<4 Juli 2015, 11:50. Jakarta.>
Guntur menyerang. Petir serasa memilih target untuk disetrum dengan tegangan listrik tinggi. Pelat logam yang berada di titik paling tinggi menara melakukan usaha terbaiknya memberikan ketenangan di tengah ruangan suhu 27 derajat Celcius. Siulan konstan dari benda semi-mati itu tidak menghalangiku mengulang materi perkuliahan, ditemani coklat tercinta di meja.
Morrigan yang sesekali mencuri makan dengan kunyahan super nyaringnya menempelkan kening di ujung mejaku, hampir ngiler.
“Hei, Morrigan.”
“Hmm?”
“Kau bisa berhenti makan?”
Morrigan menggeleng kepala.
Entah bagaimana caranya menyelinap masuk melewati pintu yang terkunci. Tapi, aku seharusnya tak terkejut, mengingat ia berasal dari dimensi di luar nalar sehat manusia.
“Kenapa?”
“Pertama, aku lapar. Kedua, ini enak. Ketiga, yang pertama kali makan adalah kau. Aku hanya nebeng.” Renda-renda di dress ungunya menyibakkan serpihan bubuk hampir tak kasat mata ke lantai.
Hari keempat, hari dimana polisi wanita itu berjanji akan menghubungiku. Sebelum matahari terbit, ia memang sudah mengirimiku pesan singkat.
Kontennya yang berisi permintaan datang dengan Morrigan ke kantor polisi yang membuatku cemas. Tak ada kepastian apapun, hanya perintah untuk datang.
Apakah terjadi sesuatu yang tak boleh terekam oleh jejak digital?
Apapun itu, aku tak akan keluar saat hujan sederas ini. Kecuali dia menjemputku paksa.
Aku melihat ke luar jendela kamar. Hujan badai, tak ada tanda-tanda berhenti. “Kurasa aku bisa membelikanmu sebungkus nasi goreng dibawah.”
“Enak?” Morrigan dengan sayu melihatku, matanya setengah tertidur, mulutnya menguap.
“Yup. Tapi tak sehat.”
“Tak masalah. Toh, aku juga sebentar lagi akan mati.”
Aku menaikkan alis.
Kukira itu hanya semacam candaan atau salam aneh dari dunia lain. “Jadi, itu benaran?”
“Kau menganggapku berbohong, Walter?” Morrigan meliukkan lehernya di sampingku, mata jeli membaca rumus perhitunganku di kertas.
Di luar dugaan, ia mengoreksi penulisan rumus chi squareku yang terbalik-balik. Tinta di kertas hilang ditimpa semacam usapan air comberan, memperbaiki kesalahan yang ada. “Tulisanmu jelek.”
“Jangan peduli.” Aku menggendongnya duduk di pangkuan, menatapnya langsung di mata. “Kau paham yang beginian, toh?”
“Huruf kalian berbeda, tapi memahami bahasa dan cara berhitung kalian adalah sesuatu yang simpel.”
Hmm, kurasa aku tak jadi mengembalikannya ke kantor polisi. Morrigan sangat berguna menyelamatkanku di tes matematika setelah ini. “Jika kau mati, maka kami juga ikut?”
“Yup.”
Candaannya aneh sekali. “Kalau begitu, apa kita perlu bersenang-senang sebelum kiamat?”
Morrigan menunjuk ke arah jendela. “Aku tak ingin basah kuyup dan terkena flu. Dan kau juga tak mengizinkan sihir tuan besar ini untuk menghilangkan awan tersebut.”
“Apartemenku akan ricuh jika kau melakukannya lagi, tolong.”
Morrigan mengangguk. “Makanya, aku mati kebosanan disini.”
“Main game?”
“Tak cukup. Tapi, apa boleh buat.”
“Hei, sebelum itu, bantu aku dengan ini lebih dulu.”
“Masalahmu ...” Ia kabur ke ruang tamu, meninggalkanku sendirian di dalam kamar yang akhirnya menjadi milik pribadi.
Jiwa dari buku setebal ratusan halaman serasa akan memelototiku hingga pingsan. Rumus yang ada didalam menyedot isi otak hingga tak ada yang tersisa.
Nada dering ponsel berbunyi, tanda untuk pesan singkat.
