Pagi datang membawa banyak hal baru, yang lalu sudah berlalu dan yang baru muncul dengan segala keindahan yang di tawarkan. Semua orang sudah berkumpul rapih di meja makan, Dion kelihatannya sudah benar-benar sehat, dia bisa berjalan kesana kemari lagi dengan lebih bersemangat. Aku, Raka, Ardy, bunda dan ayah hanya menatapnya tertawa sambil mengunyah makanan dari masing-masing piring kami. Semua terasa lebih hangat pagi ini, kapan lagi berkumpul bersama di atas meja makan, sebelum aku benar-benar harus kembali ke Jakarta. Setelah selesai makan, aku dan bunda merapihkan piring-piring di atas meja. Ardy, Raka dan ayah masih berbincang tapi kali ini pindah ke ruang tamu. Dion masih menggenggam ayam goreng di tangannya dan duduk manis di depan tv menyaksikan film kartoon kesukaannya.
“Ini tehnya.” Aku menyodorkan beberapa cangkir teh di atas meja, sembari bunda duduk di samping ayah.
“Terimaksih sayang.” Ayah mengambil secangkir teh dari atas meja ,diikuti yang lainnya.
“Emm ada yang ingin saya sampaikan, maaf sebelumnya.” Raka memulai percakapan, suaranya terdengar lebih serius. Semua orang menghentikan suapan tehnya dan meletakkannya diatas meja kembali.
“Ada apa Ka ?” ayah menyaut santai.
“Saya minta maaf, mungkin ini bukan waktu yang tepat. Tapi... saya mencintai Kiara Om, saya ingin melamar Kiara dalam waktu dekat, apakah Om dan bunda mengizinkan.” Raka menatapa ayah yakin, seketika keadaan menjadi hening, kami semua saling bertatapan, hatiku di buat resah, entahlah harusnya aku senang mendengarnya tapi aku justru takut. Apa yang dia ucapkan sungguh tak terduga, kenapa dia mengucapkan itu.
“Emm bun saya permisi keluar, sudah siang sayuran harus diantar ke pasar.” Ardy berdiri dari kursinya dan bergegas menuju keluar.
Ayah menganggukkan kepalanya, meng-iyakan keinginan Ardy.
“Apa kamu sungguh-sungguh nak ?” Bunda menatap Raka, meyakinkan apa yang diucapkannya.
“Baiklah, jika itu baik menurut kalian, ayah dan bunda merestui. Lakukan apa yang menurut kalian benar, jangan melukai satu sama lain.” Ayah menyambar ucapan bunda, menyerahkan segalanya kepada kami, aku masih terdiam tidak menyangka, semua terlalu cepat datang kepadaku.
“Yasudah ayah berangkat dulu ya, sudah siang.” Ayah berdiri dari kursinya dan pamit untuk keluar mengurus dagangannya. Hanya tersisa aku, Raka dan bunda.
“Kalau begitu saya permisi bun, keluar sebentar.” Raka pun berdiri dari kursinya dan keluar meninggalkan ruangan, pergi begitu saja. Begitupun bunda membawa dirinya bersama Dion ke ruang dapur. aku berjalan mengikuti raka di belakangnya, keadaan menjadi lebih berbeda.
“Raka”
Dia menghentikan langkahnya, berbalik memandang ke arahku, dia tersenyum seakan-akan tak ada sesuatu yang serius sedang terjadi, dia selalu seperti itu. Kali ini aku yang resah, entah karena apa.
“Aku mau bicara” Aku menarik lengannya lembut, membawanya duduk di kursi teras rumah. Dia hanya pasrah mengikuti.
“Kenapa Ka?” Aku bertanya lirih.
“Kenapa? gimana?.” Raka menjawab bingung
“Kenapa kamu bicara seperti itu tadi?.”
“Kenapa? apa salah?” Raka memandangku tajam. Aku hanya menunduk.
“Ardy kan?” Raka bertanya kaku.
“Hah, apa?” Aku memandangnya ragu, tidak mengerti maksud pertanyaannya.
