'Menerima kehidupan saat ini, bukan berarti melupakan masa lalu.'
***
"Farah!" Panggil seseorang dari bagian kiri mereka, membuat Farah dan Abhi menoleh pada beberapa orang yang menghampirinya.
"Ummi," lirih Farah yang kemudian bangkit dari duduknya, disusul dengan Abhi.
"Kamu darimana aja?"
"Ummi, sih. Nunjuknya ke kamar mandi cowok, kan Farah jadi salah masuk! Untung ada Abhi." Farah tersenyum pada pria disebelahnya.
"Assalamu'alaikum, Bu." Abhi menangkupkan kedua tangannya pada Ummi, Abi, dan wanita cantik yang Farah duga adalah Ustadzah.
"Wa'alaikumussalam," jawab mereka bersamaan dan mengikuti cara bersalaman Abhi.
"Kalau gitu, saya balik ke kelas dulu ya, permisi." Abhi berpamitan sopan. Tak lupa dia tersenyum tipis pada Farah.
"Makasih, ya." Farah balas tersenyum padanya. Abhi hanya mengangguk kemudian berlalu dari sana.
"Ustadzah perkenalkan ini anak saya, Azhikra Faradhiba, panggilannya Farah." Ummi memperkenalkan Farah pada Ustadzah yang berjalan bersama mereka tadi.
Farah mencium punggung tangan wanita yang masih tampak muda itu, Ustadzah itu tersenyum manis kearahnya.
"MaasyaaAllah tabarakallah cantik sekali," puji Ustadzah sambil mengusap pucuk kepala Farah.
Farah tersenyum, menambah kecantikannya.
"Saya Annisa Trihapsari, biasa dipanggil Ustadzah Nisa. Saya juga pengawas asrama ini." Ustadzah Nisa memperkenalkan diri.
Wanita muda dengan gelar Ustadzah, tampaknya dia lulusan Timur Tengah. Kulitnya sawo matang, bola matanya coklat pekat, hidungnya tak kalah mancung dengan Farah, tubuhnya tinggi dan sedikit berisi, wajahnya teduh. Jika penampilan ustadzahnya saja seperti ini, wajar jika santriwati disana memakai hijab yang oversize.
"Barang-barang kamu sudah berada di dalam kamar, setelah ini kamu akan ditemani Ustadzah Nisa, ya?" Abi menatap Farah.
"Ummi sama Abi mau pulang?" tanya Farah seakan tak terima.
Kedua orangtua itu mengangguk sembari tersenyum hangat pada putri sulungnya.
"Kasihan adik-adik kamu kalau harus ditinggal di rumah kelamaan." Ummi memberikan tangannya.
Farah menerima uluran tangan itu kemudian mengecupnya. Ummi membelai lembut kepala Farah, mengecupnya singkat kemudian memeluk Farah cukup lama. Perpisahan dengan air mata antara ibu dan anak dimulai.
Farah terdengar sesekali merengek meminta agar orang tuanya sering-sering menjenguknya disana, sering menghubunginya, dan hal-hal aneh lain yang ia minta pada orang tuanya.
Ustadzah Nisa yang sudah biasa melihat adegan dramatis seperti itu hanya tersenyum sambil sesekali memperhatikan sekeliling, jika ada santriwati yang tertawa melihat adegan itu maka Ustadzah Nisa segera mengisyaratkan pada mereka agar diam dan segera pergi dari sana.
Pelukan Ummi terlepas, mereka sama-sama menyeka air matanya. Farah menerima uluran tangan Abi, Abi juga memberikan kecupan singkat di ubun-ubunnya.
"Abi sama Ummi pamit dulu ya, belajar betul-betul, jangan bandel, ingat pesan Abi sama Ummi!" Abi tersenyum. Senyuman yang akan jarang Farah lihat nantinya.
Farah mengangguk pasrah. Belum pernah ia rasakan hal seperti ini sebelumnya, tentu ia akan menanggung rindu yang teramat sangat pada keluarga dan semua yang berkaitan dengannya sebelum ia terperangkap dalam penjara suci itu.
Abi merangkul Ummi, berbalik keluar menuju parkiran pesantren. Farah merasakan ada seseorang yang merangkulnya mencoba menenangkan, ternyata itu wanita cantik disebelahnya, Ustadzah Nisa.
"Ayo, Ustadzah antar ke kamar kamu," titah Ustadzah Nisa saat mereka sudah tak dapat melihat punggung Abi dan Ummi yang tertutup gedung asrama lainnya.
Farah mengangguk, mengusap air matanya dan mencoba tegar. Farah merasa benar-benar sendiri sekarang. Beriringan bersama Ustadzah Nisa menuju sebuah ruangan di Asrama Fatimah binti Muhammad. Banyak sorot mata yang tertuju pada dua wanita cantik yang berjalan melewati beberapa kamar disana.
Setelah mereka menaiki anak tangga satu persatu, kini mereka telah sampai pada sebuah pintu ruangan tepat disebelah tangga naik itu. Ustadzah Nisa membuka pintu ruangan yang tertutup.
"Assalamu'alaikum."
Terdengar jawaban salam dari dalam. Tampak sebuah kamar dengan lima tempat tidur tunggal disana, tak lupa dengan lemari berukuran sedang yang berdiri disamping tiap tempat tidur.
Mereka memasuki kamar itu. Diperjalanan menuju kamar tadi, Ustadzah Nisa sempat memberi tau bahwa hari ini kelas telah selesai, dilanjutkan dengan ngaji bersama setelah Sholat Maghrib nanti. Waktu senggang ini digunakan para santri untuk menghafal dan muraja'ah di kamar, ataupun tempat-tempat tertentu.
