Bagian 5
Kau pasti sudah menebak apa cerita selanjutnya. Kisah yang cukup klise itu terulang kembali berkali-kali!
Bu Diana sudah lulus CPNS dan meninggalkan sekolah. “Sekolah nggak butuh saya, Pak!” ujarnya ketika itu. “Kalau butuh, Pak Kepala bisa minta penempatan saya di sekolah ini. Nyatanya? Saya dibiarkan pergi begitu saja dan mungkin menerima guru honorer lain dari saudara siapa di sini,”
Dan itu, keponakannya Bu Nurma!
“Saya sudah punya asisten, Bu,” ujar Bu Nurma kepada Bu Rosmala dengan suara sangat keras sampai di dengar oleh seluruh orang yang ada di ruang guru. Bu Vera yang kebetulan baru masuk langsung melirik saya dengan sangat iba.
“Asistennya pasti baik hati ya, Bu,” Bu Rosmala tidak mau tinggal diam.
“Jelas sekali itu. Apa yang nggak bisa anak zaman sekarang. Pokoknya, mulai hari ini kita nggak usah minta tolong lagi sama orang yang penuh perhitungan,”
“Saya ikut Bu Nurma sajalah,”
“Jelas, Bu. Sama saya nggak ada diskon-diskon, langsung gratis mau Bu Rosmala ketika 10 lembar, 20 lembar, 30 lembar, bahkan lebih lagi, siap kami tampung!”
Mulai hari ini, tinggallah hari itu!
Bu Amna, asisten Bu Nurma yang dibanggakan rupanya pengetikan biasa di Word masih hancur-hancuran. Perhitungan dasar di Excel malah dihitung pakai cara manual. Sehari diminta ketik soal Matematika, dua sampai tiga hari belum selesai.
Bu Nurma kalang-kabut begitu Pak Kepala minta roster ujian dalam waktu segera.
“Pak Baihaqqi, minta tolong sekali ini saja. Pak Kepala sudah minta roster ujian segera siap. Saya nggak tahu mau lari ke mana lagi. Si Amna mana bisa diandalkan kalau ribet begini, dia itu ada jam pula sekarang. Tolong ya, Pak. Bapak mau makan apa nanti siang, saya belikan ya. Bapak mau ayam? Mi kepiting? Ikan bakar…,”
“Saya ikhlas bantu, Bu,” jawab saya meski dalam hati menolak.
“Bu Nurma minta tolong sama orang yang tepat,” Bu Rosmala memberikan dukungan.
“Terima kasih banyak, Pak. Sekali ini saja lagi saya minta tolong,” ujar Bu Nurma sambil menyerahkan nama-nama yang termasuk ke dalam pengawas dan panitia ujian.
Yakin sekali ini?
Saya membuka laptop. Pekerjaan yang berat dimulai kembali. Saya tidak mengeluh tetapi berat dikerjakan karena pernah disebut saya tidak ikhlas membantu - lebih tepatnya disebut saya tidak profesional sebagai guru.
Roster ujian yang repot. Keluh saya berkali-kali.
Kening berkerut mengatur agar tidak pengawas masuk di jam yang sama.
“Pak Baihaqqi, bisa minta tolong saya pasangkan infokus?” tanya Pak Adam.
“Mohon maaf, Pak. Saya sedang membuat roster ujian dengan segera ini,”
“Baik, Pak. Terima kasih,” Pak Adam meninggalkan saya.
Saya kembali menaruh harapan kuat agar tidak salah menempatkan pengawas pada jam yang sama.
“Pak Baihaqqi, bisa minta tolong ganti jam sekarang, saya mau jemput anak dulu,” Bu Sri tiba-tiba menodong saya dengan permintaan lain.
“Maaf, Bu. Saya sedang mengerjakan tugas Bu Nurma,”
“Urgen, Pak?”
“Harus siap segera,”
“Nanti saya bantu,”
“Saya tidak mau merepotkan, Bu Sri,”
“Baiklah. Saya cari pengganti lain,”
“Baik, Bu,”
Saya kembali meneliti kode nama guru pengawas dengan cermat. Proses yang lama ini. Semua orang tahu di sekolah ini - di sekolah manapun. Atur roster pelajaran maupun rostes ujian adalah perkara yang tak mudah. Itu tugas wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Dan, saya berulangkali mengerjakannya.
Tiap semester.
Tiap ujian.
Tiap saat ada perubahan roster!
Dan, Bu Nurma terlalu santai mengucapkan pertolongan dengan melupakan yang lalu-lalu.
Sudahlah. Saya ikhlas. Batin saya memberontak lebih kuat.
Saya harus segera menyelesaikan roster ujian ini.
“Pak Baihaqqi, ketika saya tak beres di kedai fotokopi, saya minta tolong Bu Amna nggak benar ketikannya!” Bu Rosmala mendekati saya.
“Saya sedang mengerjakan tugas ini, Bu,”
“Saya tahu. Tolong siapkan setelah roster selesai ya!” tanpa pamit, Bu Rosmala meninggalkan saya dalam tersendiri sedih.
Roster ujian itu saya selesaikan begitu jam pulang tiba. Dua hari lagi ujian. Bu Nurma mengambil kertas yang saya print dengan cekatan. “Saya tanda tangan Pak Kepala dulu ya, Pak,” sumringah Bu Nurma - kembali - tanpa terima kasih.
