"Kamu yakin mau usir Claudia, padahal ini cuma masalah sepele loh?" tanya Ciandra.
"Papa yakin," kini Falko yang bertanya.
"Kau bilang sepele? Ini tidak sepele, Ciandra. Ini barang sangat berharga dan Claudia rusakin begitu saja. Hatiku sakit melihat ini. Seakan kenanganku sama orang tuaku telah rusak karena ini," tegas Reyno penuh emosi hingga tega memanggil sang istri dengan nama. Claudia masih setia menunduk dan membiarkan air matanya menetes.
"Mas. Jangan usir Claudia. Kasihan dia!" tutur Ciandra. Wanita itu merasa berat jika harus berpisah dengan Claudia. Tak dipungkiri, rasa sayangnya pada sang putri sangatlah besar. Terlebih, Claudia adalah putri satu-satunya yang ia miliki. Ciandra telah menganggapnya sebagai anak kandung sendiri. Mereka memiliki ikatan batin yang kuat sehingga sulit untuk dipisahkan.
"Aku tidak bisa. Toh juga, dia bukan anak kandung ki--" Ciandra membungkam mulut Reyno. Ucapannya terhenti seketika.
Claudia mendongak menatap kedua orang tuanya. "Papa mau bilang apa? Apakah aku bukan anak kandung kalian?" Claudia tak siap menerima kenyataan bahwa ia bukan darah daging Reyno.
"Bukan nak, kamu anak kandung kita," jawab Ciandra bohong. Wanita itu masih membungkam mulut Reyno. Tak berselang lama, pria itu melempar tangan sang istri dari mulutnya.
"Kalaupun kamu anak kandung kami, saya akan tetap mengusir kamu, karena kamu telah membuat hati saya teriris," jelas Reyno.
"Kalau itu mau Papa. Aku akan pergi sekarang!" Claudia segera ke kamar guna mengemasi pakaiannya.
"Claudia, kamu jangan pergi nak. Mama butuh kamu, kamu itu penyemangat Mama! Hiks.. Hiks.. Hiks.. Hiks!" isak Ciandra yang menghampiri Claudia di kamar.
"Maaf Ma. Aku nggak bisa bantah kemauan Papa. Semoga setelah aku pergi dari sini, Mama sama Papa bisa selalu bahagia ya. Aku pamit! Selamat tinggal Mamaku!" jawab Claudia seraya menciun kening Ciandra yang meneteskan air mata. Jujur, Claudia merasa sangat berat untuk meninggalkan Mama tercintanya. Namun, ia juga tak bisa bertahan lantaran perintah sang Papa. Jika ia mengikuti keinginan Ciandra, pasti akan membuat wanita itu berdebat dengan sang suami. Sebab pasangan suami istri itu memiliki pendapat yang berbeda. Demi keharmonisan rumah tangga mereka, Claudia rela menginjakkan kaki dari rumah megah Ardhitalko. "Clau jangan pergi Clau! Hiks.. Hiks.. Hiks!" isak Ciandra menatap punggung Claudia yang semakin menjauh.
"Sudahlah kamu jangan tangisin dia. Ayo masuk!" pinta Reyno dengan tegas sembari menarik tangan Ciandra.
"Lepasin!" Wanita itu memberontak, namun tak dituruti oleh sang suami.
Cklek...
Reyno menutup pintu. "Mas. Kenapa sih, kamu harus usir Claudia? Dia itu nggak sengaja mas!" tanya Ciandra dengan suara tinggi.
"Sudahlah, kamu tidak usah banyak tanya. Sekarang, ayo tidur!" Reyno membawa Ciandra ke kamar.
Sementara Falko, ia hanya diam di kamar sembari bermain handphone. Pemuda itu mengirim pesan pada sang adik guna memastikan kondisinya baik-baik saja. Meski, ia sempat kesal dengan Claudia. Namun, Falko juga sedih kala harus berpisah dengan adik satu-satunya. Ia merasa kesepian tanpa gadis itu.
_o0o_
Claudia berjalan dengan tas yang berisi pakaiannya. Ia bingung hendak ke mana. Pasalnya, insiden ini terjadi diluar dugaan. Claudia pun tak menyangka akan seperti ini.
