Dua hari sudah Raka pergi ke Jakarta, mungkin lusa dia baru akan datang kemari membawa sanak saudaranya. Di rumahku kami sudah mulai memikirkan banyak hal untuk acara yang akan di langsungkan 3 hari lagi, kau tahu Adat Jawa itu sangat kental dan rumit jadi tak heran jika memakan banyak waktu, tenaga dan juga pikiran, namun aku tetap menyukainya. Bagiku setiap proses yang panjang adalah cara mendapatkan hasil yang terbaik, karena dari proses itu kita belajar bersabar, belajar mengendalikan dan memantapkan hati untuk berserah diri dan melakukan segala sesuatunya atas kehendak Tuhan. Belum begitu repot, hanya ucapan perhatian yang banyak mereka sampaikan.
“Iya bundaku sayang, aku paham. Yaudah Kiara keluar ya Bun, jalan-jalan.” Jawabku sembari melempar senyum kearah bunda yang terlalu serius menanggapi segala sesuatu.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsallam. Eh Dion.” Jawab bunda dan aku.
“Bu Mar, sehat?” tanyaku sembari mencium tangan Bu Mar.
“Sehat sayang, kau mau kemana?”
“Keluar Bu, di dalam sumpek mendengar bunda melarangku ini itu. Hehe” Aku memalingkan wajah ke arah bunda. Bunda dan Bu Mar tersenyum seakan mengerti maksudku.
Aku berjalan keluar rumah. Udara pagi ini sejuk sekali, masih sama seperti saat aku lahir kedunia ini. tak tahu pasti sih, hanya menduga saja mungkin udara di sini akan terus seperti ini.
“Ra, kemana?” Ardy menyapa.
“Mau nyari angin aja. Nganter Bu Mar?”
“Iya. Ayok ku antar.”
“Eh gak usah. Kamu kan harus nganter dagangan ke pasar.”
“Kau dulu sering merepotkanku, kenapa sekarang sok baik.” Ardy meledekku. Ini kali pertama dia menunjukkan dirinya yang sebenarnya saat pertama kali aku kembali ke sini.
“Baiklah jika di paksa.” Aku tersenyum tipis. Kami tertawa.
Aku dan Ardy berkeliling mengitari setiap jalanan didesa kami, jalanan yang dulu sering kami lewati saat Ardy membawaku dengan sepedanya, kali ini dia membawaku dengan motornya. Kami bercerita banyak hal, membahas semua masa kecil kami dahulu yang penuh dengan tawa, tanpa ada keraguan atau sekat yang membatasi diri kami untuk bercerita semua hal yang mungkin sudah kami rindukan selama 7 tahun terakhir ini.
“Lihat.” Ardy menunjuk rumah di pinggir jalan yang kami akan lewati, aku menurut pada telunjuk tangannya.
“Dulu kita sering mengambil jambu di pohon itu.”
“Mana, pohonnya gak ada.”
“Iya udah di tebang. Takut kita ambil lagi.”
“Hahaha..”
“Yang itu.” Aku terus mengikuti kemana jari itu menunjuk. Ke arah yang berbeda.
“Pohon mangga?”
“Iya, kamu pernah jatuh di sana dan menangis. Bikin orang khawatir, padahal cuma lecet dikit.”
“Tapi kan sakit.” Aku mengeluh kesal.
“Ah, tangisanmu itu yang berlebihan.” Ardy mengguratkan senyum lagi di wajahnya.
“Oh ya, terus yang waktu itu nangis di kejar anjing. Apa gak berlebihan.” Aku balas meledek.
“Heh, dulu kan masih kecil.”
“Aku juga masih kecil.”
“Huh. Iya iyaa.” Ardy menjawab jengkel. Aku tertawa.
Tak terasa kami jalan-jalan hingga waktu hampir sore, hari ini Ardy benar-benar menjadi guide terbaik di desaku sendiri, tak terasa memang jika harus menghabiskan waktu bersamanya. Walaupun umur kami sekarang sudah hampir 28 tahun, tapi kelakuan kami seperti saat kami masih duduk dibangku SMA. Ardy tidak pernah berubah, dan begitupun denganku.
“Kok berhenti, katanya pulang?”
“kesungai dulu, ritual.” Ardy tersenyum tipis dan aku membalas senyuman itu seperti mengiyakan maksudnya. Kami turun dari motor dan berjalan menuju sungai.
“Tidak lupa kan?” Ardy melemparkan pandangannya ke arahku.
“Tentu saja tidak.” Aku menatapnya tegas.
“Baiklah. 1.....2.....3...”
Butiran-butiran air sungai itu meluncur cepat ke wajahku dan Ardy, kami saling mencipratkan air sungai yang kami tangkap dengan dua telapak tangan kami sendiri, tidak akan berhenti sampai tubuh kami basah total. Ini adalah ritual yang sering kami lakukan dulu saat pulang sekolah. Saat sekolah kami pulang dengan menaiki sepeda disiang bolong, bisa bayangkan panasnya seperti apa. Dan lagi Ardy harus memboncengku, jadi saat melewati sungai ini kami berhenti untuk istirahat dan Ardylah yang berinisiatif untuk membasahi tubuhnya agar tidak panas, karena tak ingin di marahi sendirian jadi dia selalu mencipratkan air sungai ke tubuhku juga agar jika di marahi kami berdualah yang kena, Ardy curang memang tapi dari kejadian itu justru kami sering melakukannya saat pulang sekolah dan ya tentu saja bunda dan bu mar selalu memarahi kami. Kalau di tanya kami kompak menjawab “RITUAL” dan Kami hanya tertawa.
