Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kiara - Sebuah Perjalanan Untuk Pulang
MENU
About Us  

Ini hari yang berat bagi semua orang yang dicintainya, begitupun denganku. Sekian lama aku meninggalkan desa ini, dan saat kembali harus melihatmu terbujur kaku tak berdaya berselimut kain putih. Semua memang sudah suratan takdir, semua orang di sana hanya dapat berkata sabar namun tak tau persis arti sabar itu jika mereka yang ada di posisi ini. Sungguh aku sesak melihatmu.

“Sayang, kau baik-baik saja?” bunda merengkuh pundakku pelan.

“Ndak bun, sungguh hatiku sesak” air mataku tumpah begitu saja melihat pusara andin.

“Bunda mengerti sayang.” bunda memelukku erat.

“Bagaimana bisa bun?” aku bertanya lirih.

“Sudahlah, ayo kita pulang, bunda akan ceritakan semuanya dirumah”

“Tapi bun....”

“Sudah sayang, jika kamu seperti ini andin akan lebih sakit” ibu menatapku tajam, meyakinkanku bahwa semua pasti akan baik-baik saja.

Aku dan bunda kembali kerumah dan meninggalkan tempat tinggal terakhir sahabatku Andini Lestari. Memang sesampai dirumah aku langsung meminta bunda untuk mengantarku ketempat peristirahatan terakhir Andin, bunda dalam keadaan santai seketika itu terkejut melihat keadaanku yang belum sempat duduk sudah terengah untuk meminta bunda mengantarku kesana, belum sempat bunda bertanya kabar kami seketika pergi ke makam Andin dengan mobil, karena letak rumah Andin jauh dari rumhku dan Ardy, makamnya masih didaerah rumah Andin.

“Sayang minumlah, kau baru saja datang.” bunda memberikanku segelas air dan duduk di sampingku merasa kasihan.

“Terimakasih bun. “ aku berusaha menenangkan diriku.

“Semua sulit diceritakan sayang, semua kejadian ini di luar pemikiranmu” bunda memusatkan pandangannya kearah ubin, seperti mencari-cari bagian yang tepat untuk diceritakan.

“Maksud bunda?” aku bertanya bingung

“Kau tau andin sudah lama memiliki Leukimia, kau juga tau persis keadaannya terakhir kau meninggalkan rumah kan. Semua sangat panjang, dan ibu tidak pantas menjelaskannya bagian demi bagian padamu sayang, yang harus kau tau Andin sudah berjuang selama ini melawan rasa sakitnya, tapi 2 minggu terakhir keadaannya sangat memprihatinkan, bahkan keluarganyapun sudah ikhlas jika terjadi sesuatu padanya, Ardy pun menguatkan dirinya untuk menerima semua ini. Ardy pria yang hebat, dia melakukan segalanya sendiri untuk andin tetap bertahan hidup.” Bunda menghela nafas panjang, sesekali mengambil gelas dihadapannya untuk sedikit mengusir kering di tenggorokan.

Ardy, ya jelas Ardy sangat terpukul, Andin adalah istrinya. Aku tau persis betapa bahagianya Ardy memiliki andin. Tapi sekarang, bagaimana keadaannya, bahkan aku sama sekali belum melihatnya.

“Sayang, semua sudah suratan takdir. Andin lebih berbahagia sekarang dengan meninggalkan rasa sakitnya disini, meski ada beberapa hal yang belum banyak kamu ketahui, berjanjilah untuk tidak menyesali apapun, mungkin dengan cara ini kamu harus kembali.” Mata bunda memerah, seperti ada yang sedang ditutupi.

“Kenapa bunda tidak memberitahuku jika andin sakit 2 minggu ini” aku bertanya dengan penuh kebingungan, banyak hal terjadi di sini dan aku tidak tau.

“Itu mau mereka sayang” bunda menjawab pelan dan tersenyum tipis.

“Mereka? maksudnya?” mataku tidak berpaling dari pandangan bunda, aku semakin ingin tahu.

“Mandilah nduk, setelah itu kamu istirahat. Ini sudah sangat sore.” bunda berdiri dari kursinya dan pergi begitu saja meninggalkanku.

