KLB Alias Kejadian Luar Biasa.
Mengapa aku berkata demikian? Karena keluarga harmonisku berkumpul dalam formasi lengkap di hari Minggu pagi nan cerah ini. Bahkan Mara si tukang molor menjauhkan dirinya dari kasur dan menghempaskan pantatnya di karpet ruang keluarga dan bermain bersama Kai.
Ah, nikmat mana lagi yang kau dustakan, Cala?
Lain di bibir, lain di hati...
Kalian boleh mencap aku munafik atau apa pun julukan keren untukku. Aku memang tidak menyukai kelakuan Ibuk yang enggak adil atau Bapak yang enggak terlalu pedulian padaku. Namun, wajah-wajah yang selalu aku sebut namanya dalam doa berkumpul di ruang keluarga. Hal kecil yang sudah sangat jarang terjadi ini mampu membuat hatiku bahagia.
Benar kata Pak Harsa. Mereka semua adalah tempatku kembali setelah lelah bekerja dari Warung ENTRY. Mereka telah menjadi bagian diriku dan membentuk diriku yang sekarang. Enggak ada yang bisa aku lakukan soal itu.
Aku akan mencari Bapak bila ingin berdiskusi mengenai bakal calon presiden yang akan kami pilih tahun depan.
Ada Kak Mala untuk bertukar pikiran mengenai makanan instan yang baik atau tidak untuk dikonsumsi jangka panjang. Kak Mala mempunyai latar belakang pendidikan teknologi pangan by the way. Dan Kai, Ya Allah, anak itu makin hari makin ngegemesin! Menghilangkan capekku setelah pulang kerja.
Lalu ada Mara, si keriting kesayanganku. Kelihatannya aja cuek, tapi dia makhluk paling perhatian ke anggota keluarganya yang lain, walaupun kebiasaan molornya bikin matahari kesal untuk menyuruh dia bangun.
Dan... The last but not least, Ibuk, yang kadang aku panggil diam-diam dengan sebutan Nyonya Bet kalau lagi kesel sama Ibuk. Astaghfirullah, maaf, Buk. Apa pun makanan yang Ibuk masak selalu sukses membuat perut-perut kami kenyang dengan ledakan cita rasa spesial di lidah. Contohnya aja makanan yang Ibuk letakkan di meja. Ada pisang coklat, roti sosis, dan puding roti custard kayu manis buatan Ibuk. Aku sudah menghabiskan dua potong besar puding itu dan masih mau nambah!
Nah, kalian tambah yakin kan, bahwa aku seorang hipokrit?
"Skripsinya udah sampai mana, Mara?" Suara Ibuk membuatku mendongak dari ponsel.
"Lagi nyari judul, Buk. Sabaaaar," jawab Mara enteng.
Diam-diam aku mencebik. Aku mana bisa sesantai itu saat ditanya Ibuk? Ibuk akan membuatku belajar seperti kesetanan dan menuntutku untuk sering-sering bertemu dosen pembimbing hingga akhirnya jadwal sidang didapat. Lalu Ibuk bakal ngejar sampai aku menyerahkan skripsi jadi pada Ibuk. Kalau sama Mara?
"Jangan dibuat stres ngerjainnya. Kalau ada kendala, konsultasi sama Mala, ya?" Ibuk menepuk pundak Kak Mala bangga. "Kakakmu ini dosen pinter. Tanya apa saja sama dia."
Benar, kan? Perlakuan Ibuk udah pasti beda. No debat.
"Iya, Buk."
"Kurangi main band. Kalau hanya hobi ya, boleh. Main secukupnya. Jangan sampai mengganggu kuliah. Mengerti?" sambung Ibuk lagi.
"Iya, Buk. Tapi Buk, dua kali aja manggung di kafe bisa buat DP-in motor," katanya bangga. Aku tersenyum. Adik kesayanganku...
"DP motor? Jangan mengutang Mara. Mengutang hanya bikin hidup kita senang sesaat. Tanggal jatuh tempo bikin hidup ndak tenang." Bapak menimpali. "Jangan pernah berpikir untuk ngutang!" tegas Bapak. Kata-kata Bapak sangat benar.
