“Ayolah Ra, boleh ya” Raka merengek seperti anak kecil.
“Tidak.” Sekali lagi menjawab tegas dari balik telfon.
“Kenapa sih Ra, aku kan juga butuh liburan” Raka memelas agar aku meng-iyakan maunya.
“Terus siapa yang jaga kedai?” aku mencari cari alasan.
“Kan ada Mas Didit, lagian kamu juga sih pergi tanpa bicara apa-apa.” Raka balas mencari-cari kesalahanku.
“Loh kok aku, kan aku sudah bilang ada urusan.” Aku semakin dibuat kesal oleh kelakuan Raka.
“Gak mau tau, aku udah beli tiket kereta, sore ini aku berangkat, kamu jemput aku di stasiun, oke, bye.” Raka memperjelas inginnya, dan menutup telfon genggamnya, sengaja agar aku tidak mengatakan Tidak lagi padanya.
Aku duduk di teras rumah, memang dari awal sudah ku duga, Raka itu selalu tidak sabaran, dia tidak mungkin berhenti mengkhawatirkan aku, dan mungkin juga itu alasan karena dia ingin liburan sama sepertiku, tapi aku kan sedang tidak liburan, Raka memang selalu semaunya apa lagi jika mengenai masalahku, mungkin karena selama ini dia hidup bersamaku, raka sudah seperti kaka bagiku, mungkin dia adalah orang pertama yang akan berdiri di depanku saat ada orang yang berusaha menyakitiku, ya begitulah Raka. Dia selalu yang paling tau cara membuatku bahagia.
Tak lama setelah menutup telfon dari Raka, aku hanya menghabiskan waktuku duduk diteras rumah sembari membaca Dunia Sophie yang baru ku beli beberapa waktu lalu. kadang novel ini membuatku kesal dan harus berfikir bahkan membacanya berulang-ulang kali, karena sulit dipahami, tapi lepas dari itu semua novel ini salah satu kesukaanku karena menarik dan jika sudah membacanya tak ingin lepas.
“Kiara..” suara pria yang sangat aku kenali memutus fokusku saat membaca. Seketik aku mengangkat kepala, menatap ke arahnya.
“Ardy..” aku terkejut melihatnya yang berdiri didepan rumahku bersama anak kecil digenggamannya, setelah 7 hari aku berada di sini dan baru hari ini aku melihat wajahnya lagi setelah 5 tahun.
“Apa kabarmu? senang bisa melihatmu lagi.” Ardy menyapaku halus, masih seperti dulu tak banyak berubah, hanya terlihat lebih dewasa, dan anak itu , iya pasti anaknya Ardy dan Andin.
“Ba...baik, kamu dy? ini?” aku bertanya terpatah-patah karena masih sangat terkejut sembari menunjuk ke arah anak laki-laki ber umur sekitar 6 tahun.
“Aku baik, kenalin Ra ini Dion Pratama, sayang ini tante Kiara.” Ardy menurunkan badannya dan mentap anak itu, sangat dekat seperti memang ada hubungan yang sangat kuat dari keduanya.
“Aku Dion, ante temen ayah sama bunda yah?” suara khas anak kecil itu keluar dari bibirnya, parasnya tampan, rambutnya hitam tebal dan kulitnya putih seperti Andin. Sangat ramah dan sopan, persis seperti Ardy.
“Ahh, emmm... iya sayang ,kamu kelas berapa?” aku berusaha menenangkan diriku, jantungku berdebar sangat cepat, nafasku sedikit sesak, hari ini bukan hanya melihat Ardy tapi aku juga harus melihat anak mereka, aku baik-baik saja.
“Aku, kelas 1....” Dion menatap Ardy.
“Ya seperti itulah...” Ardy tersenyum tipis, mengiyakan maksud pandangan anaknya.
“Ah sayang, kamu kesini kok gak bilang, ayuk sini oma punya kue” bunda datang dari arah pintu memecah keheningan sejenak antara aku dan Ardy, seperti sangat mengenal Dion, dan menatap ke arah ku dan Ardy lalu membawa dion masuk, bunda tau siapa Dion dan bunda tidak menceritakannya padaku.
