Hari ini aku bersembunyi di balik keheningan. Kuharap tak satu pun yang mengganggu. Bau khas buku tua, warna-warna buku baru serta bunyi gesekan lembaran kertas ikut serta menemaniku dalam menikmati kesunyian ini. Perpustakaan memang tempat yang cocok untuk bersembunyi jika sedang dirundung masalah. Tentu saja obat ampuh untuk mengusir jangkrik yang berisik.
Besok Ibu akan datang ke Jakarta bersama suami barunya. Kedatangan Ibu sama dengan menekan tombol Bram untuk beraksi kembali. Akhir-akhir ini baru saja aku merasa tenang dia tidak mengusikku. Dia sibuk dengan teman-teman barunya. Teman-teman yang sefrekuensi dengannya. Mereka pergi dengan mobil-mobil mewah ke Bali dan tempat wisata lainnya dengan menyewa resort yang mahal. Banyak mahasiswi-mahasiswi yang tertarik dengan perkumpulan orang-orang tersebut, tapi aku tidak peduli. Aku hanya bersyukur Bram akhirnya mempunyai kesibukan selain mengganggu kehidupanku.
Parahnya kedatangan Ibu membuat ketenanganku hancur seketika. Pagi-pagi sekali ketika aku baru saja menginjakkan kaki di parkiran kampus, Bram sudah menghampiriku. Dia mengatakan akan menjemput Ibu dari bandara dan setelah itu menjemputku untuk makan bersama. Aku muak melihatnya menceritakan itu semua dengan percaya diri. Aku hanya terdiam tidak menghiraukannya. Namun Bram bukan orang yang menyerah jika tidak mendapat tanggapan dariku. Dia masih saja berbicara mengenai rencana kedatangan Ibu. Bahkan sampai merencanakan pergi ke Bali sekeluarga. Benar-benar memuakkan.
Itulah penyebabnya aku memilih mendekam di perpustakaan sepagi ini.
“Kamu mau aku yang usir kamu atau ibu penjaga perpus? Suara kamu soalnya ngalahin speaker masjid.”
Bram akhirnya mengajakku berbicara dengan suara berbisik. Aku tetap terdiam dan fokus mencari buku. Lalu aku mencari tempat duduk dan mengeluarkan laptop. Tenang saja, aku sudah terbiasa mengerjakan tugas dengan suara kicauan Bram semenjak SMA. Berkali-kali Karin mengusirnya, tetapi Bram ibarat anak kucing yang tidak ingin lepas dari ibunya. Oleh karena itu, jika situasinya sudah begini, aku memilih masuk ke perpustakaan. Setidaknya dia akan mengecilkan suara. Lama kelamaan dia akan menguap karena kebosanan dan tertidur di atas meja sampai ibu penjaga membangunkannya.
Namun kali ini berbeda, setelah jenuh dan bosan, dia beranjak pergi. Aku menghela napas lega.
***
“Sekian dulu materi kita hari ini. Jangan lupa tugas essay yang dikumpulkan minggu depan,” kata dosen.
Aku dan Karin bergegas menuju masjid, karena azan zuhur telah berkumandang. Di tengah perjalanan menuju masjid, Bram mengikutiku. Aku membiarkannya supaya dia juga ikut pergi ke masjid, karena pasti dia malu untuk berbalik arah ketika berhenti di depan masjid. Akhirnya dia terpaksa mengambil wudu untuk ikut salat berjamaah.
Setelah salat, aku dan Karin kembali ke kelas karena ada jadwal siang. Setelah itu, komunitas sastra akan mengadakan bedah cerpen di taman kampus. Aku lupa hari ini giliranku yang menjadi pemateri, aku belum menggandakan cerpen untuk dibagikan. Aku bergegas menuju ruangan fotokopi yang berada di ujung koridor gedung fakultas.
“Ehem!” Bram tiba-tiba sudah di sampingku tanpa kusadari. Benar-benar ya dia. Aku curiga dia menaruh alat pelacak pada sepatuku.