"Tapi Mara butuh motor, Pak. Biar pergerakan Mara lebih bebas."
Selama ini Mara memang belum diberi kendaraan oleh Bapak. Ke mana-mana sama bus, atau kereta, atau ojek. Kadang ditebengin sama temen-temennya.
"Kuliah saja yang benar. Motor nanti Bapak pikirkan."
Sejujurnya...nasib Butter juga memprihatinkan. Tapi siapalah aku yang meminta dibelikan motor yang sedikit lebih baik kondisinya dari si butut Butter? Enggak pantas juga, sih. Kalau aku ngotot minta, ujung-ujungnya paling disuruh ikut tes pegawai negeri.
"Tapi, Pak..."
"Udah. Nurut sama bapakmu," sela Ibuk. "Urusan motor biar Ibuk belikan, kalau nama Ibuk keluar di arisan."
Mara tersenyum lebar. "Makasih Ibuuuk." Kak Mala sampai geleng-geleng kepala sambil sibuk mengetik di laptopnya.
Langsung dibelikan. Hah! Hidup Mara memang lebih mudah dariku. Aku pikir si Butter akan melewati proses suksesi dari aku seperti tradisi yang sudah-sudah. Nyatanya langsung loncat kelas dengan membelikan Mara motor. Sepertinya khayalanku terlalu tinggi. Ha ha ha. Lucu sekali hidupku.
Mau protes, tapi ada gema di belakang kepala yang menyuruhku diam. Sorot mata Nyonya Bet aja mampu mematahkan suaraku, apalagi hatiku. Lebih baik diam-diam aku bekerja keras bagai kuda untuk mengembangkan usaha dan membeli sebuah mobil minibus untuk keperluan mengangkut barang-barang jualanku.
"Katanya kamu bekerja sama dengan perusahaan susu...apa tuh yang mereknya Ultra Moo?" tanya Ibuk ke Kak Mala.
"Sama PT. Best Food, Buk. Alhamdulillah Mala penelitian sama tim produk olahan susu mereka." Bapak Ikut-ikutan tersenyum bangga dengan informasi itu. Aku juga. Kenapa enggak?
Selagi mereka asyik memuji-muji kepintaran Kak Mala, lebih baik aku membaca review pelanggan Warung ENTRY yang masuk per hari ini. Toh, aku hanya akan menjadi pendengar yang baik pagi ini. Siapa juga yang mau membicarakan pencapaian warungku? Apa yang bisa dibanggakan dari aku?
Sudah, lah, Cala. Jangan nyakitin hati sendiri.
Hey! Bintang Warung ENTRY naik jadi empat. Alhamdulillah. Berita bagus. Pernah berada di posisi lima, tapi karena sering telat buka, lama-kelamaan orang-orang mencabut bintangnya. Dari 4,5 tambah turun menjadi 3,5.
Meski warungku merangkak menjadi lebih baik, tapi tidak dengan Ibuk. Firasatku mengatakan tatapan Ibuk padaku semakin berbeda setelah sarapan menegangkan itu. Tatapan itu kadang terasa seperti menyalahkan dan meremehkan, membuatku tidak nyaman. Semoga pikiran burukku tidak menjadi kenyataan, Tuhan.
Oke, kita beralih ke kolom ulasan pelanggan.
"Bagus." Terima kasih, Wandi.
"Tempatnya dekat kampus, harga terjangkau." Matur nuwun, Ajeng.
"Satu porsi aja kenyang." Begitulah yang aku harapkan, kisanak Eddy.
"Enak, sih. Sayang, sering telat buka." Sekarang enggak lagi, wahai pelanggan budiman Anton.
"Panekuknya terbaik." Danke, Yudo.
"Waffle lengkapnya kemahalan." Ada harga, ada barang, Bambang.
Atau...haruskah aku mencari bahan yang lebih murah? Tapi kalau rasanya berubah, gimana?
"Penjualnya cantik, makanannya enak, harga bersahabat sama kantong mahasiswa." Terima kasih Wilda atas ulasan jujurnya. Hihi, aku dibilang cantik, dong.
