"Mohon Tuhan, untuk kali ini saja
Beri aku kekuatan ‘tuk menatap matanya…
Mohon Tuhan, untuk kali ini saja
Lancarkanlah hariku, hariku bersamanya…," kudengar lagu “Hari Bersamanya” dari Sheila on 7 berputar dari dalam kamar Bobby.
Aku sendiri kini berada di teras rumah Boby menunggu anggota kelompok Bahasa Inggrisku.
Pada Minggu siang ini, kelompok kami sepakat untuk berlatih memperagakan dialog naskah yang kami buat tugas Bu Clarisa di rumah Bobby.
Rumah Bobby agak jauh dari rumahku. Butuh sekitar 30 menit mengayuh sepeda untuk sampai ke rumah yang terletak di kawasan elite di kotaku ini.
Rumah Bobby merupakan rumah dua lantai bergaya ala modern minimalis. Walaupun rumahnya tak sebesar rumah-rumah di sekitarnya, namun bisa dibilang hunian ini cukup mewah.
Sesampainya di rumah Bobby, Ia menyambutku dengan ramah. Di rumahnya sedang tidak ada siapa-siapa selain Bobby lantaran orang tua dan adiknya sedang di luar kota.
Sembari menunggu teman-teman lain, Bobby masuk ke kamarnya dan menyalakan lagu cukup keras dari komputernya. Hanya beberapa menit saja ia kembali sambil menenteng satu gelas air es.
"Biar enggak sepi," ujar dia.
“Oh iya kamu datang paling cepet karena semangat mau ketemu aku ya,” goda Bobby.
“Ga jelas,” ujarku sekenanya.
Sekitar 10 menit, Bela dan Fatia sampai juga. Mereka datang di waktu yang hampir bersamaan.
Agar kami tak membuang waktu, aku mengusulkan agar kami berlatih sesuai bagian dialog masing-masing dahulu. Baru saat semua sudah berkumpul maka kami bisa berlatih bersama-sama.
Sekitar 20 menitan, Dedi dan Dodit akhirnya datang. Lalu, mereka kami beri kesempatan untuk menghafalkan dan berlatih bagian dialog masing-masing.
Setelah kita rasa cukup untuk menghafal dialog barulah kami latihan bersama. Awalnya, kami memperagakan bagaimana Aslan yang diperankan Bobby, membagi senjata perang pada Peter, Susan, dan Lucy.
Kami belajar melafalkan naskah dialog berbahasa Inggris ini dengan bantuan suara dari Google Translate.
"For Peter, I give sword. For Susan, i give you an arrow and a terompet," ujar Bobby terbata-bata.
"Trampet, Bob haha, kok malah balik lagi ke ejaan Indo," tegurku.
Beberapa kali kami tertawa mendengar diri kami sendiri berlatih. Apalagi saat bagian Bobby dan Bela berbicara.
Mereka paling sering lupa kata-kata dan sering kesulitan melafalkannya hingga membuat kami tak bisa menahan tawa.
"Thanks Aslan, but why did I get orange juice?," ucap Bela saat memerankan Lucy.
Setelah mendengar itu, kami tertawa lagi. Bela lupa dengan naskah yang telah kami buat.
"Harusnya flower Bel, mana ada jus jeruk," seru Fatia disusul tawa anak-anak.
"Wah kode butuh minum tuh," seru Dodit.
“Bob, Bella dibikinin jus jeruk dulu dong, dia ga mau tuh kalo cuma kamu suguhi es teh,” tambah Dedi.
Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya kami makin lancar memperagakannya adegan penyerahan senjata itu.
Lalu, latihan dilanjutkan dengan adegan bagaimana Edmund diculik oleh Penyihir Putih. Pada adegan itu, tidak banyak kesulitan karena Fatia sebagai Penyihir Putih cukup jago dalam menghafalkan dan melafalkan isi dialog.
Kemudian, saat memperagakan peperangan melawan Penyihir Putih, kami lagi-lagi tidak bisa berhenti tertawa. Pasalnya, kami yang tak pernah melakoni drama cukup merasa kesulitan harus berpura-pura sedang berperang.
Keterbatasan anggota membuat Fatia si Penyihir Putih terpaksa berperang sendiri melawan Aku, Bela, Dedi, dan Bobby.