"Afwan, santri baru, ya, Ustadzah?" tanya salah seorang wanita seumuran Farah. Tampaknya memang didalam satu ruangan itu seumuran dengan Farah semua.
"Na'am. Pindahan dari MAN Palembang, dia akan sekamar dengan kalian, mungkin kalian akan sekelas juga nanti. Tolong temani dia, beritahu beberapa hal penting juga padanya. Ustadzah pamit dulu masih ada urusan lain."
Mereka mengiyakan perkataan Ustadzah Nisa. Kini wanita cantik itu menoleh pada Farah yang sejak tadi tak bersuara disebelahnya.
"Sekarang ini kamar kamu, itu tempat tidur kamu, dan mereka teman-teman sekamar kamu. Baik-baik ya, Sayang." Ustadzah Nisa tersenyum manis sambil menunjukkan tempat tidur kosong disana.
Setelah mengucapkan salam, Ustadzah Nisa segera keluar dari kamar. Ketiga orang teman barunya itu menghampiri Farah antusias sembari memperkenalkan diri, mereka menyambut Farah hangat.
Farah memandang sekelilingnya, Pesantren Daarul Yunus, tempat orangtuanya mengirimnya. Perjalanan dari pesantren itu ke rumahnya mencapai hampir dua jam perjalanan, berjaga-jaga agar Farah tak mudah kabur.
Teman sekamar yang ramah, lingkungan yang bersih, tidak terlalu buruk. Farah menyakinkan dirinya bahwa dia pasti bisa menjalani semua ini.
Ukuran kamar itu lebih besar dari kamarnya, juga lebih terasa nyaman. Di dinding sebelahnya terdapat kaca besar, sepertinya hanya ada satu disetiap kamar. Lima orang dalam satu kamar yang cukup besar sepertinya tidak buruk.
Farah memperhatikan aktivitas teman-teman sekamarnya, mereka sibuk dengan mushaf ditangan masing-masing. Sepertinya mereka sedang menghafal, seperti yang Ustadzah Nisa katakan tadi.
Di tempat tidur ujung dekat pintu, ada Cut Maryam atau biasanya dipanggil 'Cut', dia sedang menghadap ke dinding kamar, dia duduk di atas kasurnya, berusaha fokus muraja'ah dengan mulut yang komat kamit. Gadis hitam manis berdarah Aceh, katanya dia lahir di Lhokseumawe dan tinggal di Bireuen.
Disebelah ranjang Cut, ada Ilyana Mumtazah yang biasa dipanggil 'Ily'. Dia gadis bersuku Melayu, bahkan kakek dan neneknya tinggal di Shah Alam Malaysia. Ily juga sedikit lebih tinggi dari Farah, tak kalah cantik tentunya. Ranjang Ily tepat berada disebelah kiri Farah.
Disebelah kanan Farah ada Haura Zalfa, panggilannya 'Haura'. Tak ada kata lain selain 'cantik', katanya juga dia sangat pintar disini. Haura bersuku Jawa, gadis anggun dan menawan. Kulitnya sama putih dengan Farah, sepertinya Farah mendapat saingan baru disini, selain bersaing fisik mungkin juga akademik, mengingat Farah yang tak pernah lepas dari peringkat pertama di sekolahnya dulu. Katanya, Haura kelahiran Bandung, tapi tinggal disini dengan bibinya.
Dan yang terakhir, hanya ada tempat tidur kosong dipojokan. Tentu karena belum ada yang mengisi. Jadi, mereka hanya berempat dalam kamar yang seharusnya berisi lima orang itu.
Perkenalan singkat dengan teman-teman sekamarnya tadi sepertinya sudah cukup. Farah benar-benar menemukan pengalaman dan orang-orang baru disini, semoga saja gadis berdarah Sunda itu bisa bersosialisasi dengan baik disana.
"Farah, ayo siap-siap sebentar lagi tiba waktu Maghrib, nih." Ily menyimpan mushafnya. Dia beralih pada mukenah putih yang hendak dipakainya.
Farah mengangguk, dia segera mengambil mukenah dari tasnya. Helaan nafas terdengar saat gadis itu sadar bahwa dia belum memasukkan pakaiannya ke dalam lemari. Tak ingin memikirkan itu, kini Farah sudah siap dengan mukenah putihnya.
Pesantren itu memang diwajibkan memakai mukenah putih bagi santriwati, dan sarung bagi santri santriwan. Pesantren yang cukup terkenal walau muridnya hanya berkisar ratusan itu menjadi salah satu pesantren terbaik disana.
"Bawa saja itu mushaf kamu Farah," kata Cut yang berdiri diambang pintu.
Farah mengangguk kaku, kemudian menyambar mushaf yang tadinya tergeletak di tempat tidurnya. Dia tidak mengerti kenapa mereka begitu terburu-buru ke Masjid, padahal waktu Maghrib masih lima belas menit lagi.
"Sudah semua?" tanya Haura yang keluar belakangan. Mereka semua mengangguk, kemudian Haura menutup pintu kamar dan mereka beriringan turun kebawah dengan Masjid sebagai tujuan.
Farah banyak diam, matanya memperhatikan beberapa laki-laki dan perempuan tak sedikit yang sudah mengarah ke Masjid, masing-masing dengan mushaf Al-Qur'an dipelukannya. Sungguh ini pemandangan baru bagi Farah.
"Haura, lihat tu calon imammu tampan sangat!" Logat Melayu Ily terdengar, dia tampak sedikit berbisik pada Haura yang berjalan disebelahnya, mata mereka kini menatap kagum punggu seorang pria yang berjalan didepan.
Farah menduga sepertinya Haura menyukai pria itu. Setelah beberapa saat kini mata Farah menyipit, sepertinya dia mengenali pria yang berjalan dihadapan mereka itu.
♡♡♡