Mr. Walter, pihak kepolisian telah menunggu anda di bawah gedung. Kami harap anda bekerja sama untuk melanjutkan proses aduan anda. Terima kasih.
Tak perlu membawa Morrigan, kurasa.
Kunci rumah masuk ke dalam kocek, lengkap dengan dompet dan ponsel.
“Morrigan, aku keluar menemui tamu dulu. Jangan kemana-mana selama aku pergi, oke?”
Gadis iblis itu sedang rebahan, satu tangan memegang stik PS yang baru buka bungkus beberapa bulan lalu, satu tangan lainnya mengisap susu dari kemasan plastiknya. “Yaa.”
“Ngomong-ngomong, Clarissa akan datang nanti. Bukakan pintu untuk dia.”
Telinganya yang agak menukik ke atas bergerak liar untuk beberapa detik.
“Morrigan?”
“Clarissa? Kenapa dia datang?”
“Ingin pinjam PS untuk dimainkan. Begini-begini, ia juga gamer berat.”
Morrigan mengangguk.
“Baik-baik dengan dia, oke?”
“Yaa.” Layar televisi berkedip sekali, membangkitkan semangat Morrigan untuk kembali ke dalam dunia pertarungan virtual antara seorang biksu botak pembawa senapan mesin, melawan orang kribo dengan katana. “Kapan?”
“Sebentar lagi, kurasa 15 menit. Baik-baik, oke?”
“Yaa.”
“Jangan tahan orang lain didalam apartemenku, dan jangan pecahkan barang lagi, oke?”
“Yaa.”
Damai juga dia hari ini. “Perlu kutinggalkan kunci?”
“Tidak, aku bisa menyelinap keluar sendiri, jika diperlukan.”
Terdengar seperti sebuah ancaman, tapi oke. “Kurasa kau tak berbohong.”
“Santai saja. Aku akan menunggumu dan menjaga pasanganmu, jadi cepat pergi dan selesaikan urusanmu, manusia.”
“Dia bukan pasanganku, sialan.” Ups, kata-kata adalah doa. “Maksudku, mungkin belum.”
Morrigan menembakku dengan senyum licik, tepat sasaran dan membuat wajahku memerah.
“Aku pergi.”
Morrigan mengangguk.
Kurasa tak akan ada masalah, jika aku tak pergi lama. Toh, nanti juga Clarissa akan membantu mengamankan situasi.
...
...
...
Walter sudah pergi.
Ronde permainan ini juga sudah dimenangkan dengan telak. Sebentar lagi, sensasi kebosanan familiar yang dibawa dari dunia sebelah akan mendarat di sel-sel otak juga.
Setidaknya, aku harus bertahan selama 15 menit.
Setelahnya, waktu untuk bersenang-senang. Pernikahan antara ras manusia bukan sesuatu yang jarang. Sebelum perang besar, jumlah permintaan yang kuterima untuk memberikan semacam pemberkatan saat upacara pembuatan janji suci tidak sedikit. Yang jarang ditemukan, adalah melihat langsung bagaimana cerita dua sejoli berhasil dibangun.
Akan kucerca wanita itu dengan serangkaian pertanyaan. Kubuat dia terus terang akan perasaannya terhadap Walter, dan setelah semuanya diungkap dalam terang, penilaian akan diberikan untuk menilai kecocokannya terhadap Walter.
Setelahnya, pernikahan.
Lalu, momen paling mengesankan setelahnya, musim kawin!
Bagaimanapun, aku tak bisa terus-terusan bertahan pada status jombloku yang sekarang. Menemukan pengalaman adalah cara terbaik untuk punya kesempatan mengatasi masalah ini di masa depan.
Tapi, untuk sekarang, harus sabar. 15 menit tak panjang.
Gorden ditarik, pemandangan di luar monoton, mencekik tenggorokan dengan bau asap. Kulkas penuh dengan daging tak jelas yang beraromakan cabe dan serangkaian bumbu masak menusuk hidung. Toilet bersih, bekas kotoran hilang entah kemana. Kamar tidur Walter bersih, meja belajar dan tempat tidur tertata rapi. Tablet yang biasa dimainkannya penuh dengan folder ‘homework’.
