Jalanan desa di waktu pagi begitu sunyi tanpa kebisingan kendaraan berlalu lalang, hanya terdengar suara kicauan burung dan tetes sisa air hujan yang jatuh dari dedaunan. Saat memasuki musim hujan para petani sibuk menyiapkan bibit-bibit padi yang unggul untuk mereka tanam di sawah. Musim hujan menjadi primadona petani padi karena akan menguntungkan sampai masa panen. Padi membutuhkan banyak air untuk tumbuh sehingga saat musim hujan datang menjadi tanda masa penanaman bibit. Angkasa mengayuh sepedanya pelan menikmati semilir angin yang menerpa tubuhnya, bau tanah khas seusai hujan memenuhi indera penciumannya, rumput-rumput liar yang basah berbaris di sisi jalan, roda sepedanya sesekali menggilas genangan air dan bebatuan kecil. Tampak bibirnya melengkung kecil saat melihat pasangan tua petani melontarkan canda satu sama lain, ia memelankan laju sepedanya demi mendengar obrolan dari pasangan romantis itu.
"Pak, sampeyan eling ora? Dhisik aku pisanan temu sampeyan ning kene," (Pak, kamu ingat nggak? Dulu pertama kali kita ketemuan di sini) tanya si Ibu menatap ke bawah sambil tersenyum malu.
"Iyo eling Bu," (Iya ingat, Bu) jawab si Bapak yang masih fokus menanam padi.
"Kok iso sih Pak tresna karo aku dhisik iku?" (Kok bisa sih pak jatuh cinta sama Ibu waktu itu?) tanya kembali si Ibu menatap ke langit dengan wajah seperti remaja kasmaran.
Bapak petani yang mendengar itu menghentikan aktivitasnya dan menatap wajah tua istrinya sambil tersenyum, "Iso wae, sampeyan wis ayu manis pisan, piye aku ora klepek-klepek". (Bisa saja, kamu kan cantik manis pula, bagaimana aku nggak klepek-klepek).
Tawa Angkasa pecah saat melihat Bapak petani menoel dagu istrinya dengan tangan yang kotor hingga meninggalkan bekas lumpur dan si ibu yang salting memukul berkali-kali bahu si Bapak dengan caping. Angkasa tergelak tanpa suara hingga deretan giginya tampak. Ia menggeleng-gelengkan kepala sembari melanjutkan perjalanannya yang tertunda. Ia bersenandung dengan nada tak beraturan masih dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya.
=====
Suasana food court kampus terihat sepi hanya ada beberapa mahasiswa-mahasiswi berlalu lalang memesan makanan usai mata kuliah siang. Suara kriuk-kriuk terdengar dari setiap gigitan kerupuk yang Anindya makan. Ia menyantap mie ayam pesanannya dengan lahap, saking lahapnya ia seperti menyeruput mie itu tanpa dikunyah dengan bibir cemong. Kinara yang melihat itu berdecak kesal menyentil dahi Anindya.
"Astaghfirullah, apa sih Kiki? Sakit tau!" Lontar Anindya kaget sembari mengelus dahinya yang memerah.
"Please ya Nin, kalau makan itu kalem pelan, nggak usah keburu-buru, nggak ada yang ngerebut itu makanan, keselek tau rasa". Ucap Kinara sembari mengambil tisu dan mengelap bibir cemong Anindya.
"Ih, aku bukan bocil lagi tau! Dasar emak-emak bawel". Ujar Anindya merebut tisu dari Kinara dan mengelap bibirnya sendiri, tak berselang lama ia melanjutkan aktivitasnya dan tidak sengaja tersedak sambal hingga batuk.
Kinara hanya bisa mengehela napas dengan wajah datar seolah mengejak 'rasain tuh'. Ia membukakan sebotol air dan memberikannya pada Anindya. "Nggak berubah, makin dewasa dikasih tau bukan nurut malah ngeyel".
Anindya mendengarkan penuturan Kinara sembari meneguk air perlahan. Setelahnya ia bernapas lega meski matanya merah usai tersedak. Ia memasang wajah tak bersalah hanya menyengir polos dan melanjutkan aktivitas makannya.
"Btw Nin, gimana kamu semester 5 ini, mau ke mana niatnya?" Tanya Kinara mengganti topik pembicaraan.
"Tadi aku udah ketemuan sama Prof. Ratih, beliau ngajak aku ke Magelang buat penelitian etnobotani di sana, lumayan biaya ditanggung semua, aku cuma perlu bawa diri, jadi gas aja lah". Jawab Anindya tersenyum girang menatap Kinara.
"Alhamdulillah kalau gitu," ujar Kinara mengangguk.
"Terus kalau kamu gimana Ki, persiapan skripsi aman?" Tanya Anindya balik.
