+Rin, aku udah sampai di cafe, jadi makan siang bareng?
-Sori, Ndra, aku mendadak harus ketemu klien
Jujur aku kesal, karena Airinlah yang mengajak makan siang bersama, dia juga yang nentuin tempatnya. Eh sudah aku sampai malah dia batalin, tahu gitu aku lanjut kerja aja tadi.
Tapi kan sudah sampai juga, kurasa makan sendiri juga enggak masalah, jadi aku turun dari mobil yang sudah kuparkir di depan cafe.
Aku memesan makanan yang tak terlalu berat dan kopi, kerja kerja terus membuatku sedikit mengantuk. Sebagai pengusaha tentu aku memikirkan bagaimana lagi kedepannya untuk usahaku dan tahun depan aku bermaksud membuka cabang furniture di luar negeri, masih di benua Asia dan untuk itu aku harus bekerja keras.
Dan semua ini juga bisa disebut seperti pelarian dari kenangan tentang Bunga. Aku merasa setiap kali diam ataupun berbaring, wajah Bunga muncul dipikiranku dan sakitnya di dalam pikiran itupun aku tak dapat menggapai Bunga.
Dia seolah dekat sekali, tapi tak pernah sampai.
Sudah jam satu siang, ketika pelayan menanyakan kopiku mau ditambah atau tidak dan kubalas anggukan, artinya iya. Seorang wanita menggunakan kemeja putih dan rok hitam serta jilbab berwarna merah muda melewati mejaku, dengan beberapa temannya dengan pakaian serupa.
Tatapan matanya teduh, senyumnya tipis tapi tulus.
“Lusiii?”
Dia mengangguk pelan
“Bisa bicara berdua?” isyarat gerakkan mulutku spontan.
Lusi seperti memberitahu teman-temannya untuk berpisah duduk dengannya, langkah perlahan membawanya ke mejaku, kami duduk berhadapan.
Teman-teman Lusi, setelah memesan memilih duduk di luar. Mereka seolah memberi Lusi ruang untuk leluasa bicara denganku.
“Lusi sejak kapan di Jakarta?”
“Beberapa bulan, Kak, KKN di salah satu Bank, aku kuliah di jurusan ekonomi syariah”
“Bunga, di-dia bagaimana?”
“Dea sehat, dia kuliah di jurusan manajemen bisnis, dia juga sedang KKN”
“Dimana?”
“Maaf, kak, soal itu Lusi enggak bisa bilang” penurunan nada suara Lusi menyatakan betapa menyesalnya dia
“I-iya, enggak papa kok”
“Awal Dea cerai dia sudah cerita soal kebangkrutan kakak, Dea cuman enggak mau nyusahin katanya”
“Aku enggak pernah nganggap Bunga nyusahin Lus, malah aku yang enggak mau nyusahin Bunga”
“Dengan cara kakak lari ke cewek lain?” aku tahu yang dimaksud Lusi adalah Airin
“Aku enggak suka dengan cewek lain selain Bunga, Lus, Bungapun tahu soal cewek itu, kami teman”
“Kak, intinya, maaf Lusi ngomong gini, kalo ada orang pura-pura selingkuh yah sama aja dia selingkuh, kan dia ngelakuin semua hal yang dilakuin tukang selingkuh, meskipun pura-pura, tapi dia ngelakuin juga kan?”
Aku mematung mendengar kata-kata Lusi, lalu kemudian merasa bersalah.
“Dea berusaha keras belain kakak di depan aku dan orangtuaku, Kak, tapi apa kakak pantas dibela?” Lusi langsung menunduk dan meneteskan beberapa tetes air mata ke rok hitamnya “Dea pernah bilang gini aku enggak ada orangtua, saudara kandung juga enggak, aku Cuma punya suami tapi kenapa satu yang kupunya juga harus dibagi-bagi? Aku cuman bisa diam pas dia bilang gitu, Kak,”
“Aku hanya menyukai, Bunga, Lus, enggak ada yang lain” suaraku berusaha tenang supaya Lusi juga tenang
Sambil menyeka air mata yang tersisa di pipi Lusi menatapku dalam “Andai itu bukan Cuma sebatas kata-kata, pasti indah banget, Kak”
“Bagaimana supaya aku bisa dapetin Bunga lagi, Lus?” pasrah, kutopang kening dengan kedua telapak tangan yang sikunya bertumpu ke meja
“Cuma Tuhan yang tahu kak,”
Kepalaku terasa semakin berat dan kuputuskan untuk meninggalkan Lusi dan teman-temannya lalu menuju ke mesjid terdekat untuk shalat zhuhur.