Laba-laba yang baru mulai bersarang diatas lemari kumakan, mungkin ada campuran nyamuk dan lalat di jaringnya. Rasanya tak buruk.
Sial.
15 menit sangatlah panjang, seperti menunggu kotoran di pantat yang tak kunjung keluar, namun tetap memberikan kesengsaraan kepada saraf perut, memberikan sugesti untuk berusaha lebih keras dan ...
Ting tong.
Owh, akhirnya datang.
Berlari ke cermin, dressku dapat diterima keadaannya. Tentu saja tak bisa dibandingkan dengan saat di kerajaan, dimana tubuhku adalah milik iblis dewasa, tapi setidaknya ini kelihatan bermodel dan berkelas. Alas kaki terbuat dari kapas putih lembut, wajahku bersih mengkilap. Bagus.
Aku buru-buru melompat ke depan pintu, menggunakan telekinesis untuk memutar knop pintu. Sosok seorang manusia wanita dewasa dengan tas selempang, baju hitam longgar, dan celana panjang ketat tiba di hadapan. Fiturnya yang basah kuyup tertutupi selapis jaket tipis, menatapku dengan kebingungan.
...
...
...
Jari kakiku kedinginan, sepatu dan kausnya kemasukan air hingga lembab, kulit serasa mengeriput. Tali tas di sepanjang bahu membantu mengingatkan sensasi menggigil dari cuaca buruk yang menyerap masuk ke baju. Isi tas seharusnya aman, sudah kubungkus dengan plastik untuk menghindari guyuran tiba-tiba ini.
Parkiran penuh dengan kendaraan bernasib serupa denganku. Seorang satpam datang dengan muka cemberut, ujung celana berteteskan air, mendorong motorku dengan kasar untuk merapikan barisan motor yang terparkir.
Mencabut kunci, aku bergegas menuju pintu geser otomatis, disapa dengan ramah namun singkat oleh satpam lainnya, mungkin kolega petugas di luar.
Kemudian memencet lift dan menunggu hingga angkanya mencapai 10.
Lalu keluar.
Lalu sampai di depan pintu apartemen milik Walter.
Apa aku numpang mandi di toilet ruangannya saja ...?
Tidak, tidak. Apa yang kupikirkan, sih? Begitu-begitu, dia masih pria dan kami juga masih belum punya hubungan resmi. Lagipula, kami hanya sekedar teman, tak lebih dan tak kurang.
Aku membunyikan bel.
Ting tong.
Terdapat jeda beberapa detik, hingga pintu terbuka. Seorang anak kecil setinggi perutku menyapa dengan senyum serius, mata mengamatiku dari atas ke bawah, tangan anggun menyambutku masuk.
“Owh, kau anak yang kemarin. Uhm, namamu ...”
“Morrigan.”
Tangannya hampir tak dapat menyentuh gagang besi tersebut, kaki berjinjit layaknya ingin menggapai sesuatu. Tanduk hiasan rambutnya sesekali mengenai ujung pintu.
Aku berjongkok, reflek mengelus kepalanya dengan pelan. “Apa kau sendirian di rumah?”
Morrigan mengangguk, memegang tanganku dan menggerak-gerakkannya untuk mempercepat irama elusanku. “Yup. Dan tolong jangan panggil aku anak-anak, manusia. Aku setidaknya sudah berumur ratusan tahun.”
Dia masih sama anehnya seperti pertemuan pertama kami.
Pintu kembali terkunci, anak kecil ini membimbingku masuk layaknya wakil tuan rumah bagi Walter, menunjukkan serangkaian kegunaan dari alat dan letak barang-barang layaknya anak SD yang mempraktikkan kata ejaan baru yang didapatkannya. Jelas dan singkat, lingkup kosakata yang diketahuinya abnormal.
“Dik Morrigan, apa aku boleh memakai toilet? Aku perlu ganti baju sebentar.”
Telapak tangannya yang imut-imut menyodoriku segelas air putih panas, lengan lain masih memegang teko yang mengeluarkan asap. Gigi taring yang menonjol tersenyum kecil. “Tentu, jika kau hilangkan panggilanmu di depan.”
“Baik, baik. Morrigan, aku masuk ke toilet, ya.”