"Alhamdulillah dari tiga judul yang aku setor, diterima satu tentang laba kotor, hasil saran dari kating sih itu," jawab Kinara sambil menyeruput es tehnya.
"Katingku ini udah skripsian rek, bentar lagi udah wisuda, eh habis lulus langsung nikah nggak sih?" Timpal Anindya menggoda hingga tawa mereka berdua pecah.
Usai menghabiskan pesanan mereka, Anindya mengajukan diri untuk membayar ke penjual, tetapi bukan mentraktir hanya membantu mebayarkan uang milik Kinara. Baru saja berdiri, kakinya sudah terbentur kaki meja hingga ia meringis kesakitan. Kinara yang melihat itu berkenan membantu tapi ditolaknya, "santai aman gapapa, nggak sakit".
Anindya berjalan sembari melihat ke arah Kinara dengan mulut berucap gapapa tanpa suara, tetapi jalannya terlihat pincang. Baru beberapa langkah, Kinara ingin mengingatkan pada Anindya ada pilar di depannya, "Nin hati-hati lihat ke dep-," belum usai mengingatkan sudah terdengar suara rintihan dari Anindya yang menabrak pilar food court, "-pan ..." lanjut perkataan Kinara yang belum usai.
"Ya Allah, kenapa sih pilarnya di bangun di sini, siapa arsiteknya coba?" Dumel Anindya pada pilar yang ia tabrak.
"Tetap sama, memang ceroboh itu anak," gumam Kinara berbisik berpura-pura tidak melihat karena malu dengan sikap Anindya.
=====
"Kak, barang-barangnya udah semua? Yakin nggak ada yang ketinggalan?" Tanya seorang wanita paruh baya dengan daster lengan panjang yang merupakan Ibu Anindya—Nara.
"Aman Bu, beres." Jawab Anindya sembari mengangkat koper dan menaruhnya di bagasi mobil.
Hari ini adalah jadwal keberangkatan Anindya ke kota Magelang untuk mengikuti penelitian bersama Prof. Ratif. Ia mendapat pesan via email dari Prof. Ratih yang mengirimkan tiket pesawat dengan jadwal keberangkatan pukul 08:00 WIB. Sejak semalam ia sudah bersiap dan mengemas semua barang-barangnya.
"Kak, sudah siap? Kalau sudah ayo berangkat!" Ujar seorang lelaki paruh baya yang mengenakan setelan kemeja lengan pendek polos berwarna navy dan celana kain hitam, Bapak Anindya—Hardi. Ia baru sajak keluar dari pintu rumah membawa kunci mobil diikuti oleh Hana di belakangnya.
"Sudah Pak," ucap Anindya lalu menatap ke arah Hana yang memasang wajah murung, ia mendekati adik kesayangannya dan mengusap rambut Hana pelan, "Hana marah sama Kakak?"
"Nggak kok, Hana cuma nggak mau jauh dari Kakak, nggak ada yang bantu Hana ngerjain matematika, nggak ada juga yang Hana ajak bercanda sampai larut malam nanti". Lontar Hana masih dengan wajah murungnya.
"Hana, Kakak di Magelang cuma 4 bulan kok, gini deh nanti pulang dari Magelang kakak bawain oleh-oleh yang banyak, setiap hari kita video call ngobrol kalau kamu kesepian". Bujuk Anindya mengelus rambut Hana dengan senyuman tipis.
"Janji ya Kak?" Ucap Hana memberi kelingkingnya.
"Janji!" Saut Anindya yang membalas tautan kelingking Hana.
Hardi menghampiri kedua puterinya dan mendekap mereka erat. "Sudah-sudah, kenapa jadi melow gini suasananya. Kak, ayo berangkat takut telat ke bandara!" Ucap Hardi yang dibalas anggukan oleh Anindya.
Anindya menyalami tangan Ibunya dan segera memasuki mobil, ia membuka kaca jendela dan melambaikan tangan pada Ibu dan adik perempuannya sembari mengucapkan salam. Terdengar suara deru mesin sebagai pertanda jalannya mobil. Saat dalam perjalanan, ia masih di posisi yang sama menatap ke luar jendela menikmati hiruk piruk suasana kota Surabaya. Tatapannya beralih pada birunya langit dengan segerombol awan yang berlomba mendahului satu sama lain. Netranya berbinar beriringan dengan senyumnya yang semakin lebar. Magelang, entah bagaimana kota itu, baru kali ini ia akan pergi ke sana. Diam-diam hatinya berharap semoga segala sesuatunya baik tanpa terkecuali.
wuahhhh bagus pol polll
Comment on chapter 2—Keberangkatanayo cepat up mbaa 🤩🤩