Ada apa ini sebenarnya, semua rasanya sangat aneh. Semua seperti ditutupi dengan sangat rapat. Bahkan bunda berbicara sangat hati-hati, seperti aku tidak boleh mengetahui sesuatu yang memang benar-benar sudah terjadi. Lantas apa yang sebenarnya terjadi? apa karena aku pergi dari desa ini tanpa pamit, aku tidak boleh tau apa yang terjadi di sini. Entahlah, mungkin itu bukan urusanku atau mungkin belum waktunya aku tahu apa yang terjadi. Apapun itu aku berdoa untukmu andin, maafkan aku kembali dengan cara seperti ini, sungguh apapun yang terjadi aku sangat menyayangimu, lepas dari ini semua aku sungguh sangat menyayangimu.

                                                                                               -

“Sayaang kamu sudah sarapan ?”. Bunda menghampiriku yang sedang duduk diteras rumah.

“Sudah bun.” Aku menjawab pelan.

“Baiklah, bunda mau minta tolong yah”

Tentu, apa bun ?”

“Tolong antarkan sarapan ini ke rumah ardy, ibu mar sedang sakit. Kasian mereka pasti belum masak.”

“Ardy, tapi bun...” Aku menjawab ragu.

“Tapi apa sayang, ini sudah bunda siapkan, tolong kamu antar.” Bunda menyodorkan rantang makanan yang semenjak tadi sudah dipegangnya.

Aku hanya memandangi rantang makanan itu, seperti tak yakin apa aku bisa mengantar makanan ini. Sudah 2 hari aku disini, tapi belum sekalipun aku bertemu Ardy, dan sekarang bunda malah menyuruhku mengantar makanan kerumahnya, ini pasti sengaja.

“Kok malah bengong, mau gak?”. Bunda memerintah sekali lagi.

“Iya bunda ratu.” Aku membalas dengan senyum terpaksa.

“Yasudah sana berangkat, bunda mau ke dapur dulu”. Bunda pergi kearah dapur dan aku menuju rumah ardy.

Masih bergumam dalam hati, kenapa harus aku yang mengantar, memang tidak ada yang lain apa, kan masih ada Mas Uus yang biasa mengantar sayuran-sayuran bunda kepasar, seolah rindu untuk memerintah anak semata wayangnya ini yang tak pernah ada di rumah, menyebalkan. Tapi, selama 2 hari ini aku memang tidak sekalipun melihat Ardy, apa dia baik-baik saja, mungkin aku bisa sekalian melihat keadaannya.

Aku terus berjalan menuju rumah Ardy, sungguh walau hanya berjalan kaki tetap menyenangkan, udara pagi di desaku ini tidak akan pernah bisa aku dapatkan di Jakarta, sejauh mata memandang masih terhampar luas sawah-sawah milik warga, sebagian besar menanam padi dan beberapa sayuran. Semua masih terlihat sama, tak ada yang berubah, hanya saja anak-anak kecil yang dulu ku lihat kini menjelma menjadi remaja-remaja yang badannya lebih besar dariku dan tingginya melebihi tinggi badanku.

“Kiara” Seseorang berteriak dari belakang.

“Eehh doni, apa itu doni.” Aku membalikan wajah, meyakinkan apa yang aku lihat. Pria itu berlari ke arahku.

“Kiara, kamu pulang?” Pria itu menyapaku lembut.

“Doni, sepertinya terakhir ku melihatmu perutmu tidak se tipis ini.” Aku tertawa meledek, jelas saja dulu saat kami masih SMA Doni ini badannya tinggi besar, dan Ardy sangat suka meledeknya karena Doni jago makan.

“Tentu saja, aku terlihat lebih tampan kan.” Dia memainkan alisnya seperti yakin sekali dengan perkataannya, aku hanya tertawa melihatnya, Doni memang pandai melawak.

“Kamu mau kemana Ra?” Doni bertanya ingin tahu, mungkin karena melihatku membawa rantang makanan.

“Aku disuruh bunda mengantar rantang ini kerumah Bu Mar.” Aku menjawab santai sembari menunjukan rantang yang ku bawa.