Dari sana aku kembali ke kantor, pulang larut dan memilih berbaring di sofa panjang ruang teve.
***
Jadilah aku tidak tidur semalaman dan gelisah.
Saat Bunga bilang Lusi itu pintar, aku tak menyangka jika sepintar ini. Dia seperti mampu melihat sudut pandang yang bahkan tak kusadari. Kedekatanku dan Airin meski dengan alasan hanya teman, itu juga berarti dekat, juga berarti memberi jarak dengan Bunga supaya tak terlalu dekat denganku.
Aku merasa seperti semua hal yang kulakukan untuk kebaikan Bunga, dulu, hanyalah alasan saja, alasan supaya aku terlihat baik. padahal tidak.
“Kak, kadang kakak itu harus milih, mau sama Dea atau sama yang lain. jangan dua-duanya. Enggak ada yang bakalan bahagia kalo kakak enggak bisa milih.” Kata Lusi tadi
Kuusap wajahku yang terasa lelah. Bunga dan Airin adalah dua orang yang berpengaruh dalam hidupku. Bagaimana aku harus memilih salah satunya!
***
Pagi-pagi aku mengunjungi Om Rian di penjara, sangking paginya dan belum memasuki waktu jam besuk aku terpaksa duduk dan menunggu di luar. Aku sempat membeli makanan di rumah makan padang juga untuk Om Rian.
Om Rian sudah lama tak berkeluarga, saat aku SMP dia bercerai dan mantan istrinya memilih tinggal di Australia ikut suaminya yang sekarang. Airin dulu menganggap Bunga adalah anak dari Om Rian dan mantan istrinya itu, padahal ketika menikah Om Rian hanya mempunyai satu anak perempuan yang tiga tahun lebih muda dariku, setahun di atas Bunga.
“Pak Darmono?” aku berdiri dan menyapa salah seorang polisi yang lewat di depanku “Aku sudah bisa lihat Om Rian?”
Pak Darmono melihat jam di tangannya sebelum bilang “Iya, udah boleh, Ndra.”
Aku masuk kantor dengan rantang di tanganku, langsung menuju ruang besuk yang sudah beberapa minggu tak kukunjungi. Om Rian terlihat lebih kurus menatapku sambil tersenyum kecut.
“Indra, kau datang?” kata Om mengambil posisi duduk di depanku
“Iya Om, ini di makan”
“Iya nanti Om makan”
“Om sehat?”
“Sehat, kamu?”
“Om ada yang Indra belum ceritain ke Om, sebenarnya Indra sudah menikah dan bercerai.” dari kalimat itu aku menumpahkan semua masalahku, tentang Bunga, bagaimana aku menyukainya dan alasan aku melepaskannya.
Sebagai dua orang keluarga yang tersisa, kurasa kami hanya memiliki satu sama lain. Dan Om Rian mendengarkan semua keluh kesahku soal kebangkrutan dengan tenang dan kembali menanggapi ketika aku kehabisan kata.
“Dunia memang berat Indra, kadang sebagai lelaki kita harus bisa ambil keputusan dan setelah semua itu kita harus bisa menerima konsekuensinya dengan ikhlas”
“Tapi aku masih menyukai Bunga setelah bertahun lamanya Om, a-aku..” suaraku tertahan seakan tak bisa mendeskripsikan betapa sukanya aku ke Bunga
“Om juga masih menyukai mantan tantemu itu, ck, padahal dia sudah menikah lagi” lalu Om menepuk bahuku pelan “Jika kau yakin dia menyukaimu juga, dia pasti kembali padamu, kalo enggak ya mungkin Airin jodohmu, hahaha”
‘Waktu jam besuk tinggal tiga menit lagi’suara polisi jaga terdengar memperingati
“Om...!”
“Hahaha, kalo jodoh pasti ketemu, kamu kan ketemu Airin terus, jangan-jangan dia jodohmu”
Telponku yang terletak di atas meja berdering dan memunculkan nama Airin.
“Tuh kan, mau ngajak ketemu lagi itu” lanjut Om Rian menyindirku
Kuabaikan telpon Airin dan membuat Om Rian tertawa.
“Udah, waktu Om sudah habis ini.” Om Rian berdiri membawa rantang untuk diperiksa polisi jaga
Aku berjalan lemas keluar kantor polisi. Bicara dengan Om Rian tidak membuatku membaik.
***
Berhari-hari aku tak mengangkat ataupun membalas telpon Airin. Aku pergi ke Surabaya sehabis menjenguk Om Rian untuk menjauh dan juga mengecek cabang kantorku yang di sana.
