'Menilai seseorang jangan lihat dari casingnya saja, menilai hatinya tentu lebih penting.'
***
"50!"
"Kamu kira ini pasar bisa nawar-nawar?!"
"Aku baru hapal segitu, gimana dong?"
"Setor 100 atau aku ga mau ngajarin kamu lagi!" Ancam Abhi.
Farah tertawa melihat ekspresi serius Abhi, gadis itu mengangguk sembari tersenyum kemudian mulai menyetorkan mufrodat Bahasa Arab semalam sebanyak 100 kosakata yang sebenarnya sudah hafal.
"Bagus, besok setor 150 mufrodat baru!"
Farah melongo mendengar penuturan pria dihadapannya. Menghafal 100 kosakata saja ia sampai kurang tidur, bagaimana lebih dari itu? Apa ia tidak akan tidur semalaman?
"Hei, bahkan ustadzah aja ga pernah nyuruh aku ngafal sebanyak itu!"
"Bukan ga pernah, tapi belum. Kamu harus banyak latihan hafalan biar ga kaget waktu dikasih hafalan yang lebih banyak dari ini nanti," kata Abhi santai sambil membalik halaman buku ditangannya.
Farah menghela nafas, mengangguk pasrah. Sepertinya arwah baiknya sedang datang, dia tidak berniat berdebat atau mengganggu Abhi lagi sekarang. Hanya menyimak penjelasan yang Abhi berikan.
"Kenapa?" tanya Abhi yang menyadari perubahan sikap gadis itu.
Farah yang sedang menulis dibuku catatan itu mengangkat kepalanya, menatap Abhi tak mengerti dengan maksud pertanyaannya barusan.
"Maaf, bukan maksud aku mau ngebebani kamu. Tapi emang kamu harus tuntas sama materi dan hafalan mufrodat yang aku kasih, itu juga biar kamu mudah untuk berinteraksi disini."
"Iya, gapapa." Farah tersenyum tipis.
Mereka melanjutkan pelajaran hingga waktu yang telah ditentukan, mengingat setelah ini keduanya memiliki kesibukan masing-masing. Ternyata benar dugaan Farah, Abhi tidak seburuk waktu mereka pertama bertemu.
"Abhi, besok kamu bisa untuk ga ngajar Farah lagi ya. Soalnya ketua asrama Akhwat udah balik ke pesantren." Suara Ustadzah Nisa terdengar.
Farah dan Abhi yang tadinya fokus dengan buku, kini mengangkat kepalanya menoleh pada Ustadzah Nisa yang sudah duduk di samping Farah, membuat Farah sedikit kaget karena gadis itu terlalu fokus sehingga tidak mendengar ucapan salam Ustadzah Nisa.
"La ba'sa Ustadzah, saya udah terlanjur ngajar Farah. Takutnya nanti Farah jadi ga nyambung sama materinya, jadi biar saya aja yang ngajarin. Mau bagaimanapun ini sudah menjadi tanggungjawab yang harus saya selesaikan."
Sorot mata Farah teralih pada Abhi, gadis itu menatapnya tak percaya. Bukannya selama ini Abhi terlihat kesal mengajar Farah? Pertemuan mereka selalu diawali dengan perdebatan kecil, kenapa dia tidak mau menyudahinya saja? Dia bisa lepas dari Farah yang aslinya cerewet itu.
Ustadzah Nisa tersenyum, "Baiklah kalau begitu, asal itu tidak mengganggu aktivitas kamu, gapapa."
"Sama sekali ga ganggu kok, Ustadzah." Abhi tersenyum.
Ustadzah Nisa mengangguk, kemudian pamit darisana. Setelah memastikan Ustadzah Nisa sudah benar-benar pergi, kini otak jahil gadis itu kembali bekerja.
"Seharusnya kamu ga jawab gitu tadi," kata Farah.
Abhi menoleh padanya, "Lalu?"
"Bilang gini, 'gapapa ustadzah saya udah nyaman sama Farah, biar saya aja yang bimbing dia sampai Jannah'. Gitu!" Farah tertawa.
Abhi mengerutkan dahinya, tersenyum tipis kemudian menggelengkan kepalanya. "Orang aneh," lirih Abhi.
Tawa Farah terhenti, dia menatap Abhi tajam. "Siapa yang aneh?!"
"Kamu," jawab Abhi tanpa menoleh pada Farah.
"Aneh dari mananya?"
Abhi menghela nafas, "Kamu itu kadang ngecepres ga jelas, terus tiba-tiba murung, mendadak bahagia lagi, terus jadi pendiem seketika. Aneh kan itu? Watak kamu ga bisa ditebak, aku jadi bingung kamu ini sebenernya orangnya gimana?" Raut wajah Abhi terlihat bingung dan serius.
Farah menyipitkan matanya, "Berarti selama ini kamu merhatiin aku, ya?" Senyumannya mengembang.
Abhi tersenyum samar, "Udah lanjut aja dulu itu catatannya."
"Udahlah kalau suka itu bilang aja ga usah ditutup-tutupi gitu, keburu aku dilamar orang nanti!" Farah tertawa mendengar penuturannya sendiri.
"Kalau kamu udah dilamar orang berarti kita ga jodoh," jawab Abhi asal.
"Kenapa ga di perjuangkan?" tanya Farah.
"Mau diperjuangkan gimanapun, kalau memang bukan jodohnya apa boleh buat?"
"Kalau gitu, minta aku di sepertiga malam."
"Sudah."
