Saat ini matahari telah menyembunyikan sinarnya digantikan dengan terangnya bulan dan bintang di langit, Aine memutuskan untuk mandi.
Dingin air yang terjun dari shower kamar mandi membuat kepalanya yang tadi mumet karna berfikir akan sikap dinginnya Aga padanya di tambah lagi aura panas antara Galang dan sepupu nya Abay, di gantikan dengan ketenangan yang begitu nyaman.
Selama 45 menit lamanya ia mandi, kini Aine telah siap dengan pakaian nya yang cukup berantakan hari ini.
Gadis itu memandang liptint, pensil alis, mascara, dan segala peralatan makeupnya dengan tatapan penuh ingin memakainya. Tapi yang tangannya ambil hanyalah bedak tabur saja. Dirinya selalu ingat ucapan orang-orang yang mengatakan jika laki-laki lebih suka cewek natural.
"Ya udahlah, toh mau di gimanapun muka gue tetep cantik," ucap nya penuh percaya diri seperti biasa.
Dia harus tetap tampil natural dan seperti terlihat apa adanya agar ia bisa bebas menjudge para gadis di sekolah yang memakai makeup, padahal aslinya iri sekali.
Sesampainya di meja makan, Aine langsung menyalim tangan Bunda dan Ayahnya tanpa sarapan lebih dulu.
Aine tau dari sudut matanya jika Abay saat ini sedang melihatnya dengan sorot mata rasa bersalah. Biarlah! Biarkan lelaki jelek itu tau kalau hatinya itu bukan terbuat dari baja.
"Lho gak sarapan sayang?"
"Enggak Bun. Aine berangkat ya," pamitnya buru-buru. Susu cokelat yang nampak menggiurkan itu pun tak ia sentuh.
"Aine..." panggil sang Ayah menahan pergelangan tangan Aine.
"Kenapa Yah?" tanya Aine bingung.
"Kamu tidak berulah kan di sekolah?" Sang Ayah bertanya penuh arti.
Di depannya, Aine mengangguk gugup.
"Kamu masih ingat kan kalimat apa yang selalu Ayah tanamkan di dalam diri kamu?"
Aine sontak mengangguk mantap, "Ingat. Tetap jadi diri sendiri 'kan Yah?" ia melebarkan senyumnya.
Senyuman palsu.
"Pinter."
Ayah Aine mengecup puncak kepala putri nya itu, lalu kembali fokus membaca berita di koran.
Sebelum pergi, Aine sempat menoleh sekilas pada Abay yang seperti ingin bicara padanya.
"Bye," ucap Aine tanpa suara, tak lupa menyunggingkan senyum sinis nya.
Aine mengepalkan kedua tangannya melihat laki-laki yang ia sukai berangkat sekolah bersama gadis yang ia benci. Gadis yang sudah merebut perhatian dan membuat Aga membencinya. Matanya mengawasi kedua sejoli itu dari kejauhan.
Dia baru saja sampai beberapa menit di sekolah, dan sudah di hadapkan dengan pandangan yang membuat matanya sakit.
Aine tersenyum miring ketika gadis jelek itu melangkah sendiri menaiki tangga menuju kelasnya.
Dengan langkah cepat, Aine mengikuti Elea dan langsung menariknya hingga ia berbalik menghadapnya.
Elea sontak terkejut dengan pergerakan yang tiba-tiba itu, namun lebih tak percaya lagi melihat siapa yang di lihatnya sekarang. Ia memundurkan langkahnya kebelakang karna wajah Aine yang sangat mengerikan saat ini.
"K-kak," lirihnya dengan tergagu.
Elea menunduk dengan pundak yang bergetar takut. Dia bahkan tak berani untuk sekedar menatap mata Aine.
"Ssst diem," tekan Aine pelan.
"Jangan takut gitu dong. Biasa aja. Gue gak akan buat macem-macem sama lo. Cuma satu macem doang. Boleh ya?" tanyanya pura-pura memelas.
Elea menggigit bibir bawahnya kuat. Dia tau nada yang terdengar lembut itu sarat penuh akan ancaman.
"Ikut gue sekarang, atau gue seret lo ke lantai," perintah nya yang tak menerima penolakan apapun.
Mau tidak mau Elea akhirnya mengikuti kemana Aine melangkah. Beberapa pasang mata melihat mereka dengan berbagai macam tatapan. Ada yang heran melihat primadona sekolah berjalan berdua dengan si kutu buku, namun ada juga yang mencibir.
"Mau kemana Ai? Sama cewek cupu lagi," sapa salah satu siswa yang nongkrong di depan kelas.
Aine menoleh pada Elea.
"Maksud lo Elea?" tanya Aine berpura-pura tidak paham.
"Iyalah. Masa lo yang cantik gini?" remeh lawan bicaranya menyindir Elea.
"Enggak kok, dia gak cupu. Cantik gini masa di bilang cupu. Ya gak El?"
Elea terpaksa mengangguk. Ia juga mengulas senyum pada orang yang menegur Aine, meski yang ia dapatkan hanya tatapan jijik.