Heru si kepala cabang yang menjemputku, dia kurus berkacamata, beda dengan Tino dia tak banyak bicara tapi kerjanya bagus. Aku mengetahui ini selesai rapat tadi pagi, 20 karyawan yang dipimpinnya terlihat begitu menghormati setiap gagasannya, kantor rapi, keuntungan juga naik. Jika begini terus aku merasa wajib mempromosikan Heru untuk bekerja ke kantor pusat.
“Bos, ” sapa Heru ketika aku ingin keluar kantor dengan mobil matic-nya
“Ya?”
“Ehm, besok kantor tutup boleh, Bos?”
“Memang besok hari raya? Kenapa harus tutup?”
“Anak-anak mau solid, Bos, besok Persebaya maksud saya klub bola provinsi ini tanding final LIGA 2. Tahun depan mau masuk LIGA 1, pada mau support”
“Oh, yaudah, libur aja dua hari. Kamu mau pakek mobil?” tanyaku menyodorkan kunci
“Enggak Bos, saya ada mobil satu lagi”
Aku hanya mengangguk mengiyakan “Emang lawan apa?”
“PSMS Medan, Bos”
Aku tertegun, itu klub bola yang disukai Bunga.
“Bos, mau ikut nonton?” tanya Heru melihatku masih diam
“Enggak, kalian aja” aku bergegas masuk mobil dan melaju bebas.
***
Sore, aku sudah sampai di Bandung.
Murni untuk menonton PSMS Medan vs PERSEBAYA di stadion Gelora lautan api. Meski pertandingan berlangsung besok, mengingat ini final aku takut kehabisan tiket dan benar saja aku berhasil mendapatkan tiket tapi dari calok.
Setelah mengantongi tiket, aku mencari hotel terdekat untuk check-in lalu beristirahat. Saat Heru bilang yang akan bertanding adalah klub kebanggaan Bunga, aku langsung mencari tahu lokasi dan waktu tanding lewat google. Seharusnya aku bisa saja tanya Heru, tapi mengetahui dia adalah pendukung PERSEBAYA, aku jadi tak enak, karena aku mendukung PSMS Medan untuk Bunga.
Sebenarnya aku tak terlalu tahu tentang bola Indonesia. Siapa pemain TOP-nya? atau siapa yang jadi tukang sleding(meski tanpa sadar)?
Terlebih lagi dari dulu aku lebih menyukai futsal daripada bola luar ruangan.
Aku hanya sedang ingin terkait dengan Bunga yang mungkin juga menonton pertandingan itu di suatu tempat.
Besoknya aku berangkat dengan mobil Heru. Dari hasil searching semalam aku tahu jika PSMS Medan mempunyai jersey berwarna hijau. Supaya lebih memeriahkan aku mengenakan kaos hijau tua dan jeans hitam robek.
Di luar stadion sudah ramai ketika aku sampai, kebanyakan berkelompok. Kurasa mereka berangkat bersama dan satu komunitas. Ada yang membawa bendera klub dan rata-rata menggunakan atribut sesuai klub yang didukung.
Di luar stadion juga ada beberapa pedagang yang menjual berbagai macam barang, ada yang jual panci juga meski aku tak tahu apa hubungannya dengan bola.
Aku memarkirkan mobil di salah satu Minimarket supaya aman, maksudnya jika aku tiba-tiba harus pergi di tengah pertandingan nanti aku tak perlu bingung memikirkan bagaimana mengeluarkan mobil di parkiran yang penuh.
Ketika memasuki stadion aku merasa berapi-api mungkin karena ini adalah stadion gelora lautan api, tapi mungkin juga karena supporter masing-masing klub terlihat kompak dan slogan-slogan penuh semangat yang terpampang sangat jelas di sekeliling pagar pembatas penonton.
Sampai setengah pertandingan aku baru sadar jika PSMS Medan untuk pertandingan kali ini menggunakan jersey putih. Dan ternyata aku duduk di antara fans PERSEBAYA. Aku hanya mengikuti orang yang bajunya hijau juga, nyatanya begini.
Selesai pertandingan dengan tambahan waktu 2x15 menit. Ternyata PERSEBAYA menang atas PSMS Medan dengan skor 3:2
Aku berjalan keparkiran minimarket untuk mengambil mobil. Tapi entah kenapa keempat ban sudah gembos semua. Kutelpon Abi untuk mengambil mobil Heru dan menyebutkan alamat lokasi minimarket ini, dia bilang iya. Abi sendiri adalah temanku dari Jakarta yang sekarang membuka bengkel di Bandung.