"Sudah?!"
Farah tercengang mendengar jawaban Abhi yang lirih itu. Pria itu terlaku sibuk dengan bukunya sampai-sampai tanpa sadar sepertinya dia berkata jujur.
Abhi mendongak setelah menyadari penuturannya tadi, ekspresinya terlihat menggemaskan sekarang. Tampaknya Abhi salah tingkah, pipinya sedikit memerah, itu terlihat karena kulitnya mendekati warna kulit Farah yang putih.
"Lupakan! Bahasa Arab ga ada kaitannya sama pembahasan kita tadi. Lanjutkan saja pembelajarannya!" Abhi mengalihkan.
Farah menahan tawanya, mengangguk. Setidaknya sekarang ia tau bahwa Abhi mendoakannya disepertiga malamnya. Manis sekali.
"Farah!" Panggil seseorang dari arah belakang Farah.
Farah menoleh kebelakang, memperhatikan gadis yang tengah menghampirinya itu. Farah langsung menghadapkan pandangannya kedepan, menatap Abhi yang kini juga menatapnya.
"Bantuin aku beresin kamar, sekarang!" Haura menarik paksa tangan Farah.
"Ga bisa. Kamu ga liat dia lagi belajar?" Suara Abhi menghentikan gerakan Haura.
"Belajar? Aku denger pembahasan kalian barusan! Belajar apa gitu?" Haura menyangkal.
Farah melepas paksa tangannya yang di genggam kuat oleh Haura. Kini Haura menatapnya tajam. Farah balas menatapnya dengan tatapan yang sama.
"Kamu kenapa sih? Ga suka liat aku deket sama Abhi? Aku ga ada apa-apa sama Abhi karna aku tau perasaan kamu ke Abhi," kata Farah.
"Kalau kamu tau, kamu ga bakalan deketin Abhi!"
"Aku ga pernah deketin Abhi." Farah mencoba meyakinkan teman sekamarnya itu.
Abhi hanya diam mendengarkan perdebatan kedua gadis dihadapannya. Pria itu ingin angkat bicara, tapi takut salah bicara, akhirnya dia memilih diam.
"Kamu ga tau terimakasih banget, ya! Kurang baik apa aku sama kamu? Eh kamu malah balesnya kayak gini!"
Sekarang posisi ketiganya sedang berdiri. Farah menatap Haura tak mengerti. Salah darimananya? Ia hanya belajar dengan Abhi, tidak lebih. Walaupun tak jarang ia mengusili pria itu, tapi tidak ada maksud untuk melukai perasaan Haura seperti ini.
"Haura kamu ini kenapa? Aku sama Farah ga ada apa-apa, lagian kita juga ga ada hubungan lagi, kan? Jadi seharusnya kamu ga boleh gini ke dia." Abhi ikut berdialog.
Tatapan Haura teralih pada Abhi, "Bagus, belain aja dia terus!"
Sorot mata Haura kembali menatap Farah tajam, tangannya mendorong tubuh Farah hingga membuatnya jatuh. Haura bersikap acuh lalu pergi dari sana.
Abhi segera menghampiri Farah, "Biar aku bantu," lirihnya.
"Ga usah, aku bisa sendiri."
Mata Farah mulai berkaca-kaca, tangannya segera mengusapnya berharap dapat menghentikan air matanya yang hendak turun. Farah merasa sendiri sekarang, hanya ada orang-orang baru di sekitarnya. Pandangannya tentang pertemanan di pesantren pun terkesan kurang baik.
"Waktu belajarnya udah selesai, kan? Aku balik ke asrama dulu." Farah sejak tadi tak mengangkat kepalanya, takut Abhi melihatnya menangis.
Tangannya gesit membereskan beberapa buku miliknya, kemudian berlalu darisana tanpa memperdulikan pria yang berdiri disampingnya itu.
Abhi tak berkomentar, dia hanya mematung memperhatikan gadis yang mulai menjauh darinya. Setelah Farah pergi Abhi menghela nafas berat, ada rasa bersyukur saat dulu dia mengambil keputusan yang tepat telah memutuskan Haura, apa lagi setelah tau sikap Haura yang seperti ini.
Langkahnya menyusuri asrama Fatimah binti Muhammad, menaiki anak tangga perlahan dan memasuki kamar. Matanya terbelalak saat melihat lemari pakaiannya yang terbuka dengan beberapa pakaian yang berserakan di lantai dan tempat tidurnya.
"Apa ini?" Farah menghampiri lemarinya yang sudah berantakan.
"Kan udah aku bilang tadi ikut aku beresin kamar, kamunya ga mau, yaudah." Haura menutup mushafnya.
Cut dan Ily menatap Farah iba. Mereka tau bahwa Haura yang melakukan itu semua. Tapi mereka tidak mau cari masalah dengan gadis arogan itu.
Farah mengusap air matanya sambil memungut beberapa pakaian di lantai. Rasanya ia ingin membalas perlakuan Haura padanya, tapi seketika ia ingat bahwa membalas dendam itu tidak baik.
Cut dan Ily yang tak sanggup melihat temannya seperti itu mereka segera memalingkan wajahnya, tampak mereka sedang menahan air mata seolah merasakan apa yang sedang Farah rasakan sekarang. Pasalnya Haura sudah mengancam keduanya untuk tidak ikut campur.
"Kalau kamu ga mau dapet yang lebih dari ini, berhenti deketin Abhi!" Ancam Haura pada gadis yang masih memungut pakaiannya.
♡♡♡