Fatia juga cukup lucu berpura-pura perang sambil menarik-narik Dodit si Edmund agar tak lepas dari genggamannya. Saking semangatnya, Fatia tak sengaja menarik baju Dodit hingga robek.
"Kreeeeek," suara kain robek itu lantas membuat kami terpingkal-pingkal.
"Heh, Fatia kalau ada dendam sama Dodit bilang dong," ujar Bobby bercanda.
"Ga bisa bayangin kalau robeknya pas udah praktek beneran di depan kelas," seruku menimpali.
"Untung bukan celananya yang robek kayak Yus pas pelajaran olahraga," ujar Bela kemudian.
Setelah tawa kami reda, Bobby kemudian mengambil bajunya di kamar untuk dipinjamkan pada Dodit.
Tak terasa dua jam setengah berlalu. Kami pun merasa lelah dan butuh beristirahat.
Bobby menyuguhkan banyak jajanan pasar dan buah-buahan pada kami. Pagi tadi, Ibu Bobby sempat menyiapkan itu sebelum dia pergi ke luar kota.
"Maaf, adanya cuma ini, maklum lagi enggak ada orang di rumah," ujar Bobby.
"Ini aja udah banyak Bob, ini langsung makan boleh enggak? Lapar nih," kata Bela.
"Enggak boleh," canda Bobby.
Bela yang mengira itu serius langsung berhenti mengulurkan tangannya. Padahal ia saja sudah hampir menyentuh klepon.
"Haha, serius amat, bercanda ya ampun," jelas Bobby.
Kemudian kami tertawa bersama-sama melihat tingkah polos Bela. Lalu kami mengobrol panjang lebar dan saling bercanda hingga pukul empat.
Dari obrolan kami sore itu, baru kuketahui Bobby adalah laki-laki yang cukup banyak bicara serta humoris. Berbeda dengan “kelompok Sean” yang lain, Bobby tak suka merundung orang lain.
Dalam kesempatan itu, Bobby bercerita bagaimana dirinya bisa bersahabat dengan Sean sejak duduk di bangku SMP. Rupanya perkenalan mereka diawali dengan cerita yang sangat konyol.
“Jadi tuh awalnya aku diberi sepeda biru bekas milik sepupuku. Lalu aku iseng menggunakannya ke sekolah.”
“Bodohnya karena aku baru menggunakan sepeda itu, aku belum benar-benar hapal dengan bentuknya,” cerita Bobby.
“Saat pulang sekolah aku dengan percaya diri mengambil sepeda yang ternyata punya Sean. Bagiku bentuknya mirip dengan sepeda yang aku bawa, maka aku ambil saja,” lanjutnya.
“Kamu benar-benar tidak tahu bagaimana sepedamu?,” tanya Bella heran.
“Wah aku tidak hapal. Baru beberapa kayuhan, ku dengar seorang cowok memanggilku dari belakang,” kata Bobby.
Bobby menjelaskan, saat itu dirinya belum mengenal Sean. Dia hanya mendengar sedikit mengenai Sean yang terkenal nakal dan suka berkelahi.
“Aku berenti, dia menghampirku, mencegatku, dan memukul wajahku, akibatnya aku terjatuh.”
“Hei kamu nyolong sepedaku enak aja,” kata Bobby menirukan perkataan Sean kala itu.
Bobby yang merasa tidak mencuri ikut terpancing emosi dan membalas pukulan Sean. Sejumlah siswa yang melihat kejadian itu pun juga tak berani melerai mereka berdua.
“Saat kami sudah saling pukul, tiba-tiba datang temanku membawa sepedaku. Aku langsung berhenti dan kaget loh kok ada dua sepedaku,” ujar Bobby sambil tertawa mengingat tingkah bodohnya dahulu.
Setelah sadar dengan kesalahannya, Bobby lantas meminta maaf pada Sean. Sean pun langsung memaafkan dan bahkan juga meminta maaf karena sudah menuduh Bobby.
“Wah yang awalnya kondisi panas tuh berubah jadi humor, aku dan Sean tertawa bahkan orang-orang yang melihat kami ikut tertawa,” ungkap Bobby.
“Untung saja perkelahian kami belum sampe ruang BK,” tambahnya.
