Kata orang mencintai itu anugerah, setiap manusia pada waktunya akan mencintai dan pada dasarnya memang saling menyayangi. Berawal dari sebuah pertemuan, perkenalan, obrolan singkat, kalimat yang ringan, senyum kecil itu, jatuh cinta, bahagia, tertawa dan menangis. Awalnya semua terasa sempurna, saat saya menemukan kamu dalam gelap disudut keramaian, bisa di bilang seperti bintang, ada banyak namun hanya satu yang berdiri disamping bulan hingga terlihat sangat manis, bertahun-tahun lebih hidupku kamu warnai, akupun terbiasa dengan lukisan tanganmu, terbiasa dengan warna yang kamu pilih, terbiasa dengan goresan pensil berisi cerita yang kau buat untuk diriku. Aaahh...
*kriiiing....* Telfon Bunda memutusku dari lamunan.
“Asalamualaikum Bun” aku menjawab senang.
“Waalaikumsalam..” Bunda menjawab lirih, tak seperti biasanya yang selalu bersemangat menelfonku.
“Ada apa Bun, apa ada masalah?” aku bertanya pelan.
“sayang, Andin...” Bundaku menahan nafas sejenak, berbicara sangat hati-hati.
“Andin Bun, ada apa Bunda?” aku mulai tak bisa menahan diriku, apa yang sebenarnya terjadi.
“Andin kambuh, dia tidak bisa lagi menahan sakitnya.” Bunda berhenti sejenak. hening.
“Andin pergi meninggalkan kami untuk selamanya” Tangisan Bunda tak tertahankan, suara lembutnya tak bisa menutupi tangisannya dari balik telfon.
“Andin...” Aku menahan nafasku beberapa detik, meyakinkan diriku bahwa ini semua bukan mimpi. Seketika bayangan itu muncul, wajah andin, senyumannya dan tawanya, semua seketika berkumpul jadi satu seperti sebuah film yang sedang di putar di kepalaku.
“Bun, Besok aku pulang...” Aku tak butuh waktu lama untuk bertanya banyak hal pada bunda, seketika aku menutup telfon karena aku tahu suasana di sana pasti sangat sulit unjuk menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi.
Aku memutuskan hal besar malam ini, untuk pertama kalinya setelah 7 tahun aku pergi meninggalkan desaku kini aku pulang tanpa lama memutuskan, tak perduli apa yang ada di hatiku dahulu, tak perduli apa yang aku rasakan dahulu. bagaimana bisa semuanya terjadi, Ardy, Andin apa yang sebenarnya terjadi. Aku masih tertegun memandang kearah luar jendela, mataku memerah, nafasku menjadi sangat cepat seirama dengan detak jantungku. Aku masih meraba-raba fikiranku sendiri sembari mengingat ucapan ibuku barangkali aku salah mendengar, tapi semua sangat jelas terdengar “Andin meninggalkan kami untuk selamanya” .
“Ini secangkir kopi hangat dan tidak terlalu manis” Raka datang membawa 2 cangkir kopi dengan nada riang, jelas karena dia tak tau apa yang terjadi padaku. Seketika aku menatap wajahnya.
“Ra, ada apa. Matamu merah, tenanglah.” Raka menaruh cangkir kopi itu sembarangan, duduk di sampingku dan berusaha menenangkanku.
“Tidak Ka, tidak apa-apa.” Kalimatku terpatah-patah, seiring ucapan itu keluar dari bibirku, air mata itupun tak dapat ku bendung.
“Tenanglah Ra, jangan buat aku takut.” Raka menggenggam tanganku erat, matanya menatapku penuh cemas, sembari tangannya menyapu air mata di pipiku.
“Mas Didit , Mas Didit.” Raka berteriak cukup keras, untung saja malam itu tak ada pelanggan, hanya pegawai kedai yang menatap heran itupun hanya beberapa.
“Iya mas Raka , ada apa?....oh Mba Kiara” mas didit lari menuju suara Raka, keadan menjadi sangat tidak terkendali. Mas Didit ikut cemas melihatku menangis.
