"Hai cantik, ternyata kamu sudah bangun," ucap Arman menampakkan gigi kuningnya.
Netra Claudia menangkap dua orang pria di sampingnya. Sontak ia mengubah posisi duduk. "Kalian siapa?" tanya Claudia melempar tatapan tajam pada mereka. Ia sangat asing dengan pria dan tempat ini. Sementara Firan tak menghiraukan pertanyaan gadis itu. Ia memilih untuk menelfon bosnya.
Ketakutan menyelimuti hati Claudia. Jantungnya berdetak kencang disertai pikiran-pikiran negatif yang berkeliaran di benaknya.
"Dia udah bangun bos!"
"Oh. Oke saya segera ke sana!" ucap pria di seberang sana.
Tak lama kemudian, mobil sedan abu-abu terparkir di pekarangan rumah minimalis. Sang pemilik pun turun lalu menutup pintu mobil. Ia segera menemui Claudia dan kedua asistennya.
"Ekhem," dehem Pria gagah.
"Eh. Bos Ino, sudah datang!" sambut Firan beranjak dari duduk sembari menundukkan badan. Claudia menatap pria gagah bernama Ino tersebut. Rasa takut yang tak dapat terbendung lagi, Claudia menurunkan kaki dari ranjang, lalu ditapakkan ke tanah. Tubuhnya pun berdiri tegak lalu berlari.
"Eits.. Mau ke mana kamu?" tanya Ino mencekal lengan Claudia.
"Lepasin saya. Saya nggak kenal kalian." Claudia memberontak. Mencoba melepas lengan dari tangan Ino, namun tak bisa. Ino terlalu pandai menahan gadis itu.
"Cantik, kamu di sini aja. Ini sudah malam loh. Di luar sana banyak lelaki jahat. Diam di sini ya!" tutur Ino mengelus lembut kepala Claudia. Sang gadis pun menjauhkan bagian tubuh itu dari Ino.
"Lepaskan!" pinta Claudia melempar tatapan horor. Bukan menuruti perintah Claudia, Ino malah menarik tangannya guna meraih badan langsingnya. Ino mengangkat tubuh gadis 13 tahun itu dan membawanya ke kamar. Claudia terus berteriak di tangan Ino hingga pria itu menjatuhkannya ke kasur. Ino membungkuk, mendekatkan wajah pada Claudia. Alhasil, sepasang mata mereka bertemu. Netra Claudia menangkap pupil Ino yang membesar. Ia dapat menerka bahwa pria itu dilanda nafsu. Claudia pun mengangkat tubuhnya sembari mendorong dada Ino. Sang gadis kini jauh dari Ino "Mau apa kamu?" tanya Claudia dengan nada tinggi disertai tatapan horor.
"Jangan galak-galak, neng!" sindir Ino kembali mendekatinya. Claudia mengedarkan pandangan di kamar itu guna mencari pintu keluar. Pintu itu ada di belakang Ino yang kini menatapnya. Claudia berjalan menunduk di bawah lengan Ino yang terentang. Ino yang mengetahui itu pun sontak memutar badan sembari berteriak memanggil asistennya.
Claudia berlari menuju pintu keluar. Tak sampai di sana, Arman dan Firan lebih dulu menghalanginya. "Mau ke mana kamu?" tanya Arman.
Claudia menghentikan langkah. "Jangan banyak tanya, pergi kamu!" usir Claudia. Ia sudah sangat capek dan ingin keluar dari sana.
"Kamu berani sama kita?" tanya Ino berdiri di belakang Claudia. Gadis itu tak menjawab. Ino kembali menggendongnya hingga ke kamar. Claudia takut jika Ino menghancurkan masa gadisnya. Beruntung, itu tak terjadi. Pria itu keluar kamar usai membanting Claudia di kasur.
Cklek...
Claudia tak bisa tenang lantaran dikunci Ino di kamar. Ia terus menggedor-gedor pintu. "Bukain!"
Thok...
Thok...
Thok...
Thok...
"Bukain!" Teriakan Claudia seakan percuma. Tiada seorangpun yang menghiraukannya. Gadis itu tak kuasa menahan beban pikiran dan meneteskan air mata. Kerinduan melandanya seketika. Ia rindu dengan Ciandra. Wanita yang sangat ia sayangi. Tubuhnya terasa lemas. Kaki Claudia tak mampu menopang diri, secara perlahan namun pasti, tubuh Claudia terjatuh. Gadis itu terpaksa membaringkan tubuh di lantai. Kepalanya terasa pusing dengan pandangan kabur. Sepasang mata bersihnya mulai menutup dengan perlahan hingga ia hilang kesadaran.
