“Hari ini ada ulangan di kelas, tahu! Nggak bisa besok saja, kah?” protes Aura meratapi dirinya yang duduk di kursi hijau di tengah ruangan Kepala Sekolah.
“Berhenti banyak bertanya.” Detektif Sam menyergah, menarik kursi besi ke depan meja Aura. Duduk menatap tajam, membuat Aura menegakkan badannya. “Murid yang ada di aula hari itu. Aku tidak peduli jika kau berkata dia tidak punya hubungan apapun dengan kasus ini. Katakan siapa namanya.”
“Apa yang merasukimu? Nggak ada petunjuk lain sehingga kau putus asa dan menggunakannya sebagai petunjuk terakhir?” tanya Aura meremehkan.
“Diam!” hardik Detektif Sam, memukul meja. “Tidak ada salahnya menguak tentang murid itu. Sebutkan saja namanya!”
Aura terdiam. Bahkan Bapak Obay tidak menahan emosi detektif itu kali ini, beliau ikut menunggu jawaban Aura.
“Nggak ada yang berhak memintaku menyebutkan namanya.”
“Ayolah!” Detektif Sam memukul meja lagi. “Kenapa kau begitu menyembunyikan identitasnya jika kau percaya dia tidak melakukan apa-apa?”
“Sudah kubilang, nggak!” Aura bangkit dari kursinya. “Berhentilah menyelidiki kasus ini. Siapa pula yang dirugikan atas kematiannya? Dan siapa yang bisa-bisanya meminta kasus ini diusut ulang?”
“Keluarganya menderita dalam kesedihan! Kau tidak tahu rasanya ditinggal oleh sosok ayah, sosok pasangan. Bagaimana jika ayahmu yang meninggal, hah?”
“Aku nggak punya ayah!”
“Aura!” sebut Kepala Sekolah, menghentikan pertengkaran. Beliau melangkah ke arah siswinya. “Kami mohon padamu, tolong jawab pertanyaan itu. Jika kamu khawatir kami akan menuduhnya yang bukan-bukan, percayalah, kami tidak akan. Kami hanya perlu menyelidiki kasus ini. Kami tidak akan sedikitpun merugikan murid tersebut.”
Sekali lagi Aura terdiam, menelan ludah. “Reza.”
♦♦♦
“Lusa aku harus pergi ke luar kota, Bu.” Aura meminta izin di malam hari.
Ibu yang tengah merajut syal menoleh sekilas, “Untuk apa?” tanyanya, kemudian kembali berkonsentrasi dengan rajutannya. Akhir-akhir ini, merajut adalah hobi baru beliau. Hasil rajutannya yang pertama Ibu hadiahkan kepada Aura, sebuah syal.
“Ada urusan sekolah, hanya sebentar kok, Bu. Boleh, kan?”
Ibu mengangguk, tersenyum.
Usai mengucap terima kasih, Aura kembali ke kamar. Banyak yang dipikirkannya saat ini. Keputusannya memberitahu siapa yang bersamanya saat itu di aula, Aura tidak yakin itu hal yang benar. Bagaimana kalau Reza tidak baik-baik saja? Tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukan detektif menyebalkan bernama Sam. Apa yang akan terjadi jika dia menuduh Reza tiba-tiba? Aura tidak pernah memercayai pria itu. Tetapi entah mengapa dia mulai penasaran siapa yang sebenarnya membunuh Marcus. Mungkin Reza bisa membantu. Kalaupun dia menolak menjadi saksi, Aura tidak akan memaksa. Itu keputusannya.
“Reza Aldebra?” tanya salah satu guru di ruangan Kepala Sekolah selepas Aura menyebut nama. “Aku tahu anak itu, entah kenapa dia pindah sekolah secara mendadak dua tahun lalu.”
“Di mana dia sekarang?”
Aura menggeleng, “Nggak tahu. Sudah kubilang nggak ada gunanya kalian tahu siapa orang itu.”
“Bukankah kalian dekat? Kamu mungkin punya petunjuk di mana dia berada, Aura.” Wali kelasnya membujuk.
“Kalau aku tahu, aku pasti akan menemuinya sejak dulu! Aku mencarinya sejak lama!” ketus Aura. Diam sejenak, “Dia menyebutkan satu nama kota ketika ia pamit, tapi entah di bagian mana dia berada. Kota itu luas.”
“Sebutkan nama kota itu. Kami akan mencarinya.” Detektif Sam tampak bersemangat.
“Dengan syarat, aku ikut.”
♦♦♦
Lucy yang mendengar kabar bahwa Aura hendak pergi ke kota teman lamanya berada, segera mendatangi rumah Aura di pagi hari sebelum berangkat sekolah. Lucy tiba ketika Aura menggendong tas ransel yang berisi beberapa pasang baju dan uang. Selama ada uang, semua beres. Syukurlah keluarganya tidak sesulit dulu lagi, ayahnya Ibu yang sudah tidak ada menurunkannya warisan yang cukup banyak. Ibu memberinya uang sebelum ia berangkat. Tidak banyak bertanya, Ibu berpesan untuk selalu berhati-hati dan menjaga diri.
“Lo beneran bakal pergi ke sana?”
“Ya,” jawab Aura pelan yang tengah mengikat tali sepatunya. “Gue nggak begitu berharap pembunuhnya ditemukan, setidaknya gue bisa melihat Reza lagi.”
Lucy menggigit bibir, dia tahu Aura akhir-akhir ini diinterogasi tentang kematian Marcus. Dua tahun lalu, Lucy masih bersekolah di sekolah yang sama dengan Aura, kelas sembilan, ketika insiden itu terjadi. Lucy tidak lanjut bersekolah di sana, lebih memilih sekolah lain. Sebenarnya ibunya yang memintanya pindah sekolah—gara-gara tragedi itu.
Dua buah mobil van telah terparkir di halaman apartemen, menunggu Aura. Gadis itu menoleh sekali lagi, berpamitan singkat dengan Lucy.
“Temuin Reza, gue titip salam. Ah ya, jangan lupa kembali.” Lucy memegang tangan Aura. “Selamat jalan.”
Aura mengangguk, tersenyum. Kemudian melangkah masuk ke dalam mobil van putih. Detektif Sam, Bapak Obay dan beberapa orang lainnya duduk rapi di dalam. Aura duduk di kursi yang kosong, menghela napas panjang.
Perjalanan dimulai.
♦♦♦