JAKARTA, 31 DESEMBER 2010
Semua orang bersorak di luar sana, membagi tawa bersama orang-orang yang mereka cintai. Entah dengan lelucon klasik , tatapan hangat penuh perhatian atau mungkin hanya sekedar duduk berdua membagi cerita masa lalu bersama seseorang yang dapat dipercayai untuk hidup berdampingan kelak dimasa depan. Semua terasa hangat di malam yang dingin diakhir tahun ini, malam ini sedikit berbeda dari malam-malam biasanya, jelas karena ini malam terakhir dipenghujung tahun dan apapun yang dilakukan dimalam ini semua kegiatan akan terasa penuh cerita, semua harapan terpanjatkan di malam ini untuk esok dan seterusnya agar tahun ini menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya. Begitupun dengan ku, selalu berharap segalanya menjadi lebih baik dan yang lalu bisa cepat berlalu tanpa meninggalkan bekas yang berarti.
*kriiing...kriiingg…*
Seketika telfon berbunyi, memecah kebisingin di ruang kamar yang cukup luas untuk seorang diri yang tinggal di dalamnya, ya karena hanya ada aku di dalam kamar ini, cukup luas memang karena ini tempat favoriteku untuk menyembuhkan diri dan meratapi setiap hal yang terjadi dihidupku selama 7 tahun terakhir ,disamping jendela dipinggiran kota di antara gedung-gedung bertingkat yang jika malam terlihat seperti bayangan raksasa yang indah dengan warna-warni cahaya memantul, dari lantai 12 ini aku dapat melihat sepanjang jakarta yang dipenuhi kendaraan setiap malamnya, mungkin bagi beberapa orang terasa menyebalkan tapi cukup indah dilihat karena lampu-lampu yang bergemerlapan dari kejauhan mata memandang.
“Assalamualaikum, Selamat ulang tahun sayang.”
“Wa’alaikumsallam bun, Terima kasih bunda selalu ingat”
“Tentu sayang, kapan pulang?”
“Nanti bun, pekerjaanku masih banyak disini.”
“Pulanglah nak, temui ayah dan bundamu yang semakin tua ini, bukankah semua sudah tertinggal 7 tahun yang lalu, apa lagi yang kamu takuti?”
“Iya bun, tapi...” suaraku terhenti sejenak, menelan ludah.
“Kalau ada waktu aku pasti pulang bun, ayah dan bunda ndak usah khawatir, aku akan baik-baik saja di sini.”
“Baiklah, jaga dirimu sayang, cepat atau lambat luka itu pasti akan mengering namun semua itu tergantung kepadamu, apa kau ingin terus menangisi luka itu meski sudah mengering atau membiarkan luka itu menjadi sebuah pelajaran untuk membuatmu lebih kuat lagi sayang.”
“Iya bun. Assalamualaikum..”
“Wa’alaikumsallam...”
Bunda benar, luka itu sudah ada di tubuhku hampir 7 tahun, seharusnya sudah mengering bahkan tertutupi dan tergantikan dengan lapisan yang baru. Aku sudah meninggalkan banyak hal selama 5 tahun ini, aku sudah belajar banyak dari rasa sakit itu lantas apa lagi yang aku takuti darinya. Semua akan baik-baik saja, toh sampai detik ini aku masih bisa berjalan di kota yang mereka sebut keras ini, aku bisa membangun semua impianku dahulu di sini, memiliki bisnis rumah makan sendiri dan semua bisa berjalan dengan sempurna meski tidak mudah. Hanya saja untuk saat ini aku masih ragu jika harus kembali kesana, membayangkannya saja aku masih belum sanggup, bagaimana caranya aku dapat kembali kesana setelah bertahun-tahun meninggalkan kota kecil yang aku cintai itu. Aku takut semua sia-sia, bagiku Jakarta jauh lebih baik dibandingkan Semarang untuk saat ini. Apapun yang aku lakukan di sini semua semata-mata untuk melindungi hatiku dari duri-duri yang pernah tertancap dahulu.
Andai aku bisa lebih sabar, mungkin saat ini aku masih ada di desaku bersama Ayah dan Bunda, mengobati lukaku dengan waktu. Melihat mereka mengikat janji sehidup semati, entahlah aku bisa atau tidak. Tapi seharusnya aku ada di sana, aku menjadi saksi atas sebuah kebahagiaan. Betapa egoisnya diriku, pergi tanpa pamit seperti orang yang dikejar hutang, membiarkan mereka berfikir banyak tentangku. Semua sudah terjadi, ini adalah pilihan. Biarkan waktu mengubur jejakku di sana. Tak perlu ada yang dirisaukan. Sebab masalalu tidak untuk diperdebatkan.
Aah, rasanya malam ini menjadi sangat panjang karena perbincanganku dan bunda ditelfon itu meski terdengar sangat singkat. Walau hanya sebatas membahas kepulanganku, setiap kali juga aku selalu merasa terbebani jika harus menjawab satu pertanyaan itu “Kapan pulang?” dan hanya menjawab “Nanti” padahal tak tau nanti itu kapan, selama 7 tahun hanya nanti yang dapat ku jawab. Mungkin mereka merindukanku sama seperti aku merindukan mereka, namun kembali kesana bukanlah hal yang mudah, semua butuh proses seperti saat aku datang kemari tanpa membawa apapun , kecuali satu
-hati yang kosong-.