Napas Anindya terasa sesak saat menemukan surat kaleng milik laki-laki yang selalu ia rindu, surat itu ia temukan di taman terkubur tepat di bawah naungan pohon besar dengan ayunan kayu yang menggantung pada dahan pohon—tempat awal ia mengenalnya. Jemarinya berkeringat dingin membuka lipatan kertas secara perlahan, kepalanya sesekali mendongak ke langit menatap dedaunan pohon, menahan isakan dengan air mata yang sudah menggenang. Ia menarik napas panjang dengan mata terpejam, mengumpulkan keberanian untuk membaca surat itu.
Perihal rindu—Kota Harapan; tentang bunga matahari
"An, saya harap saat membaca ini kamu tidak membenci tulisan saya. Maaf jika tulisan saya membuatmu menangis. Saya tidak akan menjabarkan cara menahan rindu karena rindu itu perasaan yang tidak bisa kamu sangkal. Saya juga tidak akan menyuruhmu menyampaikan rindu karena terkadang perasaan itu cukup disimpan dan dinikmati sampai habis. An, tetaplah menjadi bunga matahari yang selalu ceria seperti An yang saya kenal dulu. Rasanya tidak akan cukup jika saya menjelaskan tentangmu, bagaimana kamu selalu menjadi inspirasi dalam setiap karya saya. Kepada An, maaf jik—"
Baru saja membaca paragraf awal pada surat, ia sudah tidak sanggup melanjutkan, tetes demi tetes air mata berhasil lolos dari kendalinya. Anindya masih berusaha menahan tangisannya, hanya terdengar isakan lirih beriringan dengan tikaman tajam yang menghunus dadanya. Ia mencengkram surat itu kuat dengan langkah kaku tanpa arah. Rasanya sangat menyesakkan, tubuhnya gemetar dan pertahanannya perlahan runtuh. Tubuhnya ambruk bersimpuh di atas rerumputan dengan tangisan yang sudah tak bisa ditahan lagi. Ia menangis sejadi-jadinya tanpa suara, seolah waktu tercekat dan satu semesta ikut merasakan kesedihan yang selama ini ia pendam. Langit juga ikut murung dan tampak mendung, hujan perlahan turun dengan deras tanpa aba-aba seolah membantu menyembunyikan isak tangisnya. Sadar hujan semakin deras, ia melipat surat itu dan berusaha menyelamatkannya dari guyuran air hujan, ia memasukkannya ke dalam tas selempang kecil berwarna hitam lalu memeluknya erat.
Beriringan dengan dinginnya air hujan yang menyapa tubuhnya hingga basah, ia melangkah tertatih-tatih karena sudah lemas tanpa asupan sejak kemarin malam.Tatapannya kosong berkaca-kaca mengingat memori tentang dia yang menyebutnya sebagai bunga matahari. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana laki-laki itu selalu melontarkan humor kuno jenaka hingga tawanya pecah, laki-laki pembenci keju, seniman favoritnya, laki-laki keras kepala yang selalu tersenyum menyembunyikan lukanya sendirian—Angkasa.
'Asa, An masih tetap menunggu,' lirih batin Anindya seiring dengan langkahnya yang terhenti. Tatapannya teralihkan pada gelapnya langit karena mendung, kali ini ia membiarkan hujan menerpa wajahnya bersamaan dengan semua kenangan itu.
wuahhhh bagus pol polll
Comment on chapter 2—Keberangkatanayo cepat up mbaa 🤩🤩