Whoaaa, ada seseorang yang mau menulis amat panjang. Namanya Harsa Hasyim, si pelanggan online-ku!
Kalimat pertamanya aja udah membuat ritme jantungku meningkat.
"Sebuah Mahakarya!"
"Kak, plis lo masih muda. Jangan gila, dong!" Apa?!
Semua pasang mata di ruang keluarga kecuali Kai seperti memojokkanku.
"Tolong bahasanya, Mara!"
"Maaf, Kak." Suara tegas Kak Mala membuat si bungsu ciut. Rasain!
"Kok ngatain kakakmu gila, Mara?" tegur Bapak.
"Habisnya Kak Cala senyam-senyum kayak orang gila lihatin HP, Pak," jawab Mara sambil nahan senyum. Sial. Itu anak bener-bener!
"Mara! Sssst," perintahku sambil meletakkan jari telunjuk ke bibir. Aku mau baca ulasan panjang dari Harsa Hasyim, nih!
Aku memilih tidak menghiraukan keluargaku dan kembali ke ponsel.
"Sebuah Mahakarya! Warung ENTRY memiliki pilihan menu western yang menggugah selera. Sederhana, tapi aku mendapati diri ini selalu kembali ke tempat ini untuk mencicipi french toast savory lengkap. Oh, dengan double roti."
Deg...
Pak...Harsa? Aku mengamankan dadaku yang bergemuruh dengan menekannya terus-menerus. Habisnya, dari seluruh pelangganku, hanya dia yang memesan french toast savory lengkap double roti! Degupan jantungku makin enggak ngotak. Kenceng banget.
"Seakan dibuat dengan cinta. Disajikan langsung oleh pemilik warung yang sangat mengerti dengan keinginan pelanggannya. Kalian juga harus mencoba panekuk sirup maple dan waffle es krim vanilanya.
"Makanan yang lezat dan pemilik warung yang baik. Kombinasi yang begitu menakjubkan untuk sebuah warung makanan kecil yang terletak tak jauh dari Universitas N. Mencicipi sekali? Tidak cukup!"
Pak Harsa... Mataku mengabur dengan cepat sambil mengulang-ulang membaca tulisannya.
Mahakarya.
Dibuat dengan cinta.
Kombinasi yang begitu menakjubkan.
Aku... merasa terhormat diapresiasi begini. Ya Tuhan. Rasanya seperti dibawa melayang oleh Pak Harsa dengan balon udara di atas langit biru dan awan putih. Aku enggak mau turun dulu. Aku masih ingin melayang menikmati pujiannya.
"Hueeeek."
Kami semua terkesiap mendengar suara barusan. Keinginan untuk terbang dengan balon udara menghilang secepat Kak Mala berlari meninggalkan ruang keluarga sambil membekap mulutnya dan menghilang di balik pintu kamar mandi.
Kami saling bertukar pandang dengan mata penuh kebingungan. Mara sampai menyikut lenganku cukup keras ketika Ibuk setengah berlari menyusul Kak Mala ke kamar mandi. Bapak? Walaupun tangannya konsisten mengelus punggung si Oncom, tapi wajahnya yang menegang telah menjelaskan segalanya.
Kak Mala kembali duduk bersama kami dengan muka pucat dan kelelahan. Aku sangat paham, sebab muntah membuat energimu lumayan terkuras.
"Bulan ini Mala enggak datang bulan," celetuknya tiba-tiba. Kami diam mendengarkan dengan khusyuk karena tidak mau ketinggalan satu kata pun dari mulut Kak Mala.
Masalah kewanitaan seperti ini bukanlah hal tabu untuk dibicarakan di tengah keluargaku. Mempunyai dua anak perempuan membuat Ibuk mendorong kami agar selalu terbuka dengan perubahan yang kami rasakan di tubuh kami. Begitu pula Mara dengan Bapak.
"Nih, minum dulu." Kak Mala menerima segelas air putih hangat dari Ibuk dan dia segera menyisipnya sedikit.
"Makasih, Buk. Dek, tolong singkirin puding rotinya. Kakak nggak suka. Bau kayu manis bikin eneg." Mara langsung membawa jauh mangkuk si puding ke meja makan.