“Bagaimana Ra, senang di Jakarta?” sembari duduk Ardy bertanya pertanyaan yang sedikit mengusikku walau dia bertanya biasa saja.
“Apa?” aku sedikit kaget mendengar ucapannya dan lebih lagi karena kedatangannya dan Dion kerumahku tanpa diduga.
“Aku harap kamu selalu bahagia Ra” Ardy mengarahkan pandangannya ke ubin, menggerak-gerakkan kakinya dan sesekali menatapku, hanya sesekali.
“Andin, ada apa dengannya? kenapa kalian tidak mengabariku?” aku mencari topik lain untuk dibahas.
“Mengabarimu? bukankah kau pergi tanpa satu orang pun yang tau, tapi aku tau bunda menyembunyikannya dariku, andin sendiri yang minta kepadaku dan bunda.” Ardy mengangkat kepalanya, kali ini pandangannya mengarah ke atas pohon-pohon di depan rumahku.
“Maksudku, kenapa aku baru dengar saat andin sudah pergi” aku menahan ucapanku, aku tak ingin terlalu jauh.
“Sudah 1 bulan terakhir kondisinya sangat memprihatinkan, bahkan jika aku diberi kesempatan untuk meminta pada tuhan saat itu juga, aku akan meminta tuhan mengambilnya secepat mungkin, bukan karena aku jahat, tapi sudah tidak ada harapan, aku miris melihatnya, matanya yang biasanya berbinar saat itu layu, badannya kurus, rambutnya rontok, dia tidak lagi terlihat seperti andin yang cantik saat kita mengenalnya dulu, sungguh dia sangat menderita, dia tidak ingin membuatmu cemas, mungkin bunda bisa saja memberitahumu tapi Andin selalu berkata untuk tidak mengatakan apapun tentangnya sampai kau kembali, dan saat hari itu tiba, kami semua kehilangannya, kau tahu kan orang tuanya tinggal jauh darinya, sungguh dia sangat kesepian.” Suara Ardy mulai bergetar, sesekali menutup matanya dan mencari-cari kalimat yang tepat untuk diucapkannya padaku, matanya memerah.
“Aku, sungguh aku tak tau, maaf kan aku” aku menundukan wajahku, seperti penyesalan itu datang berkali-kali lipat besarnya. Air mataku terjatuh.
“Andin sudah bahgia Ra, apa lagi yang kau tangisi. Hapuslah, dia tak akan pernah membiarkanmu menangis untuknya.” Ardy menatapku, meyakinkanku bahwa semua sudah terjadi di luar kendali kami sebagai manusi. Tangannya menghampiri pipiku, menghapusnya dengan lembut.
“Maaf Dy, harusnya aku ada di sampingnya, aku sungguh sangat menyayanginya, aku tidak bermaksut untuk...” aku menatapnya penuh penyesalan, Ardy menghentikan ucapanku.
“Dia tau kau sangat menyayanginya Ra, bahkan lebih dariku menyayanginya, percayalah dia sama sekali tak menginginkan ini, jangan lagi menangis.” Ardy sekali lagi meyakinkanku dan lebih kepada memerintahku, dia tau persis semua sudah berlalu dan Ardy tak ingin Dion melihat siapapun menangis mengenai ibunya.
“Bagaimana di Jakarta, apa yang kau kerjakan?” Ardy merubah topik pembicaran kami.
“Aku membuka rumah makan di sana, aku menyebutnya Kedai Bambu” aku mengikuti maunya , meninggalkan pembicaraan kami yang mungkin tidak harus lagi untuk dibahas.
“Oh ya, bagus kalau begitu. Kau selalu bisa diandalkan Ra.” Ardy tersenyum padaku, tatapannya, senyumannya, semua itu seketika mengembalikan ingatanku pada saat kami sekolah dahulu, tanpa masalah yang berarti. Semua berjalan dengan baik, Ardyku kembali.
Matamu yang teduh itu menyinariku, entah berapa lama yang bisa kuhitung, aku jatuh cinta untuk kesekian kalinya padamu, bintangku yang kadang cahayanya meredup dan membutakan mataku, tapi hanya sinarnya yang membuatku melihat di balik gelapmu, memberiku banyak pengharapan.