Kutitipkan lagi mobilku pada kasir minimarket yang tersenyum ketika kubilang ‘ambil saja kembaliannya’ dari pembelian rokok untuk ditaruh di mobil. Rokok itu kubeli untuk Abi, karena aku tak berniat menunggu di sini dan mau langsung pergi ke hotel saja.
Berhubung sudah malam, aku berjalan di trotoar sambil melirik ada taksi atau tidak sesekali. Beberapa meter cukup membuatku tertelan rasa bosan, jalan yang monoton dan sibuk.
Di depan di warung pecel lele aku bisa mendengar suara riuh. Biasanya tempat makan yang ramai berarti makanannya enak jadi aku berhenti sebentar melihat masih ada tempat atau tidak.
“Kau seharusnya minta maaf sudah melukai keningku!” teriak seorang wanita di luar warung
“Ulululu maav maav” kata seorang pria jangkung yang sempoyongan mencubit dagu wanita itu. Dengan cepat dihempasnya tangan si pria dengan kasar sampai terjatuh.
‘INI BUNGA’ pikirku
Seorang pria pendek keluar dari warung dan melihat ke arah pria jangkung yang sudah jatuh, dengan kayu yang dipungutnya di dekat kompor pemilik warung. Dengan pelan berjalan mendekat.
Aku berlari memeluk Bunga dan menonjok pria pendek yang berusaha memukul Bunga dengan balok tapi mengenai punggungku.
“WOI!!” teriak pria lain yang berlari ke arah warung
Sudah dapat dipastikan, sepertinya memang yang memenuhi warung itu teman-teman pria pendek dan pria jangkung. Kugenggam tangan Bunga dengan erat.
“Ayo kabur!” sambil menggandeng tangannya aku berjalan setengah berlari menyeberang.
Terus berlari bukan berarti aku takut. Karena tidak , sama sekali tidak, hanya saja terlibat dalam kesalahpahaman dengan sebuah kelompok bisa jadi hal yang tidak menguntungkan. Pertama, orang yang memukul Bunga melakukan itu secara tidak sadar. Kedua, jika aku berkelahi dengan banyak orang dimana Bunga ada di sana, bisa-bisa Bunga juga akan terluka.
Kami memasuki gang-gang kecil, helaian rambut Bunga menutupi sebagian wajahnya ketika dia menoleh ke belakang, aman kurasa itu isyarat anggukan Bunga.
Beberapa orang yang tadinya mengejar terlihat sudah tinggal berjalan. Di bawah lampu jalan mereka berteriak ‘Awas kalau sampai ketemu!’
Kami masih terus berlari untuk beberapa belokkan.
“Indra...” suara itu, dia benar Bunga, membuatku berhenti dan melihat wajah yang kurindukan. Jeans biru muda, kaos putih polos yang ditutupi jaket hijau army pemberianku dulu serta topi atribut PSMS Medan yang menutupi rambut basahnya karena keringat.
“Indra? Pung-punggungmu tak papa?”
“Bunga?” kupeluk dia dengan sangat erat
Dipinggiran jalan, hening, tak ada satupun suara tercipta. Lalu aku merasakan air mata Bunga membasahi bahuku. Kumundurkan langkah membuat jarak untuk melihat wajahnya.
“Dia yang pukul aku duluan, Ndra” sambil menunjuk kening yang sudah berdarah “Bukan aku.”
“Aku tahu” kuusap air matanya dengan telapak tanganku dan menghapus darah di keninggnya dengann punggung tangan yang serupa “ayo kita cari klinik dulu”
***
Selepas dari klinik, kening Bunga sudah dibersihkan serta di perban. Dan punggungku juga di cek, untung hanya memar di luar dan tidak membahayakan tulang maupun organ dalam.
Aku mengajak Bunga untuk makan dulu di salah satu cafe dengan menggunakan taksi, dia setuju.
“Bagaimana ceritanya keningmu sampai berdarah?” tanyaku
Sambil menyeruput jus jeruk, Bunga seolah berpikir “Jadi aku tadi nonton bola dengan teman,”
“Teman?”
“Temanku perempuan orang batak, dia juga ngajak sepupu perempuannya tapi sepupunya itu enggak bisa diajak ngobrol”
“Oh, kenapa?”
“Dia itu baru pindah dari Medan ke Bandung, katanya di Medan orang seringnya pakai bahasa daerah jadi dia agak bingung. Masak tadi aku bilang’ayo makan gabus goreng’ eh dia malah marah”
“Loh?”
