mencium tangan Bu Maryam dan berterima kasih atas kebaikannya.
Lalu ketiganya melakukan shalat sunah dengan niat menghormati masjid dan berdoa agar dipertemukan dengan Ovi kembali. Setelah shalat, Indira terlihat lemas. Ia kelelahan dan kepanasan ditambah dengan kegelisahan akan Ovi yang terpisah karena berusaha mengejar pelaku yang diduga mencuri ponselnya. Arum yang melihat kondisi Indira menjadi panik, namun Alsa tetap berusaha tenang.
“Sebentar ya, aku coba ambil air zamzam,” ucap Alsa pada Indira yang hampir lemas.
“Jangan pergi, Al!” Arum mencegahnya.
“Tapi Indira lemas banget. Dia perlu minum.”
“Ga usah, Al. Ga apa-apa. Kita duduk aja di sini, sambil tunggu Ovi…” ucap Indira yang mulai pucat tetapi tetap berusaha kuat.
“Kaki kamu diluruskan aja…” Alsa menyarankan Indira duduk bersandar pada tiang besar di belakangnya sambil mengibas-kibaskan tangannya agar Indira mendapat sedikit angin segar. Alsa mulai gelisah sambil terus berharap kondisi Indira tak parah dan Ovi cepat kembali. “Ya Allah, tolonglah kami. Lindungilah kami…” doanya berulang-ulang dalam hati.
Arum ikut mengipasi Indira dengan tangannya, meskipun sebenarnya ia juga kepanasan. Mulutnya terus berdoa sambil menatap ka’bah yang agung. Beberapa bulir air mata Arum menetes. Ia senang sekaligus sedih. Keinginannya untuk melihat ka’bah telah terwujud nyata namun ia harus terpisah dari temannya dan mulai khawatir tak bisa kembali ke rumah.
“Assalamu’alaikum…” terdengar suara berat seorang lelaki memberi salam dari arah belakang mereka. Ketiganya kompak menjawab salam namun dengan rasa ketakutan karena kali ini laki-laki asing berkulit hitam yang menghampirinya. Arum mencengkeram pergelangan tangan Alsa. Mereka tak berani menoleh. “Tafadhol…” ucap laki-laki itu sambil meletakkan tiga botol kecil air di samping Alsa.
“Syukron…” ucap Alsa sambil menoleh ke arah lelaki itu. Terlihat olehnya seorang lelaki bergamis putih bersih dengan peci putih tersenyum ramah menampilkan deretan gigi putih dari celah senyumnya. Lalu ia mengangguk ketika melihat Alsa tersenyum simpul karena air yang telah diberikannya diterima. Alsa segera membuka botol air itu dan memberikannya pada Indira. Lalu Arum pun meminum air zamzam yang segar, dan menyuruh Alsa untuk membuka botol yang tersisa. “Ini buat Ovi saja,” mendengar itu Arum membagi airnya untuk Alsa. Ketiganya lalu bersujud menghadap ka’bah sejurus dengan Multazam, bersyukur atas pertolongan Allah. Alsa tiba-tiba berdiri bermaksud untuk mencari sosok lelaki tadi. Ia merasa lelaki itu berjalan ke arah kanan, tetapi ia tak menemukan siapapun yang berdiri. Semuanya duduk, ada yang bersujud, ada pula yang sedang mengaji. Alsa menoleh ke kiri, tak juga ia temui sosok yang ia bayangkan seperti Bilal bin Rabbah itu. Lelaki itu menghilang.
“Dia pergi kemana ya?” tanyanya heran.
“Di sana ga ada, Al?” Arum menunjuk ke arah belakang. Alsa hanya menggeleng.
“Mungkin itu malaikat yang diutus Allah,” ucap Alsa datar.
Tak lama setelah Indira menghabiskan air zamzamnya, ada seseorang yang memanggil Alsa dari kejauhan. Alsa mencari sumber suara. Melihat seseorang melambaikan tangannya berjalan dengan seorang wanita bercadar hitam.
“Allahuakbar… Ovi…” Alsa hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lalu Arum dan Indira seketika ikut berdiri.