“Kerumah Ardy? mari sekalian aku juga ingin ke pasar melihat barangku sudah datang atau belum” sembari jalan kami terus berbincang.

“Iya, Mau beli sesuatu atau...?.” Aku bertanya ingin tahu.

“Apa kamu baik-baik saja?" Doni bertanya serius.

“Maksudnya?” Aku bertanya bingung.

“Iya, kamu baik-baik sajakan di Jakarta, tidak seperti..” Doni menghentikan ucapannya, membuang wajahnya kearah sawah di pinggir jalan.

“Seperti apa don?” Aku menatapnya tajam, meski Doni membuang wajahnya dari pandanganku.

“Tidak, aku kan sekarang memiliki toko buah di pinggir pasar Ra.” Doni mengalihkan pembicaraan dan mulai menjawab ringan dengan candaan.

“Don....” Aku masih memaksanya berbicara.

“Ah tapi tidak sebesar rumah makanmu di Jakarta kok Ra.” Doni benar-benar melupakan pembahasan kami. Tentu saja semua orang tau aku pergi ke Jakarta untuk membuka rumah makan seperti impianku dulu, bunda memang sangat ahli untuk melindungi anaknya dari banyak pertanyaan orang tentang kepergianku yang bisa dibilang sangat tiba-tiba. Lepas dari itu, aku sungguh bingung dengan ucapan Doni.

“Ah itu dia pegawaiku menjemput, aku duluan ya Ra, kau bisa kerumah Ardy sendirikan?” Doni memastikan dia pergi dengan tenang tanpa membiarkanku kesasar.

“Tentu, 5 tahun di Jakarta tidak membuatku lupa rumah Don.” aku tertawa .meyakinkan ucapannya.

“Baiklah, aku pergi ya Ra, sampai jumpa lagi” Doni melambaikan tangan sembari melangkah ke arah motor yang akan dia naiki.

Aku terus melanjutkan perjalananku menuju rumah Ardy, tidak lama hanya 2 menit dari tempat Doni tadi pergi aku sampai di rumah Ardy, tak banyak yang berubah di sini, pohon rambutan di depan rumah dan kursi di bawahnya, itu kursi dimana aku dan Ardy duduk untuk membagi cerita atau mungkin hanya sekedar bernyanyi sambil memainkan gitar. Masih terlihat asri. Walau hanya tinggal berdua dengan ibunya tapi rumah ini masih sangat terawat, ibu Ardy memang single parent karena ayah Ardy meninggal 18 tahun lalu, mungkin sekitar Ardy SMP. Sejak saat itu ardy menggantikan peran ayahnya untuk melindungi satu-satunya bidadari di rumah nya. Ibu Ardy seperti orang tuaku, mereka memiliki beberapa sawah dan hasilnya dikirim ke pasar untuk dijual. Aku dan Ardy sama-sama anak tunggal, maka tak heran kami sangat dekat sejak kecil, selain karena rumah kami yang tidak begitu jauh dan selalu satu sekolah, orangtuaku dan ibunya Ardy sangat dekat, bahkan kami sudah seperti kakak dan adik. Ardy sangat melindungiku, saat sekolah saja jika ada pria yang mendekatiku atau sekedar mengajak berkenalan, Ardy adalah orang pertama yang menjulurkan tangannya, katanya jika ingin kenal denganku orang itu harus kenal dengan Ardy dahulu.

“Assalamualaikum” aku mengetuk pintu rumah Ardy.

“Waalaikumsallam” terdengar suara lembut yang tak asing ditelinga.

“Kiara, sayang kamu pulang?” ibu Ardy membuka pintu dan sedikit terkejut melihatku, seketika memeluk tubuhku erat.

“Iya bu, apa kabar?” aku menjawab pelan ,jantungku berdegup sangat cepat. 7 tahun sudah, pelukan hangat ini kembali lagi menyentuhku.

“Sangat baik sayang, mari masuk” Bu Mar membawaku masuk kedalam rumah, mempersilahkan ku duduk.