“Dari temanku, aku tahu kalo di Medan gabus itu ada artinya, pargabus=bohong. Jadi mungkin dia kira arti ajakan aku itu ‘ayo makan bohong goreng’ ya pastilah dia marah”
“Hahaha”
“Trus sepupu temanku tanya ‘ise do na mandopot pialai?’ aku yang gak ngerti bahasanya kan jadi bilang ‘sude lah’ , trus dia marah”
“Sude lah, apa?”
“Maksudnya sudahlah, jangan terlibat percakapan lagi, aku enggak ngerti”
“Oh,”
“Trus temanku bilang sepupunya itu nanya ‘siapa yang dapat piala?’ dan sude dalam bahasa batak artinya semua. Berarti jawabanku untuk pertanyaannya ‘semua lah’ pantas dia kesal”
“Kamu itu, jadi gimana dapat luka di kening?”
“Oh, jadi karena sepupu temanku marah jalannya jadi cepat nian, temanku ngejar, aku jalannya sengaja pelan takut salah ngomong lagi. eh jadinya aku ketinggalan”
“Trus?”
“Trus pas ngelewatin warung pecel lele, ada cowok nimpukin punggungku pakek batu, aku noleh lah trus kening aku malah kena lemparan batu juga. kusamperin dia, suruh minta maaf tapi dianya kayak mabuk gitu”
“Tahu mabuk, masih diajak ngobrol”
“Ya namanya kesal”
“PSMS Medan kalah pula”
“Iya, eh, kok tahu?”
“Aku juga nonton di stadion, aku malah kejebak di antara fans PERSEBAYA”
“Hahaha”
“Iya, aku ngikutin penonton yang baju ijo. Tadi PSMS Medan yang pakai baju putih kan?”
Kening Bunga langsung mengkerut “Enggak ah yang pakai baju ijooo”
“Lho? Tapi tadi pas akhir pertandingan semua yang di sekitar aku loncat-loncat teriak’PERSEBAYA MENAAAANG’ gitu, tapi mereka pakai baju ijo kok ”
“Oh oh jadi gini, jersey PERSEBAYA itu ada dua, warna-nya hijau dan putih, nah Medan juga sama. kalo ketemu enggak mungkin warna bajunya samaan jadi satu hijau, satu putih. Kalo pendukungnya pakai baju ijo trus dukung PERSEBAYA yang pas tanding pakai jersey putih itu wajar aja kan jersey PERSEBAYA ada yang warna ijo juga”
“Aduh.. ribet banget yahh”
“Hahaha.. enggak papa nanti kalo kau sering nonton liga Indonesia bakalan ngerti dengan sendirinya lama-kelamaan, jangan terlalu dipikirin”
“Hm... eh, kamu emang duduk di bagian mana tadi?”
“Dekat yang megang TOA, aku tukang teriak HORASSs”
“Pasti rame, tapi sayang banget PSMS Medan-nya kalah ya?”
“Iya, mau gimana lagi? kalo aku enggak kecewa banget lah, sebagai penggemar tetap dukung. LIGA 2 bahkan LIGA 3, semua tetap bakal sama aja PSMS Medan nomor satu di hati. Tapi tahun depan mereka masuk LIGA 1 bakalan banyak dapat sponsor, gaji naiiiik”
“Hahaha, dukung sih dukung tapi enggak bisa bahasa Medan”
“Ah enggak papanya lah itu, pemainnya juga bukan pada orang batak”
“Hahaha” aku merasa lucu karena tiba-tiba Bunga menggunakan dialek orang Medan
***
Setelah makan, kami melanjutkan percakapan di taksi. Karena malam semakin larut dan Bunga harus pulang ke rumah sepupu temannya. Sebenarnya aku ingin menawari Bunga tinggal bersamaku saja tapi mungkin teman Bunga sekarang sedang khawatir terpisah dengan Bunga di kota orang dan juga aku tak ingin Bunga dipandang buruk jika tinggal bersama pria di sebuah hotel.
“Aku bertemu dengan Lusi di Jakarta”
“Oh, dia yang beri tahu kau aku ke Bandung?”
“Enggak, jadi kemarin aku ke kantor cabang yang di Surabaya. Karyawan minta cuti mau lihat final dukung PERSEBAYA eh pas aku tahu lawannya klub favorit kamu jadi aku malah pingin nonton juga”
“Oh”
“Aku malah heran ketemu kamu, Lusi bilang kalian lagi KKN”
“Hahaha... itu, aku kabur”
Dahiku tiba-tiba mengernyit seakan bingung dan berusaha mencerna kalimat itu.