“Pasti nanti di marahin.” Ucapku sembari menggulung ujung baju untuk di peras.
“Kan tidak sendirian.” Jawab Ardy tersenyum. Aku juga.
“Ra, terimakasih.”
“Untuk?”
“Hari ini.”
“Harusnya aku Ar, sudah lama aku tidak tertawa selepas ini.” Aku memandangi wajahnya yang kuyub dengan air sungai.
“Sama. Aku senang kau mau mengembalikan masa kecil kita.” Ardy menatapku lamat-lamat. Tanganku berhenti melintiri ujung baju.
“Aku ingin menceritakan banyak hal padamu.” Matanya menatapku tajam, menusuk pandanganku.
“Tentang apa?” mataku masih menatapi wajahnya yang basah. Hening beberapa detik.
“Ayuk pulang.” Ardy berdiri dari posisi duduknya.
“Katanya tadi..”
“Sudah sore.” Cepat-cepat Ardy memotong ucapanku. Dan kami bergegas naik ke atas motor. Benar saja hari semakin sore, bunda pasti mencariku seharian ini, bukan lagi kena omel. Dan pulang dengan keadaan basah kuyup seperti ini, ah Ardy
-
“Kalian ini sudah besar. Apa tidak malu?” Bunda terus mengomel. Kami hanya duduk di atas sofa seperti 2 orang pencuri ayam yang sedang di sidang
“Bilang ini ritual.” Bisik Ardy di telingaku pelan. Kami tertawa.
“Pasti Ardy nih yang duluan mulai.” Bu Mar menambahkan. Aku tersenyum senang, Ardy di salahkan.
“Memang mereka berdua saja yang seperti anak kecil.” Timpal Bunda mengoreksi. Ardy tertawa, kali ini kami berdua benar-benar sudah habis.
“Sekarang kalian ganti baju, agar tidak masuk angin. Jangan di ulangi!!.” Ujar Bunda mengusir
“Kalau sekali lagi saja Bun?” Jawab Ardy meledek.
“Kau ingin Ibu pukul Ar?” Bu Mar bersiap dengan bantal di tangannya. Ardy berdiri dari kursinya dan bergegas pergi, Aku tertawa.
Aku keluar dari kamar mandi dan menyisir rambutku, aku masih tersenyum di depan wajahku sendiri yang di batasi selembar cermin. Hari ini menyenangkan, sangat menyenangkan lebih dari aku mendapat banyak pesanan di kedai. Kedai? ingatanku terpecah dan bergegas ku ambil handphone ku di laci. Ah sial, panggilan telfon dari Raka lebih dari 10 kali. Aku bergegas mencari namanya di kontakku. Terhubung.
“Hey, maaf aku meninggalkan handphoneku di kamar.”
“Kemana saja?” tanya Raka sedikit kesal. Aku tahu dia marah.
“Seharian Aku membantu bunda membuat kue.” Kata itu terucap, kebohongan kecil yang pertama kali aku buat untuk Raka. Biarlah, jangan menyalahkanku. Aku sudah mulai tersudut dan biarkan hari ini segala sesuatu berjalan dengn baik.
“Oh. Aku sedang di perjalanan, besok aku sampai.”
“Kok cepat?”
“Kenapa?”
“Emm maksudku bukannya lusa?.” Aku bertanya lebih hati-hati.
“Iya, tapi mama bilang lebih cepat lebih baik. Aku juga bersama Mas Didit.”
“Oke baiklah. Besok akan ku jemput yah. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsallam,.” Hati ku lebih tenang saat telfon dari Raka berakhir. Maafkan aku, Ka.
Aku kembali menyisir rambutku, melihat diriku didalam cermin dengan pandangan yang berbeda. Seperti diriku di dalam sana sedang memarahikua atas kebohongan yang ku perbuat. Aku merasa bersalah. Lagi pula Ardy sahabatku dan Raka pasti mengerti. Suara ketukan pintu menyadarkanku dari lamunan. Bunda masuk ke dalam kamar dan duduk di hadapanku.
“Iya Bun.”
“Bunda senang melihat wajahmu sebahagia ini. tapi..” Bunda menahan ucapannya.
“Tapi Bun?”
“Kau yakin dengan pertunanganmu dengan Raka kan?”
“Ya tentu saja. kenapa memangnya?”
“Ndak, Bunda hanya meyakinkan saja. ada sesuatu yang ingin bunda ceritakan.”
“Tentang?”
“Janji apapun yang bunda katakan tidak akan merubah pilihanmu.” Bunda menatap mataku tajam. Aku mengangguk pelan. Bunda merapihkan posisi duduknya, mencari tempat yang aman untuk bercerita dan mencoba mengatur ritme bernafas.
“Ardy.” Bunda menghentikan ucapannya lagi. saat nama itu disebut jantungku berdegub, itu tandanya bukan saja tentang dia tapi juga sudah pasti menyangkut diriku.
“Ardy dan Andin tidak pernah menikah.”
“Bunda ngomong apa sih. Jelas-jelas Dion?” Aku masih tertawa kecil, yakin tidak yakin dengan ucapan bunda. Pernyataan macam apa ini.