“Iya, Ardy kan masalahnya?. Aku tau kamu hanya akan diam tadi dan aku tau mungkin kamu akan marah padaku setelahnya, terserah.” Pandangan Raka semakin tajam, ucapannya masih lembut, dia masih sangat tenang.
“Tidak Ka, bukan begitu.” Aku menjawab semampuku, dia benar aku marah saat Raka mengatakan itu, tapi aku sendiri tidak tau kenapa aku harus marah padanya. Itu kan haknya dan dia berhak menyampaikan itu, tapi maksudku ini bukan waktunya. Bukan begitu.
“Aku mengenalmu Ra, bahkan aku lebh tahu tentang kamu dibanding dirimu sendiri. Kau mencintai Ardy, aku tahu itu. Dan setelah kembali selama bertahun-tahun, aku melihat tatapanmu padanya, dan aku tahu perasaan itu masih ada. Kau berbohong pada dirimu sendiri, kau berusaha menutupi setiap luka yang pernah kau obati. Kamu takut kan? kamu takut harus jujur pada dirimu sendiri.” Raka menatapku tajam, nada bicaranya sedikit menekan dan lebih tinggi. Matanya memerah, dia tidak setenang sebelumnya.
“Ka..” aku menatapnya lembut, aku tak kuasa memandangnya lebih lama.
“Bahkan aku tahu Ardy juga begitu menyayangimu, dan dia menutup matanya untuk melihatmu, dia sama pengecutnya dengan dirimu. Aku tahu aku bukan seorang pria yang selama hidupmu berada disampingmu atau bahkan tahu semua rekam jejakmu. Aku hanya pria baru yang kau temui di pinggir jalan, yang tidak sengaja secara baik hati menolongmu. Tapi setidaknya aku tahu bahwasanya aku mencintaimu dan aku akan melindungimu. Bagaimana dengan Ardy? aku tidak perduli. Aku tidak akan membiarkannya merebutmu dariku. Maafkan aku Ra.” Raka berdiri dari kursinya, dia terlihat sangat marah. Itu pertama kalinya aku melihat Raka semarah itu padaku, dia tidak seperti yang ku kenal. Raka yang sangat tenang itupun seketika hilang dari pandanganku.
Raka masuk kedalam rumah, aku tahu mungkin dia sangat marah padaku, dan aku menerima semua ucapannya, karena Raka benar dan semua yang diucapkannya adalah kebenaran.
Aku hanya duduk di kursiku, tanpa sadar air mata itu jatuh tak terbendung. Kenapa? kenapa semua menjadi sesulit ini. aku kembali, kufikir semuanya akan menjadi lebih baik. Nyatanya aku salah, justru menjadi semakin berantakan.aku tahu ini pasti akan terjadi, tentang semua perasaan Raka yang pernah ia sampaikan padaku, tapi Kenapa Raka harus menyayangiku sedalam itu, apa tidak bisa dia menyayangiku sebagai sahabatnya, sebagai seorang malaikat yang melindungiku seperti biasanya, yang menyayangiku seadanya saja tanpa perlu ditambah-tambahi ataupun di kurang-kurangi. Aku menyayangimu ka, tapi bukan seperti ini. aku selalu berharap kita bisa terus tertawa bersama sekian lama, mungkin sampai waktu yang menentukan. Apa setelah ini semuanya akan menjadi baik? tentu saja tidak kan. Kau bodoh sekali Ka, mencintai wanita sepengecut diriku, mencintai seorang wanita yang tak bisa mengendalikan perasaannya sendiri, seorang wanita yang tidak tahu bagaimana menentukan sikap untuk diriya sendiri. Sungguh ka, aku marah padamu. Untuk keputusan yang kau ambil ini, aku sungguh tak bisa menerimanya. Kau tidak harus mencintai wanita sepertiku, bahkan kau bisa mendapatkan yang lebih baik dariku. Seharusnya bukan aku Ka, jangan aku.
Aku menyeka mataku, kemudian terbangun dari kursi yang ku duduki. Aku berjalan keluar untuk mencari udara segar sekaligus memikirkan apa yang diucapkan Raka tadi pagi padaku.