Ia mengangguk, kembali mengantarku sampai ke depan pintu, menyodorkan tasku lengkap dengan handuk putih.
“Terima kasih.”
Celana jeans dan baju putih cadangan dikeluarkan, tas digantung ke hanger besi di samping bilik shower. Pijakan lantai bersih mengkilap, lumut dan bekas sabun sama sekali tak terlihat. Lubang kloset nihil noda, tanpa celah untuk dikomentari.
Padahal Walter dulu adalah orang yang acak-acakan. Kurasa umur merubah kami semua.
Selesai berganti, aku meminjam cangkir kumur yang kosong di wastafel, meneguk cairan pembersih mulut, kemudian membasuhnya dengan air bilasan.
Keluar-keluar, seorang wanita dewasa menungguku di depan pintu.
“Teh?” Dress hitamnya anggun, lembaran kain yang tampak super halus menyentuh lututnya. Wajahnya cantik natural dengan tinggi badan sepertiku, sebuah aura misterius mensugesti pikiran layaknya kami adalah rekan yang sudah lama kenal. Tangannya putih dan halus, menggenggam segelas cairan coklat kemerahan.
“Uh, terima kasih ...” Pahit, namun tidak menyesakkan tenggorokan. Aromanya wangi dan membekas, tanda bahwa daun yang dipanen masuk dalam kategori kualitas fantastis.
Tidak, tidak. Pikiranku seperti terhipnotis saja. “Tunggu, siapa anda?”
“Aku? Aku orang yang barusan membukakan pintu untukmu, manusia.”
“Huh?”
Cangkir yang kupegang tiba-tiba melayang di udara, sebelum mendarat dengan sempurna di tangan si wanita yang kira-kira berumuran sebaya denganku. Tasku yang terjatuh di samping pintu toilet mengalami fenomena serupa, tapi kali ini mendarat empuk di sofa, tempat dimana si wanita duduk, gestur tangan menghampiriku untuk melakukan hal yang sama dengannya.
Sejak kapan dia bergerak ...? Tidak, apa aku sedang bermimpi?
“Anda ...”
“Sudah kubilang, aku Morrigan, manusia. Kau seharusnya sudah lihat trik kecilku saat kemarin menghabiskan waktu disini, bukan?” Pipinya cemberut, mulut menghembuskan angin imajiner dengan telunjuk yang masih memintaku untuk mendekat.
Kemarin ... ohh, saat dia menembakku dengan gelembung air yang kupikir merupakan akibat dari selang air yang pecah.
“Jadi, yang kemarin benaran ulahmu?” Bukannya menjauh dari bahaya potensial ini, aku malah merasa lebih tertarik untuk mendekat.
“Yup, kemarin aku kebosanan dan gelembung air itu adalah sihirku yang lepas kendali. Aku minta maaf jika itu membuatmu tak nyaman.” Tangannya meraih toples oranye, menawarkanku kacang dari minimarket terdekat, cangkir teh dikembalikan untukku.
Aku mengambil beberapa kacang, memasukkannya ke mulut. Detak jantung terasa menurun. “Tak masalah. Aku ... hanya terkejut jika sihir itu nyata.”
“Heh, setidaknya kau lebih jujur dari Walter.”
“Walter?”
“Dia bahkan masih setengah percaya bahwa aku ini berasal dari dunia lain!”
“Kau dari dunia lain?!” Nafasku setengah tertahan.
Menyadari itu, Morrigan menekan tombol on di televisi, game JRPG populer yang merupakan game yang kugandrungi langsung menarik perhatian layaknya ngegat ke api.
Ia kemudian menawariku stik PS.
“Hei, jangan mengalihkan topik.”
Morrigan mengalihkan pupil matanya ke jendela terdekat. “Ya, begitulah. Walter memintaku untuk merahasiakan ini kepada orang lain untuk tak menimbulkan keributan.”
“Hmm, masuk akal. Tapi, karena aku sudah terlanjur tahu dan tak terkejut, kau bisa menceritakan detailnya kepadaku, betul?”
“Huh?”
Akhirnya, aku sadar tentang alasan mengapa perasaan takut tadi saat berhadapan dengan spesies alien ini dapat hilang dengan cepat.