"Kamu salah makan mungkin, Nak." Ibuk sepertinya ingin berprasangka baik. Demi Tuhan. Semua orang di rumah ini pasti ingin berprasangka baik pada Sang Pencipta. Namun, gara-gara Kak Mala menyebut-nyebut menstruasinya yang tidak datang bulan ini bikin prasangkaku pada Tuhan... Ah, Astaghfirullah. Maafkan aku, Tuhan.
"Pas hamil Kai, Mala juga nggak suka bau kayu manis, sih," katanya bergumam.
Oh, tidak...
"Haidmu teratur?" desak Ibuk.
"Selama ini teratur, Buk. Mala pikir, mungkin bulan ini telat gara-gara tubuh Mala sedang memroses kepergian Mas Aji. Mala sempat stres, kepikiran ini itu, kecapekkan. Banyak faktor yang membuat haid telat, kan?" Kak Mala mencari pembenaran untuk semua alasan yang dia sebut. "Itu pun yang datang hanya flek sehari dua, Buk."
"FLEK?!" Ibuk terkejut bukan main, membuat kami semua ikut-ikutan kaget.
Setahuku, flek itu semacam noda, kan? Apa hubungannya dengan haid Kak Mala?
"Sebelum Aji kecelakaan, kalian aktif secara seksual? Kalian rutin melakukannya?" tanya Ibuk blak-blakan.
Astaga Ibuk! Aku malu sendiri mendengar pertanyaan Ibuk. Ada anak kecil di sini. Maksudku ada Mara dan Kai. Namun yang aku lihat, tidak ada yang merasa sungkan dengan pertanyaan Ibuk. Justru Bapak memusatkan perhatiannya seratus persen pada Kak Mala setelah Oncom pergi entah ke mana.
Sebagai jawaban, Kak Mala mengangguk pelan. Detik itu juga, kakak cantikku tiba-tiba berubah sendu dan melarikan tangannya ke perut, mengusapnya pelan di sana.
Oh Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Apa lagi ini? Engkau tidak akan membebankan masalah kepada kami bila kami tidak sanggup menanggungnya, kan? Tunggu sebentar! Jikalau Kak Mala hamil, bukankah anak adalah rezeki? Kehamilan Kak Mala bukanlah bencana atau masalah, kan?
Memang benar bukan masalah. Namun, Kak Mala bakalan hamil tanpa Mas Aji di sisinya. Apa...kata dunia?
"Mala, kita ke dokter kandungan. Sekarang juga!" tegas Ibuk.
***
"Kak, pesan dua pancake. Satu toping es krim, satu sirup maple. Makan di sini ya, Kak," pesan seorang mahasiswi.
"Oke. Ditunggu ya, setelah pesanan ini." Aku menunjuk waffle yang sedang aku hias dengan krim kocok, lalu ditaburi pecahan-pecahan biskuit hitam O. Toping ini tidak ada dalam daftar menuku, sebab waffle ini adalah pesanan khusus seseorang yang sedang hamil muda. Katanya lagi ngidam waffle buatanku dengan biskuit O.
Yep! Pelangganku adalah Kak Mala.
Demi si dedek bayi, apa sih yang enggak akan aku lakukan? Mungkin karena kehamilan Kak Mala sudah memasuki minggu ke enam, sehingga perubahan demi perubahan seperti mood, pola makan, dan tubuhnya sudah mulai muncul. Kami di rumah sudah seperti pasukan siaga yang siap memenuhi keinginan bumil kami. Sebab, sudah tidak ada lagi Mas Aji yang akan mendampinginya secara eksklusif melewati trisemester pertama yang kata orang memang tantangan tersendiri bagi ibu-ibu hamil muda. Maka aku pribadi bertekad akan membersamai kakakku melewati semua itu.
Alhamdulillah. Satu kata itu yang sering Bapak sematkan terus-menerus ketika Kak Mala menangis tersedu-sedu saat berita kehamilannya disampaikan oleh dokter kandungan. Dia begitu kesulitan menerima kabar baik itu dengan lapang dada. Hamil ketika tidak ada lagi suami yang akan mendampingi... Kemalangan level berapa itu?
