Di sisi lain, ditengah kebisingan kendaraan bermotor yang memadati jalan. Seorang gadis berjalan bolak-balik di depan toko kecil sembari menggigiti kukunya, membuat orang-orang yang berlalu-lalang di sana menyempatkan diri untuk menatap kearahnya walau sejenak.
Sementara si pemilik toko bercat biru itu nampak acuh, tak berniat menanyakan alasan yang diemban oleh gadis bersurai hitam bergelombang itu. Hal itu terus berlangsung hingga beberapa menit kedepan. Sampai kakinya sedikit terasa nyeri, sebab terus dipaksakan bergerak di bawah teriknya matahari.
“Aduh masuk tidak ya?” Gumam gadis itu, menunggu hasil pergelutan hati dan pikirannya. “Duh maafkan Salwa ya Allah, Salwa tidak akan macam-macam kok di dalam sana. Hanya mau memperbaiki ini saja kok, janji deh.” Ucapnya lagi, sembari menatap langit dengan tatapan memelas seakan sang pencipta berada di sana. Memantapkan tekatnya untuk menuntaskan tugasnya.
Ia layangkan kaki yang berbalut sepatu nan memiliki warna senada dengan toko di hadapannya untuk memijak anak tangga pertama. Dan satu langkah itu mampu menimbulkan rasa nyeri di dadanya, menggoyahkan keyakinnan yang baru saja ia tegakkan. Tubuhnya bergetar hebat akan rasa takut pada Tuhan, memaksanya untuk kembali memundurkan langkahnya dan berbalik ingin pergi.
Namun bukannya sol sepatu miliknya yang bertemu dengan kerasnya trotoar, melainkan pantatnya lah yang menyapa kerasnya trotoar, karena tubuh mugilnya terpental setelah berbenturan dengan sesuatu yang sedikit terasa dejavu. Salwa rasanya ingin mengeluarkan seluruh air mata yang ia punya, bukan karena rasa sakit dipantatnya. Rasa nyerinya masih bisa ia tahan, namun rasa malu yang kini menimpanya ia tak bisa menahannya. Entah mengapa kesialan nampaknya menempelinya sejak pagi.
“Maaf, apa kau baik-baik saja?” Tanya objek yang baru saja berbenturan dengan Salwa, merapatkan bibirnya agar tawanya tak lepas seperti sang sahabat yang tengah terpingkal-pingkal di sampingnya. Tidak ingin rona di pipi gadis di hadapannya semakin pekat, ia pun mengulurkan tangannya ke arah sang gadis.
“Aku baik-baik saja, apa kalian ingin masuk ke toko ini?” ujar Salwa membangkitkan dirinya, tanpa menerima uluran tangan pemuda berahang tegas yang baru saja ia tabrak. Mencoba bersikap seakan tak ada kejadian memalukan sebelumnya.
Pemuda itupun mengendikkan bahunya, sembari menarik kembali tangan yang sepertinya tak nampak di mata gadis dihadapannya. Dan mengangguk malas sebagai jawaban pertanyaan gadis itu. Masih mending ia membalasnya, jika tidak mengingat etika yang diajarkan oleh kedua orang tuanya, ia akan pergi mengabaikan keberadaan gadis itu.
“Boleh aku minta tolong? Aku tidak bisa masuk ke dalam.” Pinta Salwa penuh harap, menghasilkan kerutan di kening dua pemuda yang terpaut tinggicukup jauh.
Pemuda yang sejak tadi mengalunkan tawanya keras kini menghentikan tawanya. Meminta penjelasan, “Kenapa tidak bisa?” tanyanya.
“Ini soal keyakinan, aku takut Tuhanku marah.” Balas Salwa, nampaknya belum berhasil menuntaskan rasa penasaran dari pemuda yang baru saja menghentikan gelak tawanya beberapa saat lalu.
Hal itu tergambar jelas dari wajahnya, namun sebelum pemuda yang lebih pendek berhasil melontarkan sahutannya lagi. Sang sahabat lebih dulu menungkasnya, ingin mempersingkat acara mengobrol mereka. Ayolah ia tidak ingin terlalu lama berjemur di bawah terik sinar matahari, terlebih gadis di hadapannya membawa Tuhan dalam ucapannya. Yang mana hal itu membuatnya tak mampu untuk menolak, sebab ia tahu bahwa keyakinan tidak boleh di kesampingkan.
“Apa yang bisa kami bantu?” sambutnya, menerima permohonan si gadis dengan bulu mata lentik.
“Ini…” Salwa menarik lembut tangan sang lawan bicara, dan meletakkan sebuah rosario di sana. “Tolong minta mereka memperbaikinya!” mohon Salwa.