“Bram, plis, aku lagi buru-buru mau bedah cerpen. Jangan bikin gara-gara deh,” ujarku ketus.
“Habisnya dari tadi kamu diemin aku. Ini kan hal yang penting,” cibir Bram.
Aku tak menghiraukannya dan tetap fokus menggandakan cerpen yang akan dibagikan. Setelah itu aku bergegas pergi ke taman dengan Bram yang masih mengekoriku. Setibanya di taman, dia malah duduk di sampingku.
“Elu mau join sama kita? Boleh kok, tapi nanti harus kasih komentar juga ya, jadinya nggak asal ikut kumpul,” ujar Maya, salah satu anggota komunitas sastra.
“Enggak kok, May, dia mau pergi dari sini. Dia mah enggak ngerti apa-apa tentang cerpen,” sindirku.
“Gue cuma mau ngobrol bentar sama Salma,” kata Bram.
“Oh, enggak bisa. Soalnya kita udah mau mulai dan Salma pematerinya, jadi enggak bisa diganggu. Mendingan lu ngobrolnya nanti kalau udah selesai aja,” terang Maya.
Akhirnya Bram meninggalkanku. Aku tersenyum lega dan mengucapkan terima kasih kepada Maya. Kali ini kami akan membedah cerpen karyaku yang berjudul Cinta dari si Manusia Kertas. Cerpen ini bercerita tentang Pak Toba seorang penjual koran yang bertemu dengan seorang anak laki-laki yang kabur dari panti asuhan, karena dituduh mencuri. Mereka bertemu di kedai kopi, karena Pak Toba melihatnya berteduh dan menggigil akibat bajunya yang basah kuyup diguyur hujan.
"Inti dari cerita ini adalah kasih sayang tidak hanya tumbuh dari hubungan darah, tetapi juga muncul dari orang-orang yang memiliki kedekatan batin dengan kita. Dalam cerita ini juga kita bisa belajar dari sifat Pak Toba yang selalu bijak dalam menghadapi hidup, meski hidup serba kekurangan," jelasku.
Aku mendapat komentar positif dari semua anggota komunitas sastra. Bahkan Ezra sampai berkomentar, “Rasanya saya mendambakan sosok Pak Toba dalam kehidupan ini.”
Aku senang mendapat komentar positif dari teman-teman. Hanya beberapa kritik masalah penulisan dan pemilihan diksi yang kurang tepat, sedangkan alurnya sudah bagus, konfliknya menarik.
Apalagi ketika mendengar komentar dari Bagas, “Selalu saja kita mendapatkan nasihat dari cerita karya putri cerpenis ini. Bahasanya renyah dan asyik.”
Aku tersipu saat mendengar pujiannya. Namun langsung aku bersifat normal kembali supaya yang lain tidak menyadarinya. Setelah selesai membedah cerpen, kami masih duduk santai di taman berbincang-bincang sambil menghabiskan makanan yang disediakan.
Bagas menghampiriku. “Keren banget tulisannya.”
“Terima kasih.”
“Oh iya, cowok yang tadi itu pacar kamu?”
“Bukan, dia teman SMA-ku. Emang dari dulu dia begitu, aku risi diikutin terus. Untung tadi Maya mengusirnya.”
“Wah, ternyata fans kamu banyak juga ya. Banyak saingannya dong.”
“Ih apaan sih, lebay!”
Kami tertawa dan bersenda gurau sampai sore dan pulang ke rumah masing-masing. Aku meminta Maya untuk jalan bersama sampai parkiran, khawatir Bram masih menungguku. Akan tetapi Bagas menawariku untuk mengantarkanku, karena kebetulan Maya harus balik ke kelas sebentar mengambil barang yang tertinggal. Ide yang lebih bagus, karena biasanya jika aku ditemani teman wanita, Bram masih nekat mendekatiku. Berbeda jika aku bersama pria lain, dia tidak akan berani. Apalagi kami berjalan menuju parkiran bersama Gilang dan Ezra juga.
