Matahari menampakkan sinar terangnya. Menyinari langkah aktivitas para insan di bumi. Seperti aktivitas para siswa/siswi di SMP 05 Ganaspati. Ada yang bermain bola, membersihkan kelas, membaca buku hingga berkunjung ke taman sekolah.
"Woooii bossss... Baru dateng lo, ternyata!" sambut Kio pada Falko yang hendak duduk di bangku. Pemuda itu memasang wajah cemberut. "Cemberut mulu' kenapa nih?" tanya Kio berpindah duduk dengan Falko.
"Claudia pergi dari rumah. Gue kesepian!" ungkap Falko.
"Apa? Beneran Ko?" tanya Kio tak percaya. Yang ia ketahui selama ini Claudia menjadi orang tersayang di keluarga Ardhitalko. Kio sontak bertanya-tanya alasan Claudia menginjakkan kaki dari rumah Ardhitalko. Falko tak segan menceritakannya.
"Owwwhhh.. Jadi hanya masalah figura dan foto yang membuat Claudia diusir dari rumah." Kio mengangguk-angguk paham.
"Tapi gue ngerasa bersalah. Andaikan semalam gue nggak bikin dia emosi, mungkin sekarang, keadaan masih baik-baik saja!" ungkap Falko hanya menatap lantai.
"Isshhh.. Ya lo sih, bikin dia emosi segala!" tuduh Kio.
_o0o_
"Lepasin aku. Aku mau sekolah. Tolong!" teriak Claudia menggedor-gedor pintu kamar. Ia sadar dari pingsan sejak 5jam yang lalu. Matanya menatap jam dinding yang terus berputar. Padahal, kini telah menunjuk pukul 16.56 yang tak lama lagi akan mulai pelajaran di sekolahnya. "Kalau kayak gini terus, mana bisa aku sekolah. Aku harus cari cara supaya bisa keluar dari sini!" batin Claudia mengedarkan pandangan ke kamar. Netranya menatap tirai yang menutup kaca jendela. Ia menggeser tirai itu. Sinar matahari memasuki matanya seketika. Membuat Claudia menutup wajah dengan tangan. Ia sedikit menunduk menatap kunci jendela yang akan ia buka.
Cklek.....
Claudia mengambil tas di pojok kamar lalu kembali ke jendela. Tangan kanannya mendorong jendela itu, kedua kakinya menggantung di tembok. Ia masih duduk di ambang jendela.
Bluk...
Claudia menjatuhkan diri dari sana. Beruntung, tubuhnya tidak ada yang sakit sehingga memudahkannya untuk berlari.
Tak banyak langkah yang ia lakukan, tubuh langsing Claudia tertangkap oleh seorang pria berhidung mancung. Siapa lagi jika bukan Arman. Pria itu berada di teras rumah sejak tadi. "Mau kabur neng?" sindir Arman.
"Lepasin aku, aku mau sekolah!" Claudia mengguncang tubuh agar dapat lepas dari Arman. Namun, tak bisa. Dua tangan Arman seakan telah mengunci tubuhnya hingga tak dapat lepas.
"Tidak usai sekolah. Kamu di sini aja enak, nggak perlu susah payah mikir pelajaran!" desak Arman.
"Enggak. Kamu lepasin atau aku teriak minta tolong?" jawab Claudia sembari mengancam. Gadis itu sangat ingin pergi dari tempat itu. Ia merindukan sang Mama dan teman-temannya di sekolah. Teringin ia bertemu sekarang. Namun, tak bisa. Mengingat ia berada di tempat yang jauh dari mereka.
"Ahahahahahahahaha... Bocil.. bocil, silakan kalau kamu mau teriak, teriaklah sampai petang nanti, tidak akan ada orang yang mrnolongmu. Di sini kampung mati, hanya rumah yang kamu tempati ini yang berpenghuni. Lainnya, tidak!" Arman tertawa terbahak-bahak melahirkan rasa kecewa di benak Claudia. Ia pun menarik gadis itu masuk ke rumah lalu menelpon Ino. "Hallo bos. Gadis itu sudah bangun, dia mau kabur tadi, beruntung aku bisa menangkapnya!"
"Saya segera ke sana sekarang!" jawab Ino jauh dari sana.
Kruiikk...
Kriuk...
