“Nggak ya, Mas. Nggak ada ceritanya last day buat lo sebelum urusan di sini beres! Yang benar aja!” Fika terus mengomel, menyalurkan semua kekesalannya. Pagi yang telah dia rencanakan menjadi setenang mungkin sontak hancur berantakan hanya karena satu berita di luar dugaan seperti ini.
"Lo aja yang bilang bini gue. Dia pingin mudik, balik ke Betawi sana. Sumpek sama Jakarta," jawab Anton setelah menyempatkan menjitak kepala Fika, melampiaskan kekesalannya karena ocehan perempuan itu.
"Bini lo tuh sumpek gara-gara kerjaan lo, Mas. Nggak ada hubungannya ya sama Jakarta!" balas Fika tak kalah keras.
"Anak buah kok sableng," gerutu Anton. Pria tiga puluh dua tahun itu mulai menyalakan laptopnya, bersiap kerja. "Gue sudah ngajuin resign sejak satu setengah bulan yang lalu, Fik. Gue nggak kuat di sini. Pengap diikat aturan-aturan nggak jelas bos kita."
"Lo kok baru ngabarin sih, Mas?" tanya Fika, jelas semakin kesal.
"Gue nggak mau dianggap ngehasut kalian semua. Lo nggak tahu aja gimana racunnya si Maia begitu tahu gue mau resign." Cerita tentang bagaimana susahnya proses resign Anton pun mengalir lancar dari mulut pria itu. Alasan istri yang tidak betah ternyata hanya bualan belaka. Pria itulah yang tidak betah lagi karena suasana kantor yang semakin terasa tidak kondusif. Pria itu bahkan mengaku sempat bimbang karena merasa bersalah meninggalkan anak buahnya begitu saja. Namun dengan kondisi yang semakin mencekik dirinya, tentu Anton lebih memilih untuk menyelamatkan diri, bukan?
"Ah, ngomong-ngomong Fik, lo mau gantiin gue, kan?"
***
Fika menarik kursi di samping Renata. Bibir mungilnya senantiasa mengeluarkan sumpah serapah yang dikombinasi dengan mengabsen nama penghuni kebun binatang. Sepertinya sahabatnya itu telah mengetahui hal ini karena dia hanya tersenyum seraya menggelengkan kepala perlahan melihat tingkah Fika.
"Lo tahu kan, rencana Mas Anton?"
"Tahu. Tapi gue kan nggak punya hak untuk ngasih tau lo."
Fika menghela nafas panjang sebelum menatap sinis Renata. Sungguh, kepalanya terasa akan meledak sekarang juga. Baru kemarin sibuk melontarkan sumpahan karena tingkah Maia, sekarang dia kembali dibuat mendidih oleh leader-nya. Ralat, calon mantan leader!
"Lo kan bisa ngasih clue ke gue, Ren. Minimal bilang, Mas Anton mau resign. Atau apa gitu."
"Gue baru tahu kalo rencananya udah fix tuh dua hari yang lalu, Fik. Serius deh, proses keluarnya Mas Anton tuh nggak gampang. Dia lama banget baru dapat ACC."
“Dasar kantor drakula,” dengus Fika, mencela tempatnya mencari uang. Tempat yang awalnya dia kira menawarkan kekeluargaan dan objektivitas, ternyata tak seindah permukaannya. Setelah sekian lama, akhirnya dia juga jengah dan ingin mengakhiri kontraknya.
Fika mengangkat sebelah alisnya kala seorang pegawai HR mendekati meja mereka dengan seorang pria di sampingnya. Pria itu mengenakan kemeja kotak-kotak yang tidak dikancingkan, menampilkan kaus putih di baliknya. Rambutnya sedikit ikal dan acak-acakan. Kaca mata berbingkai hitam terpasang di atas hidungnya. Melihat penampilan wajah dan penampilan pria itu, tidak perlu waktu lama untuk mengetahui bahwa pria itu lebih muda darinya.
“Guys, kenalin ini teman baru kalian. Kan Mas Anton mau resign tuh, biar tim kalian nggak kekurangan orang, kita tambahin satu, nih!” seru si pegawai HR, berusaha menarik perhatian semua orang yang tengah duduk mengelilingi meja.
Fika melihat kembali si anak baru yang kini tengah tersenyum canggung. Dia menggaruk kepalanya, tampak salah tingkah dengan perhatian semua orang yang mengarah kepadanya. Fika tersenyum kecil mendengar suara bariton yang kini mengalir dari pria itu.
“Perkenalkan, saya Vito Kurniawan, asli Surabaya. Mohon bantuannya.”
