“AAA… USTADZ ILHAM JADIKAN AKU ISTRI KETIGAMU!!!,” jerit gadis bertudung merah muda, sesaat setelah membaca portal berita online dalam benda pipih di genggamannya.
Mengundang beberapa pasang mata untuk menatap ke arah sebuah gazebo yang dihuni oleh empat orang gadis, dimana tiga diantaranya tengah tersenyum malu terhadap orang-orang yang tengah menatap mereka dengan berbagai macam pandangan.
“Percaya diri itu penting, tapi sadar diri jauh lebih penting.” Cibir gadis dengan rambut dikuncir kuda yang duduk tepat disebelah gadis sumber rasa malunya, seraya menoyor keras kepala sang sahabat.
“Aminin saja kenapa sih Syah, kau ini hobi sekali menghancurkan khayalan orang lain.” Keluh gadis bernama lahir Shakira Amalia pada si pelaku kekerasan, Aisyah Khumairah. Dengan bibir berkerut, tak terima jika angannya dihancurkan oleh sang sahabat.
Sedang sang sahabat hanya merolingkan kedua manik coklat pekatnya, terlalu malas meladeni keabsurdan teman seperjuangannya. Ayolah ini masih pagi, ia tidak ingin menumpahkan lahar amarahnya pada sesuatu yang mustahil terjadi.
“Memangnya dari mana kau tahu kalau ustadz Ilham ingin menikah lagi Ra? Lagian baru juga dia menikah kemarin, masa mau menikah lagi.” Sambut gadis lain yang sedari tadi menonton pertarungan kedua sahabatnya.
Enggan menurunkan sebuah tas hitam dari pangkuannya, seakan didalamnya ada berlian paling langka di dunia. Najwa As-Syifa, adalah namanya. Gadis dengan rambut hitam sebahu dan poni badai kebanggaannya.
“Asal tebak saja sih, kalau ada yang kedua pasti akan ada yang ketiga dan keempat.” Balas Shakira santai, mengendikkan bahunya dengan senyum yang nampak menyebalkan dimata ketiga sahabatnya.
Tak menyadari wajah masam satu-satunya penghuni gazebo yang belum melontarkan polusi suara. “Kau mau dipoligami Ra?” Tanya gadis bermanik caramel itu, akhirnya membuka mulutnya. Sembari memiringkan sedikit kepalanya dengan kening mengerut. Tak paham dengan jalan pikiran sang sahabat.
Poligami, bukanlah kata yang asing dihidupnya. Ia sangat paham akan hal itu, karena sejak kecil ia sudah dicekoki dengan segala hal yang berbau poligami. Bukan bersumber dari film yang ia tonton, maupun buku yang ia baca. Melaikan dari pengalaman yang ia ukir sendiri.
“Kenapa tidak? Menjalankan sunnah Rasul kan ganjarannya surga.” Balas Shakira, tanpa berpikir panjang terlebih dahulu.
“Yakin suamimu nanti menikah lagi karena sunnah Rasul bukan karena nafsu?” Sahut Aisyah, mempertanyakan keyakinan sang sahabat.
Dia tak percaya sang sahabat merelakan hatinya dihancurkan. Dan jika karena sunnah Rasul, mengapa poligami yang harus dipilih diantara sunnah-sunnah lainnya?. Dimana harus mengorbankan banyak perasaan wanita dalam pelaksanaanya.
“Nah itu dia, terkadang itu hanya akal-akalan mereka. Mengatasnamakan sunnah Rasul untuk menutupi nafsu mereka,” sambut Najwa, ikut menyerang Shakira.
“Dan itu yang membuatku tidak ingin menikah dengan pria yang paham agama, takut dipoligami.” Ujar gadis dengan manik caramel, Salwa namanya.
Tubuhnya bergidik ngeri. Membayangkannya saja ia sudah tak mampu, ia tak sesabar sosok wanita yang melahirkannya. Meskipun ia tak pernah menyaksikan liquid bening menetes dari manik yang serupa dengannya, namun dari sana ia dapat menagkap sinar kesedihan yang tak pernah beliau ungkapkan tentang betapa beratnya untuk dipikul.
“Sudah-sudah lupakan perpoligamian, nih ambil masing-masing satu!” tengah Najwa, menurunkan tas hitamnya dari pangkuannya. Lalu mengeluarkan tas serut beludru kecil, berisi tashbih warna-warni didalamnya.
Menghasilkan binar di mata tiga mahkluk yang berbagi tempat duduk dengannya. Namun diantara tiga utas tashbih disana, ada satu yang menarik hati ketiganya. Yaitu sebuah rangkaian kristal-kristal dengan warna pelangi. Sesudah mengakhiri rasa kagumnya, ujung mata Salwa menangkap ketertarikan dua sabahatnya pada target yang juga sedanag diincarnya.
Melihat temannya yang masih lengah karena masih dihanyutkan oleh keindahan rangkain tashbih, Salwa langsung mengambil strat lebih dulu, ia layangkan tangannya untuk mengambil tashbih itu dengan satu kedipan mata. Menyadarkan Shakira dan Aisyah dari lamuannya, membuat keduanya menatap tajam Salwa seketika. Berbeda dengan Najwa yang tengah tertawa lepas karenanya, sangat berbanding terbalik dengan perasaan dua makhluk lainnya. Salwapun menganyunkan tashbih indah itu di depan wajah dua orang yang kini tengah menatamnya iri, dengan senyum bangga yang semakin menambah kekesalan pada dua orang lainnya.