“Iya, Lusi enak, dia dapat tempat di Jakarta eh aku di suatu bagian di Indonesia ini yang tak terhendus manusia cuman ada monster”
“Monster?”
“Aku kan ngambil manajemen bisnis, jadi aku KKN-nya di tempat usaha gitu, karena aku enggak pintar malah dapat di tempat usaha rumahan gitu, usaha keripik belum pemiliknya marah terus”
“Kenapa dia marah-marahin kamu?” aku sedikit terpancing emosi
“Soal suhu batas panas minyak sayur sebelum keripik-nya dijatuhin, parah kan? Aku mana ngerti kayak gitu, aku sudah usaha tapi dia tetap marah terus”
“Jadi kamu kabur gitu aja?”
“Enggak kabur sama kabur sama-sama bakalan kena marah, enggak papalah buat masalah sekali, lusa aku pulang ke tempatnya, minta maaf,”
“Kalau dia enggak mau ngasih kamu nilai bagus gimana?”
“Gampang, aku tinggal bawa Lusi buat jualin keripiknya, pasti ludes, dia dapat omzet besar, uangnya banyak, langsung tinggi nilaiku”
“Kok bisa gitu?”
“Dia itu monster mata duitan”
“Hahaha”
“Eh.. Pak, berhenti di depan” kata Bunga tiba-tiba menepuk bahu sopir taksi
Si sopir langsung berhenti perlahan dan Bunga keluar taksi tepat saat mobil benar-benar berhenti. Ketika Bunga menutup pintu, aku buru-buru membuka pintu di sebelah kiriku dan memanggil Bunga yang sudah duluan dipanggil temannya yang sepertinya sudah menunggu dari tadi.
“Siapa, De?”
“Mantan suami, Ta, aku nyusul nanti, masuk aja duluan”
Teman Bunga terlihat bengong tapi menurut, aku juga sedikit kaget mendengar Bunga sejujur itu mengatakan statusku sebagai mantan suaminya, lalu aku melangkah maju menghampiri Bunga tepat di samping kanan taksi.
“Bunga, kamu bilang mau pulang lusa, kan? Besok aku jemput ya? Jalan sama aku?”
“Boleh, ayo kita jalan-jalan besok”
“Oke.. dadah..”
“Assalamualaikum” kata Bunga mengingatkan
“Wa’alaikum”
“Hati-hati”
“Pasti!” mengacungkan jempol, Bunga malah membalasnya dengan kedipan dan senyum manis. ehm... Bunga
Lalu aku merasa naik taksi seperti naik awan. Meski sebenarnya jarak hotel dan rumah sepupu teman Bunga lumayan jauh karena beda arah, aku merasa sampai di hotel terlalu cepat dan malam terasa lama sekali.
Aku menelpon Abi sesampainya di hotel, memintanya untuk mengganti ban mobil secepatnya karena pagi-pagi sudah akan kupakai. Dia bilang ‘okee’
***
Aku tak menyangka bisa kesiangan, mungkin karena gelisah atau terlalu kesenangan semalam. Abi sudah menelpon 13 kali lebih, dan satu pesan singkat yang berisi; aku sudah diparkiran hotel pe’ak!
Dengan cepat aku bergegas ke tempat Abi sudah menunggu. Mobil Heru sudah diganti ban-nya dan sepertinya mobil itu sudah dicuci juga. Dengan tampang kesal Abi melempar kunci mobil ke arahku yang untung saja bisa kutangkap.
“Baru bangun, Bro” kilaku sambil memasang muka cinta damai
“Semua orang bisa tahu itu dengan melihat sendalmu” kata Abi geleng-geleng,
Otomatis aku menunduk ‘Terbalik’ ringisku dalam hati.
“Sudahlah aku pulang dulu”
“Naik apa, Bi?”
“Bareng teman,”
“Nanti kutransfer ya, Bi, uang bengkel-nya.”
Abi hanya mengacungkan jempol dan terus berjalan menjauh. Dan aku kembali ke kamar hotel untuk siap-siap, bertemu Bunga.
Setelah mandi dan berpakaian, aku menyemprotkan sedikit parfume. Lalu berkendara dengan girang ke rumah sepupu temannya Bunga. Sampai di sana aku bisa melihat Bunga sudah menunggu di teras depan.
Rambutnya basah tergerai, dengan antingan hitamnya yang seperti titik senada dengan tas selempang mungil yang dia kenakan dan baju terusan selutut berwarna putih polos. Nah kaosku juga putih polos, padahal tidak janjian hahaha. Sepatu sneakers yang dia gunakan membawanya membukakan pagar rumah dengan tersenyum simpul.