“Wah tidak nyangka dulu Sean sebar-bar itu, padahal kalo sekarang dia keliatan kalem loh,” ungkap Fatia heran.
“Ya itu dulu mungkin karena masih bocah, tapi sebenarnya dia baik kok,” ujar Bobby.
Lantaran hari sudah sore, kami memutuskan untuk pulang ke rumah. Apalagi awan mulai gelap tanda hujan akan datang.
Aku cukup senang dengan momen barusan mengingat kami satu sama lain sebenernya selama ini tidak akrab di kelas. Selain itu, teman-temanku ini tidak pernah menyebutku dengan sebutan Betty La Fea, seperti teman-teman lain di kelas.
"Aku ternyata masih punya banyak teman," pikirku.
Rasa riang di dalam hatiku tiba-tiba saja berubah saat mengetahui ban sepedaku bocor. Padahal saat hendak ke rumah Bobby, semuanya baik-baik saja.
"Loh kok bocor sih, tadi padahal nggak kenapa-kenapa," ujarku.
"Tadi mungkin kena paku kali atau batu runcing di jalan," duga Dodit.
Lalu, Bobby langsung mengecek ban sepeda depanku. Dengan cekatan Ia mencari-cari apakah ada lubang di sana.
"Tidak ada paku atau batu sih, tapi liat nih robek," ujarnya sambil memperlihatkannya padaku.
"Cukup lebar juga ya, duh rasanya tadi aman-aman aja," kataku.
"Wah kamu ga sadar kali, bisa saja kena paku atau apa gitu, tapi enggak mesti nyangkut kan barangnya," jelas Bobby.
Akibatnya, aku bingung bagaimana caraku pulang. Bela dan Fatia pulang dijemput oleh keluarga masing-masing. Dedi dan Dodit yang rumahnya berdekatan berboncengan naik motor untuk sampai ke sini.
Aku juga tak enak pada Bobby harus meninggalkan sepedaku begitu saja. Apalagi keesokan harinya, sepeda itu akan aku pakai untuk bersekolah seperti biasa.
"Di sini tambal ban jauh nggak Bob?," tanyaku pada Bobby.
"Wah agak lumayan jauh, apalagi kalau sambil jalan nuntun sepeda," ungkapnya.
"Dianterin Bobby aja tuh, mendung loh Rin," ujar Dedi.
Keadaan diperburuk saat langit menjadi lebih gelap. Kemudian Bobby membujukku untuk menerima bantuannya.
"Iya aku anterin aja ya Rin, kamu kuanterin naik motor, besok sepedamu gampang," ungkapnya.
"Duh ga bisa gampang soalnya besok kan juga aku pakai buat ke sekolah," kataku.
Bobby lantas berjanji akan menjemputku dari rumah dan berangkat sekolah bersama. Dia juga berjanji akan mengembalikan sepedaku sampai rumah.
"La sepedaku gimana," kataku.
"Sepulang sekolah, aku bawa ke tambal ban, lalu aku anterin ke rumahmu," ujarnya.
"Lah kamu repot dong Bob," kataku menolak lagi.
Kemudian teman-teman lain mendesakku agar menerima bantuan Bobby. Dengan terpaksa, aku menerima tawaran tersebut
Dengan terpaksa aku menerima tawaran Bobby. Lalu, aku berboncengan motor dengan cowok bermata coklat itu.
Aku bersyukur motor matik Bobby cukup besar sehingga ada cukup jarak antara kami. Aku memang jarang sekali berbocengan motor dengan cowok, selain dengah ayahku
Saat di perjalanan, aku kira Bobby akan membawa motornya cukup kencang karena mendung tebal menyelimuti kami. Namun apa yang dilakukannya justru sebaliknya
Seakan tahu yang ada di pikiranku, Bobby berkata tak bisa mengendarai kencang-kencang jika sedang membonceng orang.
"Pelan aja kalau bawa orang, risiko kan nyawa anak orang," katanya.
"Kalau hujan di jok ada dua mantol," jelasnya lagi.
Saat di atas motor aku sebenarnya kurang jelas mendengar kata-katanya. Mungkin karena aku mengenakan helm adiknya yang kecil hingga sangat ketat di telingaku.