“Iya sayang, Ardy dan Andin tidak pernah menikah. Dion bukan anak Ardy.” Bunda menundukkan pandangannya. Matanya mengarah pada garis-garis ubin.
“Dulu saat ayah mengantarmu pergi, Ardy datang menanyakanmu. Seperti maumu Bunda bilang kau berangkat ke Jakarta untuk mengejar impianmu. Ardy marah saat itu karena kau tidak pamit padanya. Dua hari setelahnya Andin datang, menanyakanmu dan Bunda mengulang ucapan bunda. Andin tahu kau mencintai Ardy, bunda berusaha tapi dia tidak percaya.” Bunda melempar pandangannya lagi ke luar jendela kamar. Aku masih memperhatikan.
“Andin bilang ardy berubah sejak kau pergi, benar saja dia memang berubah 180 derajat dari Ardy yang kau dan bunda kenal dulu. Andin mengerti sekali perasaan marah Ardy itu bukan sekedar kemarahan sahabat karena tidak dipamiti pergi sahabatnya, tapi rasa kecewa yang amat dalam karena tak tahu apa yang sedang terjadi. Saat tadi bunda melihatmu dan Ardy tertawa, bunda seperti melihat dirimu dan Ardy yang sebenarnya, bukan hanya sekedar jasad yang bergentayangan selama ini dihadapan bunda. Bunda mencintaimu sayang, juga Ardy. Bunda tak ingin kalian terkekang oleh kesalahpahaman atau ke egoisan kalian sendiri.” Bunda menatapku lembut, matanya memerah. Aku masih diam, menyimak setiap ucapan yang terlontar dari bibirnya.
Aku menerka-nerka dan berusaha membangunkan diriku sendiri, ini bukan mimpi atau lelucon bodoh yang sedang bunda ucapkan agar aku yakin pada pilihanku sendiri. Ini adalah kebenaran, kebenaran yang mereka semua tutupi selama aku kembali kerumah ini.
“Bun aku keluar.” Aku berdiri dari kursiku, meninggalkan bunda yang duduk nelangsa menatapku.
Kata-kata bunda sungguh menikam hatiku, terus terngiang-ngiang di kepalaku. Air mataku jatuh seketika tanpa di minta. Satu tujuan kakiku melangkah cepat saat ini, ardy. Dia harus menjelaskan semuanya padaku. Dia harus bertanggung jawab atas kebohongan yang dia perbuat selama ini padaku.
Aku melangkahkan kakiku dengan gerak cepat menuju rumah Ardy, sepanjang perjalanan aku hanya berfikir apa yang sebenarnya ardy tutupi selama ini, maksud kebohongannya dan mengapa bunda harus menjelaskan itu semua setelah semua ini. langkahku terhenti di halaman rumah Ardy. Aku melihat beberapa orang baru saja keluar dari sana, sepasang suami istri yang sudah berumur sepantar Bunda atau Bu Mar, mereka terlihat sangat akrab khususnya pada Dion. Aku sangat terkejut ketika Dion memanggil mereka dengan sebutan mbah kakung dan mbah uti tepat ketika sepasang orang tua itu bergegas masuk kedalam mobil dan kemudian pergi. Apa lagi ini?
“Ante?” Dion menyambutku ketika begitu matanya menatap kehadiranku. Ardy dan Bu Mar pun melempar pandangannya padaku.
“Kiara.” Lanjut Ardy
“Emm Bu Mar saya permisi.” Akupun izin pamit.
“Tunggu, ndak masuk dulu?” Bu Mar menyaut sebelum kakiku melangkah untuk berbalik pulang.
“Ndak bu, tadi kebetulan lewat. Langsung aja.” Jawabku sembari melempar senyuman yang kupaksakan hadir di depan wajah Bu Mar. Kemudian bergegas pergi.
Aku tidak bisa bertanya pada ardy, entah mengapa lidahku kaku saat berada dihadapannya. Aku bingung harus bertanya dari mana. Sungguh aku sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Ra..” Teriak Ardy yang menghampiriku dengan nafas yang terengah. Aku memalingkan pandanganku kepadanya.
“Ku antar ya?”
“Tidak perlu.” Aku melanjutkan langkah kakiku. menghiraukan ucapan Ardy yang tetap berjalan di sampingku.
Kami terus berjalan, tanpa pembicaraan. Ardy tetap berjalan di sampingku, tatapannya fokus mengarah ke jalanan, bibirnya membisu namun matanya bercerita banyak. Apa Ar? kenapa? ada apa? jelaskan?. aku masih saja berjalan di sampingnya, hatiku berteriak-teriak dan andai saja kau mendengarnya. Kemudian langkah kami terhenti tepat di depan halaman rumahku.
“Sudah sampai. Aku pamit.” Ucap Ardy sebelum langkah kaki membawanya pergi.
“Ar?”
“Iya.” Jawab Ardy , membalikkan tubuhnya.
“Ada yang ingin aku tanyakan?”
“Besok pagi, aku jemput. Aku pamit ya.” Ucap Ardy serius.
“Kemana?” jawabku bingung.
“Jam 06.00 pagi.” Jawabnya singkat. Kemudian pergi.