Claudia mengelus perutnya yang berbunyi. "Lapar," batinnya. Ia yang sedari tadi duduk di sofa, kini beranjak lalu berjalan ke dapur. Dibukanya pintu kulkas yang hanya menampakkan bagian dalam kulkas. "Aiihh... Tidak ada makanan." Claudia beralih membuka tudung saji yang kosong. "Iihhh.. Kesel. Kapan aku bisa makan kalau kayak gini!"
"Ekhem.... Ngapain di dapur? Pasti lapar, mau cari makanan kan?" tanya Ino. Claudia hanya menoleh. "Kalau mau makan, mari ikut saya!" Dikarenakan rasa lapar yang membuncah, membuat Claudia mengikuti ajakan Ino yang membawanya ke mobil. Ino segera melajukan kendaraan itu entah kemana.
Mobil abu-abu Ino membelah keramaian jalan raya. Mendahului kendaraan-kendaraan yang berjalan lambat. Ia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Hal itu membuat jantung Claudia berdetak lebih cepat. Kecemasan pun melanda. Claudia takut jika terjadi insiden buruk yang tak terduga. Semoga saja tidak.
10 menit berlalu, mobil Ino berhenti di trotoar yang tak jauh dari rambu-rambu lalu lintas. Di situlah banyak pengendara berhenti saat lampu merah. Pria itu memberikan stoples kosong berukuran sedang pada Claudia. "Apa gunanya ini?" tanya Claudia menatap stoples yang terbuka itu.
"Kamu turun sekarang, jalan ke lampu merah itu dan mintalah uang pada mereka yang berhenti di sana! Kalau stoplesnya udah penuh dengan uang, jangan lupa kembali ke sini!" jelas Ino. Claudia membelalakkan mata usai paham dengan penjelasan pria itu. Ia diminta mengemis. Tuhan, apalah takdir ini. Sungguh, gadis itu tak pernah menyangka akan seperti ini. Ia selalu berharap yang terbaik, bukan jadi pengemis. "Kenapa diam? Cepat laksanakan!" Claudia tetap berdiam di mobil. "Kalau kamu tidak mau melaksanakan, aku akan menghabiskan masa gadismu sekarang!" ancam Ino membuyarkan lamunan sang gadis.
"Mm.. Iya.. iya aku akan melaksanakannya!" jawab Claudia segera turun dari mobil. Dengan rambut diikat lurus dan pakaian dress kotornya disertai sandal jepit, Claudia berjalan mendekati rambu-rambu lalu lintas. Setiap pengendara berhenti, Claudia selalu memintanya uang seikhlasnya. Hal tersebut ia laksanakan dengan terpaksa hingga senja tiba. Stoples itu tak terisi sepenuhnya sebab tak semua pengendara yang berhenti memberinya uang. Bahkan, ada beberapa pengendara yang mengabaikannya.
Claudia berjalan dengan sangat pelan lantaran tubuhnya terasa lemas. Sebab belum makan sejak semalam. "Woi.. Cepat ke sini, jangan lambat!" teriak Ino menampakkan kepala dari jendela mobilnya. Claudia menatap pria itu. Kepalanya terasa pusing, perut sangat sakit dengan tubuh yang dingin seluruhnya. Kakinya terasa lemah hingga tak mampu menopang diri. Claudia tergeletak di trotoar. Ia melepas stoples uang dari genggamannya. Gadis itu meluruskan tatapan pada langit senja yang perlahan pudar. Orang-orang di sekitar yang mendapati kondisi Claudia pun segera menolong.
Ino pun mengetahui itu hingga membuatnya menghampiri. "Bapak-bapak, tolong bawa gadis ini ke mobil saya ya!" pinta Ino dilaksanakan oleh sekelompok lelaki yang berkerumun. Tangan kanan Ino meraih stoples uang yang terletak di sana lalu masuk mobil. Claudia terbaring tak sadarkan diri di kursi belakang. "Terima kasih ya, bapak-bapak!" ucap Ino pada sekelompok lelaki yang telah membawa Claudia ke mobil. Ino pun segera membawa gadis itu ke rumah minimalisnya.
Kendaraan abu-abu Ino terparkir di pekarangan rumah, ia pun membopong tubuh langsing Claudia ke kamar. Didekatkannya botol kecil yang berisi minyak angin pada hidung Claudia. Perlahan namun pasti, gadis itu tersadar dari pingsan. Ino merasa lega dengan hal itu. Ia tak perlu susah payah membawa Claudia ke rumah sakit yang membutuhkan biaya.