Ovi mendekati ketiga temannya dan memeluknya satu persatu. Mereka menangis terharu. Ternyata saat berlari mengejar pencuri, Ovi bertemu dengan Khawla. Lalu mereka melaporkan kejadian pada aksar setempat. Tak lama si pelaku tertangkap. Ia terjatuh karena menabrak seorang lelaki hitam tinggi besar yang bergamis dan berpeci putih. Ponsel Indira yang dicurinya terjatuh dari kantong baju si pencuri. Barang bukti hasil curian itu lalu diberikan pada Ovi setelah Khawla menjelaskan pada askar tentang kejadian yang sebenarnya. Khawla lalu mengajak Ovi untuk berdoa di depan Multazam dan berharap ia dapat bertemu dengan teman-temannya.
“Semua karena Allah… Aku hanya terus meyakinkan diri. Kita ada di rumah Allah dan ga mungkin kita tersesat di rumah-Nya. Allah pasti akan mempertemukan kita semua kembali,” ucap Alsa pada teman-temannya.
“Iya benar. Alhamdulillah…” ucap Arum lega.
“Baik. Kalian sudah bertemu. Saya harus kembali bekerja,” ucap Khawla undur diri.
“Syukron ya ukhti,” ucap Alsa. “Ah, boleh foto dulu?” ajak Alsa pada Khawla untuk foto bersama. Khawla mengiyakan. Mereka berfoto berlatar belakang ka’bah nan megah. Alsa pun tak lupa mengabadikan Multazam yang berkilau di galeri ponselnya. Setelah berfoto ria, tak lama ponsel Alsa bergetar, muncullah kalimat dilayarnya. “Berjalanlah ke arah rukun Yamani, bersiaplah kembali…” ucapnya lirih membacakan kalimat di layar ponselnya.
“Dimana rukun Yamani, Khawla?” Ovi langsung bertanya sebelum Khawla pergi.
“Hunna… Ta’al… Ikut saya,” ajak Khawla yang menunjukkan arah ke rukun Yamani.
Lalu mereka berjalan bersama sambil terus mengucap syukur dan tetap menggenggam erat tangan temannya. Beberapa cerita kecil terulang sambil terus berjalan. Tibalah mereka sejurus dengan salahsatu sudut ka’bah yang disebut rukun Yamani. Disebut demikian karena jika dari posisi itu ditarik garis lurus memanjang ke luar maka akan sampai ke negeri Yaman, tempat asal Khawla. Alsa dan teman-temannya mengucapkan terima kasih berkali-kali pada Khawla yang sudah mau membantunya. Mereka berpelukan seperti enggan berpisah. Lalu Khawla pamit dan berjalan menjauh.
“Kita ke tiang itu yuk,” ajak Alsa pada yang lainnya. “Di sana terlihat gak sepi,” sebuah tiang marmer besar berwarna coklat ditunjuk oleh Alsa.
“Duduk di sini, Al?” Indira memastikan. Alsa mengangguk.
“Bismillah… Semoga kita bisa kembali lagi suatu hari nanti dengan sehat untuk beribadah di tempat suci ini,” Alsa mengucap doa yang diamini oleh ketiga teman lainnya.
Seberkas cahaya datang mendekati mereka. Lalu menghisap mereka perlahan dan menghilang. Cahaya yang membawa keempat remaja itu kembali ke tempat asal setelah misi mereka selesai di tempat yang suci. Sesungguhnya pertolongan Allah begitu dekat bagi siapapun yang meyakininya.
***
Indira, Arum, dan Ovi kembali ke rumahnya masing-masing sebelum matahari terbenam. Gamis dari Khawla menjadi sebuah kenang-kenangan yang begitu berharga. Mereka membukanya dan melipatnya dengan rapi. Lalu Alsa bersiap diri untuk kembali ke rumah neneknya. Ia memandangi kotak ajaib di atas meja belajarnya yang berwarna merah terang. Ia mendekati dan membukanya, melihat sebuah foto yang ia ambil sebelum kembali. Ka’bah yang megah dengan pintu Multazam yang berkilau keemasan dan sakral. Hatinya merasakan sebuah kerinduan yang mendalam, padahal baru 30 menit yang lalu ia berpisah dengan tempat suci itu. Ada sebuah niat besar dihatinya ketika memandangi foto itu lebih lekat. Matanya terpejam, memanjatkan sebuah doa dan harapan.
“Berilah aku petunjuk dan keteguhan hati, ya Allah…”
Alsa menaruh kembali foto itu, menutup kotak ajaib dan menyimpannya di lemari. Lalu ia mengambil baju muslim panjang dan sebuah kain segiempat biru muda untuk dipakai ke rumah neneknya. Ada sesuatu yang penting untuk disampaikan kepada Mama dan Papanya.
***