Aku masih berdiri di sana, melihat tubuhnya yang terus berjalan tegap. Sampai punggungnya tak terlihat lagi oleh pandanganku, mengecil dan kemudian hilang. Aku melangkahkan kakiku untuk masuk kedalam rumah, ingatanku masih tertuju pada bunda, seketika aku berlari mencari bunda untuk bertanya tentang hal yang baru saja ia jelaskan juga tentang apa yang ku lihat dirumah Ardy.
“Bun.” Aku menyapanya lembut. Tatapannya terlempar ke arahku, meletakkan kue-kue di tangannya dan menghampiriku. Kami duduk di sofa, bunda menatapku ragu.
“Soal tadi? aku ingin bunda ceritakan lebih lengkap padaku.”
“Bunda tidak punya hak sayang.”
“Kenapa?”
“Lebih baik kau mandi, sudah sore. Bunda ingin merapihkan kue-kue itu di atas meja.” Bunda berdiri dari sofanya dan menuju ke arah meja makan.
“Tapi Bun?”
“Cepat atau lambat kau akan tahu. Biarkan Ardy menjelaskannya padamu.”
“Bun..”
“Ayolah nduk, sudah sore.”
“Baiklah.” Jawabku singkat. Dan kemudian berjalan menuju kamar. Tanpa jawaban dan pernyataan yang ingin ku dengar.
---
Selamat hujan, pagi. Aku duduk di kursi teras, menikmati rintik hujan yang tak kunjung reda sejak subuh tadi, walaupun Saat ini hanya gerimis saja yang masih bertahan. Udara di desa ini semakin sejuk, hangatnya teh yang kuseruput di cangkir mungil ini cukup baik menyelimuti tubuhku. Masih mengaguminya, merasakan kedamaian di tiap tetes air yang jatuh ke tanah. Seperti beberapa masalah di pundakmu ikut luruh bersama rintiknya yang kemudian jatuh dan hilang bersama air –air yang mengalir.
“Kiara, jangan di luar dong dingin.” Teriak bunda dari balik pintu.
“Iya Bun, sebentar.” Aku berdiri dari kursiku menuju ruang tamu. Langkahku terhenti saat suara motor menuju halaman rumahku.
“Ardy.” Bisikku pelan. Kepada semut-semut di ubin yang mungkin hanya mereka saja yang dengar.
“Assalamualaikum.”
“Waalikumsallam. Kenapa hujan-hujanan?”
“Cuma gerimis.” Jawabnya santai. Aku melempar pandanganku ke luar, melongok ke atas langit. Memang hanya gerimis kecil.
“Ayok.”
“Sekarang?”
Ardy mengangguk. Aku dan ardy pamit kepada bunda dan kemudian pergi bersama motornya. Hujan kemudian berhenti, membiarkan kami lewat sebentar. Lalu berhenti di suatu tempat, tempat yang sudah tak asing lagi untukku.
“Kuburan Andin?” Tanyaku bingung setelah turun dari motor.
Kami terus berjalan, menyusuri satu demi satu tempat peristirahatan banyak orang yang sudah lebih dulu pergi. Di tempat ini mereka semua yang datang akan menempatkan dirinya pada satu posisi di mana seorang manusia seharusnya faham bahwa dirinya bukanlah apa-apa, bahwa dirinya hanyalah makhluk kecil yang terkadang sombong, tak tahu caranya bersyukur yang suatu saat nanti kesombongan, kekuatan, cinta, harta, tahta dan segalanya yang mereka miliki akan habis di sini, bersama tubuhnya yang digerogoti oleh cacing-cacing didalam tanah. Maka apa lagi yang manusia miliki kecuali tuhan di dalam hatinya.
Aku menatap lamat-lamat kuburan itu, namanya masih jelas tertulis diselembar papan kaku yang di biarkan berdiri menancap pada tanah. Wajahnya tergambar di kepalaku, semuanya. Semoga kau bahagia di sana.
“Ini yang ingin kau tanyakan? iya kan?” Pandangannya lembut menatap mataku.
“Apa?” Jawabku heran.
“Kau lihat kuburan di sampingnya?” Matanya mengarah pada kuburan di samping Andin.
“Surya Hermawan” Aku mengejanya pelan, ada satu sosok tergambar di kepalaku. Tak asing.
“Iya, dia teman sekelasku saat kuliah. Ingat?” Aku menerka-nerka ucapan Ardy. Dapat, satu wajah yang tak asing lagi hinggap di kepalaku. Pria itu adalah teman sekelas Ardy yang cukup cerdas dan dia juga sangat menyukai Andin dahulu.
“Ayahnya Dion.” Tegas Ardy.
“Apa?” Jawabku bingung.
“Dulu, 7 tahun yang lalu. Saat kau pergi.” Ardy menghela nafasnya, seperti mencari kata yang tepat untuk menjelaskan semuanya padaku. Aku mendengarkan.
“Kau pasti ingat saat aku melamar Andin di depanmu matamu dan anak-anak lain.” Ardy tersenyum tipis, seperti terbawa pergi ke masa itu.
“Setelah kejadian itu, aku dan andin mencarimu. Mereka yang melihatmu bilang kau sudah pulang dengan tergesa-gesa. Aku dan Andin ingin kerumahmu saat itu, tapi sakitnya Andin kambuh lalu aku membawanya pulang dan menemaninya. Andai saja waktu itu aku kerumahmu lebih cepat.” Ardy tertunduk, wajahnya berubah memelas. Aku menghela nafas panjang, sedikit sesak.