-
“Kamu dari mana aja sih Ka, aku menunggumu hampir setengah jam” aku menatapnya kesal.
“Iya maaf, tadi aku ke toilet dulu.” Tersenyum riang seperti tak bersalah.
“Yaudah ayuuk, dan kamu harus janji jangan menyusahkan” aku sekali lagi memperingatinya.
“Siaap Tuan Putri” Raka menatapku bahagia, tangannya di taruh ke pelipis mata seperti polisi yang sedang memberi hormat pada polisi lain yang lebih tinggi pangkatnya.
“Mas Uus, tolong yah barangnya Raka di taruh ke bagasi” aku meminta Mas Uus, yang mengantarku ke stasiun.
Aku dan Raka menuju rumahku, kali ini Raka lebih banyak diam, tidak seperti biasanya yang jail dan meledekku, padahal sudah hampir seminggu kami tidak bertemu, tumben sekali sikapnya seperti itu.
“Kamu baik-baik saja kan Ka?” aku bertanya serius.
“Memang aku kenapa?” Raka menjawab aneh.
“Takutnya saja saat di kereta kamu kepentok jendela, jadi diam seperti itu” aku tertawa puas meledeknya, mas uus juga ikut tertawa bersama kami. Raka hanya tertawa seadanya dan setelah itu diam lagi, entah apa yang terjadi padanya, dia aneh sekali siang ini.
“Sudah sampai, mari ka turun. Ini rumah ku.” Kami turun dari mobil dan dengan bangga aku memperkenalkan rumahku pada Raka.
“Waah, segar yah udara di sini, pantes kamu betah Ra.” Raka menarik nafas dalam-dalam dan kami masuk kedalam rumah. Tak lupa untuk berterima kasih pada Mas Uus, karena telah mengantar kami.
“Assalamualaikum bun”
“Waalaikumsallam.” Bunda keluar dari dapur dan menuju ke arah kami.
“Wah ada tamu, ini nak Raka yah?” bunda menyapa Raka hangat.
“Iya, saya Raka bu, teman Kiara di Jakarta, maaf merepotkan” Raka bersikap sopan, dia memang sangat sopan dan mudah beradaptasi dengan cepat. Soal mengambil hati seseorang dia lebih baik dari ku.
“Oh iya Kiara sudah cerita, ndak kok ndak apa , semoga betah ya” Bunda menjawab riang, jelas saja. Jika Raka disini bunda pasti berfikir aku akan lama untuk pulang ke Jakarta. Itu mengapa sejak awal aku cerita Raka akan kerumah, bunda sangat antusias bahkan bilang kalau bisa yang lama.
“Ikut yuk, aku tunjukin kamar kamu Ka” aku membawa raka ke kamar sementaranya, kami punya satu kamar tamu yang jarang di pakai tapi selalu rapih dan bersih, barang kali Raka ingin istirahat.
“Makasih Ra, kamarnya cukup nyaman.” Raka melihat lihat seisi kamar dan sedikit tertarik.
“Jangan berfikir ini senyaman di apartment yah” aku sedikit menyinggung, hanya bercanda.
“Bahkan ini jauh lebih nyaman Ra, aku mau istirahat dulu ya” Raka mendorong ku keluar kamar dan menutup pintu, seperti rumahnya sendiri.
Aku pergi ke arah dapur, melihat bunda sedang sibuk menyiapkan makanan untuk makan sore nanti. Aku menghampiri dan membantu, aku memang tidak sehebat ibu dalam memasak, tapi aku kan memiliki kedai di Jakarta jadi alangkah baiknya aku memperlihatkan kemampuanku kepada bunda.
“Aku saja yang masak ya Bun” aku mengambil pisau, seperti koki hebat yang sudah tau apa yang ingin di masak.
“Gak usah sayang, bunda saja.” Bunda mengambil pisau di tanganku dan mulai mengupas wortel di tangannya.
“Yah bun, aku kan bisa masak Bun, aku ingin membantu” aku merengek seperti anak kecil.
“Bunda tau, biar bunda saja. temanmu nyaman dengan kamarnya?” bunda mencari tema percakapan baru agar aku tak memaksa untuk memasak, sungguh aku sangat dimanjakan selama berada di sini.
