I tried my best to break out from this spell
But you keep finding ways to keep me there.
—Afgan, Hurt Me Like You
• • •
ALFRED memakai celana pendek distro hitam yang dipadukan oleh kaus putih oblong ketika keluar rumah. Tangannya membawa secangkir kopi hitam dan sesekali menyeruput penuh penghayatan. Alfred ini tipe manusia yang setiap pagi pasti pikirannya sibuk mencari, "Kopi mana kopi?"
Tipe daily coffee drinker. Manusia yang menjadikan kopi sebagai bagian dari rutinitas sehari-harinya. Bahkan Alfred menjadikan kopi sebagai moodbooster terbaik untuk menjalani hari-hari yang akan melelahkan.
Lelaki yang memiliki tinggi sekitar 180 sentimeter itu menyimpan cangkir kopi yang sudah kosong ke meja kecil terdekat. Kemudian ia mulai memanaskan mesin motor ninja berwarna hitam yang sudah terparkir di carport.
Sembari menunggu, Alfred kembali mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil yang semula sudah tersampir di leher. Sesekali ia merenggangkan otot tangan, pinggang, sampai kaki. Hari ini ia tidak ada kelas pagi, jadi ia memutuskan untuk menjenguk Bentara yang hari ini sudah diizinkan pulang ke rumah oleh dokter.
"ALFRED! ALFRED! TOLONGIN LETTA!"
Sontak Alfred menutup kedua telinganya rapat-rapat. Hancur sudah pagi yang damai bagi Alfred. Kopi yang baru dihabiskan Alfred, kebermanfaatannya langsung hilang seketika. Alfred badmood mendengar lengkingan Letta.
"ALFRED! BUKAIN KUNCI PAGARNYA!"
Alfred tidak peduli.
"Alfred, Letta mohon! Please." Suara tangis Letta mengudara.
"Cih, drama!" Alfred menggerutu.
Tangisnya semakin kencang sampai sesegukan. Letta rusuh mengotak-atik gembok pagar yang sampai kapan pun tidak akan terbuka jika Alfred tidak mengizinkannya.
"Letta ... takut Jeremy marah, tolongin Letta."
Jeremy? Kenapa marah? Kenapa Letta sampai secemas itu? Kenapa sampai merepotkan dirinya juga? Kenapa mesti dirinya yang harus menolong?
Alfred berdecak, dia masih punya hati nurani. Alfred membuka kunci gembok gerbang tanpa memperhatikan Letta sedikit pun lalu hendak berbalik badan.
Tanpa disangka, perempuan itu menahan tubuh Alfred untuk berbalik badan. Alfred menganga tak percaya mengamati Letta dari ujung kepala sampai ujung kaki—omong-omong ini terkesan mesum tapi penampilan Letta sangat buruk.
Astaga.
Astaga.
Astaga.
Letta masih mengenakan piyama motif kepala Doraemon, rambut panjangnya terurai berantakan seperti singa, pipinya basah karena air mata, masih tersisa jejak iler di sudut bibir, dan ia berlari dari rumahnya tanpa alas kaki.
"Mau minta nyambung ke Wi-Fi Alfred, bentar aja. Wi-Fi di rumah Letta belum dipasang, kuota Letta juga abis. Letta mau telepon Jeremy." Buru-buru perempuan itu meraba saku celana Alfred, air mukanya sangat ketakutan.
"Heh mesum!" seru Alfred, karena seenak jidat Letta langsung meraba seperti itu. Secara spontan Alfred mengambil ponsel Letta lalu mengetikan sesuatu di sana.
"Nih, udah nyambung."
Ada binar di mata Letta, tapi hanya sebentar. Wajah Letta semakin muram, terdapat sepuluh panggilan tak terjawab dan tujuh belas chat dari Jeremy setelah perempuan itu membuka aplikasi WhatsApp.
Letta menekan tanda telepon di bagian kanan atas pada room chat Jeremy. Ia menelpon Jeremy dengan hati resah. Dering pertama masih belum ada jawaban, dering kedua pun sama. Di dering ketiga, terdengar suara teriakan Jeremy dari seberang sana.
Secara refleks, Letta menjauhkan ponsel dari telinga, teriakan Jeremy barusan mampu membuat telinganya berdengung. Jangan lupakan Alfred yang masih di sebelahnya juga ikut terkejut.
"Dasar bego! Nggak pernah becus kalo gue suruh. Lo nggak pernah ngerti gue, terus mau lo apa hah!?"
"Jer ... maaf. Tadi Letta bangun kesiangan. Jadi belum nyiapin bekal buat Jeremy."
"Lo mau gue mati karena kelaparan? Lo nggak bisa apa-apa tau nggak!? Masih pagi lo udah buat gue badmood. Males gue ladenin lo, Njing!"
Letta tahu "Njing" yang dimaksud Jeremy itu "anjing" sebagai umpatan kasar. Bukan hanya anjing yang ia tahu, sialan, bangsat, bitch, dan kata-kata kasar lain yang keluar dari pacarnya itu sudah biasa.
"Letta go food-in ya, jangan marah lagi."
"Terserah lo, pikirin kesalahan lo."
"Iy–"
Jeremy memutuskan sambungan secara sepihak. Letta hanya bisa mengembuskan napas lelah. Dengan gesit Letta memesan makanan kesukaan Jeremy melalui aplikasi Gojek.
Alfred terdiam. Sebetulnya Alfred sudah menduga jika Jeremy orang yang seperti itu. Di awal pertemuan dengannya, sikap kasar Jeremy sudah tergambar dari guratan wajahnya.
Di dalam pikiran Alfred terdapat tanda tanya besar. Apakah itu yang dinamakan hubungan? Kenapa satu pihak saja yang benar-benar memainkan perannya? Kenapa satu pihak saja yang berusaha mengerti? Kenapa pihak yang satu laginya hanya bisa menuntut ini-itu? Kenapa tidak saling memahami satu lain?
Tiba-tiba saja dia teringat Zoe. Kenapa Zoe tidak mengangkat telepon darinya semalam? Jangankan telepon, beberapa chat yang ia kirimkan saja belum dibaca oleh Zoe. Kenapa hanya Alfred saja yang berusaha mengerti?
"Letta nggak apa-apa kok, makasih ya Alfred," ujar Letta mengamati ekspresi Alfred.
Alfred menatap Letta lamat-lamat lalu berkata, "Itu masih ada belek di mata lo."