Kakinya melangkah menuju pos ronda yang kosong. Claudia mendudukkan diri sembari melepaskan tas dari tangannya. Diraihnya benda pipih dari saku lalu dinyalakan. Netra Claudia menangkap notifikasi whatsapp yang tertera di layar. Ia pun memeriksanya. Falko telah mengirim 10 pesan di aplikasi chat itu.
Kak Falko
Claudia?
19.10
Kak Falko
Kamu di mana dek?
19.10
Kak Falko
Kamu baik-baik saja
kan?
19.11
Kak Falko
Malam ini kamu
tidur di mana?
19.12
Kak Falko
Sejujurnya aku tidak
ingin berpisah
denganmu, Clau!
19.13
Kak Falko
Aku udah tau awal
kejadian ini dari Mama.
Kamu banting pintu
sampai
jatuhin barang
kesayangan
Papa, kan?
19.15
Kak Falko
Aku sadar itu
semua karena aku Clau.
Seandainya aku
membiarkan kamu
untuk bersamaku di
gazebo taman, mungkin
kamu tidak akan emosi
dan nggak akan begitu
hingga begini. Iya kan?
19.20.
Kak Falko
Aku akan berusaha
melakukan apapun
supaya kamu kembali
ke rumah.
19.20.
Kak Falko
Aku kesepian tanpa
kamu, Claudia, adik
kesayanganku!
19.21
Kak Falko
Maafkan aku ya, Clau!"
19.22
Claudia membaca pesan tersebut sebelum mematikan handphone. Gadis itu memilih diam. "Huaaaamm!" Claudia menempelkan tangan ke mulut. Ia pun berbaring di pos yang beralas kayu itu. Perlahan namun pasti, gadis 13 tahun itu menutup mata.
Dweerrr...
Suara petir bergemuruh terdengar dari langit. Tampak cahaya kilat yang menghiasi langit malam. Menyingkirkan bintang dan bulan dari sana. Air hujan turun dengan banyaknya. Membasahi seluruh isi bumi yang tak terlindungi. Beruntung, Claudia terlindungi genteng-genteng yang berjajar di atap pos. Gadis itu mulai merasakan terpaan angin dingin yang keluar bersama hujan. Ia memindahkan tangan ke bahu. Menggenggam erat tubuh itu guna memberi kehangatan. Sebab seluruh tubuhnya terasa sangat dingin hingga menggigil.
Tanpa diketahui, sebuah mobil hitam berhenti di depan pos yang ditempati Claudia. Seorang pria gagah keluar dari mobil dan mendekati Claudia. Ia memetik jari menghadirkan dua pria lain yang kemudian berdiri di belakangnya. dengan kulit hitam. "Bawa dia!" pinta pria gagah.
"Siap bos!" Dua pria yang bertubuh langsung mengangkat Claudia untuk dimasukkan ke mobil. Claudia masih setia di alam mimpinya.
30 menit kemudian, Claudia berada di rumah sederhana yang kotor. Ia terbaring di kasur tanpa membuka mata sedikitpun. Para pria yang membawanya ke sana pun setia menemani dengan mengelilingi ranjang yang ia tempati. Mereka tak sabar melihat Claudia keluar dari alam mimpi. Dipandangnya wajah cantik gadis itu hingga melahirkan nafsu di pikiran seorang pria yang berbadan langsing dengan mulut tebal. Teringin Ia melampiaskan nafsunya pada Claudia sekarang, namun melihat teman dan bosnya di samping membuatnya mengurung keinginan itu meski lidahnya terus menjilat bibir sembari menyesap ludah.
1 jam berlalu, Claudia tak kunjung membuka mata. "Arman. Gimana ini, dia belum bangun juga?" tanya pria berbibir tebal.
"Tunggu aja," jawab Arman, pria langsing yang berhidung mancung dengan kulit sawo matang. Kedua pria itu masih setia duduk di tepi ranjang Claudia. Sebab bosnya meminta untuk menjaga gadis itu hingga bangun.
"Pak bos ke mana Man?"
"Masih nanya lo, Ran. Tadi lo nggak denger Pak Bos pamit pulang?" Arman bertanya balik sembari mengangkat alis sebelahnya.
"Emm.. Ehehehe!"