Karena ia kelihatan aman adalah sebuah faktor, namun yang paling utama, tentu saja adalah tampangnya yang cantikkk dan pembawaannya yang seperti aristokrat dunia fantasi novel RPG! Ditambah dengan penggunaan sihir, maka lengkaplah sudah impianku untuk mewujudkan mimpi pergi ke dunia yang penuh dengan pedang dan peperangan, akan nafsu romansa dan penelitian sihir hilang, atas keinginan untuk bertualang!
“Ceritakan padaku!” Air liur di mulutku rasanya ingin mengalir keluar saja. “Apa kau adalah aristokrat di dunia lain?!”
“Eh, aku adalah ratu dari suku iblis yang sekarang ...”
“Sempurna! Sihir-sihir apa saja yang kau kuasai, hmm? Api, air, udara, es, kegelapan, cahaya? Oh, katakan padaku kau bisa memanipulasi ruang dan waktu?!”
“Aku ...”
“Boleh kutanya alasanmu bisa berubah wujud menjadi kecil dan besar?”
“Gampang. Itu karena ...”
“Apakah kau sudah memiliki jodoh? Manusia? Iblis?” Pengetahuan ilahi tiba-tiba membuatku tersentak. “Atau jangan-jangan, kekasihmu sudah meninggalkanmu?!”
“Omong kosong! Aku ...”
“Apakah dengan alasan itu kau meninggalkan duniamu dan ...”
“Cukup!” Teriakan Morrigan menggema di udara.
Ups, mode gilaku tak sengaja terpancing aktif.
“Uhm, maksudku ... aku minta maaf jika pertanyaanku menyinggungmu.” Aku mengulurkan tangan sebagai tanda minta maaf.
Morrigan menjabatnya dengan pelan, wajah tenangnya benar-benar mengancam insting fangirl untuk menyerbu keluar. “Pelan-pelan, oke?”
Aku mengangguk.
“Dan sebelum itu, aku ingin kau menjawab satu pertanyaanku dulu, manusia.”
“Tentu saja!”
Morrigan memegang bahuku, kukunya yang panjang digaruk dengan halus hingga menimbulkan sensasi geli di pipi. “Katakan, manusia. Apa kau menyukai Walter?”
Walter?
Aku ...
“Apa tanggapanmu terhadap Walter, Clarissa?”
Pikiranku tiba-tiba kosong. Apa tanggapanku terhadapnya, ya?
“Dia hanya manusia normal yang sedikit kaya. Kami punya hobi sama dalam bermain game dan menonton film, lalu komik. Dia tinggi, sifatnya agak cuek dan dingin, tapi jarang marah. Lalu, kurasa ia sering membantuku mengerjakan tugas dan kami pernah bersama-sama main saat anak-anak. Kemudian berpisah, kemudian bertemu lagi dengan sosoknya yang ternyata sudah berubah menjadi setampan ini.”
Kepalaku tiba-tiba panas.
Oke, mungkin aku sedang jatuh cinta terhadap laki-laki itu.
“Uhm ...” Kata-kataku rasanya tak mau keluar.
“Oke, pertanyaanku telah terjawab.”
“Eh?”
“Jadi begitu. Fase sebuah makhluk hidup untuk jatuh cinta memang rumit, yah?”
Aku mengangguk pelan. “Lagipula, sebenarnya siapa juga kau?”
“Morrigan.”
“Ya, tapi wujudmu sama sekali berada di luar akal sehatku.”
“Akan kujelaskan.” Layar game meredup, kembali bersemangat setelah mendapat gerakan stik yang dipegang Morrigan. Kuku tangannya layaknya milik binatang buas, gesturnya mengajak untuk bertanding dalam dunia virtual. Jarinya kaku, jauh dari kata terbiasa saat memegang barang yang memerlukan sinkronisasi tinggi antar saraf tangan dan otak.
3 ronde 3 menang untukku. Dalam frustrasi, omelan, kata kasar, dan permohonannya untuk saran bermain, ia mulai menyelipkan keadaan masa lalunya.
Tentang jati diri iblis, tentang kekuatan, tentang dirinya yang kemungkinan akan hilang setelah minggu ini berakhir, dan tentang bagaimana kehidupannya bersama Walter.