Langkahku terhenti disebuah rumah, itu rumah yang tidak asing bagiku. Rumah Ardy, entah bagaimana langkahku bisa sampai berhenti ditempat ini. aku berjalan menuju pohon didepan rumahnya, di bawahnya ada kursi kayu buatan tangan sendiri. Aku duduk di sana, sembari memejamkan mataku, menerka-nerka setiap jengkal langkah yang sempat kami lalui dulu di sini, di tempat ini. membayangkan masa kecilku dengan ardy, sangat indah. Bahkan jika aku bisa mengulangnya sekali lagi, tapi mustahil. Semua sudah terkubur dalam-dalam di tempat ini. semua kebahagian dan tawa 2 anak kecil itu akan terus ada di sini, bersama setiap luka yang menjadi bumbu untuk penyedap rasa.
“Ra..”
“eh, Ar.” Suara Ardy menyapa, memecah lamunanku.
“Ngapain di sini? bukannya Dion di rumah?” Ardy bertanya tenang.
“Ah iya, tadi lagi cari udara aja, eh malah sampe sini. Ehehe..” aku tertawa seadanya, memaksa.
“Bagaimana?”
“Apanya?” aku memandang ardy bingung.
“Iya bagaimana tadi, Raka melamarmu kan” Ardy tersenyum tipis.
“ah itu, iya..” aku menjawab singkat.
“Akhirnya aku bisa melihatmu di lamar seseorang juga Ra.” Ardy tersenyum ke arahku, aku membalasnya malas.
“Jangan begitu, dia pria yang baik Ra.” Ardy berbicara pelan padaku, tatapannya kali ini lebih serius.
“Maksudmu?” Aku bertanya bingung. Tak tahu apa maksudnya.
“Kau kemari untuk menghindari pertanyaannya? Atau apa ?” Ardy menatapku dalam, dengan senyuman tipisnya itu.
“Aku tau dirimu Ra, jika ada sesuatu yang membuatmu merasa tidak nyaman kau pasti menghindar untuk mencari waktu, bukan begitu?” ucapan Ardy benar. Aku menundukkan pandanganku.
“Apa yang kau risaukan? kau mengenalnya dengan baik kan. Dia selama ini menjagamu, memperhatikanmu dan menyayangimu bukan? tidak seharusnya kau seperti ini.” Ardy terus membujukku, menenangkan hatiku untuk mengambil keputusan dengan baik.
“Aku tau Ar, tapi... terlalu cepat.”
“Terlalu cepat apanya? apa butuh waktu selama aku mengenalmu untuk membuatmu mencintainya?” Ardy menatapku lamat-lamat, suaranya lirih terdengar. Lebih tegas.
“Itu berbeda. Kita bersahabat sejak kecil, dan raka dia bersamaku di masa masa sulit. Aku menyayanginya sebatas sahabat, apa tidak bisa?”
“Lalu bagaimana denganmu?”
“Apa?”
“Apa kau bisa hanya menyayanginya sebagai sahabat jika kau ada di posisinya?” aku menatapnya, aku terkejut mendengar pernyataannya. Apa ini juga tentang perasaanku, Maksudnya.
“Sudahlah, tidak ada yang bisa mengatur perasaan seseorang Ra, kau hanya harus memilih untuk bisa menerimanya atau tidak.” Ardy berdiri dari kursinya, dan pamit pergi meninggalkanku.
Aku hanya duduk sendiri memikirkan perkataannya, apa yang dia sampaikan tadi itu untukku kepada Raka atau untuknya kepadaku. Lalu untuk apa dia bicara seperti itu padaku, apa karena perasaanku yang kekanak-kanakan padanya sebab tidak bisa menerima kenyataan bahwa Ardy mencintai Andin, atau apa? aku bingung sekali.
