PUKUL 23.50
Sudah sekitar satu jam saya susah tidur. Guling ke kanan, guling ke kiri. Bukan untuk mencari posisi nyaman, tapi mencari cara supaya mata saya tertutup—tidur. Enggak cuma itu saja, saya juga sudah pakai cara menghitung domba?
Kalian tahu 'kan? Yang menghitung domba lompat-lompat, gitu.
Kalau enggak tahu, ya, sudah deh.
BRAK!
Suara itu sukses membuat saya langsung duduk. Saya melihat sapu terbang yang masuk melalui jendela kamar. Eh, tunggu-tunggu. Ini saya enggak salah lihat 'kan? Mengucek mata adalah hal yang pertama kali saya lakukan saat melihat sapu terbang itu.
Ini serius sapu terbang?
Dengan wajah terbengong—yang pasti, posenya masih cantik kok. Sapu itu bergerak dengan gesit, seolah menari di udara. Berlenggok-lenggok seperti penari yang sangat merindukan panggung tarinya. Memang, begitu, ya?
"Hei." Suara itu membuat saya menoleh. Seorang lelaki yang kepalanya sudah menyembul dari jendela, kemudian melompat masuk ke kamar saya.
Saya enggak bisa berkedip saat menatapnya. Apa mungkin lelaki yang di hadapan saya ini seorang bidadari yang menyamar menjadi lelaki? Ah, sepertinya bukan. Itu mah kayak Mimi Peri!
Salah, salah. Dia sangat tampan dan jangan lupakan jubah hitam panjang yang digunakannya.
Saya menampilkan wajah bengong—bukan wajah bego ya. Karena waktu itu teman saya ada yang bilang kalau wajah bengong sama bego itu beda tipis, kalau di KBBI bengong diartikan termenung seperti kehilangan akal. Dan wajah bego itu bukan seperti lagi, melainkan sudah.
Sudah jangan dibahas lebih dalam lagi. Saya saja enggak ngerti? Intinya, bengong sama bego itu sama-sama punya kesamaan. Sama-sama huruf awalnya B.
"Kamu kenapa?" tanyanya yang membuyarkan lamunan saya tentang perbedaan wajah bengong dan bego. "Aku Eiden Alaric," katanya sambil mengulurkan tangan pada saya.
Tanpa dia memperkenalkan juga saya sudah tahu. Saya sudah memerhatikan jubah hitam panjangnya, di ujung jubah dekat lehernya ada bordiran yang bertuliskan Eiden Alaric. Sudah pasti 'kan itu benar namanya?
Oke, karena saya adalah orang yang baik hati dan tidak sombong (ini asli, ya, serius, enggak bohong) jadi saya menerima uluran tangannya. "Aku Yumi Mahendra," kata saya.
"Oh. Kamu dari keluarga Mahendra?" Saya mengangguk. "Pantas kamu enggak kaget sama kedatangan sapu terbang."
Begini, keluarga saya enggak senormal apa yang kalian pikirkan. Papa sangat terobsesi dengan tokoh yang bernama Harry Potter. Tahu 'kan? Dari kecil, Papa sering menceritakan tentang Harry Potter. Ya, contohnya seperti sapu terbang ini. Jadi saya juga enggak kaget—atau kata sejenisnya. Menurut saya, itu lebay.
Dengan banyaknya buku mengenai penyihir, Papa membuat perpustakaan di rumah. Papa juga sudah bergabung dengan Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir. Papa juga punya banyak kenalan penyihir, mau enggak mau ilmu tentang sihirnya mengalir ke Papa. Papa juga punya tongkat sihir, tapi Papa enggak pernah kasih tahu bentuknya seperti apa.
Papa pernah bilang, "Kalau Papa kasih tahu, Mama nanti malas mengerjakan pekerjaan rumah karena dengan menggerakkan tongkat sihir punya Papa semua pekerjaan rumah jadi cepat selesai. Terus juga nanti Yumi jadi malas mengerjakan PR, mentang-mentang pinjam tongkat sihir Papa. Nanti Eron—adik saya—jadi sering main curang sama teman-teman karena tongkat sihir Papa juga."
Saya, sih, setuju saja. Lagi pula, Mama juga enggak tertarik sama sihir. Dan Eron, saya sudah menduga jika bocah seperti dia pasti euforia saat diberi tongkat sihir Papa.
"Kamu penyihir?" tanya saya, penasaran. Enggak ada salahnya juga saya bertanya. Bisa jadi, Eiden hanya penyihir gadungan yang mencari ketenaran?
Eiden menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Menurutmu?" tanya balik Eiden.