“Mas didit, tolong ambilkan air hangat dibelakang.” Raka langsung menyuruhnya tanpa memberikan Mas Didit waktu untuk bertanya.
“Baik Mas Raka.” Mas Didit bergegas kearah dapur
“Ada apa Ra, tenanglah, jangan buat aku takut” Raka terus menggenggam tanganku dengan wajah cemas, ini pertama kalinya aku melihat raka sangat cemas.
“Ini Mas air hangatnya” Mas Didit datang sangat cepat dan nafasnya sangat terengah-engah.
“Makasih Mas, ini Ra kau minum sedikit biar tenang” Raka bergegas mengambil air hangat dari tangan Mas Didit dan meminumkannya padaku.
“Terimakasih Raka, Mas Didit.” Aku menegakkan posisi dudukku dan meyakinkan aku sudah lebih baik.
“Ada apa Ra?, apa aku membuatmu menangis, tadi saat aku tinggal kau tidak apa-apa” Raka masih terlihat sangat cemas.
“Tidak apa-apa Ka, aku hanya sedikit terkejut” aku meyakinkan Raka untuk tidak lagi cemas dengan kondisiku.
“Mas didit, bisa pesankan aku tiket kereta untuk tujuan Jakarta-Semarang, besok pagi aku ingin pulang ke Semarang.” Aku langsung meminta tolong mas didit yang sedari tadi berdiri cemas di samping raka dan sedikit mengabaikan kecemasan raka.
“Ada apa Ra, ada yang terjadi? kenapa tidak cerita sih?” Raka berubah kesal, mungkin karena aku tiba-tiba menangis dan tiba-tiba ingin pulang ke kampungku.
“Sudahlah Ka, tidak apa-apa. Aku ingin pulang sekarang , ingin berkemas, kamu bisa kan menutup kedai sendiri” Aku berdiri dari tempat dudukku dan membereskan kertas-kertas yang berserakan di meja, dan sembari pergi dari meja.
“Iya tenang saja, ada Mas Didit di sini yang membantuku, apa mau aku antar Ra?” sekali lagi Raka bertanya cemas seperti tidak yakin aku baik-baik saja.
“Terimakasih aku bisa pulang sendiri, selamat malam” aku bergegas pergi dari kedai menuju apartement.
“oh iya Mas Didit, jangan sampai lupa yah pesananku.” Aku menghentikan langkah dan meyakinkan pesananku sekali lagi kepada Mas Didit.
“Iya Mba, sekarang juga saya cari.” Mas Didit mengangguk cepat seperti tak ingin mengecewakanku.
“Terimakasih Mas, saya permisi pulang dulu” aku melanjutkan langkah kakiku keluar pintu kedai.
“Hati-hati Ra, jika terjadi sesuatu telfon aku.” Raka berteriak dari dalam kedai, aku hanya tersenyum sembari membuka pintu kedai.
“Kiara itu sebenernya kenapa ya Mas, apa aku membuatnya menangis” Raka bertanya pelan penuh penyesalan pada Mas Didit.
“Tidak mas, mungkin Mba Kiara sedang capek dan ada sedikit masalah.” Mas Didit berusaha menenangkan.
“Tapi baru pertama kali aku melihatnya menangis lagi Mas, setelah...” Raka tiba-tiba berhenti berbicara.
“Setelah apa Mas.” Mas Didit menyambung ingin tau.
“Tidak, yasudah sekarang kita tutup saja kedainya Mas mumpung tak ada pelanggan, lagi pula Mas Didit harus mencari tiket kereta kan untuk besok pagi ” Raka dan mas didit bergegas memerintah pegawai untuk beberes dan menutup kedai, walau masih jam 9, tapi berhubung hujan tak ada hentinya jadi malam ini tidak sedikit ramai.