“Malam itu aku ingin menemuimu, bunda bilang kau pergi ke Jakarta. Kau tahu, hatiku seperti kau hancurkan seketika itu. Kau tidak pamit bahkan bercerita apapun kepadaku. Bisa-bisanya kau lakukan itu Ra.” Tatapan Ardy menjadi lebih keras. Aku menundukkan pandanganku.
“Setelah malam itu, hampir setiap hari aku kerumahmu bertanya kabar pada Bunda. Bunda menutupimu dariku, sama sekali tidak membiarkan jejakmu terlihat olehku. Sampai pada suatu ketika Andin kambuh, di rumah sakit kami berbicara banyak, dia bilang baru dari rumahmu kemarin itu. Dia menjelaskan tentang kepergianmu, kau.....mencintaiku. katanya.” Aku menahan nafas, jatungku seperti berhenti berdetak beberapa detik.
“Dia juga menyadarkanku bahwa selama ini kau lah yang sangat aku cintai Ra. Ketika kau pergi, aku berubah drastis, seperti separuh dari hidupku kau bawa pergi. Aku terbiasa denganmu, dengan semua hal yang kau tawarkan padaku. Dan ketika kau hilang, aku sadar betapa berharganya dirimu di hidupku Ra.” Matanya memerah. Suaranya bergetar.
“Andin tahu persis betapa pengecutnya diriku. Aku terlalu takut merusak persahabatan kita dengan cinta yang aku miliki sejak kita masih kecil dulu. Aku berusaha keras membuangnya karena takut kau pergi dariku, tapi justru aku kehilanganmu karena rasa takutku yang bodoh ini. sebulan, dua bulan, tiga bulan aku maratapimu, berharap kau kembali pulang dan aku berjanji akan menjelaskan semuanya padamu, tapi nihil.” Ardy menghela nafas panjang. Air mataku jatuh begitu saja.
“Tiga bulan setelahnya, Andin menikah dengan Surya. Mereka bertemu di satu kantor yang sama saat Andin mulai bekerja. Lalu Andin mengandung Dion, saat Dion hendak lahir Surya mengalami kecelakaan dan meninggal. Andin hancur berkeping-keping, aku berjanji untuk merawat Dion untuknya. Setelah Dion lahir, dia seperti sumber kekuatanku dan juga Andin untuk bertahan hidup. Segala hal kulakukan untuk kebahagiaan Dion, agar dia tidak merasa kekurangan kasih sayang sama seperti saat Bapak pergi meninggalkanku. Itu mengapa Dion memanggilku Ayah.” Ardy menelan ludah. Melempar pandangannya pada kuburan Andin dan Surya. Lalu tersenyum tipis.
“Keadaan Andin semakin memburuk setiap harinya. Dia berusaha kuat untuk dion dan juga kau Ra. Dia ingin terlihat sehat dihadapanmu dan melihatmu kembali pulang lalu memeluknya lagi seperti dulu, itu mengapa bunda tidak pernah mengabarkan apapun tentang Andin kepadamu, karena itu maunya.”
Aku tertegun, air mataku terus menetes deras. Sesekali aku menyekanya dengan tanganku. Semua yang ku dengar hari ini adalah kebenaran, kebenaran yang aku sendiri enggan untuk mendengarnya. Didepan makammu, dihadapan dirimu juga aku merasa tertusuk begitu dalam. Semua yang kau lakukan untukku, semua yang kau sembunyikan untuk kebahagiaanku. Lalu aku? aku memang bodoh. Aku pengecut yang tak pantas untuk kau sebut sahabat. Andin, aku menyayangimu.
“Kau ingat saat pertama kali kau datang kerumahmu, kau lihat pintu kamarku tertutup?. Aku dan Dion di dalam sana, mendengarmu dan Ibu berbicara. Aku belum sanggup melihatmu dan menjelaskan semuanya padamu Ra.”
“Kenapa kau harus berbohong? kenapa Ar?”
“Maaf, Aku mencintaimu Ra. Aku tidak tahu harus mengatakan apa padamu.” Wajahnya tertunduk. Aku benci melihatnya. Aku tidak ingin mendengarnya berbicara.
“Cukup Ar, aku mau pulang.”
“Tapi Ra, aku..” Seketika pukulan itu tepat mengenai wajah Ardy. Dia tersungkur. Aku terkejut.
“Raka.” Teriakku terkejut.
“Ardy. Aku sudah muak denganmu. Berhenti bicara apapun.” Raka berteriak marah.
“Aku tidak bermaksut untuk..” Belum Ardy menuntaskan ucapannya, wajah Ardy kembali terkena pukulan Raka sekali lagi.
“Cukup Ka, cukuuup.” Aku berusaha melerai. Raka masih dengan amarahnya.
Aku bergegas pergi meninggalkan mereka berdua, Raka dan Ardy masih berusaha mengejar. Dan mobil dari arah berlawanan datang menghampiriku. Wajah mereka samar-samar ku lihat dan teriakan Ardy terhenti di telingaku.
