Pagi ini Anara Azalea sedang memasang dasi abu-abunya di depan cermin dengan tergesa-gesa. Gadis itu benar-benar diburu waktu. Hari ini adalah hari pertama sekolahnya, setelah libur semester kenaikan kelas.
“Aku bawa sarapannya ke sekolah aja ya, Ma?” Tangannya kini mulai sibuk merapikan kerah, lalu segera menarik tas sekolahnya yang sudah disiapkan semalam. Kakinya berlari kecil menuruni tangga menuju meja makan, lalu duduk dan langsung meneguk susu hangat yang sudah tersaji di meja makan.
“Pelan-pelan minumnya, Sayang!” Mama Nara berucap lembut sambil memberi kotak makan yang akan dibawa Nara.
“Udah telat banget, Ma. Aku berangkat ya!” Meraih tangan Ibunya lalu mencium punggung tangannya dan bergegas mengambil kunci motornya. Dengan sigap memakai helm dan menyalakan mesin motornya, lalu menarik gas meninggalkan rumahnya.
Ini sudah jam 06.30, tapi hawanya masih dingin. Sejenak Nara menyesali karena tadi dia menggunakan sweater bukan jaket tebal. Angin pagi kali ini begitu dingin menyentuh wajah, tangan bahkan cukup menusuk ke tulangnya.
Nara tidak pernah suka dingin selain es krim atau coklat almond yang baru diambil dari kulkas. Bahkan untuk mencicipi es boba yang sangat viral pada masanya, Nara memilih membeli es krim dengan potongan coklat dan toping kacang almond kesukaannya.
Nara lebih suka sesuatu yang hangat dan cerah. Sinar matahari adalah teman terbaiknya, Pantai di siang hari adalah tempat favoritnya. Di saat orang-orang lebih suka ke Pantai di pagi atau sore hari, Nara lebih suka ke Pantai di siang hari. Apalagi saat siang, Pantai akan lebih sepi dari biasanya.
Nara menambah kecepatannya, agar lebih cepat sampai di sekolah. Selain dingin yang membuatnya tidak nyaman, dia harus segera sampai karena hari ini dia mendapat kelas baru. Di kelas 11 SMA, Nara memilih untuk menjalankan impiannya sebagai penulis dan jurnalis di masa depannya. Itu kenapa dia lebih memilih masuk ke kelas Bahasa. Di kelas 10, Nara cukup ambisius dengan Pelajaran Bahasa.
Motor matic warna hitam milik Nara memasuki gerbang tepat di jam 06.45, masih ada waktu untuk mencari tempat parkir yang aman dan bebas hujan. Tempat parkir motor di sekolah Nara memang tidak semua memiliki atap. Dari kejauhan Nara mendapat satu posisi yang cukup strategis untuk memarkir motornya.
Nara menambah kecepatan untuk segera sampai di tempat itu.
TIIIIIN. Suara klakson panjang milik Nara mengejutkan beberapa siswa yang sedang berada di tempat parkir. Nara refleks menekan klakson karena ada anak laki-laki yang nyaris menabraknya dan sekarang motor anak laki-laki itu terparkir di tempat incaran Nara.
“LO GILA YA?!!” Nara berteriak frustasi kepada anak laki-laki itu. Nara bersikap seakan memberi tahu para siswa yang memperhatikannya kalau bukan dia yang salah, tapi anak laki-laki itu yang membuatnya harus menekan klakson motornya.
Anak laki-laki itu adalah Emancio Antonio, anak laki-laki paling cuek dan dingin yang sudah lama Nara kenal. Nara tidak dekat dengannya, tapi mereka kenal saat dibangku SD. Nara dan Cio satu kelas selama 6 tahun, lalu berpisah saat mereka lulus dan masuk SMP yang berbeda.
Nara hanya menghembuskan kasar nafas beratnya, lalu mencari tempat parkir lain. Dia memilih untuk tidak berurusan dengan laki-laki itu. Laki-laki yang sering dipanggil Cio benar-benar sulit dimengerti, daripada membuang energinya yang sejak tadi pagi terkuras banyak.
“Sial banget gue hari ini.” Nara mendengus sambil memarkirkan motornya di pojok parkiran yang masih memiliki atap. Walau ada atapnya, tapi letaknya begitu jauh dari kelasnya. Akan sulit baginya keluar bersamaan dengan siswa yang lain, alias harus menunggu parkiran sedikit sepi agar bisa mengeluarkan motornya.