“Raka? tentu saja Bun, dia bisa tidur dimana saja, asal tidak ada tikus.” Aku tertawa puas, bahkan aku bisa meledeknya saat dia tidak bersamaku.
“Dia baik yah?” bu menatapku yakin, sesekali memperhatikan hasil potongannya, takut-takut jarinya terkena pisau yang tajam saat mengupas wortel.
“Iya, sangat baik Bun, dia satu-satunya sahabatku di Jakarta, dia sebab aku berdiri se kokoh ini.” Aku menatap bunda, tersenyum tipis, bagaimanapun memang Raka yang selama ini banyak membantuku.
“Bunda tau, kamu tidak pernah membawa seorang pria kerumah selain Ardy, raka yang kedua, bunda tau dia sangat berarti bagimu” bunda tersenyum tipis, masih menatap sibuk kearah wortel yang dikupasnya.
“Maksud bunda?” aku menatap bunda curiga.
“Ya walaupun bunda tak mengenalnya seperti bunda mengenal Ardy, tapi bunda tau dia anak yang baik, dia menyayangimu, jagalah hatimu baikbaik sayang.” Bunda meletakkan wortel-wortel yang dikupasnya ke arah keran untuk dicuci.
“Bun, aku mengenal Raka cukup lama, dia memang seperti itu, hangat kepada setiap orang, Raka itu seperti....”
“Pangeran berkuda putih. Haha.” Raka memotong pembicaraanku dan bunda di dapur, tertawa puas meledekku, selalu seperti itu datang tiba-tiba dan mengacaukan suasana.
“Raka, tadi katanya mau istirahat” aku menjawab kesal.
“Iya, tapi berhubung kamu ngomongin aku jadi aku gak bisa istirahat” Raka duduk di meja makan dan terus meledekku, seakan sangat senang dirinya menjadi bahan perbincangan aku dan bunda.
“Iya, kamu sih Ra ngomongin Raka, orangnya keganggu deh” bunda ikut menyaut perkataan Raka, mereka berdua semakin membuatku jengkel.
“Loh kok jadi aku” aku cemberut, tidak mau kalah.
“Yaudah kalian keluar aja sana, jangan ganggu bunda masak”. Bunda mengusir kami keluar dapur, karena ribut terus seperti anak kecil, begitulah jika aku dan Raka dipersatukan.
“Iya Bun, saya juga mau lihat-lihat daerah sini, mumpung ada guide nya” Raka menatap ke arah ku, tersenyum puas, dia benar-benar menjadi tamu di sini.
“Siapa? enak saja” aku bergegas keluar, menuju ke arah teras rumah.
Aku dan raka masih terus ribut maslah tadi, dia sangat senang meledekku apa lagi jika aku kesal, tapi saat aku ngambek dia sangat takut, begitulah Raka. Memang jail tapi sangat perhatian. Selagi kami berbincang di luar teras, pandanganku mengarah keluar, Dion berjalan sendiri, tanpa Ardy.
“Dion” aku memanggilnya dari teras rumah.
“Siapa Ra?” Raka mengarahkan pandangannya ke arah Dion, bertanya bingung.
“Anaknya Ardy” aku berlari ke arah Dion, dan tak sadar mengatakan itu kepada Raka, Raka ikut berlari dibelakangku dengan wajah bingung.
“Kamu ngapain di sini sayang?” aku menundukan badanku, bertanya lembut pada Dion.
“Aku habis beli permen Ante, tapi tutup. Aku mau pulang” Dion menjawab polos, seperti anak kecil seumurannya Dion sangat menyukai permen.
“Om punya cokelat, mau gak?” Raka tiba-tiba menyodorkan cokelat yang diambil dari kantongnya, dia selalu begitu sok kenal tanpa harus dikenali terlebih dahulu. Dion menatap bingung ke arahnya, jelas karena Dion baru melihatnya.
“Dion, ini om raka. Temennya Ante” aku memperkenalkan Raka, sebelum Raka semakin sok kenal. Dion mengambil cokelat dari tangan Raka.
“Bilang apa?” Raka bertanya seperti dia om nya saja.