Saya berdecak, "Aku enggak yakin kalau kamu penyihir."
Saya lihat Eiden mengeluarkan tongkat sihir dari balik jubahnya. Warnanya hitam dan ada ukiran Eiden Alaric di sana. Apa semua benda yang menjadi miliknya pasti disertakan namanya?
Eiden menatap saya lalu berkata, "Ceiodfyz! Hidung hilang!" Sambil tangannya memutar-mutar tongkat.
Hah? Dia mengatakan hidung hilang? Hidung saya, maksudnya?
"Coba nih, kamu berkaca," kata Eiden sambil memberi cermin kecil pada saya.
Di cermin, hidung saya hilang! Kalian bayangkan sendiri, deh. Gimana coba, wajah tanpa hidung?
Anehnya, saat saya meraba-raba hidung saya, saya bisa merasakan jika hidung saya ini masih ada. Buktinya saya masih bisa napas, kalau saja tidak punya hidung, mungkin enggak bisa napas 'kan?
Saya kembali becermin. "Eiden, kok di cermin hidungku enggak ada, ya. Tapi ini aku pegang-pegang, aku cubit-cubit, beneran ada kok," kata saya, keheranan.
Apa karena memang cermin itu ajaib atau mantra sihir Eiden yang mujarab?
"Eiden! Balikin hidungku, serem tahu enggak punya hidung," kata saya yang mendapat kekehan dari Eiden.
Eiden memutar-mutar tongkat sihirnya dengan santai. Dan saya lihat, sepertinya lelaki itu sedang berkonsentrasi penuh. "Zyfdoiec! Hidung kembali!"
Dengan segera saya kembali bercermin. Ternyata hidung saya kembali! Ada kok hidungnya.
Eh, sepertinya mantra sihir Eiden yang mengembalikan hidung saya, itu adalah kebalikannya mantra sihir yang menghilangkan hidung saya. Hanya hurufnya yang dibalik gitu, coba deh kalian perhatikan tadi.
"Sekarang kamu tahu aku penyihir," katanya. "Gimana menurutmu mantraku tadi?"
"Mantra apa namanya? Kok hidungku bisa hilang di cermin?" Oke, sepertinya saya mulai tertarik dengan obrolan ini.
"Itu namanya mantra kebalik. Setiap mantra yang digunakan, mantra itu juga bisa dijadikan penawarnya. Ya, tinggal kamu balik saja hurufnya. Namanya juga mantra kebalik."
Omong-omong saya enggak tahu tujuan Eiden masuk ke kamar saya. Dan sapu terbang itu Segera saya mencari keberadaan sapu terbang itu. Rupanya sapu terbang itu sudah tergeletak di atas kasur saya. Apa baterainya sudah habis?
"Ngapain kamu datang ke sini? Sudah tengah malam gini!" ketus saya.
Eiden mengedikkan bahunya. "Tadinya aku cari Patangga yang masuk ke sini."
Saya mengerutkan dahi, bingung. "Patangga?"
"Iya, Patangga. Sapu terbang itu," kata Eiden sambil melihat sapu terbangnya.
Oh. Ternyata sapu terbang itu punya nama. Patangga namanya guys!
"Baterainya habis kali tuh si Patangga!"
"Sembarangan kalau ngomong! Patangga itu lagi tidur, bukan baterainya yang habis!"
Saya membulatkan mata. What? Tidur? Sapu terbang bisa tidur!
"Memang kamu pikir sapu terbang benda mati?"
Iyalah!
"Kamu salah! Dia itu seperti benda hidup!"
Wow. Saya baru tahu!
"Kamu juga harus ingat. Setiap orang yang Patangga datangi, berarti Patangga akan hidup bersama orang yang didatanginya, ya, kamu! Dan satu lagi, Patangga juga pasti nurut sama kamu! Itu adalah Kebijakan Kementerian Sihir! Kalau kamu mau tahu lebih jauh, tenang nanti besok aku ke sini akan menjelaskan semuanya," kata Eiden, lalu melompat keluar dari jendela.
Apa-apaan ini! Hidup bersama sapu terbang yang bernama Patangga, sudah kebijakan dari Kementerian Sihir, dan menunggu penjelasan di hari esok.
Eh, tunggu-tunggu. Saya masih melihat Patangga yang tergeletak di atas kasur. Dan artinya, Patangga tidur di atas kasur saya? Patangga itu benda hidup, pasti tidak ingin diganggu dalam tidurnya.
Lalu, bagaimana nasib saya yang harus tidur di lantai gara-gara Patangga yang sudah tidur di kasur saya dan tidak mau diganggu?