Tadinya Bagas menawariku untuk mengantar sampai rumah, tetapi aku menolaknya. Masalahnya ada dua polisi di rumah. Sepertinya Bagas memahamiku, apalagi setelah kejadian yang dialaminya. Jadi Bagas hanya mengantarkanku sampai stasiun kereta.
“Hati-hati ya, kalau ada apa-apa kabari. Kalau kamu kenapa-kenapa aku juga yang khawatir,” ujarnya ketika sampai di pintu masuk stasiun.
“Gombal terus, ah! Ya udah aku masuk ya, makasih,” pamitku kepadanya.
***
“Kamu tahu kan besok Ibu datang? Katanya mau jemput kamu ke kampus terus ke sini. Tadinya Ibu maunya makan di restauran, tapi Kakak bilang mau masak aja. Biar kumpulnya enak di rumah,” kata Kak Salsa.
“Iya udah tahu, Kak. Tahu enggak sih? Aku seharian diteror sama Bram. Lebih mengesalkannya lagi katanya besok dia mau jemput Ibu ke bandara terus jemput aku di kampus. Parahnya nih, Kak, dia mau ngajakin kita sekeluarga jalan-jalan ke Bali. Aku pusing kak, tolongin aku.”
“Tapi besok Bang Aldi ngajar dulu. Kamu juga pulangnya jam tiga sore kan? Kalau jemput jam empat lewat sama aja keburu dijemput sama mereka. Tahan sebentar ya, rencananya Kakak dan Bang Aldi mau bicarain soal kamu dengan Bram di depan Ibu. Kamu enggak usah khawatir.”
Aku mengangguk setuju. Setelah makan malam bersama, aku segera beranjak menuju kamar. Seketika perasaanku membaik saat melihat ada pesan dari Bagas.
Bagas: Kamu udah sampe rumah? Maaf ya ga nganterin sampe rumah.
Salma: Udah sampe dari tadi. Maaf baru ngabarin tadi HP lagi dicas. Iya, enggak apa-apa, Gas.
Bagas: Syukurlah, kalau sampe dengan selamat. Kamu belum tidur?
Salma: Belum, tadi abis makan ngobrol dulu sama Kakak. Kamu sendiri belum tidur?
Bagas: Belum, nunggu kabar dari kamu dulu baru tenang. Aku kan hansip yang bertugas menjaga hatimu.
Salma: Ih, gombal terus! Kamu pasti sama cewek lain juga suka gombal begini ya?
Bagas: Tapi kamu seneng kan digombalin? Kamu tuh ya curigaan jadi orang. Bisa enggak sih jawabannya yang manis dikit biar kamu tambah manis.
Salma: Emang tahu dari mana aku seneng? Udah ah aku mau off, wassalamualaikum.
Memang benar aku senang setiap rayuan yang diberikan Bagas. Terkadang kedua pipi ini terasa hangat.
Sampai-sampai sebelumnya Karin pernah berkomentar dengan suara keras ketika di kelas. “Lu kenapa sih begitu? Jangan-jangan lu demen sama Bagas ya?”
“Enggak sekalian lu umumin pake speaker masjid biar semua orang tahu? Lu harus bedain mana yang harusnya ngomong dalam hati, mana yang boleh teriak-teriak.”
Seperti itulah kelakuan sahabatku yang satu ini.
***
Setiap hari aku berdansa dengan rindu.
Bernyanyi lagu pilu.
Ah, cinta, mengapa kau selalu. membuatku sendu?
Pohon kenari meliukkan dahannya di hadapanku.
Seolah mengejekku.
Aku berteriak parau.
Dia tak mengerti arti cinta bagiku.
Pasir-pasir berbisik kepadaku.
Cepatlah datang ke danau.
Mereka menjanjikanku sesuatu.
Kuberlari menuju tempat itu.
Bahagianya diriku.
Seseorang menungguku.
Dia kekasihku.
