Selama ini, Aura tidak pernah punya urusan dengan Sang Kepala Sekolah. Murid yang menyampaikan pesan langsung kembali ke kelasnya. Gadis itu tidak punya kesempatan untuk bertanya.
Meneguhkan hati bahwa semuanya baik-baik saja, Aura melangkah keluar kelas. Dia tidak takut atau cemas, tapi rasa herannya ada. Ruangan kepala sekolah terletak tidak jauh dari ruang guru, beberapa kali ia berpapasan dengan guru atau murid yang lewat. Aura tetap berjalan menatap lantai, tapi tidak menundukkan kepalanya. Dia siswi yang pendiam, jadi tidak banyak dikenal guru atau murid-murid sekolahnya-khususnya yang tidak mengajar atau sekelas dengannya.
"Aura? Silakan masuk," ucap guru wanita ketika Aura berhenti sebentar di depan ruangan kepala sekolah. Guru BK-nya itu tersenyum, membukakan pintu.
Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menurut. Maka dengan perlahan, Aura memasuki ruangan itu untuk pertama kalinya. Perasaan terkejut tiba-tiba datang. Tidak hanya kepala sekolah yang menunggunya, tetapi juga beberapa guru dan entahlah siapa pria berpakaian hitam tersebut, bukan warga sekolah.
Aura dipersilakan duduk di kursi yang sudah disediakan.
"Sebelumnya, kami minta maaf karena telah mengganggu waktumu, Nak Aura." Kepala Sekolah mereka, Bapak Obay, memulai perbincangan. "Tetapi kami punya alasan yang penting untuk memanggilmu ke sini, sesuatu yang hanya kamulah kunci dari segalanya."
Aura hanya diam mendengarkan, meski dalam hati mendengus kenapa tidak langsung ke poin intinya saja. Duduk di hadapan sekumpulan orang yang mengintimidasi, bukanlah hal menyenangkan. Gadis itu tidak suka jadi pusat perhatian.
"Tentu Nak Aura ingat apa yang terjadi dua tahun lalu, di aula sekolah siang hari itu." Bapak Obay menyebutkan kata kunci. "Hari meninggalnya Bapak Marcus."
Aura sempurna termangu mendengarnya.
Dua tahun lalu. Satu minggu setelah kematian guru baru itu, wali kelasnya mengatakan bahwa itu adalah kasus bunuh diri. Ditemukan surat berisi pernyataan ingin mengakhiri hidupnya sebab betapa hutang-hutangnya telah menjerat hidupnya.
"Kasihan keluarganya, harus membayar hutang guru itu." Salah satu murid di kelas berkomentar.
Aura menggeleng pelan, banyak hal masuk ke dalam pikirannya. Dia pikir, itu alasan yang tidak logis untuk bunuh diri, apalagi dengan cara menusuk dirinya sendiri dengan pisau. Yang lebih tidak masuk akal, kenapa harus dilakukan di aula sekolah? Aura tahu ada yang tidak beres dari hasil kasus tersebut.
"Dua tahun lalu, kematian itu diputuskan sebagai bunuh diri karena konflik pribadi. Surat keinginan bunuh dirinya dipalsukan oleh pihak tidak bertanggung jawab yang mungkin tidak suka dengan kehadiran Bapak Marcus di sekolah ini, saya menyesal baru memeriksanya belum lama ini. Mereka sudah saya berhentikan kerja. Tetapi kasus kematian beliau belum selesai sampai di sini." Kepala Sekolah menjelaskan.
"Jika mereka memalsukan kematiannya sebagai bunuh diri, bukankah mereka patut dicurigai? Jangan-jangan, mereka-lah yang membunuh Marcus?" ujar salah satu peserta pertemuan.
Bapak Obay menggeleng, "Saya sudah menyelidikinya, mereka sama sekali tidak terlibat dalam kematian itu. Mereka hanya memalsukan surat, sebab tidak mau mengurus kematian Bapak Marcus."
"Mengapa Bapak tiba-tiba menyelidiki ulang kasus ini setelah dua tahun?" tanya Aura.
"Ada keluarganya yang meminta, dia tidak terima kematian Bapak Marcus diputuskan sebagai bunuh diri." Bapak Obay menjelaskan.
"Dia tidak punya keluarga," gumam Aura.
"Maksudmu?"
Aura tidak menjawab, malah balik bertanya, "Lalu mengapa aku dipanggil ke sini?" Dia tidak suka menunggu lama-lama.
"Kemarin, kami baru saja memeriksa kembali rekaman CCTV yang menampilkan bagian pintu depan aula. Seorang siswi datang ke aula sekolah siang hari itu, dan itu adalah kamu, Nak Aura." Kepala Sekolah menjawab.
Lengang sejenak di dalam ruangan. Aura mengangkat wajah, "Bapak mengira aku membunuh guru itu?"
Bapak Obay menggeleng, "Tidak. Justru kami ingin meminta bantuanmu untuk menjadi saksi dalam kasus ini. Hari itu, kamulah yang menekan tombol darurat sehingga alarm bahaya berbunyi seantero sekolah, bukan?"
Aura tidak menjawab.