Aku ingat betul kata-kata Bapak yang membuatku ikutan lega dan berjanji akan terus melindungi kakakku.
Allah ndak akan kasih Mala adek Kai kalau kamu ndak sanggup menjalaninya, Nak. Allah tahu kamu mampu, makanya Allah beri rezeki. Ikhlaskan ya, Nak?
Aku ikut terenyuh mendengarnya.
"Kak, Kak."
"Eh? Ya, ada apa?" Mata mahasiswi tadi sibuk memerhatikan pesanan Kak Mala.
"Aku nggak jadi pesen waffle es krim."
"Oh, ya udah. Enggak apa-apa."
"Maksudku, aku mau diganti sama itu." Dia menunjuk pesanan Kak Mala yang sangat menggiurkan.
"Ini?" tunjukku. Aku hanya ingin memastikannya.
"Iya. Menu baru kan, Kak?" tanyanya penuh harap dengan binar mata yang membuat jiwaku meronta-ronta untuk segera mengatakan IYA.
Baiklah. Menu baru hari ini diluncurkan dadakan. Bismillah. "Ya, menu baru. Silakan ditunggu."
***
Dia turun dari mobilnya dengan kepayahan, lalu berjalan ke arah warungku sambil memegang perutnya. Keningnya kusut dan bibirnya tak berdarah. Ada apa dengan Pak Dosen hari ini?
"Pucet amat, Pak," sapaku. Untuk bernapas aja kayaknya kesusahan.
"Pak, sini." Mahasiswi tadi bersorak, melambaikan tangannya tinggi-tinggi pada Pak Harsa, lalu dibalas anggukan dan senyuman setipis kertas. Mereka...janjian apa gimana?
"Dia mahasiswi bimbinganku. Satu orang lagi belum datang. Cowok." Aah. begitu rupanya. Apa Pak Harsa bisa melihat isi kepalaku?
"Bapak mau kasih bimbingan?"
"Iya."
"Tapi kayaknya lagi sakit," terkaku.
Belum menjawab sudah menghela napas berat. "Maag, tapi aku sudah janji konsultasi hari ini. Mau gimana?" Pasrah amat? "Pinjam tempatmu sebentar ya, Cal?" Otomatis aku mengangguk.
Aku tidak pernah merasa keberatan warung kecil ini dijadikan tempat belajar mahasiswa. Aku tahu jadi mahasiswa itu sulit, jadi aku hanya ingin memberikan sedikit tempat nyaman bagi mereka untuk belajar.
"Udah makan?" sergahku ketika dia hendak menjauh.
"Nggak sanggup makan." Pasti nggak nyaman banget perutnya.
"Aku kasih susu, ya? Nanti diminum."
"Untuk apa?" Alis tebalnya nyaris menyatu menatapku.
"Untuk meredakan sakit perutnya."
"Tapi—"
"Udah. Sana, ditungguin sama mahasiswinya. Nanti aku antar," usirku.
Walaupun kebingungan, Pak Harsa mengangguk dan menuruti perintahku.
Lagi membuat tambahan adonan panekuk, si sipit tampan mirip artis Korea berjalan riang ke warungku.
"Tumben turun gunung," sapaku. Biasanya dia akan berkutat di dapur seharian dan akan keluar toko bila malam menjelang.
"Baru dari kawinan sepupu gue."
Pantesan rapih bener. Pakai setelan jas hitam bikin penampilan Jeff makin silau.
"Ooh."
"Habis tutup warung makan bakmi yuk, di Tebet. Halal." Aku tertawa gara-gara kata terakhirnya.
"Lo ke sini cuma mau ngajak makan bakmi? Ditelepon kan bisa, Jeff."
"Gue pengen ketemu lo. Emang enggak boleh?" Iih, tampang cemberutnya enggak cocok!
"Elah. Boleh, Jeff. Boleh. Enggak ada yang ngelarang lo." Wajahnya langsung ceria seketika. Mirip bocah!
"Ya udah. Gue jemput ke rumah, ya? Repot kalau pulang kemaleman pake motor."