Aku berdiri dari kursiku dan bergegas kembali kerumah, hari semakin siang aku takut bunda mencariku karena aku tidak pamit keluar rumah, ditambah lagi ada Raka dirumah yang aku tinggalkan sendiri dengan keadaan kesal. Pasti dia marah padaku, atau bisa jadi dia akan nyuekin aku seharian. Tak taulah, aku lelah memikirkan hal seperti ini. ingin sekali aku mengulang waktu, agar segalanya kembali seperti seharusnya, tidak ada yang dikurang-kurangi ataupun di lebih-lebihi.
Siang ini menjadi terasa lebih panas dari biasanya, entah karena perasaanku yang sedang kacau atau memang matahari sengaja membuatku semakin gerah saja dengan keadaan ini. sesekali kuarahkan pandanganku pada sinarnya dengan memicingkan mataku kemudian melemparkan lagi pandangan kearah sekitar. Tidak ada yang berubah dari tempat ini, kudapati diriku dan Ardy semasa kecil berlari-lari ditempat ini, berjalan bersama melalui jalanan ini sepulang sekolah dulu, dan aku melihat Ardy tertawa lepas bersamaku di atas sepeda yang dia kendarai.
Huuuhh... Terpecah lamunanku pada terik matahari yang semakin menyengat kulit tubuhku, kupercepat laju langkah kaki hingga terhenti tepat dihadapan pintu rumahku yang terbuka. Ku hampiri kursi di teras rumah dan meletakkan tubuhku di atasnya, tak sampai hati aku masuk kedalam rumah jika harus melihat raka dengan pandangan kesal padaku, aku hanya sudah terbiasa melihat senyumnya selama ini. ku sandarkan tubuhku dan sesekali melongok kedalam pintu rumah, dan meletakkan kembali posisi dudukku semula. Menghela nafas panjang sembari memejamkan mata, untuk sekedar bernafas lebih tenang.
“Sayang.” Bunda menyentuh lenganku lembut, kubuka kelopak mataku dan meletakkan posisi duduk menjadi lebih tegap mengarah padanya.
“Ono opo tok nduk?”
“Ndak bun.” Jawabku lirih.
“Kenapa?”
“Raka di dalam?”
“Ndak, dia keluar sama dion.”
“Oh.”
“Kenapa ragu? kau cerita waktu itu pada bunda kan bahwa kau menerimanya.”
“Entahlah, aku rasa terlalu cepat.”
“Sayang, bukan berapa lama seseorang itu ada di sampingmu untuk bisa mengatakan bahwa kau yakin padanya. Tapi, seberapa kuatnya hatimu meyakini bahwa kau siap memilihnya.” Aku menatap matanya yang teduh itu, beberapa kerutan di wajahnya semakin nampak, namun tetap secantik dulu.
“Banyak yang ingin bunda katakan padamu.”
“Tentang apa?”
Pandanganku dan bunda seketika terlempar pada gerak suara langkah kaki menuju ke arah kami. Raka dan dion datang.
“Dion punya es krim Oma.” Menyodorkan tangannya yang belepotan dengan rasa cokelat, tak lupa mulut dan bagian sekitarnya.
“Oh ya ampun, ayuk ikut oma. Kita bersihin.”
Bunda membawa Dion masuk kedalam, aku masih di posisi dudukku dan Raka menghampiri untuk kemudian duduk di sampingku.
“Maaf Ra, maaf.” Matanya menatap ke arahku.
“Untuk?.”
“Karena sudah bersikap kasar dan egois padamu.” Wajahnya tertunduk lesu.
“Tidak Ka, aku yang harusnya minta maaf.”
“Aku seharusnya tidak memaksamu untuk menerimaku, aku harusnya tahu kau pasti akan menolak.”
“Aku tidak pernah menolakmu.” Aku tersenyum padanya. Wajah yang tertunduk itu seketika bangkit dan mengarahkan pandangannya padaku, senyumnya pun lepas.
“Maksudmu?”
“Iya, aku bersedia. Maaf untuk tadi pagi, aku hanya terkejut.”
Raka menggenggam tanganku erat seperti enggan untuk melepaskannya lagi. matanya berkaca-kaca. Aku melihat diriku di dalamnya. Dan aku tahu, pria dihadapanku ini sangat amat mencintaiku.
