Aku benar-benar kehilangan arah. Atas bertamunya perempuan itu kesini, saat aku sudah setengah jalan untuk melupakannya. Aku sadar, tak ada larangan bagi yang ingin pulang. Kota ini, miliknya. Justru yang bertamu itu ialah aku. Aku tak ingin pulang, meski ia menghilang. Aku masih menunggu. Awalnya. Kupikir ia akan kembali pada hari kelima. Nyatanya, dia kembali pada tahun kelima. Perasaanku sekarang bercampur aduk. Ada sedih ketika ia datang pada saat yang tidak tepat. Pun bahagia, ternyata dia tidak lupa jalan pulang.
Terlalu lucu, bila kuakui, aku jatuh hati padanya saat duduk di bangku kelas 1 SMP. Kami berbagi apapun. Nasi goreng saat jam istirahat, atau aku yang memberikannya contekan saat ujian. Kami dekat, sangat dekat. Sampai suatu hari, kupikir perempuan itu hanya pergi sebentar. Nyatanya. Lama.
"Dika."
Seperti terbangun dari tidur, aku tersadar dari lamunan panjang pagi ini. Dia sudah ada disana. Berdiri didepan pagar rumahku. Tidak ada yang berubah, kecuali sekarang aku jauh lebih tinggi dari dirinya.
"Gue udah lari keliling komplek sampai sepuluh kali, tapi lo masih aja duduk ngumpulin nyawa disitu."celotehnya kesal. "Ayo, Dik. Ntar matahari keburu bangun."tambahnya.
Aku berusaha menyembunyikan perasaanku ini darinya. Berpura-pura biasa saja. Ah, aku lupa. Sudah 5 tahun aku menyembunyikan perasaan ini. Aku sudah ahli, bukan? Segera aku mendorong sepeda, mendekatinya yang seperti tahanan itu. Sebab ia tidak berani lagi memanjat pagar rumahku seperti waktu dulu.
"Be-ri-sik!"ketusku pedas.
"Alah, padahal lo kangen kan sama suara gue."
Banget. Aku sangat merindukannya, lebih dari yang ia katakan. Andai saja perempuan ini tahu. Hari-hariku selalu berisi doa tentangnya. Tahun pertama, semua masih baik-baik saja. Tapi pada tahun-tahun berikutnya, perempuan ini hilang tanpa kabar. Aku terpuruk. Sebab ada semangat yang sengaja ia ajak pergi. Ia tak sadar. Dan aku belum punya nyali untuk bunuh diri, meski rasa kecewa pada waktu itu sangat pedih. Aku hanya perlu sadar dan terima nasib, hingga suatu hari kutemukan semangat baru. Kurasa, begitu.
"Dik, setelah gue pergi dari kota ini, gue ngerasa ada yang ketinggalan."
"Paling yang ketinggalan kaset korea, kan?"
"Gue udah nggak suka korea, Dik."
Hening. Sebentar.
"Gimana kabar lo selama jauh dari gue?"
Perempuan itu menatapku, dalam sekali.
"Dapat temen yang bisa ngasih contekan?"
"Rese lo."pekiknya sambil memukuli bahuku dengan kuat.
Napasku mendadak sesak. Kucoba menariknya cukup panjang, lalu menghembusnya pelan. Aku menatap perempuan itu lekat-lekat. Senyumnya yang lebar sampai tampak lesung pipit itu, dan tawanya yang lepas sampai menyipitkan mata. Aku suka ketika anak-anak rambutnya itu basah karena keringat sebesar biji jagung. Membuatku luluh.
***
Kami kembali dekat, seperti waktu itu. Dan aku ingin sekali menolaknya, meski hatiku masih saja ngeyel untuk tetap setia. Bernostalgia, kembali menambah jajaran suasana yang tidak aku sukai. Berolahraga bersama mengingatkanku dengan kejadian beberapa tahun yang lalu. Aku merasa, tidak pernah bosan, terus mengikuti kemana ia ingin berlari. Sebelum berangkat sekolah, setiap pagi. Dan aku tidak pernah merasa malu, meski mengikutinya dengan sepeda. Lucu, memang. Dan betapa hati ini rasanya sakit saat menerima kenyataan harus bersepeda sendirian, mengejar bayangannya yang tak pernah tampak.