“Oke! Hari ini adalah hari yang cukup berat buat gue. Gue cukupkan kesialan ini dan gue minta hari ini akan berjalan baik-baik aja.” Nara merapalkan kalimat penenangnya. Hari ini adalah hari penting, jangan sampai rusak apalagi hancur Cuma karena kesiangan dan tempat parkir yang sulit.
Dengan mantap Nara berjalan menuju kelasnya dengan sedikit berlari karena sebentar lagi bel masuk kelas akan berbunyi.
* * * * *
Seperti yang Nara harapkan. Hari ini, lebih tepatnya setelah insiden parkiran itu semua berjalan baik. Nara menikmati hari pertama di kelas barunya tanpa Tania dan Ruby. Kini mereka bertiga sedang duduk di kantin setelah jam pulang sekolah.
“Gila!! Cowok-cowok di kelas gue bertabur Bintang sekolah cuuyyy!!” Ruby membuka obrolan setelah memesan makanan untuk menemani ketiga gadis itu berghibah ria.
“Inget cowok lo, By! Eling!” Tania menjitak pelan kepala Ruby. Nara hanya terkekeh melihat tingkah kedua sahabatnya.
“Yaaaa gimana ya? Kayanya gue bakal ngga tahan deh. Lagian Bryan lebih banyak ngilang sekarang. Persiapan ujian, dia benar-benar sibuk. Gue jadi kurang belaian Ayang, tahu nggak?” Bukan Ruby kalau dia tidak mengeluhkan kesibukan pacarnya yang berada di bangku kuliah.
“Lo gue aduin ke Bryan, ya! Biar putus aja sekalian!” Dengan santai Nara berucap, kini tangannya sibuk membuka tutup botol kecap.
“Wah! Jahat banget lu, Ra.” Ruby mengambil botol kecap dari tangan Nara, lalu membantu membuka tutupnya. “Nih gue bukain, tapi jangan aduin ke Bryan.” Ruby memberikan botol kecap yang sudah terbuka.
“Bisa banget dah buaya betina satu ini.” Tania menyambar obrolan Nara dengan Ruby sambil sibuk mengaduk bakso yang sudah bercampur sambal, kecap dan acar timun. Ruby hanya menjulurkan lidahnya kepada Tania, lalu sibuk dengan hidangan di depannya. Sedangkan Nara hanya terkekeh sambil mengaduk mie ayam ceker pesanannya.
“Lagian, gue tahu lo ngga akan berpaling dari Bryan apapun keadaannya.” Nara mencicipi kuah mie ayam sambil memastikan racikannya sudah sesuai. “Udah berapa kali lo bilang bosen sama Bryan? Ujung-ujungnya balik juga kan?” Nara mulai menyantap mie ayamnya dengan sumpit. Ruby hanya tersenyum dengan menunjukkan giginya.
Ketiga gadis itu menikmati makanan masing-masing sampai habis. Lalu sibuk dengan ponselnya masing-masing.
“Ra, lo yakin aman kan di kelas lo? Gue agak khawatir, soalnya Cio sekelas sama lo.” Tania membuka pembicaraan setelah beres mengetikkan pesan di ponselnya. “Lo tau kan kalo Cio itu cukup temperamen, takutnya lo-”
Bukan tanpa alasan Tania khawatir. Nara memiliki trauma dengan suara keras, terutama bentakan seseorang. Biasanya, Nara tidak lepas dari pengawasan Tania dan Ruby. Nara terkenal ceria di kalangan sekolah. Nara bisa dibilang sangat terkenal di sekolahnya. Nara adalah vokalis utama band sekolahnya. setiap ada kegiatan, band sekolah selalu menjadi pengisi acara dan Nara menjadi vokalis utama band itu sejak kelas 10.
Selama latihan dan agenda penampilan, Tania dan Ruby selalu menemaninya. Untuk mencegah hal buruk terjadi. Pernah suatu hari, salah satu anggota band membentak Nara tanpa sengaja saat latihan. Saat itu pula, Nara mengalami serangan panik dan akhirnya tidak bisa melanjutkan latihan.
Tania yang baru kembali membeli minuman untuk anggota band juga Nara terkejut, karena Nara tiba-tiba berlari melewatinya dan mengunci dirinya di toilet sekolah untuk waktu yang cukup lama. Saat itu, akhirnya anggota band memahami dan memaklumi kondisi Nara dari penjelasan Tania. Tania juga meminta anggota band untuk menyimpan rahasia tentang kondisi Nara.