"Oh gitu. Yaudah lanjut deh. Eh tapi boleh foto dulu gak? Lumayan nambah followers gue di instagram. Lo kan seleb Ai," ucap nya meminta selfie bareng.
Meski malas, namun Aine tetap mengiyakan dengan berat hati.
Matanya memberi kode agar Elea jangan kemana-mana.
Aine membawa Elea ke belakang perpustakaan yang tentu saja tidak akan ada orang lain yang melihat. Di dalam perpustakaan saja sepi, apalagi di belakangnya kan?
"Ini gedung favorit lo 'kan?" tunjuk Aine.
"I-iya Kak."
"Kenapa? Takut?" tanya Aine menaikkan dagu Elea ke atas.
Aine langsung menarik rambut gadis itu yang tergerai bebas, "Mau sok cantik di depan Aga hm?" ia mencengkaramnya kuat sehingga Elea meringis kesakitan.
"Tolong lepasin Kak s-sakitt."
Plak
"Gak ada yang nyuruh lo ngomong!" bentak Aine.
"Sakit Kak. Ampun hikss..." mohonnya dengan lirih.
"Apa lo bilang? Ampun? Sakit?" wajah Elea ndogak ke atas, tangannya berusaha melepaskan cengkraman Aine namun tenaganya tidak cukup kuat.
"Tau kesalahan lo apa ha?!"
Aine langsung menampar Elea lagi dengan sekuat tenaga saat gadis itu menggelengkan kepalanya. Nafas nya memburu, mata nya sudah memerah karena menahan emosi yang sudah menguasai dirinya.
Bisa-bisanya Elea bisa dengan bebas mengobrol, bahkan duduk di boncengan motor Aga, sedangkan dirinya menegur laki-laki itu saja hanya mendapat tatapan dingin.
Jiwa kecantikan Aine bergetar tak terima kalah dengan sosok gadis cupu yang tidak ada apa-apanya di banding dirinya.
"Denger ini baik-baik sialan. Gue gak suka lo cari perhatian nya Aga apalagi sampe deket-deketin dia! Lo ngerti 'kan bahasa manusia?" ucap Aine menekan setiap kata di kalimatnya.
"JAWAB!" teriak Aine tiba-tiba membuat Elea terlonjak kaget.
"I-iya Kak aku paham," cicit nya.
Aine tersenyum puas melihat raut wajah pucat mangsa nya itu. Ada kepuasan tersendiri melihat orang-orang sampah seperti Elea meringis kesakitan.
"Ada hubungan apa lo sama Aga ha?"
"G-gak ada Kak," jawab Elea lirih.
"Gue paling gak suka sama pembohong! Jadi jawab jujur, lo ada hubungan apa sama dia?! Lo pacar nya Aga ha?!" Aine bertanya dengan nada naik tiga oktaf.
"Enggak Kak, aku gak bohong. Kak Aga cuma sebatas kakak kelas aja," ujar Elea entah itu sebuah kejujuran atau kilahan saja.
Tangan bersedekap di depan dada, "Gue percaya sih. Lagian juga gak mungkin Aga suka sama cewek buruk rupa kayak lo."
Ia memainkan nail art nya, "Pasti lo 'kan yang gatel deket-deketin Aga duluan?! Ngaku lo?!"
Elea tetap menggeleng. Tak usah di tanya berapa banyak tetes air mata yang sudah keluar.
Berhadapan dengan si ratu bullyng yang ssebenarnya bagai mimpi buruk yang pernah ia alami.
"Kali ini lo masih aman di tangan gue. Tapi inget, gue akan bikin hidup lo menderita kalau sampe lo masih berani deketin Aga. Gue gak pernah main-main sama ucapan gue. Ngerti?!" seloroh Aine tajam.
"A-aku paham kak. Tolong lepasin kak sakitt."
Lalu Aine mendorong Elea ke lantai dengan kuat. Mendengar permohonan dan lirihan dari gadis yang sedang ia bully itu semakin membuatnya ingin sekali menyiksa lebih. Tapi ia tahan.
"Bangun!" titah Aine.
Masih memegangi kepalanya, Elea bangun dengan sisa tenaga.
"Pergi sekarang dan jangan pernah ngadu sama siapapun. Gak usah sok lemah biar orang pada prihatin sama lo. Muak tau gak?!" sembur Aine tepat di wajah Elea.
Elea dengan cepat melangkah pergi dari hadapan Aine, namun rupanya gadis jelmaan iblis itu tidak membuat Elea bebas begitu saja.
Dengan sengaja ia menjulurkan kaki di depan yang membuat kaki Elea terkilir dan jatuh ke lantai kembali.
"Rasain! Siapa suruh pergi ngeduluin cewek cantik? Ngaca! Dunia aja gak sudi di huni sama orang-orang jelek kayak lo!"
Jahat. Jahat sekali ucapan Aine yang membuat hati Elea meringis pedih.
Terlebih dengan tawa menyebalkan dari gadis itu.
"Cuih," decih Aine hampir mengenai kaki Elea.
"Kalau lo sampe melanggar perintah gue-"
Jeda sebentar sebelum ia melanjutkan, "Gue pastiin gue akan jadi mimpi buruk yang pernah lo milikin, Elea."