“Nunggu lama ya?” tuduhku keluar dari mobil
“Enggak, baru mandi” menunjuk rambutnya yang basah
“Eh, aku masuk dulu ke rumah ya?”
“Ngapain? Mau izin? Orangtua sepupu temanku besok baru ke Bandung, temanku dan sepupunya lagi ke pasar ”
“Oh, yaudah, ayo” ajakku
Bunga berjalan perlahan, perban di kepalanya sudah di ganti hansaplast berwarna kulit. Sambil menutup pagar dari luar dia menoleh kearaku. “Mobil siapa?”
“Karyawan di Surabaya”
“Oh” Bunga sudah selesai mengunci pagar dan memasuki mobil yang juga kuikuti.
“Kamu cantik, Bunga hehehe” kataku sebelum menghidupkan mesin mobil
“Makasih,”Bunga tersenyum menoleh ke kaca jendela mobil, dia malu. Dari sana kami jalan-jalan seharian.
Kami mengunjungi beberapa ikon kota Bandung. Kadang aku dan Bunga malah terlihat seperti anak kecil yang berlarian, sampai pada satu keadaan Bunga berhenti mendadak.
“Lihat, saat aku kecil lihat orang dewasa pacaran dan sekarang saat aku dewasa malah lihat anak kecil pacaran” menunjuk lurus ke depan
Aku menoleh ke arah yang dia tunjuk, memang ada dua bocah suap-suapan.“Hahaha”
“Akunya kapan coba?” tanya Bunga spontan tapi langsung kikuk ketika menatapku yang menahan ketawa. lalu lari lagi...
“Bunga, tungguuu...”
“Jangan kejar aku!” katanya sambil menutupi pipinya yang kurasa memerah.
Yah.. kami jadi lari-larian lagi, menangkap Bunga apalagi ketika dia berlari dengan rok begini sangatlah mudah. Tapi aku tak mau membuat kerja kerasnya berlari secepat yang dia usahakan itu tak berarti apa-apa jika kutunjukkan kemampuanku mengejarnya. Belum lagi aku suka melihat tingkah malu-malunya.
Hari ini aku merasa ingin berhenti, hanya hidup begini, dengan Bunga dan aku bersama-sama. Jika ada satu permintaan yang bisa langsung dikabulkan, aku akan meminta yang seperti hari ini, dengan Bunga, hanya Bunga.
Udara sudah mulai dingin, aku membelikan selendang bermotif abstrak dengan dominasi warna abu-abu untuk menutupi bahu Bunga.
“Makasih” katanya
Saat ini kami baru selesai makan dan memilih duduk-duduk di bahu jalan dekat tumbuhan penghias kota untuk menikmati udara malam yang tenang. Langit sangat cerah, malah terlihat berwarna biru tua bukannya hitam, membuat bintang-bintang terang benderang dengan awan putih yang disepoi angin pelan.
“Bunga?” suaraku lirih, membuat Bunga menatapku dalam “Aku mencintaimu, Bunga, sudah selama ini, kau tahu ak...”
“Sebenarnya aku belum mau membahas ini, Indra” Bunga menunduk “Aku hanya ingin untuk saat ini, kita cukup menyimpan rasa itu sendiri-sendiri”
“Ke-kenapa?”
“Aku benar-benar hancur saat hanya bisa diam ketika kau jatuh,” Bunga mengangkat wajahnya menghadap lurus ke depan “Jika suatu saat kau harus terlibat dalam perang, aku tak ingin hanya jadi orang yang menjadikanmu tameng saja, aku ingin bawa senjata juga”
“Bunga, aku sudah tak papa” bujukku
“Dulu juga kupikir kau tak papa” Bunga menggenggam tangannya satu sama lain “Aku sakit sekali melihat hanya Airin yang bisa membantumu, bukan aku”
“Bunga.... maaf”
Dengan senyum yang berusaha dikembangkan Bunga di bibirnya, dia menatapku dalam sebelum akhirnya bilang “Perasaanku juga masih sama” air mata menetes membasahi pipinya yang langsung diusap dengan tangan kanannya, “Aku hanya butuh meyakinkan diriku jika aku memang pantas untukmu”
“Bunga..” suaraku terdengar terisak
“Sebentar lagi aku akan wisuda, aku akan minta Lusi membimbingku menyelesaikan skripsi dengan baik, aku akan menemuimu lagi, memastikan kau juga masih sama atau tidak”
“Sama” aku menunduk lesu meraih tangan Bunga untuk kugenggam
“Kita sepertinya kebanyakan ketawa hari ini sampai jadi nangis sekarang, enggak asik banget” keluh Bunga memasang muka masem, lalu mengusap wajahnya seperti ingin membuang raut wajah sedih itu.