“Makasih” Dion menjawab seadanya karena fokusnya sudah berubah kepada cokelat itu. Kami membawa Dion ke teras rumah, dan duduk disana. Dion sangat asik menikmati cokelatnya.
Aku, Raka dan Dion asik berbincang di depan teras rumah ku, Dion anak yang asik, dia sangat polos namun riang kepada setiap orang yang dikenalnya, walaupun awalnya lebih banyak diam, tapi dia cukup aktif.
“Sayang, kamu kesini sama siapa?” bunda tiba-tiba keluar dan mengejutkan kami.
“Oma” Dion berucap dengan cokelat yang masih penuh di mulutnya, belepotan kemana-mana, kami semua tertawa.
“Sudah sore hampir gelap, kalian masuk sana makan dulu, bunda antar dion pulang” bunda memberikan tisu untuk membersihkan sisa cokelat di mulut Dion, dan membawa Dion pulang, aku dan Raka bergegas masuk, segera makan karena semua masakan sudah siap di atas meja.
Malam ini langit sedikit mendung, angin bertiup cukup kencang dari biasanya, mentap setiap sudut bagian desa kecil yang penuh cerita, dari teras rumah ini dulu aku dan Ardy berbincang, membicarakan setiap hal yang tidak terlalu penting. Aku menghela nafas panjang, 7 tahun sudah aku meninggalkan desa ini, pergi merantau dikota orang bukan hanya sekedar untuk melamar pekerjaan melainkan untuk menghindari hatiku sendiri, tapi kini tak ada gunanya. Toh aku tetap menatap wajah Ardy yang teduh itu, walau dengan pandangan yang berbeda, dengan kehadiran Dion, semua rasa sesakku hilang begitu saja, meski sesekali jantungku berdegub cepat jika harus berdiri dihadapannya, entah apa yang ku rasakan saat ini. Aku tidak tau apa perasaan ini tetap tumbbuh dengan subur meski aku sudah membuangnya beberapa tahun silam, dan apa kah perasaan ini masih terus berkembang saat melihat Dion berada di genggaman ardy saat ini.
“Lagi ngapain Ra?” raka lagi-lagi memecahkan lamunanku.
“Raka , enggak lagi nyari angin aja.” Aku menjawab sekenanya.
“Dion lucu yah Ra” ucapan raka seperti menyentilku.
“Iya, dia lucu, hangat, periang dan sopan, persis seperti ayahnya.” Lagi-lagi aku mengucapkan itu di depan Raka, sungguh kali ini aku tidak bisa menyembunyikan semuanya lagi.
“Ardy yah, aku ingin bertemu dengannya, aku ingin melihat sendiri bagaimana pria itu yang sangat kau jaga perasaannya.” Raka menatapku lamat-lamat, aku tertegun dan hanya diam.
“Ra, sebelumnya aku sudah cerita aku menemukan suratmu, aku tau semua yang terjadi, alasanmu pergi ke Jakarta, dan setelah membaca itu aku tak bisa menahan diriku untuk tidak mengkhawatirkanmu Ra, sungguh aku tidak tenang, aku takut kau kembali..” Raka menatapku tajam, ucapannya tegas kali ini, tak main-main.
“Aku memutuskan untuk kemari, karena setidaknya saat kau merasa tertekan aku ada di sampingmu, ku mohon, apapun yang terjadi di sini, semua hal yang cepat atau lambat akan mengorek lukamu yang telah lama kering, jangan kunci hatimu lagi Ra. Aku mohon” Raka menyakinkanku sekali lagi, matanya berkaca-kaca, seperti tak ingin ada luka yang tergores lagi di hatiku.
“Aku berusaha menyembunyikan semuanya rapat-rapat, tapi aku selalu bodoh jika harus menyembunyikan sesuatu, entah itu rahasiaku atau luka di hatiku sendiri, lepas dari itu aku sudah memutuskan untuk kembali kisini ka, aku tau apa yang aku lakukan cukup berpengaruh besar, tapi percayalah aku bisa lebih ikhlas” aku menahan nafasku, menyesuaikan hati dan bibirku untuk berbicara tanpa mengeluarkan sebutir air matapun.