---
Bunda, Ayah, Ibu dan Ayah Raka, Mas Didit dan Bu Mar berlari menuju ruang ICU, Ardy dan Raka duduk di antara kursi-kursi rumah sakit. Wajah mereka kusut, berantakan. Keadaan menjadi sangat kacau. Semua bayangan 2 anak kecil terlintas-lintas di kepalaku, sangat jelas. Seperti aku sedang mengulangnya sekali lagi. bahagia betul rasanya, tertawa tanpa luka karena cinta. Karena ke egoisan dan rasa takut kehilangan.
“Ini semua karenamu Ar !!.” Raka menarik kerah baju ardy. Ardy pasrah mengikuti. Wajahnya kacau.
“Sudah Ka, cukup.” Ayah berusaha melerai.
“Kemari kau pengecut !!.” Teriak Raka meledak-ledak.
“Pukul aku Ka, cepat pukul. Kalau aku bisa biar aku saja yang mengantikannya di dalam !!.” ardy menatap tajam. Emosinya mulai tak terkendali. Bunda menangis hebat di pelukan bu mar. Satu pukulan lagi mengenai wajah Ardy, dan dia tersungkur.
“Sekali lagi kau menyentuhnya. Aku akan membunuhmu Ar.” Ujar raka di hadapan Ardy. Ardy hanya diam, tatapannya kosong.
2 jam lebih, semua orang memasang wajah panik di depan ruang operasi. Raka masing mondar-mandir khawatir sejak 2 setengah jam yang lalu, Ardy duduk memeluk kedua kakinya yang di lipat. Ayah masih duduk menenangkan bunda yang menangis hebat di pelukan Bu Mar. Ayah dan ibu rakapun tak lepas khawatirnya dengan semua orang. Belum dokter keluar untuk menjelaskan keadaan di dalam ruangan, suara Mas Uus terdengar dari kejauhan lorong menujung ruang operasi.
“Mas Ardy.” Terhenti dan mengontrol ritme bernafasnya. Ardy melempar pandangannya ke arah Mas Uus.
“Dion mas. Dion di ruang UGD, dia kambuh.” Ardy kemudian berdiri. Bunda dan Bu Mar semakin tak terkendali.
“Ya tuhaaan..” Teriak bunda, mengeluh. Ardy menghentikan langkahnya sejenak ketika pintu dari balik ruangan itu terbuka. Semua orang berkumpul dan mengelilingi wanita muda dengan pakaian berwarna hijau.
“Maaf, keadaannya sangat kritis. Kami akan berusaha. Permisi.” Perawat itu bergegas pergi. Di susul oleh Ardy dan Mas Uus. Semua orang kembali pada posisi duduknya, beberapa ada yang berubah namun wajahnya masih tetap sama, cemas di raut wajah mereka belum juga lepas. Di sisi lain Ardy dan mas uus bergerak menuju ruang UGD.
“Bagaimana Dok?” Ujar Ardy cemas.
“Keadaannya semakin buruk Pak. Karena kecelakaan itu, ada organ mata yang rusak. Dion tidak akan bisa melihat lagi.” Wajah Ardy seketika lesu, di tatapnya wajah anak kecil yang tertidur pulas di kasur perawatan.
“Lalu bagaimana?” Tanya Ardy lirih.
“Kita butuh Donor Mata Pak. Dan itu tidak mudah.” Ardy masih duduk di samping Dion, menggenggam erat tangan putra kesayangannya itu. Air matanya tak sanggup lagi ditahan, Mas Uus hanya berdiri pasrah disamping Ardy. Semua menjadi sangat buruk hari ini, bahkan jauh lebih buruk dari yang pernah terjadi 7 tahun silam.
“Bagaimana ini Mas? bagaimana?” Ardy terus menangis di samping Dion.
“Sabar Mas, pasti ada jalan keluarnya.” Mas Uus terus menenangkan.
“Ardy, bagaimana?” Bu Mar masuk dari luar kamar, menghampiri Ardy.
“Bunuh aku saja Bu, tapi biarkan Dion hidup.” Ardy memeluk erat Bu Mar, menangis hebat di pelukannya. Bu Mar tak kuasa menahan tangisnya.
“Eling le, sabar.” Bu Mar memeluknya erat. Ardy hancur berantakan. Raka ,Bunda, Ayah dan lainnya masih menemani di ruang ICU, sedang Ardy dan Bu Mar menemani Dion di ruang perawatan. Sampai malam ke 3 ini tidak ada yang berubah, semua masih sama. Masih cemas, masih takut, masih hancur dan masih tak ada perkembangan.
“Ka sebaiknya kamu pulang.” Sahut Ayah menghampiri Raka yang duduk dengan wajah lelah di samping kedua orang tuanya.
“Tidak Om, saya di sini saja.” Jawabnya pelan.
“Lihat papah mamahmu, mereka lelah. Pulang lah, antar mereka kerumah. Agar bisa istirahat.” Raka memalingkan pandangannya mengarah pada kedua orang tuanya yang terlihat lelah. Kemudian menganggung dan berdiri dari kursinya.
“Saya pamit ya Om, kalau ada kabar tolong beritahu. Besok saya kembali.”
“Iya Ka, tenang saja.” Jawab Ayah menenangkan.
Waktu menunjukkan pukul 01.00 wib. Rumah sakit mulai lengang, hanya beberapa perawat yang masih siap di tempatnya masing-masing juga beberapa keluarga yang menunggu pasien diruang ICU. Ayah, Bunda , dan Mas Uus masih terjaga di atas kursi-kursi rumah sakit yang sengaja di sediakan untuk penunggu pasien. Langkah kaki membawa pandangan Ayah dan Bunda mengikuti sumber suara.