_o0o_
Prang....
Sebuah piring terjatuh dari genggaman Ciandra. Wanita itu tersadar dari lamunannya seketika. Ciandra menatap piring tersebut. Ia memikirkan sang putri sejak tadi. Sebab pikirannya dilanda kecemasan.
"Mama," kejut Falko duduk di kursi makan.
"Kamu kenapa sayang?" tanya Reyno beranjak dari kursi guna menghampiri sang istri.
"Bi Inah, minta tolong bersihkan piring ini!" pinta Ciandra. Ia tak mengharaukan pertanyaan Reyno.
"Emm.. Iya, baik Bu!" jawab Bi Inah mematikan kompor untuk segera menuruti perintah majikannya.
Ciandra memundurkan kursi di samping Falko lalu duduk. "Mama kenapa bisa jatuhin piring?" tanya Falko yang mengunyah daging.
"Mama kepikiran adik kamu!" jawab Ciandra.
"Sebenarnya aku juga sama Ma. Claudia udah aku chatting dari tadi tapi nggak direspon!" ucap Falko.
"Sekarang dia di mana ya? Lagi apa? Sama siapa?" Ciandra bertanya menatap langit rumah.
"Ekhemm... Lagi ngomongin apa?" tanya Reyno sembari duduk di hadapan sang istri. Ciandra dan Falko bungkam. "Oh. Pasti lagi ngomongin anak yang mecahin figura kenanganku sama orang tuaku itu. Buat apa kalian mikir anak itu?"
"Kamu masih bertanya buat apa? Dia itu anak kita, anak yang kita rawat dari bayi," jawab Ciandra dengan tegas.
Reyno berdiri tegap. "Kamu pilih aku atau Claudia?" Reyno bertanya dengan suara tinggi. Bi Inah yang sibuk membersihkan pecahan piring di sana pun sontak terkejut mendengarnya. Banyak pertanyaan dalam batin yang tak mampu ia keluarkan. Sebab Bi Inah tak ingin ikut campur urusan keluarga itu sehingga wanita paruh baya itu memilih diam sembari bekerja.
Ciandra tak mampu menjawab pertanyaan Reyno. Ia terdiam seribu bahasa dengan menatap dalam mata sang suami. Seolah memberi isyarat bahwa dirinya tak dapat memilih salah satu. "Kamu itu suamiku, Claudia itu anakku. Jadi, aku tidak bisa memilih salah satu!" tegas Ciandra. Falko bungkam menatap kedua orang tuanya.
"Tapi dia anak pungut!" ceplos Reyno. Mata Ciandra terbelalak seketika. Ia tak menyangka bahwa sang suami mengatakan itu di depan Falko.
"Mas, jaga ucapanmu!" tegur Ciandra.
"Apa maksud Papa ngomong begitu? Apakah Claudia bukan adik kandungku?" tanya Falko. Wajar jika Ia bertanya, sebab Falko tak ingat kejadian 13 tahun lalu saat sang Mama membawa pulang Claudia yang ditemukan di semak belukar.
"Claudia adik kandung kamu kok, Papa hanya terbawa emosi saja," jawab Ciandra mengelus bahu sang putra.
"Owh." Falko rasa, tidak mungkin jika Claudia
Ciandra melempar tatapan horor Reyno. "Sudahlah, sekarang tidak perlu banyak drama. Ayo makan!" tutur Reyno disetujui oleh istri dan anaknya.
Ciandra merasa kesal dengan Reyno hingga tega membiarkannya mengambil makanan sendiri.
Keheningan hadir di ruang makan keluarga Ardhitalko. Sendok dan piringlah yang dapat memecahkan hening itu. Tiada seorangpun yang mengeluarkan sepatah kata. Hingga makan malam selesai, Ciandra, Reyno dan Falko masih tetap diam lantaran menyimpan rasa kesal di hati masing-masing. Ciandra kesal dengan Reyno yang mengatakan hal tak wajar di depan Falko. Reyno kesal dengan Ciandra lantaran dia terus memikirkan anak yang tak berguna di matanya. Dan Falko yang merasa kesal dengan keadaan keluarganya sekarang. Ia sangat merindukan sang adik yang tak diketahui keberadaannya.