“Kata bunda, bu mar sakit yah? ini kami mengantar sedikit makanan.” Aku menyodorkan rantang yang sedari tadi tergantung di tanganku, sebelum lupa.

“Iya kemarin ibu sedikit gak enak badan, masuk angin biasa, terimakasih ya ra, bundamu itu memang sangat pengertian, salam yah untuk bunda.” Bu Mar mengambil rantang makanan dan bergegas memindahkannya ke dalam piring-piring dimeja makan.

“Iya bu pasti.” aku menjawab senang.

Aku dan Bu Mar banyak berbincang, tapi tak sedikitpun bu mar membahas kepergianku ke Jakarta, mungkin Bu Mar sudah cukup hanya mendengarnya dari bunda dan tak perlu lagi bertanya banyak kepadaku. Bu Mar dan bunda memang sama-sama hebat dalam hal menjaga perasaan seseorang. 15 menit aku duduk, Ardy tak kunjung keluar. Entah dia ada di dalam kamarnya atau sedang keluar, tapi sama sekali tak ada pembicaraan yang menyinggu tentang Ardy. Kami berbincang seperti tak ada yang terjadi selama 7 tahun ini. Sungguh semua tertutup dengan rapih, aku sama sekali tidak risih atas kepulanganku.

“Bu, apa...?” aku bertanya pelan dan seketika ucapanku di potong Bu Mar.

“Ra, ini rantangnya sudah ibu bersihkan.” Bu Mar tersenyum tipis, buru-buru memberikannya padaku.

“Aah iya bu, yasudah saya pulang ya bu.” Aku berdiri dari tempat dudukku sembari menatap kearah pintu kamar yang tertutup rapat, dan bergegas pergi.

“Iya sayang, hati-hati di jalan, sampaikan ucapan terimakasih ibu kepada bundamu yah Ra.” Bu Mar mengantarku keluar rumah, dan aku bergegas pergi meninggalkan Bu Mar yang berdiri sembari melambaikan tangannya di depan pintu.

Tatapan itu, mata Bu Mar berkaca-kaca. Ada yang mereka tutupi, tapi entah apa aku tidak tahu pasti, hatiku terasa ada yang ganjil di sini, aku pulang dan kedatanganku di sini sangat tenang, tak banyak orang bertanya. Apa mungkin bunda, Doni dan Bu Mar menyembunyikan sesuatu, tapi apa, kenapa juga bunda tidak memberitahuku, aku kan anaknya. Sungguh ini membuatku sakit kepala. Ardy, pintu kamarnya tertutup erat, selama bertahun-tahun aku mengenalnya, saat aku berada di rumahnya tidak pernah aku melihat pintu kamarnya tertutup rapat kecuali jika dia sedang ganti baju, biasanya pintu kamar itu dibiarkan terbuka, atau mungkin karena kamarnya berantakan? tapi mana mungkin, Ardy sangat menjaga kerapihan dan ibunya sangat menjaga kebersihan rumah mana mungkin membiarkan kamar itu berantakan, apa lagi Ardy tidak memiliki saudara, siapa yang akan memberantaki kamarnya. Semuanya sungguh tidak masuk akal jika harus dijabarkan satu persatu, bahkan disusun pun tak bisa menjadikan satu cerita yang pasti. Biarlah, biar waktu yang menjawab semua pertanyaanku.

                                                                                     -

 

“Hmmm iya.” Aku mengangkat telfon dengan mata mengantuk, siapa yang menelfon subuh begini.

“Kiara, kamu masih tidur." Raka berteriak dari balik telfon.

“Ah kamu ka, aku masih ngantuk, nanti lagi yah nelfonnya.” Aku menjawab kesal dengan badan yang terkapar diatas kasur.

“Eitss, jangan ditutup. Ini udah 7 hari, kamu sama sekali gak ngabarin aku Ra” nada bicara raka semakin kesal , aku tak memperdulikannya karena masih sangat mengantuk.

“Iya ka maaf” aku menjawab seadanya.

“Kamu meninggalkan sesuatu di sini Ra, maaf aku lancang membacanya” suara Raka terdengar kecil di telfon

“Baca apa” aku masih menjawab santai.