Puisi indah tadi tertulis pada Instagram milik Bagas tiga jam yang lalu. Si pria melankolis itu menaruh puisi tersebut sebagai kutipan pada foto taman kampus yang diunggahnya. Puisi-puisinya seperti candu yang memabukkan semua wanita yang terbuai oleh rayuannya.
Tiba-tiba gawai yang kupegang bergetar, seolah memergokiku yang sedang terbuai oleh kata-kata manis sang pujangga. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Bagas yang mengirim pesan kepadaku.
Bagas: Hai, Gadis Manis. Habis kuliah ada acara enggak? Anak-anak Pencinta Literasi ngajakin ke Cerita Café. Ikut ya?
Salma: Aku enggak bisa, Gas. Ibuku mau datang ke rumah, ada kumpul keluarga. Sedih padahal pengin ikut.
Bagas: Jangan sedih, Manis. Nanti aku ajak lagi kamu ke sana. Selamat bersenang-senang ya. Salam buat Ibu ya.
Salma: Haha oke deh. Salam-salam, kenalan dulu dong!
Bagas: Suatu kehormatan bisa memperkenalkan diri di depan ibu yang melahirkan gadis secantik dan sehebat dirimu.
Salma: Ah, udah ah, gombal terus. Dosen udah masuk nih.
***
Aku merasa kelelahan hari ini. Kelas penuh dari pagi sampai jam tiga sore. Aku menuju parkiran untuk menunggu Ibu. Sewaktu di kelas, Bram sudah mengirimiku pesan bahwa dia sudah bertemu dengan Ibu di bandara dan siap menjemputku. Aku tidak habis pikir, dia rela bolos kuliah hanya demi menjemput Ibu. Memang pria manja satu itu tidak pernah tahu mana yang prioritas.
Ketika di parkiran aku bertemu dengan Bagas, Gilang, dan Ezra. Mereka berencana akan berangkat dengan mobil milik Ezra dan anggota yang lain ikut mobil satu lagi. Mereka menghampiriku.
“Yah sayang banget elu enggak ikut. Ada yang sedih lho lu enggak ikut,” ujar Gilang seraya menyenggol lengan Bagas. Bagas hanya menepuk tangan Gilang.
Aku tertawa, sok asyik menanggapi mereka.
Tiba-tiba ada suara panggilan yang merusak suasana, “Salma, ayo masuk! Ibu udah nungguin di dalam mobil!” teriak Bram di seberang. Terlihat mobil mewah yang terparkir di belakangnya dan siluet Ibu dari kaca depan.
“Maaf ya gue duluan. Have fun ya kalian,” kataku dan menatap Bagas dengan tatapan meminta maaf. Namun dia hanya menatapku datar.
Aku pun langsung masuk ke dalam mobil, duduk di belakang. Selama perjalanan aku terdiam menatap jendela menatap ingar bingar kota Jakarta. Tidak peduli dengan Ibu yang menyindirku tidak hangat kepadanya meski telah berjauhan dalam waktu yang lama. Bagaimana bisa hangat kepadanya jika sikapnya kepadaku seperti ini? Seolah ibyu tidak bisa membayar taksi untuk sekadar mengantarnya dari bandara menuju rumah. Ibu beralasan bahwa tidak ingin pulang sendirian, karena suaminya harus pergi rapat langsung dari bandara.
Padahal jika sedari awal Ibu mengabarkan kepada Kak Salsa supaya Bang Aldi untuk menjemputnya, aku yakin Bang Aldi akan mengosongkan waktunya. Secara sepihak Ibu memutuskan Bram yang bukan anaknya untuk menjemputnya.
Setelah menghabiskan menit-menit yang membuat gerah hati, akhirnya kami sampai juga di rumah. Aku muak selama perjalanan, Bram sibuk memamerkan kekayaannya dan Ibu sok kagum dengan setiap perkataannya. Coba saja Ibu tanyakan bagaimana studinya di kampus? Pasti dia diam seribu bahasa atau mengalihkan pembicaraan.
Kak Salsa menyambut Ibu dengan hangat dan mempersilakan kami masuk. Makanan sudah tersedia di ruang tengah. Aku merasa tak enak dengan Kak Salsa, karena tidak membantunya memasak.