Malam ini semua lengkap berkumpul di meja makan, terasa sangat sempurna. Biasanya pun sempurna namun malam ini lebih sempurna, lepas dari Ardy dan Dion yang masih berada di rumahku juga di tambah Bu Mar yang mampir untuk ikut makan malam seperti perintah bunda. Kami semua seperti keluarga besar di satu rumah yang tidak semewah di Jakarta namun sangat hangat. Dion masih saja dengan tingkahnya yang membuat kami semua tertawa, selepas makan malam kami masih duduk santai diruang tamu, berbincang ringan hingga pertanyaan Raka membuat keadaan menjadi lebih berat untuk dicerna.
“Mumpung semua berkumpul, ada yang ingin saya sampaikan.” Semua mata mengarah pada Raka. Dia menjelaskan dengan tenang.
“Tentang pertanyaan saya tadi pagi, bahwa kiara sudah setuju. Dan kalau bunda dan om mengizinkan, besok saya akan pulang ke Jakarta menjemput papa dan mama.” Aku mengangguk pelan, mengiyakan ucapan Raka. Ayah dan bunda tersenyum tipis, juga Bu Mar dan Ardy.
“Baiklah, ayah merestui. Kau bisa ajak keluargamu berkunjung kemari.”
Entahlah, aku lega semuanya berjalan dengan baik tapi masih ada sesuatu yang mengganjal di hatiku, tapi apa. Aku juga tidak tahu pasti.
Dion merengek dan keluhannya menyadarkan kami bahwa waktu menunjukkan pukul 21.00. kali ini Dion ingin tidur di rumahnya sendiri, Ardy dan Bu Mar pamit pulang. Setelah itu ayah dan bunda ikut pamit tidur, di susul Raka yang juga besok harus pulang ke Jakarta, aku pun masuk ke dalam kamarku. Bukan untuk tidur, malam ini entah kenpa aku tidak bisa tidur. Aku ingin sekali bicara dengan Ardy, tentang apapun. Tapi Dion memerintahnya pulang.
Kuletakkan tubuhku telentang di atas kasur, memandangi langit-langit kamar. Memutar beberapa lagu di handphone untuk pengantar tidur atau sekedar membuatku merasa ngantuk saja. membayangkan dari awal semua yang sudah kulewati selama ini, menjajakinya satu per satu. Iya, Raka lah yang membuatku seperti ini tidak pantas jika aku melukai hatinya, aku pun menyayanginya melebihi apapun, aku tahu ini adalah keputusan yang benar. Tidak perlu ada yang aku takuti, semua rasa sakit itu sudah ku kubur dalam-dalam dan Raka tidak mungkin melukaiku dan membuatku terpuruk seperti 7 tahun yang lalu.
Seketika wajah Andin melintas cepat di kepalaku, seperti sebuah kilauan cahaya petir di malam hari, jantungku berdegup dan dadaku terasa sesak. Ku pejamkan mata untuk melihat wajahnya sekali lagi di pikiranku, mengirimkan seuntai doa untuk sahabatku tercinta. Andin, Andini Lestari.
Wanita yang aku dan Ardy temui di parkiran kampus dahulu saat aku dan ardy hendak pulang kerumah, ku temui dirinya sedang merasa kesulitan karena ban motornya bocor. Aku dan Ardy menolongnya, semenjak saat itu kami bertiga menjadi saling kenal dan bahkan sangat dekat. Andin wanita yang cantik, wajahnya khas ayu buatan jawa, senyumnya manis, tutur katanya lembut, tak heran jika beberapa pria dikampus menyukainya, seperti Danu dan Riko dari fakultas hukum, Sandy anak organisasi, dan Surya teman sekelas Ardy. Tapi tak ada satupun yang nyangkut di pandangan bahkan hatinya Andin, padahal pria-pria itu terhitung tampan, populer dan cerdas. Andin memang seperti itu sangat ramah bahkan kepada siapapun tak heran jika banyak orang yang menyalah artikan perlakuannya.