“Suratmu untuk Ardy” raka berkata hati-hati.

“Surat...?” aku seketika membuka mata dan menegakkan badanku yang masih tertidur di kasur, aku duduk dan sembari mengingat ingat ucapan raka tentang surat itu.

“Aku menemukannya di mobil, mungkin terjatuh saat aku mengantarmu ke stasiun. Aku penasaran itu surat apa, aku fikir tidak berguna, saat ingin ku buang aku buka dan aku membacanya.” Suara Raka terdengar penuh penyesalan.

“Raka..” suaraku tertahan.

“Iya Ra iya , aku salah aku minta maaf” Raka terdengar sangat menyesal, seperti takut kena omel dia segera meminta maaf padaku.

“Ya mau gimana lagi ,toh kamu sudah membacanya” aku menjawab santai, meyakinkan Raka.

“Maaf ya Ra, kapan kamu kembali ke sini?” Raka mengalihkan pembicaraan.

“Emm...tidak tahu” aku menjawab seadanya karena masih mengantuk ditambah terkejut, seperti nyawaku belum seutuhnya kembali.

“Kamu baik-baik saja kan Ra?” Raka bertanya ragu. Sesekali nafasnya dibuang hingga terdengar riuh ditelfon.

“Iya ka, kamu tenang saja.”

“Apa aku harus menyusul kesana? aku khawatir Ra” Raka mengucapkan sesuatu yang berbeda, tak biasanya dia secemas ini padaku, mungkin juga karena efek membaca suratku tanpa izin jadi dia merasa bersalah.

“Tidak perlu ka, aku baik-baik saja. Yasudah aku mau mandi dulu, nanti aku telfon lagi, jaga kedai dengan baik ya, sampai jumpa” aku menutup telfonku, aku tau Raka tidak akan berhenti mengkhawatirkanku tapi aku harus bersikap baik-baik saja, karena aku tak ingin dia nekat.

Aku masih mencari-cari tentang surat itu, mengapa bisa ada di mobil, surat itu seingatku sudah ada di tas saat aku menyiapkan barang-barang yang ingin ku bawa. Harusnya surat itu sudah ku buang dari awal aku membawanya ke Jakarta, agar tak ada satupun yang membacanya, kini raka tau tentang semua keresahanku, tentang alasan aku pergi dari desaku, tentang semua rasa sakitku yang terus aku tutupi, tentang semua yang aku tutupi selama 7 tahun, surat itu seharusnya tidak jatuh ketangan Raka, tapi semua sudah terjadi , waktu selalu tepat waktu.

“Bunda masak apa?” aku menghampiri bunda di dapur, aroma masakan bunda menarikku ke arahnya.

“Masakan kesukaanmu, ayam goreng dan sayur asem, duduk sayang ibu ambilkan piring.”

“Ayah kemana bun, sudah berangkat?”

“Sejak tadi, ayah mau membangunkanmu tapi kamu masih pulas” Ibu menyodorkan piring kearahku dan duduk di sampingku.

“Emmm begitu, memang mas uus gak bisa nanganin sendiri bun?” aku bertanya sembari mengunyah makananku yang ada di mulut.

“Ya kamu seperti tidak tau ayahmu saja, sekalipun Mas Uus sangat dipercaya, jika masalah pekerjaan ayah harus turun tangan langsung, makanya semenjak kamu pergi ibu sangat kesepian, lihat saja sekarang, pagi ayahmu berangkat dan ibu dirumah sendiri sampai sore menjelang petang” ibu menghela nafas panjang, seperti ingin aku tau tentang kerinduannya selama ini padaku.

“Tapi kan sekarang ada aku bun” aku tersenyum riang, menenangkan bunda. Matanya masih hangat seperti biasanya, hanya wajahnya semakin menua, 7 tahun aku meninggalkan bidadariku ini sendiri, aku sangat merindukannya, ayahku dari dulu memang pekerja keras, bahkan mungkin dia bisa tidak pulang asal pekerjaannya saat itu beres. Ayah adalah pria yang bertanggung jawab, meskipun sering meninggalkan ibu sendiri, jika ibu sudah mulai kesal ayah akan memberikannya sayuran yang baru dipanennya, mungkin maksutnya seperti anak muda yang memberikan setangkai bunga kepada wanita yang dicintainya saat sedang marah, tapi ayahku memberikan bunda bunga kol bagaimana bundaku tidak luluh, ayahku memang pandai memikat hati.