Meskipun begitu, Nara bukan orang yang menggunakan kondisinya menjadi tameng ketika dia melakukan kesalahan. Itu juga alasan kenapa Nara masih diterima dan ditetapkan menjadi vokalis utama band sekolah. Selain Nara memiliki karakter suara yang unik, Nara menjadi vokalis yang bertanggung jawab dan selalu mau mendengarkan masukan dari anggota lain untuk penampilannya.
Saat tahu Nara satu kelas dengan Cio, Tania khawatir karena Cio dikenal mudah marah bahkan untuk hal-hal sepele. Tania sebagai anggota pengurus OSIS, tahu persis sifat Cio. Cio adalah anggota pengurus OSIS yang cukup sering berselisih paham dan mudah marah.
Cio adalah anggota pengurus OSIS yang cukup dikenal tegas tapi galak, bukan dengan omelannya. Melainkan ucapannya yang setajam pisau. Walau begitu, Tania heran karena tetap saja banyak yang menyukainya. Padahal dalam kamus Tania, Cio itu masuk ke dalam laki-laki red flag karena tidak bisa mengelola emosi marahnya dengan baik.
Saat ini sahabatnya yang selalu dia jaga harus sekelas dengan laki-laki itu. Tania benar-benar khawatir dan sedikit merasa bersalah karena tidak mengambil jurusan yang sama seperti Nara.
“Aman kok. Lo tenang aja, selama gue ga buat masalah di kelas itu, aman.” Nara memotong ucapan Tania yang khawatir. “Lagian Cio ga se-temperamen itu kok. Lebih banyak cueknya aja.” Lanjut Nara setelah menandaskan es tehnya.
Nara tahu persis apa yang dipikirkan Tania. Meskipun galak, Tania adalah yang paling menyayangi persahabatan mereka. Tania akan melakukan apapun untuk melindungi dirinya dan juga Ruby. Nara kini harus belajar bahwa kini dia hanya punya dirinya sendiri untuk melindungi dirinya sendiri. Nara mencoba meyakinkan Tania, kalau yang dia takutkan itu tidak akan terjadi. Ya, dia terus berharap dalam hatinya dan tidak membuat kedua sahabatnya khawatir apalagi dalam masalah.
“Ya bagus kalo lo ngerasa aman. Gue Cuma nggak mau-“ suara Tania begitu khawatir.
“Tenang aja. Gue aman. Gue juga bawa obat kalo-kalo gue kambuh. Hahaha.” Nara mencoba menenangkan Tania sambil menepuk pundaknya.
“Ra, lo enggak coba buat punya pacar gitu di kelas lo? Seenggaknya buat nemenin lo selama di kelas.” Ruby ini memang benar-benar buaya betina di mata Nara. Apapun masalahnya, pacar adalah solusinya.
“Lo kayaknya harus berobat deh, By.” Nara menyentuh dahi Ruby “Besok lo ikut gue ke dokter Jim, takutnya ada masalah di otak lo.” Ledek Nara pada Ruby.
“Boleh tuh. Lagian dokter Jin masih muda, bisalah jadi cadangan Bryan.” Ucapan Ruby membuat Nara semakin tidak percaya, bagaimana bisa dia berteman dengan buaya betina?-
“Tapi gue setuju sih sama Ruby.” Ucap Tania tiba-tiba.
“Lo jangan ikut-ikutan Ruby ya, Nia!” Nara cukup terkejut dengan ucapan Tania. Telunjuknya menunjuk tepat di depan muka Tania.
“Kenapa ngga lo coba aja? Andre sekelas sama lo kan? Masih ada kemungkinan dia masih suka sama lo. Ya kan, By?” ucapnya lalu menoleh Ruby.
“Nah, bener tuh. Mau gue tanyain ke Andrenya?” Andre adalah sepupu Ruby. Dia satu sekolah dengan Ruby, secret admirer dari Anara Azalea dari awal kelas 10 SMA. Ruby mengeluarkan ponselnya, seolah akan menghubungi Andre.
“Nggak usah pada ikutan gila! Gue aman. Nggak ada itu namanya pacar-pacar!” Nara menolak mentah-mentah saran kedua sahabatnya itu. “Gue balik deh. Nanti makin gila gue dengerin ocehan lo berdua.” Nara bangkit meninggalkan Ruby dan Tania.
“Dih, ngambek!” Tania menyusul Nara meninggalkan Ruby yang masih menghabiskan es tehnya.
“Woy tungguin!” Ruby bergegas menyusul kedua sahabatnya dengan sedikit berlari.