Berbagai perasaan bercampur aduk, namun yang mengejutkan, adalah fakta bahwa yang dominan kurasakan sekarang adalah kecemburuan, dan iba.
Apa itu sebab kenapa Walter bisa menerima sebuah sosok asing di rumahnya?
Bagaimana, ya, jika aku yang berada di posisinya Morrigan?
Seiring dengan tertiup perginya awan gelap, langit hitam perlahan kembali membiru. Begitu juga dengan tubuh dewasa Morrigan, yang sekarang telah kembali persis di momen saat ia membukakan pintu. Meski begitu, nada bicara dan agresivitasnya dalam bertindak tak berubah, indikasi bahwa ia masih orang yang sama dan bukan ilusi.
Cemilan habis, game juga telah ditamatkan, komik Walter yang terkunci rapat di dalam kamarnya entah kenapa bisa dibobol Morrigan dengan mudah, memberikan kami akses terhadap momen-momen memalukan yang mungkin disimpannya.
Entah di album, buku diari, bahkan hingga kumpulan majalah dewasa, semuanya dicek satu-satu. Tidak dimulai dariku tentu saja, aku hanya mengekor.
Balikan halaman akhirnya sampai pada foto kami berdua yang berlatarbelakangkan sebuah gedung tinggi yang nantinya akan menjadi pusat perbelanjaan kota ini.
Kota ini telah berubah, hiruk pikuknya memberikan kemacetan dan kesegaran baru.
Tapi, mungkin, perasaanku terhadapnya belum berubah. Bagaimana dengannya, ya?
Aku menoleh ke belakang. Morrigan tertawa cengigisan melihat foto Walter yang masih mengompol di kasur, tidur dengan berseragam SMP.
“Morrigan.” Aku menutup lembaran buku di genggaman.
Kilauan putih salju dari ujung rambutnya seperti bisa memantulkan cahaya, sosoknya imut tapi anggun. “Hmm?”
“Menurutmu, bagaimana dengan Walter?”
Jeda sebentar.
Aku bersumpah dapat mendengar suara tarikan nafasnya, pipi dan ujung telinganya yang panjang sedikit memerah. “Aku suka dia.”
Senyumnya lebar.
Status dia terhadapku telah bertambah satu. Dulunya kenalan, sekarang teman, dan rival.
...
...
...
Terdapat suatu fenomena aneh yang mungkin akan disetujui oleh orang yang tak cukup atletis untuk rutin olahraga, tapi cukup pintar untuk memperhatikan kesehatan tubuhnya.
Naik tangga akan terasa lebih lelah dibanding menuruninya.
Jika menaikinya akan memakan waktu sekitar 20 menit, 3 jeda dimana paru-paru terasa akan meledak, dan satu botol air mineral ukuran sedang, menuruninya hanya akan memakan waktu 10 menit, tanpa embel-embel lainnya.
Itu hanyalah nota mental yang kubuat didalam otak.
Tujuannya? Untuk menenangkan diri dan tetap fokus. Meskipun, melakukannya jauh lebih sulit dibanding hanya memikirkannya.
Kafe dengan atap terbuka menyodorkan pemandangan setelah hujan yang indah, pelangi terbelah menjadi dua diantara gedung tinggi yang bertengger. Bartender menuangkan kopi dengan angkuh namun berpengalaman dari tinggi satu kepala. Meja bundar yang dilapisi lindungan payung melindungi bekas rintikan hujan yang berhasil lewat, kualitasnya tak sebanding dengan kursi murahan yang mungkin akan terbang jika diguncang angin kencang.
Di depanku, ada dua petugas polisi berbadan kekar namun tersembunyi di balik baju mereka. Pentungan tersarung di dekat ikat pinggang, mereka menatapku dalam diam, seolah ingin menerapkan hukum dimana ‘apa yang kau sebutkan akan dan dapat digunakan kepadamu nanti.’
Menyadari kegelisahanku, polwan yang membuat janji denganku pagi ini, yang baru kuketahui namanya adalah Carrista, menyodoriku gestur menenangkan. “Jangan panik, Walter. Kami sebenarnya tak ingin datang ramai-ramai seperti ini, tapi prosedur mewajibkan.”