Lantas aku lupa diri. Terlalu larut dalam suasana bersama perempuan itu, dan melupakan semua janji yang pernah aku ucap. Dadaku sesak. Yang kuingat sekarang, aku ini laki-laki jahat, tukang selingkuh dan pembohong. Aku lupa waktu pernah jatuh hati sehabis patah hati.
"Febri."
Dia mengalihkan pandangannya kearahku, menatapku dari balik kacamatanya. Alis tebal itu mengernyit, menungguku yang cukup lama diam.
"Happy Anniversarry yang ke 3 untuk kita."
Aku berkata pasti, sambil mengeluarkan sebuah novel tebal dihadapannya. Kurasa, bibirku mulai melebar. Febri diam. Barangkali kehabisan kata-kata. Ia kaget dengan apa yang kubawa, tampak jelas matanya berkaca-kaca. Ia terharu, selalu. Novel karya Buya Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, yang begitu ia inginkan. Dan aku dapatkan dengan susah payah, demi dia. Spontan, novel itu dipeluknya sangat erat.
"Kamu kenapa sih? Kamu disini, tapi pikiran kamu kemana-mana. Kalau nggak niat buat ngelakuin semua ini, lebih baik nggak usah. Buang-buang waktu aja.”
Amarah anak pemalu itu akhirnya keluar, setelah cukup lama menikmati dinginnya sikapku. Dan bersama sepi, aku yang kembali memeluk novel tebal ini. Sendirian.
***
Gadis secantik dan sebaik Febri tak seharusnya mendapatkan perlakuan dari hatiku yang tiba-tiba berubah ini. Perubahan rasa yang tidak bisa aku pinta untuk tetap sama seperti sebelumnya. Aku mencintai Febri. Sesaat setelah dia berhasil membuat masa-masa kelam hidupku hilang dan menjadikannya terang. Febri yang membantuku bangkit dari keterpurukan. Meski ia takkan bisa buat aku lupa, pada kisah-kisah masa lalu. Tanpa sadar, aku merasa, tidak takut kehilangan Febri. Justru terhadap perempuan itu, aku terus takut. Aku sama sekali tidak mau kehilangannya. Tidak mau.
"Mau sampe kapan lo nggak baikan sama Febri?"
Perempuan itu datang, mendekatiku yang tak punya teman duduk di teras rumah. Sore ini.
"Gue sama Febri cuman butuh waktu buat mikir. Keputusan apa yang baik untuk hubungan kami berdua."sahutku panjang.
"Mempertahankan hubungan adalah keputusan yang paling baik. Lo jangan lupa hari-hari yang lo lewati sama Febri selama tiga tahun ini."
Aku ingat.
"Gue ngerasa selama ini, dia cuman ngehapus rasa sepi gue bukan ngisi hati gue. Gue cuman berusaha bikin Febri bahagia. Tapi gue rasa semua udah cukup sampe disini."sahutku.
"Memang, beberapa orang dilahirkan untuk membahagiakan bukan dibahagiakan."
Aku meresapi perkataannya itu, dalam sekali.
"Sama kayak lo, Febri juga berusaha bikin lo bahagia. Bedanya dia tulus dan lo nggak."
" Lo nggak kenal dia. Gue nggak ngeliat ketulusan itu dari matanya..."
"Atau lo pura-pura nggak ngeliat?"bantahnya.
Deg!
Hatiku tersentak oleh perkataan perempuan ini. Aku kehabisan kata-kata untuk berdebat. Benar, perempuan selalu benar. Siapa suruh bercerita pada perempuan. Dia selalu membela Febri. Dia berpihak pada Febri, dan berusaha membantuku berdamai dengan Febri. Tak ada tanda-tanda dia tampak bahagia saat kuberitahu perasaan yang sedang aku rasakan saat ini. Rasa cintaku pada Febri yang hampir usai. Semua karenanya. Tidak ada alasan lain. Sedangkan ia, bersikap biasa saja.