"Apakah Bapak Marcus telah terbunuh saat kamu tiba? Apakah ... kamu melihat pembunuhnya?" tanya Bapak Obay.
Aura masih diam menatap lantai ruangan. Semua orang menunggu jawaban dari gadis itu. Usai menelan ludah, Aura berbicara, "Guru itu sudah tergeletak dengan pisau di perut ketika aku melihatnya. Nggak berani mendekat, aku memutuskan menekan tombol darurat."
"Untuk mencegah orang-orang tahu bahwa ada seseorang yang mati di aula? Menyingkirkan mereka dari sana?" tanya pria berpakaian hitam yang tidak dikenali Aura.
Aura menatap tajam.
"Ah, saya lupa. Aura, perkenalkan Detektif Sam, dia yang bertugas menyelidiki kasus ini." Bapak Obay memperkenalkan.
"Kamu mencoba membuat orang-orang menjauh dari aula?" Detektif Sam bertanya lagi.
"Lebih tepatnya berusaha membuat TKP tetap steril, mengevakuasi orang-orang. Pemandangan mengenaskan di aula, bukan sesuatu yang menarik untuk ditonton murid-murid." Aura berkata tanpa ekspresi.
"Kenapa tidak kau beritahu pihak sekolah dengan segera?" Detektif Sam balas menatap tajam.
"Aku nggak berkewajiban melakukannya." Dengan santai Aura mengangkat bahu. "Kenapa aku harus repot-repot melakukannya saat orang lain bisa melaporkannya begitu dia melihat mayat itu."
Detektif Sam terdiam. Ruangan itu lengang sejenak.
"Itu bukan sikap yang bagus untuk seorang murid sekolah." Detektif Sam berbicara tajam, memecah hening.
Kepala Sekolah menghela napas, "Aura. Bisakah kamu ceritakan apa yang terjadi hari itu? Apa yang kamu lihat. Kesaksianmu akan sangat berguna untuk kami."
Aura tersenyum kecil, "Biarkan aku bertanya lebih dulu. Apa alasan yang membuatku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian? Aku menolak menjadi saksi."
Wajah Bapak Obay dan yang lain berubah. Aura telah berdiri dari kursinya.
"Permisi." Gadis itu meninggalkan ruangan.
"Aura!"
Masih terdengar panggilan dari dalam, tetapi terlambat. Gadis itu sudah berjalan menuju kelasnya. Aura tidak tertarik berlama-lama di ruangan itu. Apalagi ditanya-tanya. Arloji di pergelangan tangannya menunjukkan waktu.
"Mereka menghabiskan satu jam pelajaranku sia-sia!" omelnya sambil membuka pintu kelas. Langsung berhadapan dengan Ketua Kelas.
"Eh, Ra, tadi ada yang nyariin lo. Namanya ... Ju-Julia, kalau nggak salah. Kenal?" tanyanya.
"Siapa yang peduli." Aura melewatinya dan segera duduk di kursi. Tidak ada guru di kelasnya. Jam kosong. Bukan masalah untuknya, Aura terbiasa belajar sendiri-malah lebih efektif kadang-kadang. Ia mulai membuka buku.
Beberapa menit mencoba memahami paragraf-paragraf yang tercetak di halaman buku, Aura mendengus. Dirinya tidak bisa fokus. Selain karena teman sekelasnya yang gaduh, pikirannya menjalar ke kejadian dua tahun lalu. Juga perkataan Bapak Kepala. Siapa keluarga yang meminta kasus ini ditinjau ulang?
"Akh!" jerit Aura memukul meja. Dia berlari keluar kelas. Di tengah bising seperti ini, Aura perlu suasana tenang untuk menentramkan hati dan pikirannya. Gadis tersebut berdiam diri di koridor, membuka ponsel pintarnya.
Jemari tangannya mengusap layar ponsel, menghitung berapa banyak email yang telah ia kirim kepada sang pemilik hati. Tidak pernah sekalipun Reza menjawab. Lelaki itu, sejak dia pindah, tidak pernah terdengar lagi kabar darinya. Rasa sedih di hati Aura perlahan berubah menjadi rasa benci. Namun tak dapat dipungkiri, rasa benci itu muncul karena kekecewaan yang timbul sebab terlalu merindukan Reza.
Sudah dua tahun. Aura tidak pernah mendapat penjelasan kenapa Reza meninggalkannya begitu saja. Pergi meninggalkan semuanya. Lelaki itu hanya membawa sebuah tas ransel ketika pamit sekilas.
"Kenapa tiba-tiba?" tanya Aura terkejut mendengar pernyataan Reza hari itu.
"Aku nggak sanggup merepotkanmu dan ibumu lagi, Ra. Saatnya aku pergi." Dengan senyuman tipis, Reza berkata pelan.
Aura menggeleng, dia tidak setuju dengan keputusan Reza. Menahan lengan Reza.
Tetapi keputusan Reza sudah bulat. Lelaki itu melepaskan tangan Aura, tersenyum untuk terakhir kalinya. Senyuman yang tidak pernah Aura lihat lagi sampai saat ini. Kalimat selamat tinggal terucap pelan.
♦♦♦