Ia menawarkanku segelas kopi berwarna terlalu terang, dirinya sendiri meminum hal yang serupa. Dengan nikmat dan buru-buru, layaknya ia baru bertahan hidup dari gurun pasir. Dua orang koleganya di belakang menoleh satu sama lain dengan raut gelisah yang samar-samar.
Aku mencoba setetes. Terlalu manis, dan ampasnya masih berceceran.
“Prosedur?”
“Sebetulnya, terdapat hal aneh saat kami melakukan penyelidikan.” Carrista mengangguk sekali, tanda kepada petugas di belakang untuk menyerahkannya sebuah map biru tebal. Ia membalik hingga ke halaman tengah. “Anak yang kami asumsikan bernama Morrigan tersebut sama sekali tak tercatat di identifikasi sistem kepolisian.”
Jika menggunakan logika bahwa Morrigan adalah orang dari dimensi lain, maka masuk akal saja. “Uhm, anda sudah pastikan database kepolisian tidak error, atau semacamnya?”
Carrista menggeleng kepala. Personel di belakangnya yang menggunakan kacamata hitam maju selangkah. “Pengecekan sudah diulang tiga kali dan kami telah meminjam database pusat. Tak ditemukan adanya data yang relevan.”
“Yang berarti ...”
“Antara ia imigran, anak hasil selundupan, atau telah ditelantarkan orang tuanya dan tidak dibuatkan tanda pengenal apapun.” Segaris cahaya kekuningan ditutup oleh tangan polwan Carrista yang bersarung tangan karet.
“Uh-huh. Jadi, apa yang seharusnya aku lakukan?”
“Berdasarkan peraturan dan hukum yang berlaku, anak ini seharusnya diserahkan kepada pemerintah untuk dibina di lembaga khusus yang disediakan.”
Sesuai dugaan, huh?
Tapi aku tak akan tinggal diam dan membiarkan mereka membawa pergi ratu iblis itu.
“Anu, sebenarnya, terdapat beberapa perubahan.”
“Perubahan?” Alisnya terangkat.
“Setelah tinggal beberapa hari dengan anak itu, aku menyadari bahwa ia adalah anak yang bisa diajak kerja sama dan proaktif dalam menyelesaikan pelajaran yang kuberikan. Ia bukan merupakan beban lagi, jadi jika memungkinkan ...”
Carrissa mengangkat tangannya, memberhentikan apapun omongan yang ingin kuutarakan.
Ia memelototiku dengan serius.
Aku menelan ludah sekali.
“Tetapi, anak itu sepertinya sangat lengket denganmu untuk beberapa alasan. Karena itu, atas pertimbangan khusus karena kau telah berada di umur dewasa, kami akan memberikan pemantauan berkala terhadapmu, jika kau ingin menaungi anak bernama Morrigan ini.”
Anak kecil berlari sambil bermain-main di latar belakang, balon yang dipegangnya tak sengaja memukul teman polwan yang dari tadi berdiri seperti patung.
Aku menahan tawa, polwan Carrissa menahan tawa, personel lainnya juga menahan tawa.
Minta maaf anak itu tak digubris, masih berdiri seperti polisi tidur yang menganggu pemandangan.
“Pokoknya, kami akan sesekali memantaumu untuk memastikan ia tak mendapat perlakuan buruk, jika kau menerima proposal ini. Tentu saja, kau punya hak penuh untuk menolak.”
Carrissa menoleh ke belakang, mengangguk. Kedua temannya juga mengangguk, menoleh ke arahku dengan tajam.
Sepertinya, pemantauan akan dilakukan mereka berdua.
Semangat hati yang membara hampir tak dapat kutahan saat mencoba berdiri pelan, tangan diulurkan untuk menjabat tangan polwan itu dan timnya. “Aku terima.”
Carrissa menjabat tanganku. “Ho, ada apa dengan perubahan hati ini? Aku pikir kau tak menerima anak itu?”
“Yah, bisa dibilang dia sudah menjadi bagian dari keluarga.”
Ia tertawa sekali, mengeluarkan sebuah nota kecil dan bolpoin. “Baiklah. Akan ada orang dari kepolisian dan lembaga perlindungan anak yang akan sesekali datang mengunjungi di akhir bulan.” Sebuah nomor telepon tertulis di lembaran kosong. “Pastikan kau menerima mereka, atau setidaknya mengontak kami jika kau tak ada di rumah.”