"Gue tulus sama dia. Kalau nggak tulus, mana mungkin hubungan kami sampe tiga tahun. Tapi lama-lama gue sadar."lirihku pelan.
Perempuan itu diam
"Ketika kita benar-benar tulus. Mungkin itu bukan ketulusan.”
Perempuan itu membeku, kulihat begitu.
***
Febri yang pada akhirnya mengunjungiku lebih dulu, pagi-pagi sekali, ketika aku baru saja mengeluarkan sepeda dari bagasi rumah. Kaget, awalnya. Tidak ada angin yang memberitahu dia akan datang kesini. Kupikir semuanya berakhir dengan sangat mudah. Kami tak berkomunikasi, sama-sama menghilang dan tak saling mencari. Berakhir tanpa ada perdebatan. Sayang, hanya inginku saja. Gadis itu disana, menatapku sayu. Dia tampak benar-benar kacau. Kulihat begitu.
Kudekati dia, sangat dekat. Dari balik kacamata yang bertengger di hidungnya yang mancung, kesedihan itu tampak jelas. Aku rasa, seminggu ini malam-malamnya hanya berisi tangisan.
"Kamu baik-baik aja, kan?"sahutku padanya.
"Kamu sendiri tahu, tanpa kamu, aku nggak kan pernah baik-baik aja."lirihnya, pelan.
Aku terdiam.
"Kamu kayaknya baik-baik aja tanpa aku."sahut Febri kepadaku, sambil tersenyum, palsu.
"Nggak mungkin aku baik-baik aja."
Pembohong. Susah sekali untuk berbicara jujur. Rasanya aku ingin mengutarakan apa yang ada didalam hati ini. Namun aku belum siap untuk mematahkan hatinya. Febri terlalu baik.
"Sekarang, kamu harus belajar ngelewati waktu tanpa aku."sahutku berseru pelan.
Matanya langsung membola. Dia kaget karena kupatahkan pelan-pelan hatinya. Raut wajah Febri mulai terlihat panik. Dari balik kacamata, sudah menggenang air yang siap tumpah. Aku raih tangannya, kugenggam erat-erat. Aku coba untuk membuatnya tenang. Sayangnya, dingin pada tangan gadis ini membuatnya terus panik.
"Aku tau, sekarang kamu udah berani ke toko buku sendirian. Aku lihat juga, sekarang kamu udah berani ngelewati koridor anak ekonomi kalo mau ke perpustakaan sendirian. Sekarang, kamu hebat, Feb."sahutku panjang lebar sambil tersenyum menyemangati.
Febri menjauh dariku beberapa langkah. Aku yang panik. Sudah jadi berapa keping hati gadis ini setelah aku patahkan. Air matanya berlinang, membasahi pipi merah mudanya, lalu berembun kacamata hitamnya itu.
"Jadi, kamu bener-bener udah berubah?"
Hatiku tersayat, saat kudengar paraunya suara gadis ini bertanya padaku. Misalkan aku ingin mengakhiri hubungan ini, seharusnya aku tega. Bukankah sudah jadi hukum alam, akan ada hati yang patah saat hubungan berakhir? Namun aku merasa jahat jika hanya hati Febri yang patah lebih banyak dariku.
"Ternyata bener dugaan aku. Kalau kamu nggak cinta lagi sama aku."tambahnya, parau.
Aku diam, kaku seluruh badan. Pun tidak membantah.
"Dika masih cinta sama lo."
Suara memekik itu memecahkan suasana sendu pagi ini. Didekat pagar rumah, perempuan itu berdiri disana, berpakaian olahraga, siap untuk berlari bersamaku. Aku shock. Febri bertemu dengan perempuan itu, untuk pertama kalinya.
"Dika masih cinta sama lo. Dia cuman bosan."
Perempuan itu mendekati kami berdua, berlagak sok tahu tentang perasaanku.
"Kamu boleh tau semua hal tentang Dika. Tapi kamu nggak pernah tau isi hatinya."
Perempuan itu diam, menggerutkan kening.
"Aku pikir, aku bisa bikin kamu lupa sama semua hal tentang perempuan ini. Aku pikir, usaha aku bikin kamu cinta sama aku itu berhasil. Tapi kenyataannya nol besar."