Semua pegawai seperti cepat mendengar pemberitahuan dan segera bergegas, bagaimana tidak sebelumnya keadaan sangat tidak nyaman dan mereka seakan tau apa yang terjadi sehingga tak banyak tanya mengapa kedai tutup dengan cepat tidak seperti biasanya, semua sangat cepat merapihkan meja dan kursi-kursi, sepertinya hujan malam ini memang benar-benar membawa berkah bagi mereka, karena selain perkerjaan yang lebih ringan dimalam ini mereka juga bisa beristirahat lebih panjang karena kedai tutup di waktu yang lebih awal dari yang ditentukan.
-
Kedai sangat ramai pagi ini , beberapa orang terlihat sedang asik makan bersama teman-teman, ada juga yang sendiri, rata-rata orang dewasa yang sudah bekerja, mungkin karena hidup sendiri atau tak sempat makan jadi mereka lebih sering memutuskan untuk makan di luar, lagipula untuk menghindari terlambat karena alasan macet juga.
“Selamat pagi Ra” Raka menyambutku riang.
“Selamat pagi Ka, tumben kau datang lebih awal dariku hari ini.” Aku jawab meledek, ya memang sedikit mengherankan karena biasanya aku selalu lebih dulu datang ke kedai.
“Iya, karena hari ini akan menjadi hari yang panjang” Raka tersenyum dan bersikap misterius. Aku berusaha mengabaikan pikiranku sendiri, karena raka memang selalu seperti itu, tak pernah terduga setiap harinya.
“Selamat pagi Mba Kiara, ini tiketnya” Mas Didit menyapaku dan menyodorkan pesananku semalam.
“Terimakasih Mas, buat pagi ini kan. Loh kok dua, aku hanya butuh satu.” Aku bertanya heran.
“Iya Mba, itu untuk jam 09.00 wib, semalem Mas Raka bilang dua. Saya kebelakang sebentar mba, menyiapkan tas Mas Raka untuk dinaikan ke mobil, nanti kalau sudah siap saya kesini lagi.” Mas Didit bergegas pergi seakan tak perduli dengan kebingunganku.
“Raka ?” aku bertanya sedikit menyudutkan
“Aku hanya tak ingin kamu sendirian Ra, semalem aku cemas, yasudah aku minta mas didit belikan dua, aku ikut yah Ra” Raka bersikap memelas di hadapanku.
“Maaf Ka , tapi ini bukan untuk liburan, ada sesuatu yang harus aku selesaikan di sana, aku harap kamu mengerti.” Aku menjawab lembut, sebenarnya bisa saja aku mengajak Raka pergi bersamaku, tapi keadaannya tidak tepat, karena aku sendiri sampai detik ini maih bingung apa aku akan benar-benar pergi, apa yang akan aku lakukan di sana , sungguh aku masih sangat bingung.
“Hemmm....baiklah Ra, aku berusaha mengerti. Tapi janji yah kalau ada apa-apa kau harus menghubungiku, jangan sungkan.” Raka berkata tegas, kali ini dia benar-benar memerintahku agar tak lagi membohonginya apapun keadaanku.
09.00 wib, Raka dan Mas Didit mengantarku sampai kereta yang ku tumpangi pergi dari stasiun, mereka bergegas pergi meninggalkan stasiun menuju kedai. Ini perjalananku pertama, setelah 7 tahun yang lalu. Rasanya berbeda saat aku pergi dari desaku menuju ke Jakarta, kali ini justru kebingungan yang melanda hatiku, banyak sekali pertanyaan di kepalaku, sebenarnya ada apa? kenapa bisa terjadi? apa yang akan aku lakukan di sana? apa kabar Ardy? apa yang akan aku katakan? semua pertanyaan itu benar-benar meracuni pikiranku, membuatku sedikit sesak dan sesekali berfikir untuk kembali ke Jakarta, tapi ini sudah setengah jalan. Aku berusaha, menguatkan hatiku dan meyakini diriku sendiri bahwa semua akan baik-baik saja, mungkin tak banyak yang aku bisa lakukan di sana, tapi setidaknya aku punya sedikit alasan untuk ku katakan pada Ardy bahwa aku merindukan ayah dan ibu. semua akan baik-baik saja, semua sudah tertinggal 7 tahun lamanya, bahkan jejaknya pun tak mungkin terlihat lagi. Bunda, aku pulang.