“Iya, tapi beberapa hari lagi akan meninggalkan bunda kan” bunda berkata sinis, seperti kesal jika aku harus kembali ke Jakarta.

“Bun....aku tidak meninggalkan bunda, tapi keadaannya memang sudah berbeda, aku sudah memilih jalanku dan aku tidak bisa berhenti bun” aku menggenggam tangannya yang lembut, sejujurnya aku tak ingin meninggalkan mereka lagi tapi kedaiku di sana dan semua yang sudah ku bangun.

“Sayang, jika kau bisa memilih jalanmu sendiri, kau bisa pergi dari Jakarta dan tinggal di sini, kau bisa sesekali pergi ke sana untuk memantau kedaimu, tapi kau memang benar-benar ingin pergi dari sini. Sayang semua sudah tertinggal jauh.” Bunda menatapku lamat-lamat, perkataannya kali ini benar-benar serius, bunda tidak ingin membiarkanku pergi lagi.

“Maaf kan kiara bun, maaf kiara gak bisa” aku memeluk bunda, sedikit menyesal. Mungkin memang aku bisa melakukan itu, tapi semua yang sudah ku jalanin di sana tidak bisa begitu saja aku tinggalkan.

“Gapapa sayang, maaf yah. Mungkin bunda terlalu takut.” Bunda memelukku semakin erat, suaranya terdengar bergetar.

“Bunda aku kan mau makan, kenapa jadi sedih-sedihan gini” aku berusaha tersenyum memecah keheningan sesaat dimeja makan.

“Iya sayang, makan lah. Bunda keluar sebentar, ingin memberitahu Mas Uus untuk menjemput ayah di sawah” bunda berdiri dari kursinya dan bergegas keluar.