"Iya, tapi gue izin Bapak. Kalau dibolehin, gas!"
"Thanks, Niscala Gantari. Sampai ketemu entar sore."
Jeff membelai puncak kepalaku beberapa kali kemudian beranjak ke mobilnya.
***
Si Tuan Grumpy yang enggak pemarah lagi sedang makan nasi sup buntut ogah-ogahan. Tapi, kenapa aku ikut-ikutan makan bareng dia? Oh iya. Dia memaksaku makan bersamanya. Deket kok, di sebelah warungku. Katanya sih, enggak mau makan sendiri.
"Kamu tahu dari mana susu bisa meredakan perih di lambung?" tanyanya datar. Perutnya masih sakit?
"Ibuk. Dulu kami anak-anaknya pada bandel suka nge-skip makan sampai kena maag. Terus Ibuk suruh kami minum susu putih yang agak kental. Alhamdulillah manjur untukku." Terima kasih Ibuk...
"Dan untukku. Terima kasih, Cal. Suatu hari, aku mau berterima kasih pada Ibuk," ucapnya sungguh-sungguh. Pak Harsa berlebihan. Padahal menurutku itu hanya perkara sepele.
"Iya sama-sama."
Dari sudut mata, kelihatan Pak Harsa hanya mengaduk sup buntutnya malas. Segera aku habiskan makan siangku dan memutar tubuhku padanya.
"Pak."
"Hm?"
"Supnya enggak enak?"
"Enak."
"Masih sakit, perutnya?"
"Enggak."
"Kenapa cuma diubek-ubek kuahnya?"
"Tadi itu siapa? Yang datang pakai sedan hitam." Pertanyaanku diabaikan!
"Temenku."
"Bukan pacar?"
Aku spontan tertawa, membuat wajahnya tambah bete. "Bukan. Enggak ada waktu buat pacaran."
"Kamu...yakin?"
Aku diwawancara banget, nih?
"Yakin. Buat apa bohong?"
"Kenapa dia pegang-pegang kepalamu?"
"Aku juga enggak tahu," kataku mengangkat bahu. Kenapa belakangan ini Jeff suka menyentuh kepalaku, ya?
"Lain kali, jangan mudah dipegang sembarang laki-laki. Kamu perempuan. Harus jaga diri. Mengerti, Cal?" Nasihat kesekian. Tapi aku kok enggak keberatan dinasehati Pak Harsa?
"Iya."
"Kalau bisa, jangan keluyuran malam-malam sama cowok berduaan, walaupun sama 'teman'."
"Bapak nguping?!" tuduhku tak terima.
"Waktu...aku menunggu mahasiswaku mengetik, aku tidak sengaja...mendengar kalian," katanya menyesal. "Maaf."
Lihat, lihat. Dia menggaruk tengkuknya malu-malu. Tuhan... Bagaimana caranya bisa sebal kalau Pak Harsa bahkan enggak berusaha menyangkalnya? Dia kelewat jujur!
"Iya. Lain kali jangan nguping ya, Pak."
"Iya. Maaf, Cal."
"Aku udah maafin, Bapak Harsa Hasyim," kataku lebih lembut.
"Lho, kok kamu tahu nama lengkapku?" Aku bener, kan?
"Mahakarya, dibuat dengan cinta, Mencicipi sekali? Tidak cukup!"
"Aah." Dia tergelak minimalis. "Butuh seharian merangkai kata-kata itu supaya siapapun yang membaca ulasan warungmu tertarik untuk mencoba menu ENTRY," katanya malu-malu. Owmaigad. Dia...kok ngegemesyin, sih?
"Terima kasih ya, Pak. Aku sangat menghargainya."
"Hm, sama-sama."
"Dihabisin supnya, Pak."
"Oke."
Eh... Sekarang malah lahap banget makannya.
Setelah mangkuk kosongnya digeser ke samping, dia berkata, "Aku boleh minta nomor ponselmu?"[]
Love it... alur ceritanya enak untuk dibaca, bikin penasaran, jd bacanya harus sampai tuntas gak boleh kejeda2.
Comment on chapter 21. Seperti Namamu