Saya menarik napas panjang.
Nasib anak bawang!
Saatnya pulang.
Kaki saya melangkah meninggalkan ruang guru.
“Pak Baihaqqi!” panggil Bu Nurma. Saya menoleh ke arah suara yang mendekati. “Ini bagaimana, Pak? Kenapa EW sehari pun tak ada, ini EB kenapa beradu Senin dan Selasa, UA kenapa Sabtu ada 6 jam, KW cuma sehari mengawas. Saya belum cek lagi yang lain. Untung Pak Kepala cek tadi. Bapak ini kerjanya bagaimana? Bisa atau nggak bikin roster yang benar?”
“Susah ya, Bu, bikin roster?” jawab saya.
Bu Nurma terdiam.
“Coba Bu Nurma bikin draft dulu nanti saya ketikkan, biasanya kan saya selalu yang bikin. Jadi, cuma saya yang tahu susahnya,”
“Saya minta tolong sama, Pak Baihaqqi…,”
“Saya bukan asisten Bu Nurma, apalagi Waka. Kurikulum,”
Bu Nurma naik pitam.
“Saya permisi, Bu,” saya menggerakkan langkah kecil. “Bu Nurma bisa coret-coret di kertas itu, besok saya perbaiki lagi,”
“Pak Baihaqqi! Pak…,” Bu Nurma menggertakkan kaki ke lantai. “Pak…!!!”
Saya sudah menarik gas dengan kencang meninggalkan perkarangan sekolah.
Kita tunggu besok bagaimana.
Dan besok pasti.
“Pak Baihaqqi, saya belikan Bapak lontong pecal di tempat biasa, Bapak pasti suka!” todong Bu Nurma keesokan paginya.
Kau sudah pasti bisa menebak.
Roster ujian belumlah selesai!
“Saya sudah sarapan, Bu,”
“Disimpan saja buat nanti siang, kita kan lembur bikin roster yang benar…,”
“Sudah saya print yang baru, Bu,” saya menyerahkan kertas dengan tulisan warna-warni kepadanya.
“Cepat sekali, Pak Baihaqqi,” mata Bu Nurma terbinar.
Kemarin itu. Bu Nurma saja yang tidak sabar.
Saya berucap, “Terima kasih, Bu,”
“Sama-sama!”
Kau mungkin tertawa.
Saya tidak.
Sudah sering saya berucap terima kasih kepada orang yang saya tolong. Saya boleh menyebutnya tolong sejak hari ini. Memang, di mana-mana adalah tolong.
“Pak Baihaqqi, saya minta tolong olah data ini sebentar,” Bu Sri menyerahkan flashdisk dan kertas buram. “Saya sudah coba semalam tapi sukar, nama file-nya Algoritma,”
“Pak Baihaqqi, slide Power Point saya tidak bisa dijalankan, bisa Bapak olah sebentar,” Pak Adam menyodorkan laptop ke depan saya.
“Pak Baihaqqi, saya ada keperluan mendadak, tolong gantikan di kelas XI IPA 2 ya,” Bu Vera juga sudah berada di level yang sulit saya jangkau.
“Pak Baihaqqi, saya nggak paham ini kenapa hurufnya nggak kelihatan ya…,” Bu Amna mendekati saya setengah berbisik dengan penampakan di layar laptop adalah Excel yang kolomnya berisi ###.
Saya terbahak.
Tentu, dalam hati.
“Pak Baihaqqi, tolong instal printer baru ke laptop saya sebentar,” Pak Kepala mencondongkan kepalanya di antara Bu Amna dan Pak Adam.
“Baik, Pak!”
Tolong dan tolong lagi.
Saya kembali kena X dari piket yang mengontrol hari itu. Mau bagaimana lagi. Ikhlas saja mungkin tidak cukup.
Di sekitar saya adalah mereka yang sedang bersenang-senang dan bergantung kepada satu orang saja. Pak Adam yang sedang mengerutkan kening, Bu Amna yang anak baru disebut bisa apa saja tetapi tidak, Bu Sri yang punya cita-cita tinggi tetapi sering meninggalkan tugas mengajar, Bu Rosmala yang sering mencampuri urusan guru lain, dan Bu Nurma yang sedang menyeringai karena dipuji Pak Kepala.
“Bu Nurma selalu terbaik dalam bekerja!” ujar Pak Kepala sambil meninggalkan ruang guru, setelah meminta saya menginstal program printer ke laptopnya.
Saya?
Kau sebut anak bawang.
Memang bawang.
Saat kau cincang baunya bisa membuat airmata meleleh. Saat sudah digoreng harum wanginya. Tetapi hilang bersama bumbu dapur lain.
Saya melipat kertas buram yang berisi coretan nama guru pengawas ujian semester ini. Seharian saya mengerjakan ini tapi cuma sebungkus lontong imbalannya.
Saya tidak mau disebut materialistis.
Tapi kawan, kau tahu terima kasih?
Ya.
Saya tak terima!
Hari itu saya pulang dengan lontong yang sudah dingin. Sampai di rumah, kuahnya sudah basi. Saya ikhlas. Lagi-lagi.
Mungkin nanti akan ada balasannya!
***