Aku hanya bisa bilang hah-heh-hoh pura-pura sudah tahu apa yang dibicarakannya. Seakan paham aku tak bisa mendengarnya, Bobby lantas mengencangkan suaranya.
"Pelan aja kalau bawa orang, risiko kan nyawa anak orang," ulangnya agak berteriak.
"Iya Bobby," balasku.
Setelah itu, aku lebih banyak diam karena bingung mau mengobrol apa. Kemudian, kudengar dia menyanyikan lagu Hari Bersamanya Sheila on 7 cukup keras.
Sepertinya, cowok humoris ini tidak hafal dengan lagu itu hingga menyanyikan reffnya berulang-ulang.
"Anak ini kayaknya lagi keranjingan lagu itu, tadi pagi udah sekarang masih aja ," batinku.
Sebenarnya bukan urusanku dia menyanyi. Tetapi aku agak khawatir orang-orang bisa mendengarnya dan mengira dia tidak waras.
Lagi-lagi aku memilih diam karena merasa sudah untung dia mau membantuku. Aku tahan diriku untuk tidak menimpuk helmnya.
"Mohon Tuhan, untuk kali ini saja
Beri aku kekuatan ‘tuk menatap matanya…
Mohon Tuhan, untuk kali ini saja
Lancarkanlah hariku, hariku bersamanya…," nyanyi Bobby saat di lampu merah.
Benar saja, nyanyian Bobby yang keras itu memancing pandangan orang-orang di sebelah kami. Aku terpaksa menegurnya, namun sepertinya dia tidak mendengarku.
"Duh, awas aja kau Bob," batinku malu.
Saat kami sudah melewati lampu merah, hujan akhirnya turun dengan derasnya. Bobby kemudian segera menepikan motornya ke deretan ruko yang tutup.
Kami kemudian turun dari motor dan Bobby segera mengambil mantolnya dari jok motor. Sialnya, satu mantol milik Bobby rupanya berlubang di bagian punggungnya.
“Lah, Rin yang satu ternyata bolong aku ga tahu soalnya jarang aku pakai,” kata Bobby.
“Ya sudah kamu pakai punyaku dulu biar aku pakai yang bolong,” lanjutnya.
Dengan jelas aku segera menolak ide Bobby. Aku tentu memilih untuk menunggu hujan reda.
Awalnya Bobby menolak ideku, namun dia patuh juga setelah aku bersikeras membujuknya. Jangan sampai di antara kami terutama Bobby jatuh sakit.
Bukannya makin reda hujan turun makin deras disertai angin. Saking derasnya, baju kami lama-lama mulai basah.
Selama menunggu hujan, kami tak banyak bicara. Berbeda dengan sebelumnya, Bobby kini hanya diam, dia seperti kedinginan.
“Bobby, itu ada mesin ATM masuk ke sana aja yuk, kalo kita di sini terus nanti basah kita,” kataku setelah melihat ada ruang mesin ATM beberapa langkah dari tempat kami berdiri.
“Kamu sendiri aja gapapa Rin, aku di sini gapapa,” katanya.
Tak mau berdebat lagi dengan Bobby, kutarik tangannya menuju tempat mesin ATM itu. Kurasakan tangan Bobby sangat dingin dan kaku.
Sesampainya di dalam ruang mesin ATM baru kusadari ruangan itu sangat kecil. Sepertinya hanya pas untuk satu orang. Akibatnya aku terpaksa bersempit-sempitan dengan Bobby.
Suasana di antara kami berdua lantas makin canggung. Bobby lagi-lagi hanya diam saja kali ini. Aku pun berinisiatif untuk memecah kesunyian.
“Aku senang deh liat ujan,” ujarku dari balik pintu kaca ruang mesin ATM.
“Iya kamu liat hujan saja, biar aku yang ngeliatin kamu,” kata Bobby.
Mendengar itu, aku tak langsung salah tingkah. Kudongakan kepalaku agar ku bisa melihat wajahnya.
Dia tidak tersenyum maupun tertawa saat mengucapkannya, dia seperti berkata serius.
“Dasar bocah usil,” batinku sambil melepas kacamataku yang basah karena hujan.
Setelah sekitar kurang lebih 15 menit dalam kecanggungan, hujan akhirnya berhenti. Segera kami keluar dari ruang mesin ATM dan berkendara pulang.