Namun bukan Shakira dan Aisyah namanya jika mereka menyerah begitu saja. Saat mereka melihat fokus Salwa sedikit melemah karena benda pipihnya, Aisyah langsung bangkit dari tempatnya yang tepat bersebrangan dengan Salwa. Salwa yang kaget dengan posisi tubuh sang sabahat, yang nampak seperti harimau yang siap untuk menerjang mangsanya pun reflek menghindar.
Sialnya bukan rasa aman yang melanda hatinya, melainkan rasa tegang yang turut menegangkan seluruh bagian tubuhnya. Karena punggung sempitnya berbenturan dengan sesuatu yang terasa sangat kokoh. Manik rusanya pun semakin melebar saat merasakan hembusan napas yang menimpa cengkuk lehernya. Ternyata bukan sebuha pohon tua yang ditubruknya, melainkan seorang manusia yang sama sepertinya.
Dengan sedikit gemetar, ia palingkan wajah manisnya untuk melihat siapa yang ia tabrak. Dan tubuhnya seketika reflek menjauh, saat melihat pahatan sempurna bak dewa yunani dari jarak dekat. Alis tebal, manik obisidian tajam, hidung mancung, bibir tipis, rahang tajam yang tidak melupakan kesan tegas, serta didukung kulit mulusnya yang seputih susu. Membuat ranum merah mudanya mengucapkan kata "Masya Allah" tanpa sadar.
Dan saat menyadari kebodohannya, Salwa langsung bergerak menjauh dari tubuh berbau mint bercampur citus itu. Bagaimana jika pemuda itu mendengarnya? memalukan. Sayangnya rasa malunya itu membuatnya buta akan keadaan sekitar. Manik-manik tashbihnya tengah bercerai-berai setelah aksi saling tarik menarik dengan salib rosario yang bertengger di leher si objek kekagumannya.
Tetapi sepertinya bukan hanya Salwa yang tak menyadarinya, pemuda itu pun sepertinya sama. Terbukti dengan ia yang langsung beranjak dari sana, tanpa menengok sedikitpun akan keadaan rosarionya.
~ooo~
Langit Jakarta sedang cerah-cerahnya bahkan tidak ada satupun awan yang mencoba menghalangi sinar mentari. Namun siapa yang akan peduli? Semua orang disibukkan dengan urusan mereka masing-masing. Begitu juga dua makhluk adam yang berjalan beriringan menyusuri lorong panjang, setelah hampir tiga jam lebih duduk manis mendengarkan buah bibir sang Dosen.
“Tumben sekali kau tidak menggunakan rosariomu Jay?” ungkap pria yang lebih pendek, mengutarakan rasa penasaran yang sudah ia simpan sejak mereka bertemu di kelas beberapa saat lalu.
Yohan Rumaseb, pemuda yang selalu mengutarakan apapun yang ada dipikirannya. Termasuk pertanyaannya kali ini yang terhalang akan kedatangan sang dosen ke kelas mereka.
“Pakai kok. Eh, kemana rosarioku? Apa jangan-jangan….” Balas Jayden, repleks menyentuh dadanya. Mencari keberadaan rosaroinya yang selalu ia kalungkan, sembari memutar kembali ingatannya.
Flashback
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat sepuluh menit, tersisa lima belas menit lagi kelasnya akan dimulai. Tetapi hal itu seakan tak berdampak apapun pada pemuda berhidung perosotan yang tengah berjalan santai dengan wajah datar.
Namun sepertinya perjalannya tidak akan berjalan mulus, semulus kulit porselinnya. Seorang gadis tiba-tiba saja melompat mundur keluar dari gazebo yang berada tepat di sampinya, dan menabraknya, untungnya tidak ada yang kehilangan keseimbangan diantara keduanya. Tetapi tengkuknya terasa sedikit perih saat gadis itu membuka jarak dengannya. Dan mungkin saat itulah rosarionya terpisah darinya.
Entah putus atau apa ia tak tahu. Karena saat itu ia lebih memilih mengabaikannya, bahkan ucapan kata maaf gadis itupun turut ia abaikan. Sebab jam di pergelangan tanggannya sudah menunjukkan jam sembilan lewat dua puluh lima menit. Waktu yang singkat untuk tiba di kelas dengan tidak didahului oleh dosen.
Flashback off
“Jangan-jangan apa? Kecopetan? Tapi siapa juga yang mau mengambil rosasio, pasti dosanya dua kali lipat tuh.” Oceh Yohan, membuat Jayden menghela napas lelah karena keabsurdannya.
“Tidak bukan begitu, tadi pagi aku bertabrakan dengan seorang gadis mungkin-” jelas Jayden terkantongi.
“Cantik tidak?” potong Yohan, menggebu-gebu dengan manik berbinar.
“Aku lupa, yasudah setelah ini kita mampir dulu sebentar ke toko rosario.” Balas Jayden, berjalan lebih dulu. Mengabaikan Yohan yang sedang diselimuti efek samping dari status jomblonya.