“Bagaimana Bun?” Tanya Ardy lirih.
“Belom Ar, masih sama.” Jawab bunda, air matanya masih menetes. Ardy mengangguk pelan.
“Dion?” Yanya Ayah.
“Sama. Masih seperti kemarin-kemarin.” Menguatkan suaranya agar terdengar baik.
“Sabar ya Ar.” Sahut ayah. Ardy mengangguk lagi. Suara pintu yang terbuka dari balik ruang ICU memecah perbincangan mereka. Seorang perawat keluar dari ruangan.
“Keluarga Putri Kiara?” sahut perawat.
“Iya sus.” Jawab Ayah. Bergegas mereka semua berkumpul membentuk lingkaran.
“Pasien sudah siuman. Boleh di lihat tapi 1 orang saja.”
“Alhamdulillah.” Sahut mereka semua. Senyuman di bibir Ayah, Bunda dan Ardy seketika meluruhkan semua kecemasan diwajah mereka sejak 3 hari yang lalu. Bunda bergegas masuk. Ayah dan Ardy menunggu di luar. Bunda keluar dengan wajah yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Seketika mengundang senyuman yang sama di bibir Ardy dan Ayah yang sejak beberapa menit lalu setia menunggu diluar ruangan.
“Bun?” Ardy menyapa. Matanya berbicara. Bunda mengerti.
“Ndak apa Ar, semua baik-baik saja.” Sahut Bunda. Seketika wajah-wajah tegang diruang itu berubah pasti menjadi senyuman lebar yang sejak 3 hari lalu ditunggu-tunggu.
“Syukurlah.”
Di Pagi pertama ini senyuman lahir di ruangan yang menyeramkan bagi beberapa orang, jatung yang berdebar cepat perlahan menemui iramanya, wajah-wajah lesu juga tegang di ruangan itu pun seketika mencair menjadi senyum-senyum bercahaya dari wajah semua orang. 3 hari rasanya seperti baru kemarin, kufikir akan pergi selamanya ternyata tuhan masih berbaik hati mngizinkanku menatap dunia ini, menghirup udara ini dan menyaksikan wajah-wajah orang yang aku cintai ini.
“Bagaimana Ra?” Tanya Raka khawatir. Aku hanya tersenyum. Belum ada tenaga untuk menjawab.
“Kau harus cepat sembuh. Aku gilak melihatmu di ruangan ini.” Ujar Raka tersenyum. Aku balas tersenyum.
Raka berbicara banyak hal, aku hanya mengangguk dan tersenyum saja sesekali menjawab singkat. Bunda, Ayah dan Bu Mar datang di tengah perbincanganku dan Raka.
“Sayang, kau sehat?” Tanya Bunda. Aku tersenyum, mengangguk.
“Dion?” Tanyaku lirih. Seketika wajah di ruangan ini berubah panik.
“Sayang sudah minum obat? bunda bantu minum ya.” Tanya bunda, mengalihkan. Raka pamit keluar, di susul Ayah dan Bu Mar. Bunda masih menemaniku.
“Bun, dion?” Tanyaku pelan. Bunda diam. Ada yang di sembunyikan.
“Bun..”
“Dion di rawat di ruangan atas sayang.” Jawab bunda hati-hati. Air mataku menetes. Jantungku tak stabil.
“Kenapa?”
“Sakitnya kambuh. Sejak kecelakaan itu, matanya bermasalah. Dan dia harus butuh donor.” Perjelas bunda. Hatiku tak karuan mendengarnya. Jagoanku sakit.
---
“Bagaimana dok?”
“Dapat Pak. Donor matanya cocok.”
“Benarkah? Alhamdulillah.” Jawab Ardy bahagia. Bu Mar tersenyum.
“Kapan kira-kira kita bisa melakukan operasinya?” Sahut Ardy semangat.
“Sore ini juga Pak.” Jawab dokter itu tegas.
“Baiklah, saya akan menyiapkan semuanya. Terima kasih dok.”
“Sama-sama.”
Sore ini Ayah, Bunda, Ardy, Bu Mar, Mas Uus dan Raka berkumpul di ruang operasi. Semua berharap keajaiban datang pada jagoan kecil di keluarga kami. Semua doa terpanjatkan untuk Dion, wajah-wajah cemas dan bahagia terkumpul jadi satu diraut muka mereka yang menunggu Dion. Semua kan baik-baik saja.
“Kenapa menangis Bun?” Bisik Ardy pelan.
“Ndak apa sayang.” Bunda tersenyum haru. Semua orang duduk dengan rasa khawatir yang begitu besar. Berjam-jam duduk menunggu kabar baik keluar dari balik pintu operasi itu.
“Bagaimana dok?” Tanya Ardy buru-buru.
“Semuanya berjalan lancar.” Seketika ruangan itu pecah dengan tangis haru dan suka cita. Dionku selamat. Bunda dan Ayah kemudian duduk kembali di ruang tunggu operasi, ketika Bu Mar, Ardy dan Raka ingin masuk untuk melihat.
“Bun tidak masuk?” Tanya Ardy.
“Duluan sayang, bunda menyusul.” Jawab bunda. Dan kemudian mereka masuk.