“Oke.”
Semua proses ini lebih mudah dari yang dipikirkan.
...
...
...
Fenomena naik tangga-turun tangga kembali terjadi.
Angin sepoi-sepoi berhembus lewat, kicauan burung dalam nada tinggi bersorak sorai merayakan selesainya guyuran hujan. Lorong kosong di lantai 5, tempat di mana lift apartemen harus berhenti sebentar untuk pergantian penumpang dalam sekuel aneh, penuh dengan petugas kebersihan. Tanda licin didirikan pada satu jalan, pemimpinnya dengan ramah memintaku untuk tak menginjak area ini.
Aku mengiyakan saja, kembali masuk ke dalam lift.
Morrigan akan secara resmi tinggal bersamaku mulai sekarang.
‘Ding’ halus dari bel kotak besi memulai perjalananku ke atas.
Apa Morrigan benar-benar akan mati pada akhir minggu ini? Karena kutukan pahlawan manusia yang melawannya, seluruh dunia akan hancur berkeping-keping.
Tentunya, bukan salah Morrigan, kurasa.
Yang berarti, tepat pada tengah malam akhir pekan, dunia akan kiamat.
“Dunia ini memang akan kiamat, anak manusia. Dalam 7 hari.”
“Tepat setelah 7 hari, kuperkirakan energi di segel ini akan secara paksa bercampur dengan energi dalam tubuhku dan menghasilkan ledakan besar yang menghancurkan segalanya. Planet ini termasuk.”
Apa itu nasib yang sudah tak mungkin dirubah lagi?
Pemandangan lantai 10 gelap, terkesan suram karena ruangannya kebanyakan ditempati oleh para manusia anti-sosial. Tapi, bisa dibilang aku adalah orang serumpun mereka, jadi atmosfir ini malah menenangkan.
Teriakan dari balik pintu apartemenku yang mengkhawatirkan.
“... takkan kubiarkan!” Hentakan sesuatu yang keras diserap material halus.
“... manusia? Jika ingin berduel ... kuladenin dalam pertandingan ...” Suara laser plasma yang biasa didengungkan dalam film sains fiktif.
Rumahku bisa hancur!
Aku dengan buru-buru memutar kunci ke lubangnya.
Telinga tertempel di pintu, suara Clarissa dan Morrigan semakin jelas.
Akhirnya terbuka!
“Kuterima tantanganmu, wahai penyintas dari dunia lain! Kupastikan, segala trik-trik kotor dan strategimu hancur dalam kekuatan mutlak yang akan kupertunjukkan!” Clarissa mendeklarasikan pernyataannya sambil berdiri di atas sofaku, postur tubuhnya seperti sedang memperagakan semacam bela diri dari negara Asia timur. “Kekuatan absolut akan tunduk dibawah kecerdasan ilahi!”
“HAHAHAHA! Nyalimu besar juga, kau manusia biasa. Di duniaku yang lama, entah berapa kali makhluk arogan telah menantangku sambil mempertaruhkan segalanya! Semuanya musnah.” Morrigan menunjuk Clarissa dengan pistol tangan, ujungnya bercahaya merah intens yang terlihat lebih seperti pajangan dibandingkan alat pembunuh serius. “Korban selanjutnya dari keganasanku, adalah kau, wahai pemberani.”
Sensasi rival kentara terjadi di ruangan ini. Tapi aku tak dapat merasakan adanya bahaya. Setidaknya, bukan kepada mereka.
“Kalian!” Jakunku bergetar saat suaraku dinyaringkan. “Ngapain, hah?!”
“Walter!” Clarissa dan Morrigan berteriak.
Mereka kemudian menatap satu sama lain dalam diam.
Kemudian menggeleng ke arahku.
Senyum hampir jahat lahir dari gigi taring Morrigan, lesung pipi Clarissa histeris tertawa.
Aku menelan ludah.
“Ya?” Bulu kudukku berdiri.
“Kencani kami berdua sebagai partnermu. Besok!” Keduanya memproklamirkan intensi mereka dengan lantang, tak tergoyahkan layaknya batu karang di dalam laut.
“Huh?”