Setelah mencuci tangan, kami pun menyantap masakan yang telah disediakan. Di tengah-tengah menyantap hidangan, Bang Aldi datang dan ikut bergabung bersama kami. Berkali-kali aku menyenggol Kak Salsa supaya membicarakan soal aku dengan Bram.
"Nanti abis makan," bisik Kak Salsa.
Setelah makan, aku membantu Kak Salsa membawa piring-piring kotor ke dapur dan mengeluarkan buah untuk pencuci mulut untuk dihidangkan ke ruang tengah.
“Masakan Kak Salsa enak banget. Berasa seperti makan di restoran,” puji Bram ketika aku dan Kak Salsa meletakkan buah di atas meja.
“Salma juga nanti bakal belajar sama kakaknya. Supaya nanti setelah nikah bisa masakin kamu yang enak-enak,” ujar Ibu.
Emosiku naik ke ubun-ubun dan rasanya ingin meledak. “Ibu! Aku kan udah bilang…,” belum selesai aku berbicara, Kak Salsa memotong pembicaraanku.
“Salma, udah! Biar Kakak yang bicara baik-baik sama ibu.”
“Ada apa sih kalian?” tanya ibu.
“Begini, Bu, sepertinya Ibu jangan lagi memaksakan Salma untuk menikah dengan Bram. Lagipula Salma dan Bram sedang fokus kuliah, Bu. Dan jika Bram memang berniat serius untuk menikahi Salma, maka harus dengan tata cara yang benar. Seperti dengan ta’aruf dulu. Ta’aruf berbeda dengan pacaran, karena setiap pertemuan dan obrolan kalian harus didampingi oleh mahram. Lalu datang melamar Salma dengan membawa keluarga. Salma berhak menerima atau menolaknya. Orangtua ataupun Kakak hanya bisa memberi masukan dan nasihat. Jadi Kakak minta Ibu jangan lagi memaksakan Salma untuk memilih Bram. Biar dia yang menentukan calon suaminya,” jelas Kak Salsa.
Lalu dia terdiam dan menghela napas.
Setelah itu, Kak Salsa menengok ke arah Bram. “Untuk Bram, jika kamu serius dengan Salma, jangan mendekatinya seperti mendekati anak kecil. Sebelum kamu datang melamar Salma, kamu juga harus mempersiapkan dirimu. Apakah sudah bisa menjadi calon suami yang baik? Karena pernikahan bukanlah hal yang sepele dan kami akan menanyakan hal itu jika kamu datang melamar Salma”.
Semua yang ada di ruang tengah terdiam mendengar nasihat dari Kak Salsa. Setelah itu Bang Aldi menambahkan bahwa dia dan Kak Salsa berjanji akan menjagaku dengan baik.
"Salma ini sudah dewasa dan bisa menjaga diri sendiri. Jadinya tidak perlu menyuruh lelaki yang bukan mahram untuk mengantarnya. Jika kelak ada yang melamar Salma, maka kami akan memastikan bahwa pria tersebut adalah calon suami yang baik," imbuh Bang Aldi.
Aku merasa tersentuh dengan kedua kakakku. Aku merasa mempunyai sosok yang bisa kuteladani. Semenjak Ayah dan Ibu bercerai, aku tak tahu lagi mana yang benar dan salah. Hidupku berubah semenjak tinggal bersama Kak Salsa dan bang Aldi.
Setelah nasihat panjang lebar, Bram berpamitan pulang. Akhirnya aku mencair dengan Ibu. Aku sudah tidak dingin lagi terhadapnya. Aku bersyukur Ibu masih mau mendengarkan nasihat Kak Salsa. Memang selama ini Kak Salsa yang menjadi andalan di keluarga kami. Tak salah jika dia mendapatkan suami yang hebat seperti Bang Aldi. Aku berdoa semoga aku bisa seperti kedua kakakku. Masalah hari ini telah usai, aku tidak sabar menunggu besok.