Juga Ardy yang mungkin berfikiran samanya seperti pria-pria itu, tak kuasa menahan pesona Andin yang begitu besar, jangankan dia jika aku seorang pria mungkin akupun akan jatuh cinta padanya. Selain apa yang aku sebutkan diatas, Andin juga terlahir sebagai anak tunggal dari keluarga yang mampu rasanya kehidupan Andin terlihat sangat sempurna, sebelum kami tahu bahwa leukimia dengan teganya merangsek masuk dan menjalar di seluruh tubuh Andin sejak ia duduk dibangku SMA. Aku ingat betul sebulan setelah kami wisuda siang itu aku, Ardy, andin dan temanteman kami merayakan kelulusan dengan makan-makan disebuah rumah makan sebelum kami semua memutuskan untuk mencari jalan hidup dan mengejar impian kami satu per satu. Didepan mereka semua, di depan mataku sendiri aku menyaksikan semuanya, tatapan Ardy yang begitu hangat dia berikan bukan lagi hanya untukku, senyumannya yang menggoreskan arti kebahagian dan ketulusan yang begitu dalam tak lagi hanya milikku, dia berikan semua itu untuk wanita di hadapannya. Dia ungkapkan semua hal yang selama ini aku pendam sekian lama pada seorang perempuan yang baru kami temui beberapa tahun silam, mengerikan mendengarnya. Semua kenangan yang kami ukir selama bertahun-tahun terhapuskan dalam sekejap oleh kenangan di 6 tahun terakhir.
Aku membuka mataku, tersadar dari lamunan panjangku. Titik air menetes membasahi pipiku. Sulit sekali harus mengingat semua itu. 7 tahun di Jakarta sama sekali tidak bisa menghapus semua jejak langkah yang kami injak di kota ini, bahkan luka dan tawanya masih terasa jelas di kepalaku. Tak ada satupun yang tertinggal, bahkan semua masih tersimpan dengan rapih di dalam pikiranku.
“Aku mencintaimu entah dengan segala yang kau suka atau benci. Maukah kau menemaniku seumur hidupku, Andini Lestari?”
“Aku mau.”
Jawaban itu seperti bambu runcing yang seketika tertancap di dadaku, menusuknya hingga tertembus. Semua orang bersorak, tersenyum bahkan tertawa bahagia untuk mereka, akupun begitu menangis bahagia dengan cara berbeda. Suara keributan didalam ruangan perlahan mengecil di telingaku, waktu seperti berhenti dan melambat. Aku pergi dari tempat itu, memilih keluar dari keadaan yang tak bisa aku hadapi sendiri. Bunda memelukku erat bahkan sangat erat, putri kecilnya menangis hebat di pelukannya karena anak laki-laki yang juga amat dia cintai seperti anaknya sendiri. Sore itu juga aku memutuskan pergi ke kota besar yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, menyebut namanya saja jarang apalagi harus menginjakkan kaki sendirian di sana dengan keadaan hancur, jelas ayah dan bunda tak mengizinkan tapi orang tua mana yang tega melihat putri kesayangannya merajuk dengan hebat didepan matanya dengan berlinang air mata. Aku pergi dari tempat yang sangat aku cintai, yang juga memberiku cinta. Ku kemasi barang-barang dan serpihan hatiku yang hancur lebur berantakan untuk ku bawa ke kota besar itu, tak perduli sekejam apa tinggal disana, yang aku tahu keadaan ini jauh lebih kejam dari apapun.
Kali ini aku bangkit dari kasur yang rela ku tibani dengan berat badanku yang cukup ringan, menahan keluh kesahku selama bertahun-tahun lamanya. Aku mengambil air untuk mencuci mukaku, mataku sembab seperti kejadian itu baru saja menimpaku lagi. Malam ini aku terjaga bersama bintang-bintang di angkasa, yang tak pernah khawatir jika matahari datang merenggut sinarnya, toh masih ada hari esok dan bintang tahu semua orang akan mendambanya kembali.