Febri menatapku dengan air mata yang kering, air ludah yang kutelan pun sudah kering. Tidak ada yang bisa aku jelaskan lagi. Gadis itu sudah tahu penyebab pertengkaran diantara kami ini terjadi karena dia, perempuan itu.
"Dika cintanya sama kamu."tegas Febri didepan perempuan itu.
"Lo ngomong apaan sih? Jelas-jelas yang jalani hubungan itu lo sama Dika. Bukan gue. Kok jadi cintanya sama gue sih?"cercah perempuan itu.
Aku hening, bergetar tubuh rasanya saat Febri memberitahu yang sebenarnya. Mereka masuk dalam situasi yang aku ciptakan tanpa sengaja.
"Dik, lo kasih tau dong sama Febri. Dia cuman salah paham sama hubungan kita. Dia nggak tau seakrab apa kita sampe dia cemburu kek gini."
"Aku tau seakrab apa kalian berdua. Dika cerita banyak tentang kamu ke aku."
Damn!
Perempuan itu menatapku tajam.
"Bahkan tentang perasaan dia ke kamu."
Aku, sebagai laki-laki disini, terpojokkan. Tidak tahu hendak berbuat apa. Bola mata perempuan itu menerkamku tajam. Berharap aku berbicara sesuatu. Sedang bola mata Febri menyentuhku dengan sayu, menampakkan kesedihan.
"Lo nggak bener-bener cinta sama gue, kan?"
Aku diam, menengok kearah perempuan itu lalu sepintas kearah Febri lagi. Dilema. Napasku jadi tak normal seperti ini. Aku takkan mungkin kan mencintai dua orang, menginginkan dua orang. Aku belum siap belajar berpoligami. Tidak siap. Perempuan itu menggoyang-goyangkan tubuhku, berharap aku sadar, padahal aku dalam keadaan sangat sadar.
"Kamu nggak pernah tau. Aku belum berani ngelewati malam sendirian, tanpa kamu."
Febri berseru pelan sambil meneteskan air mata. Hatiku berdesir. Kulihat ketulusan itu dari nanar matanya yang becek. Ia terisak-isak tangis. Lalu, berjalan menjauhiku, dengan pilu.
"Gue masih cinta sama lo, Feb."pekikku kencang.
Febri diam, menatapku dalam-dalam.
***
"Dik, jangan lupa kalau hari minggu besok kita jadi nonton bola di stadion."
Perempuan itu mengingatkanku. Dengan gaya senyumnya yang membuatku luluh. Kami berdua akan jadi jodoh yang pas. Kesamaan yang sama-sama kami punya. Aku bersepeda dan dia terus berlari. Menonton bola bersama, memiliki botol air minum yang serupa. Satu visi dan satu misi, membuatku begitu bahagia menjadi kekasihnya. Sampai aku lupa, pada kelemahan yang sama-sama kami punya, yang pelan-pelan pasti akan memisahkan kami pula.
"Hari minggu ini gue ada rapat, Sayang."
Pria berkumis tipis di samping perempuan itu angkat bicara, menatap kekasihnya mesra. Dan aku hanya dapat kaku tanpa suara. Perempuan itu tidak peduli pada kekasihnya, dan tetap melanjutkan makan siangnya yang masih banyak tersisa.
"Kita pasti ikutan nonton dong."seruku tenang, sambil mengenggam erat tangan Febri, dibalik bundarnya meja ini, tanpa izin, dan ia kaget.
Febri tersenyum manis, dan ternyata membuat aku merasa luluh lebih dari senyum perempuan itu. Mempertahankan hubungan adalah keputusan yang paling baik. Perempuan itu benar. Jika waktu itu aku bersikeras untuk tetap ingin memiliki perempuan itu, tentu saja aku akan merusak semuanya. Aku patahkan hati Febri, hubungan persahabatanku dengan perempuan itu berakhir karena cap sahabat jadi cinta. Pun aku merusak hubungannya dengan laki-laki ini. Aku hanya memikirkan perasaanku saja, tanpa sadar, ujungnya aku akan sendirian dan kesepian. Aku akan kehilangan keduanya, Febri dan perempuan itu.