“Aku percaya, aku tau kau jauh lebih kuat dari yang aku fikirkan, berjanjilah untuk menceritakan apapun yang kau rasakan, jangan bersembunyi lagi dariku.” Raka merengkuh tanganku dan menggenggamnya erat-erat.
“Mereka sudah bahagia ka, mereka memiliki anak laki-laki yang hebat, sungguh aku sudah bisa menerima itu semua, aku bahagia bisa bertemu dengan Dion, aku merasa seperti bagian dari dirinya dan dia seperti bagian dari diriku.” Aku menundukkan wajahku kearah tangan Raka yang terus menggenggamku erat.
“Kurasa sudah cukup Ra, tak perlu lagi ada yang di sesali, semua sudah berjalan seperti air yang mengalir, berhentilah menyiksa hatimu.” Raka memeluk ku erat. malam ini aku menangis di pundaknya untuk pertama kali, dan untuk pertama kali juga aku menceritakan bagian tiap bagian dari lukaku.
-
“Bun, sudahlah, aku akan main lagi kok” aku menggenggam erat tangan bunda, berusaha menenangkannya.
“Ndak, buat apa kamu pergi lagi ke Jakarta, temanmu juga baru datang kemari” tangisan bunda semakin pecah, Raka menunduk merasa bersalah karena sudah datang, padahal tidak ada hubungannya.
“Bunda, ada masalah di kedai, kami harus segera kembali, kami berdua bertanggung jawab atas apapun yang terjadi di sana, aku janji jika ada waktu kosong aku dan raka kembali ke sini.” Aku meyakinkan bunda dengan lembut, kali ini aku tidak bisa pergi begitu saja seperti saat aku pertama kali pergi ke Jakarta, aku tau itu membuat bunda dan ayah hancur.
“Bun, anakmu sudah dewasa, kita mengajarkannya untuk bertanggung jawab, biarkan mereka menyelesaikan urusannya” ayah ikut menenangkan bunda. Mata bunda menatap kami tajam.
“Baiklah, kamu boleh pergi, tapi janji kamu akan pulang lagi. tidak dalam waktu yang lama, tidak dengan alasan apapun.” Bunda menatapku tegas, kali ini bunda benar-benar tidak ingin aku meninggalkannya lagi.
“Iya bun, kiara janji, iya kan ka” aku meng-iyakan mau bundaku, dan menyeret Raka agar bunda semakin yakin.
“Iya bun, saya janji akan mengingatkan kiara untuk pulang, dan saya janji akan mengantarnya sampai kerumah lagi” Raka berjanji dengan tegasnya, kali ini ucapannya sedikit berlebihan.
Ayah dan bunda memelukku erat, mas uus mengantar ku dan Raka ke stasiun, kami mendadak sekali berangkat pagi ini karena mas didit bilang kedai memiliki sedikit masalah, ada beberapa orang complain karena makanan yang di pesan tidak sampai ke tangan mereka, dan mereka mengancam untuk menuntut. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi ini sudah ku fikirkan dari awal, mungkin hanya kesalah pahaman kecil, ini mengapa aku tidak memberi izin Raka untuk menyusulku karena aku tau pasti ada saja masalah yang timbul, bagaimanapun aku dan raka yang paling bertanggung jawab atas semua yang terjadi di kedai.
Ada pandangan berbeda saat aku dan raka hendak pergi, Ketika ingin menaiki mobil Dion datang menghampiriku entah dari mana karena itu masih cukup pagi, tidak mungkin anak sekecil Dion bermain di waktu se pagi ini, tanpa Ardy.
“Ante mau kemana?” dion menatapku, mata nya seperti merajuk.
“Sayang, Ante harus pulang, ada kerjaan” aku lagi-lagi harus menenangkan.
“Tapi ini rumah Ante” mata Dion memerah, tangisannya lepas.
“Jangan nangis sayang, ante cuma pergi sebentar, besok juga kesini lagi, janji yah jangan nangis sampe Ante datang” aku memeluk Dion, dia menangis semakin deras. Jelas saja, dia kehilangan sosok ibunya, dan beberapa hari ini selama di desa kami sangat akrab, bahkan dia lebih banyak menghabiskan waktunya berbincang denganku di rumah dari pada bersama Ardy. Mungkin karena Ardy juga sibuk mengurus sayurannya di pasar.