“Yah, Bunda gak kuat?” Bunda menangis di pelukan Ayah. Ayah memeluk erat, air matanyapun menetes.
“Sabar Bun, semua sudah terjadi dan segalanya akan menjadi lebih baik.” Sahut Ayah menenangkan. Tak lama setelah itu, Ardy dan Raka keluar dari ruang operasi. Tak sengaja menyaksikan Ayah dan Bunda menangis di kursi yang mereka duduki.
“Bun, ada apa?” Tanya Raka bingung. Bunda diam saja, menatap Raka dan Ardy.
“Dion sehat bun, ingin lihat ?” Sahut Ardy meneruskan.
“Iya, Bunda dan Ayah mau lihat.” Bunda berdiri dari kursi dan melangkah masuk kedalam ruangan di susul ayah, sebelumnya memberikan sepucuk surat kepada Ardy.
“Dari Kiara. Untukmu dan Raka.”
Maaf aku tidak bisa melihat Dion, Aku terluka mendengar kabar Dion. Tapi aku juga bahagia mendengar dion bisa melihat lagi. dunia ini butuh jagoan seperti Dion, agar tidak ada lagi pria penakut seperti dirimu Ar. Dan tidak ada lagi pria yang keras kepala seperti Raka. Hehehe...
Ardy, soal pengakuanmu waktu itu aku sungguh terkejut. Aku ingin sekali marah padamu, tapi aku tahu ini bukan saja kesalahanmu sepenuhnya, tapi juga aku. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini. aku senang kau jujur, tapi aku kecewa karena melukai Raka.
Kau tahu, bintang-bintang itu sepertimu Ar. Menerangi setiap malamku yang panjang dan membosankan disepanjang hidupku. Aku pun sadar, bukan hanya bintang yang menemani bulan untuk bersinar. Tanpa ku sadari matahari berperan penting dalam hidup bulan, berkat sinarnya lah bulan terus hidup.
Aku hancur jika harus melukai salah satu diantara kalian, aku mencintai mu juga Raka dengan caraku yang berbeda. Begitupun dirimu dan Raka yang mencintaiku dengan cara yang berbeda. Aku sadar, Kau dan Raka bukanlah pilihan tapi Kau dan Raka memang sudah dipilih tuhan untuk melengkapiku. Bahagialah untukku, seperti bahagiaku melihat Kau dan Raka nanti dengan bantuan Dion.
Kutitipkan mata ini pada Dion kecilku, untuk mengamati kalian. Tak ingin ku lihat air mata menetes dari matamu dan Raka. Tersenyumlah untukku, untuk Dion. Selamanya.
Sahabatmu : Putri Kiara
Mata Ardy memerah, wajahnya pucat. Raka tak karuan. Menangis terisak. Bunda yang keluar dari ruangan dion segera menghampirinya. Bunda memeluk Ardy, Ayah menenangkan Raka.
“Kenapa tidak bilang Bun?” Bisik Raka.
“Kiara yang minta sayang.” Bunda terus menangis. Memeluk Ardy erat.
“Dimana dia?” “Di samping Andin sayang.” Ujar bunda menahan nafas. Ardy dan Raka semakin tak karuan.
“Tidaaak. Kenapa bunda biarkan.” Teriak ardy pada bunda. Bunda hanya melihatnya prihatin.
“Aku bisa cari donor lain. Bukan seperti ini. kau keterlaluan Ra, keterlaluaan.” Teriak Ardy histeris sekali lagi.
Raka bergegas pergi dari tempatnya, berlari tak seimbang menuju tempat istirahat terakhir andin, yang juga menjadi tempat istirahatku, selamanya. Ardy masih di sana, duduk di pelukan bunda. Meratapi setiap hal yang terjadi. Ya, aku memang bodoh itu mengapa aku melukai begitu banyak hati yang mencintaiku. Untukmu andin, sahabatku tercinta. Kini aku tinggal di hatimu, di hati Ardy juga Raka. Melihat mereka tertawa melalui jagoan kecilmu ndin. Segala hal yang terjadi adalah kebenaran, tidak ada yang kebetulan. Semua tahu, masa lalu bukan untuk diperdebatkan. Melainkan bagaimana kau bisa hidup dengan tenang dan berdamai dengan masa lalumu itu, meski berat ataupun sulit.
Dari sini aku belajar, tentang dua yang terkadang tidak bisa menjadi satu. Tuhan, terima kasih telah memberikan ardy untuk melindungiku di sepanjang hidupku, juga raka yang tak lelah membantuku juga melindungiku dari rasa sakit sebab apapun. Ini lah cintaku, bukan tentang siapa yang paling mencintai siapa, Ini juga bukan tentang siapa yang paling berkorban untuk siapa, bukan pula apa saja yang sudah kuberi maupun apa saja yang sudah kau luangkan. Terima kasih, bukan untuk berapa lama waktu yang dijalani bersama, melainkan atas setiap detik yang terluangkan untuk saling mencintai waktu saat bersama. Maaf, bukan untuk setiap kekurangan yang membuatmu terluka, melainkan atas kelebihan yang kadang mengundang kecewa.
Besok, pada suatu hari nanti. Kamu mungkin akan lupa bahwa aku pernah menjadi wanita yang begitu mencintaimu. Tapi aku akan selalu ingat, bahwa aku pernah mencintaimu dengan sangat amat.
--- TAMAT ---