“Iya, nih, jadi males duduk, keliling lagi yuk” berusaha memperbaiki keadaan
“Ayo, cari yang pedes-pedes”
“Makan lagi?” tanyaku
“Hehehe.. yang ringan aja kok”
“Ck ck ck”
***
Malam semakin larut, meski aku tak mau memulangkan Bunga tapi nyatanya aku harus. Kami menuju ke tempat tadi aku memarkirkan mobil, berjalan berdampingan sambil sesekali melempar senyum dan gurauan.
Bunga sangat manis hari ini, aku merasa itu karena dia berusaha terlihat manis di depanku.
“Eh ada Indra dan sepupunya”
Aku langsung menatap ke sumber suara dan dengan senyum girangnya aku sadar itu Airin. Bunga di sampingku langsung mematung dan Airin berjalan setengah berlari, mendekat. seketika aku malah jadi teringat omongan Lusi tentang ‘memilih’.
Kugenggam tangan Bunga yang dingin dan tak bertenaga, Airin berhenti dan menatap kami dengan bingung.
“Rin, sepupuku satu-satunya berada di Australia, dia hanya berbeda satu tahun dari kita” kataku pelan,
“La-lalu?”
“Wanita di sampingku ini adalah wanita yang kucintai sekian lama, Rin” aku bisa merasa Bunga membalas genggaman tanganku, seakan menguatkan atau juga shock dengan kejujuranku.
“Kau bohong kan Indra?, iya kan?”
Aku menunduk fasih, aku bisa merasa kekecewaan yang mendalam dari pertanyaannya, tentu bukan kecewa sebagai wanita yang patah hati karena kurasa Airin sudah lama menerima tentang perasaannya yang tak bisa kubalas, tapi kekecewaan ini lebih seperti perasaan seorang teman yang kubohongi.
“Kau tidak mungkin begitu Indraaa! Pasti ini salah perempuan murahan ini, yang kau simpan di rumahmu untuk beberapa waktu kan?” Airin mulai tak terkendali dan melempari Bunga dengan sepatu hak tingginya, kutarik Bunga untuk berdiri di belakangku
“Dasar murahaaaaan!” caci Airin lagi
“Rin, beberapa bulan sebelum wisuda S1, aku sudah menikah dengannya, dia bukan wanita simpanan, Rin!”
“AKU TAK MAU BERTEMU KALIAN LAGIIII!, a***i**” umpatnya, sambil berlari menjauh.
Dengan masih menggenggam tangan Bunga, aku berjalan ke mobil perlahan. Tak ada suara sama sekali dari Bunga dan akupun sama.
Di mobil Bunga hanya menunduk, aku melihatnya sesekali untuk memastikan dia tidak menangis. Lalu membuka pembicaraan lagi..
“Bunga, jangan pikirkan perkataan Airin, dia hanya sedang emosi,”
“Iya, aku tahu”
Dan kami diam lagi-sampai di rumah sepupu temannya Bunga. Suara mesin yang memelan sampai akhirnya berhenti. Bunga keluar dari mobil dan berjalan ke pagar sambil menunduk, aku juga keluar berjalan sampai ke depan mobil meski tanpa suara atau kata-kata.
Saat Bunga berhasil membuka pintu pagar tapi dia tidak juga masuk, hening semakin merambat di sekitar kami. Aku bisa melihat Bunga mundur beberapa langkah lalu berbalik menuju ke arahku sambil tersenyum tipis. Kemudian memelukku yang kubalas dengan erat.
“Aku akan merindukanmu,” bisiknya pelan
“Tidak lebih dari rinduku”
“Terimakasih sudah mau membelaku, sudah mau berdiri di depanku, sudah mau ju-jur”
“Maaf jika terlalu lama untuk itu” kataku melepaskan pelukanku dan menatap Bunga “Masuk sana sudah malam!” lanjutku mencolek hidungnya
Dia sedikit tertawa lalu melambaikan tangan sambil berjalan ke pagar dan masuk ke rumah beberapa saat berikutnya. Aku bisa dengar suara teman-teman Bunga yang meledek.
“Cie cie pelukkan, nih”
“Mana ada ih”
“Aku ngintip dari jendela”
Aku sontak jadi ketawa, bergegas masuk mobil dan melaju.
***