Sebagaimana tradisi di kantor itu, Vito kini diminta bersalaman dengan semua orang di situ, termasuk Fika. Fika mengangkat sebelah alisnya menyadari pria di hadapannya ini cukup kecil untuk ukuran seorang laki-laki. Fika berani bertaruh tingginya tidak sampai seratus tujuh puluh senti. Berat badannya? Entahlah, yang jelas perawakannya kurus sekali.
“Guys, Vito ntar bakal join di sini, jadi jangan lupa sisain kursi, ya. Kita mau keliling dulu,” ucap si pegawai HR seraya berpamitan dari ruangan.
Seperti normalnya kedatangan pegawai baru, kasak-kusuk mulai bermunculan di berbagai sudut meja. Para pegawai perempuan—terutama yang masih cukup muda—saling berbisik, membicarakan senyuman yang menurut mereka cukup manis. Para pegawai pria sibuk membandingkan perawakan mereka yang lebih berisi dibanding Vito. Di sisi lain, Fika dan Renata hanya menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan kelakuan mereka semua.
***
“Fik!” panggil Anton, membuat Fika menghentikan tugasnya. Pria itu mendekati kursinya dengan diikuti Vito di belakangnya. Anton kembali menoleh ke Vito seraya menjelaskan, “Nah, ini leader baru lo nantinya. Jangan kaget kalau dia nyeremin, setelan pabriknya emang gitu. Kalau memang lo nggak nyaman sebelahan sama nenek lampir ini, cari tempat di belakang aja, bareng kita-kita yang ngerokok. Kalau di dalam nggak enak, pahit mulu bawaannya.”
“Hidup lo tuh yang pahit, Mas,” gerutu Fika yang sayangnya masih terdengar jelas oleh Anton dan Vito. Akibatnya, kepala perempuan itu sukses dihadiahi jitakan dari pria yang sebentar lagi menjadi mantan rekan kerjanya itu. “Kursi yang kosong di sampingnya Renata, tuh.” Vika menunjuk kursi yang dimaksud, membuat Vito menganggukkan kepala paham. “Semoga lo sudah dijelasin Mas Anton ya, gimana kebiasaan duduk di sini.”
“Maksudnya, Mbak?”
Fika menatap sinis Anton yang dibalas dengan senyuman gugup. “Di kantor ini sebenarnya nggak ada tempat duduk yang permanen. Siapa cepat dia dapat, lah. Cuma mayoritas duduk bareng per tim. Ini meja buat tim lo, tapi ya jangan heran kalau besok kursi lo beda sama hari ini,” jelas Anton, membuat Vito sekali lagi mengangguk mengerti. “Sudah deh, kalau lo kuatir nggak nyaman, bareng gue aja di belakang, yang outdoor.”
“Aku nggak ngerokok, Mas,” tolak Vito sopan. Anton yang mendengar itu hanya terkekeh sebelum akhirnya berpamitan untuk kembali ke menjanya, meninggalkan Vito bersama anggota tim lainnya.
Fika tidak mengalihkan pandangan dari si anak baru, memastikan dia baik-baik saja. Bagaimana pun, ini adalah pengalaman pertama Fika menjadi leader, sehingga dia ingin semua berjalan dengan lancar. Namun tampaknya kekhawatiran perempuan itu tidak diperlukan karena pada kenyataannya, Vito malah dengan mudah berbaur dengan pria-pria lain di meja itu. Puas memastikan anak buah barunya baik-baik saja, Fika kembali menghadap laptop, mempersiapkan akses data dan pekerjaan untuk si anak baru.
***
Fika meregangkan tubuh yang lelah setelah satu jam fokus bercakap-cakap dan menjelaskan banyak hal untuk Vito. Untungnya pria itu cukup cepat memahami setiap penjelasannya. Setidaknya mereka tidak perlu kehilangan sebagian waktu istirahat hanya untuk berdiskusi lebih lama lagi. Setelah memastikan layar laptopnya mati, Fika menoleh kepada Vito, berpamitan sejenak, sebelum mengajak Renata pergi ke warung langganan mereka.
“Lo nggak ngajakin makan siang bareng, gitu?”
Fika melirik sinis Renata, kesal dengan pertanyaan perempuan itu. “Perasaan gue waktu awal join nggak pernah diajakin Mas Anton makan bareng, deh. Malah lo yang inisiatif nunjukin warung-warung sekitar sini.”
“Ya siapa tahu style lo sama Mas Anton beda, Fik.”
“Gue ngajakin cowok makan bareng? Mimpi!” tandas Fika diikuti senyuman meremehkan.
“Gini gimana mau punya pacar, coba.”