“Loh? Bukankah itu rosariomu Jay?” sosor pria yang lebih pendek, turut menatap benda dalam genggaman sang sahabat.
Dan sepertinya dugaannya benar, jika dilihat dari manik obisidian Jayden yang menajam menatap rosario yang sudah tak terangkai apik lagi. Bahkan sang sahabat tak merespon pertanyaannya, dan berjalan melewati gadis bermanik rusa yang nampak kebingan karenanya. Salwa yang merasa di abaikanpun, hanya bisa menatap punggung tegap itu perlahan memasuki toko yang beberapa saat lalu membuatnya harus berperang batin. Sembari mengutuk dirinya sendiri karena sempat melupaka rupa rupawan itu.
Satu jam telah berlalu, dan kini sang surya sedang terik-teriknya. Tetapi hal itu tak membuat Salwa beranjak dari tempatnya, dengan setia ia menunggu dua orang pemuda keluar dari sana. Untungnya tidak ada mangkok kecil di sekitarnya, jika tidak dengan tampangnya yang sudah nampak lusuh karena terlalu lama di bawah sinar matahari akan membuat orang-orang disekitarnya berbelas kasihan padanya. Mengira ia seorang pengemis.
“Kau masih di sini?” Jayden menatapnya dengan alis bertaut.
“Hm, berapa?” balas Salwa sudah tak berenergi, dibarengi dengan anggukan lemah.
“Tidak perlu, ini milikku.” Sambut Jayden, ingin beranjak pergi.
“Tapi aku yang merusaknya,” tahan Salwa, menarik pergelangan tangan Jayden.
Ia tak enak hati membiarkan korban kecerobohannya pergi tanpa menerima pertanggungjawaban darinya. Ia tak mau dihantui oleh rasa bersalah, dan sepertinya benda itu sangat berharga, terlihat dari wajah kesal si pemilk saat melihat benda itu sudah terpustus.
“Hey gadis cantik kenapa kau-” orang ketiga di antara mereka, yaitu Yohanpun kembali membuka suara. Merasa heran dengan kegigihan gadis itu. Jika ia yang berada diposisi gadis itu ia akan langsung berpamitan pergi, dan menyimpan uangnya untuk dirinya sendiri. Jika sang korban tak menuntut ganti rugu mengapa harus dipaksa.
“Baiklah lima ratus ribu,” tungkas Jayden, tak mebiarkan Yohan menyelesaikan ucapannya.
“Semahal itu?” cicit Salwa, menutup ranum merah mudanya tak percaya dengan kedua matanya yang dipaksa membuka lebar.
“Tentu saja ini dari batu alam asli, dan pengait kawat anti karat.” Terang Jayden, tak mau dianngap menipu.
“Kalau sebanyak itu aku tidak punya. Em… begini saja, ambil lima puluh ribu ini dulu. Sisanya akan kuberikan nanti,” ujar Salwa, langsung berlari pergi sehabis menyelesaikan ucapannya dan setelah berhasil mendaratkan kertas berwarna biru itu ke tangan Jayden.
“Jauh sekali dari lima ratus ke lima puluh ribu.” Komentar Yohan, masih menatap punggung Salwa yang semakin mengecil dimatanya.
Sementara Jayden, hanya dapat menggelangkan kepala dibuatnya. Cepat sekali kegigihan gadis itu luntur. Dan saat ia juga ingin meninggalkan tempatnya berpijak saat ini, tanpa sengaja ujung matanya menangkap sebuah tas serut kecil yang tergeletak di samping sepatu putihnya. Setelah ia telisik dengan matanya sepertinya itu bukan kantong sampah dan Jayden yakin benda itu adalah milik gadis dengan surai hitam panjang tadi. Iapun memungut benda itu, lalu mengantonya sebelum ia dan sahabatnya pergi dari sana. Jaminan, pikirnya.
~oOo~
Cakrawala kini sudah menghitam, sehitam tinta gurita. Dihiasi sang purama dan bintang-bintang yang bertaburan bebas hampir menutupi seluruh permukaannya. Disaat orang-orang mengistirahatkan diri mereka setelah beraktivitas seharian, seorang pemuda berahang tegas justru semakin menajamkan manik obisidiannya. Berusaha keras memasukkan benang nelon ke lubang butiran manik warna-warni. Helaan napas lega bercampur lelah terdengar saat ia mengaitkan butiran terakhir, dan disusul sebuah lengkungan melintang indah di bibir tipisnya. Akhirnya acara menyusahkan diri sendiri yang ia tekuni berakhir juga, dengan hasih yang sangat memuaskan hati kecilnya.
“Mereka sama-sama indah.” Celetuk Jayden dengan senyum yang masih mengembang, seraya memandangi rosario miliknya dan tashbih yang tengah ia sandingkan di kedua tangannya.