Aku menatapnya yang sedang berjalan keluar, bunda memang sudah tidak muda lagi. tentu saja, kini aku pun sudah ber umur 28 tahun. Jelas jika ayah dan bunda ingin putri semata wayangnya selalau ada di samping mereka, agar rasa cemasnya sedikit berkurang, lagi pula orang tua tak butuh apapun selain melihat anaknya bahagia di pelukan mereka, mengejar impian memang tidak pernah salah, tapi tidak juga bisa menyalahkan orang tua, karena mereka hanya terlalu mencintai putrinya, yang dahulu menangis karena jatuh saat belajar berjalan dan ketika dewasa putrinya memutuskan untuk berjalan sendiri dan jauh dari penglihatan mereka, tidak heran jika rasa cemas dan takutnya bertambah berkali-kali lipat, menjadi seorang anak hanya harus meyakinkan orang tua dengan cara yang lembut tak perlu bersikap kasar, karena ridho orang tua adalah ridho tuhan bukan.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
Antara Aku Pelangi & Hujan
16427      1584     0     
Romance
Zayn bertemu dengan seorang gadis yang sedang menangis di tengah derasnya hujan dan tanpa sadar Zayn tertarik dengan gadis tersebut Ternyata gadis tersebut membawa Zayn pada sebuah rahasia masa lalu yang di lupakan Zayn Membawanya pada sesuatu yang tidak terduga
Kisah Kemarin
6790      1674     2     
Romance
Ini kisah tentang Alfred dan Zoe. Kemarin Alfred baru putus dengan pacarnya, kemarin juga Zoe tidak tertarik dengan yang namanya pacaran. Tidak butuh waktu lama untuk Alfred dan Zoe bersama. Sampai suatu waktu, karena impian, jarak membentang di antara keduanya. Di sana, ada lelaki yang lebih perhatian kepada Zoe. Di sini, ada perempuan yang selalu hadir untuk Alfred. Zoe berpikir, kemarin wak...
Miracle of Marble Box
3127      1352     2     
Fantasy
Sebuah kotak ajaib yang berkilau ditemukan di antara rerumputan dan semak-semak. Alsa, Indira dan Ovi harus menyelesaikan misi yang muncul dari kotak tersebut jika mereka ingin salah satu temannya kembali. Mereka harus mengalahkan ego masing-masing dan menggunakan keahlian yang dimiliki untuk mencari jawaban dari petunjuk yang diberikan oleh kotak ajaib. Setiap tantangan membawa mereka ke nega...
The Sunset is Beautiful Isn't It?
2259      693     11     
Romance
Anindya: Jangan menyukai bunga yang sudah layu. Dia tidak akan tumbuh saat kamu rawat dan bawa pulang. Angkasa: Sayangnya saya suka bunga layu, meski bunga itu kering saya akan menjaganya. —//— Tau google maps? Dia menunjukkan banyak jalan alternatif untuk sampai ke tujuan. Kadang kita diarahkan pada jalan kecil tak ramai penduduk karena itu lebih cepat...
Percayalah , rencana Allah itu selalu indah !
151      111     2     
True Story
Hay dear, kali ini aku akan sedikit cerita tentang indahnya proses berhijrah yang aku alami. Awal mula aku memutuskan untuk berhijrah adalah karena orang tua aku yang sangat berambisi memasukkan aku ke sebuah pondok pesantren. Sangat berat hati pasti nya, tapi karena aku adalah anak yang selalu menuruti kemauan orang tua aku selama itu dalam kebaikan yaa, akhirnya dengan sedikit berat hati aku me...
My World
739      501     1     
Fantasy
Yang Luna ketahui adalah dirinya merupakan manusia biasa, tidak memiliki keistimewaan yang sangat woah. Hidup normal menyelimutinya hingga dirinya berusia 20 tahun. Sepucuk surat tergeletak di meja belajarnya, ia menemukannya setelah menyadari bahwa langit menampilkan matahari dan bulan berdiri berdampingan, pula langit yang setengah siang dan setengah malam. Tentu saja hal ini aneh baginya. I...
Seharap
7637      2640     2     
Inspirational
Tisha tidak pernah menyangka, keberaniannya menyanggupi tantangan dari sang kakak untuk mendekati seorang pengunjung setia perpustakaan akan menyeretnya pada sebuah hubungan yang meresahkan. Segala kepasifan dan keteraturan Tisha terusik. Dia yang terbiasa menyendiri dalam sepi harus terlibat berbagai aktivitas sosial yang selama ini sangat dihindari. Akankah Tisha bisa melepaskan diri dan ...
Lebih Dalam
181      156     2     
Mystery
Di sebuah kota kecil yang terpencil, terdapat sebuah desa yang tersembunyi di balik hutan belantara yang misterius. Desa itu memiliki reputasi buruk karena cerita-cerita tentang hilangnya penduduknya secara misterius. Tidak ada yang berani mendekati desa tersebut karena anggapan bahwa desa itu terkutuk.
Fallin; At The Same Time
3154      1427     0     
Romance
Diadaptasi dari kisah nyata penulis yang dicampur dengan fantasi romansa yang mendebarkan, kisah cinta tak terduga terjalin antara Gavindra Alexander Maurine dan Valerie Anasthasia Clariene. Gavin adalah sosok lelaki yang populer dan outgoing. Dirinya yang memiliki banyak teman dan hobi menjelah malam, sungguh berbanding terbalik dengan Valerie yang pendiam nan perfeksionis. Perbedaan yang merek...
Tanpa Kamu, Aku Bisa Apa?
120      95     0     
Romance
Tidak ada yang pernah tahu bahwa pertemuan Anne dan Izyan hari itu adalah hal yang terbaik bagi kehidupan mereka berdua. Anne tak pernah menyangka bahwa ia akan bersama dengan seorang manager band indie dan merubah kehidupannya yang selalu menyendiri menjadi penuh warna. Sebuah rumah sederhana milik Anne menjadi saksi tangis dan canda mereka untuk merintis 'Karya Tuhan' hingga sukses mendunia. ...