Usai membereskan mangsa baru nya itu, Aine pergi ke toilet untuk sekedar merapikan penampilannya.
Di sana ternyata ada beberapa gadis yang juga sama dengannya, mereka terlihat luwes sekali menggunakan makeup.
"Kok lo liatin kita gitu?" tanya salah satunya bersuara.
Aine mengernyit bingung mendapat teguran seperti itu. Ah, dia tau. Gadis dengan rok di atas lutut itu adalah ketau cheerleader di sekolah ini.
Cukup cantik, tapi tidak secantik dirinya.
"Ada yang salah?" sahut Aine acuh.
Tapi senyuman cewek dengan bibir merah merona bernama Aurel itu sungguh mengganggu diri Aine.
"Kenapa lo senyum gitu?" tanya Aine.
"Ada yang salah?" balas sang lawan bicara yang sama persis dengan kalimatnya beberapa detik tadi.
Tanpa di duga telunjuknya menunjuk wajah Aine yang segera Aine tepis. Kurang ajar sekali!
"Ini yang katanya cewek tercantik di sekolah? Cantikan juga pantat gue." ucapan Aurel mampu membuat mata Aine terbelalak.
Hollyshit! Ia sadar sekarang lawan nya cukup sepadan dengannya. Tapi bukan Aine namanya jika tidak mempunyai seribu cara untuk menaklukkan lawan.
"Lo iri sama gue?" Aine membalas tatapan bengis Aurel. Teman nya ingin membantu, tapi Aurel memberi kode agar temannya itu tak ikut campur.
"Iri sama cewek munafik, naif, dan sok cantik kayak lo? N-A-J-I-S, najis!" jawab Aurel menekan setiap huruf 'najis'
"Lah? Emang gue cantik. Lo kenapa sih Rel? Gue gak mau nyari musuh ya di sekolah, jadi please kalau gak suka sama gue minimal jangan ganggu. Dan satu lagi, gue natep lo tadi biasa aja. Gak ada maksud apa-apa," ucap Aine tak ingin memperpanjang masalah.
Dia bisa saja berseteru dengan Aurel, tapi image cewek kalem nya nanti bisa rusak!
Meski saat ini Aine teramat ingin mencongkel mata Aurel yang di lapisi softlen murah..
"Dengan lo yang mulai deketin Galang, itu tanda nya lo udah ngibarin bendera perang sama gue."
Jadi ini alasan kenapa Aurel tidak menyukainya? Hanya karna Galang? Si Cabe Man itu?
"Yang deketin Galang siapa? Lagian juga gue gak kenal sama cowok yang lo maksud," lontar Aine bohong.
Mendengar itu Aurel mengeluarkan ponsel nya dan menunjukkan sebuah foto cewek dan cowok yang lagi duduk di lapangan sekolah dengan latar sunset.
"Ini yang lo bilang gak kenal?" Aurel mendorong pundak Aine.
"Aurel stop!" peringat Aine, jangan sampai ia kelepasan pada Aurel.
Sudah cukup kakak kelas atau adik kelas yang sudah Aine buat bungkam. Ya! Bisa di bilang, sebagian gadis di sekolah ini yang pernah berurusan dengannya, hampir tak berani menampakkan diri di depan Aine lagi.
Mereka datang memaki-maki Aine dengan mengatakan jika Aine yang menyebabkan hubungan pacaran mereka rusak, tapi pada akhirnya? Mereka juga yang menjerit minta ampun agar Aine berhenti membuat kehidupan di sekolah mereka menderita.
Bahkan Kaia dan Puyu pun tidak pernah tau siapa Aine yang sebenarnya.
"Dari mana lo dapet foto itu?" Aine sungguh penasaran sekali. Pasti ini yang di maksud oleh kedua sahabatnya di telfon tadi.
"Seantero sekolah juga udah tau bitch!" seru Aural.
"Denger ya Aine. Gue gak peduli sama lo yang katanya cantik, natural, balblabla semua tentang diri lo yang bikin telinga gue muak dengernya. Gue gak perduli lo mau deket sama manapun asal jangan-"
"Galang?" sela Aine cepat.
"Well. Gimana kalau gue bilang, Galang duluan yang suka sama gue?"
Aurel diam membisu. Namun tatapannya yang seolah bicara jika ia benci dengan kalimat yang di lontarkan Aine barusan.
Aine menepuk bahu Aurel pelan, "Tenang aja Aurel. Gue gak doyan sama cowok mulut cabe kayak dia. Lo suka? Ambil. Kan katanya lo cantik, jadi seharusnya lo mudah dong ambil hatinya dia? Cantik itu perlu bukti dan pengakuan. Gue tunggu tanggal jadian lo sama Galang," ujarnya tenang.
Semua prinsip yang Aine pegang, memang selalu tidak pernah sama dengan prinsip-prinsip bijak di luar sana.
Cantik itu perlu bukti dan pengakuan. Kita lihat saja, apa suatu hari nanti ia sendiri yang akan menyesali prinsipnya itu.