Read More >>"> Ilalang 98 (Pertemuan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ilalang 98
MENU
About Us  

Hembusan angin langit sore seperti hendak membawaku terbang membelah jalanan Parangtritis yang memang berangin besar karena dekat dengan pantai. Berkendara menggunakan motor pitung Kang Yok memang sangat santai. Lajunya tak bisa kupercepat meski sangat ingin kulakukan. Sementara kemeja flannel kotak-kotak dominan warna biru yang sengaja tak kukancingkan berkibar-kibar, merasa seperti Superman, tokoh superhero favoritku sampai ku lupa hentikan senyuman yang terus tersungging di bibir. Beberapa orang melewatiku dengan sedikit mengernyitkan kening. Aku tidak peduli. Sore ini perasaanku cerah, secerah langit sore berwarna biru yang menaungi.

Ku belokkan arah motor pitung ke daerah Sewon, melambatkan laju pitung ketika mulai memasuki area kampus yang begitu besar dan luas. Beberapa pedagang makanan aneka rupa di pinggiran jalan menarik minatku. Bersisian dengan banyaknya tempat fotokopi dan juga warmindo membuat daerah kampus ini menjadi hangat dan berciri khas mahasiswa. Aku jadi rindu ke Bulak Sumur, aku menggeleng cepat, menepiskan hal-hal melankolis yang dapat merubah tujuan.  

Setelah memasuki gerbang FSRD dan memarkir pitung antik Kang Yok, sesuai pesan Kang Yok yang tertempel di notes pintu kamar kos , aku harus menjemputnya di gedung lukis lantai dua. Sebenarnya ini pertama kali aku mendatangi Institut Seni. Namun mudah saja bagiku bertanya pada mahasiswa yang berpapasan kemana arah gedung lukis itu.

Memberanikan diri melangkahkan kaki memasuki wilayah yang bukan kampus sendiri, membuat gugup dan sedikit berkeringat dingin, terlebih secara tak sengaja kutangkap bayangan di cermin mading di lantai dasar, rupaku kali ini , baik kemeja flannel kotak, tas ransel ini, celana jeans biru ini, persis sama dengan fotoku pada headline berita yang tersebar dua bulan lau. Ya, tak terasa telah dua bulan berlalu, saat ini pertengahan bulan juli, dan sepertinya aku hampir saja melupakan peristiwa itu.

Peristiwa salah paham yang membuat aku terusir dan mendadak cuti dari kegiatan perkuliahan. Hal itu juga yang membuat Emak di desa sedih dan menyuruhku berhenti berkuliah. Menurut Tuan tanah, akhirnya Emak mendengar celotehan tetangga tentangku di Jogja. Emak menginginkanku pulang. Ia menghentikan seluruh support biaya. Untunglah aku telah bekerja pada bos Kang Yok, sehingga kini aku tak bergantung pada Emak. Dengan sabar ku coba memberi pengertian pada Emak bahwa aku baik-baik saja dan semua hal yang terjadi di luar kendaliku sebagai manusia.

Aku mengatakan pada Emak untuk tak bisa menuruti kemauannya pulang ke desa, karena aku berhutang budi pada Kang Yok yang menampungku di saat kesulitan. Seperti kali ini, tanpa berpikir panjang lebar ketika menerima pesan Kang Yok di lengkapi kunci motor yang tergantung di pintu kos-kosan aku langsung beranjak pergi. Tak ku hiraukan lagi segala lelah di badan karena pekerjaanku seharian tadi lebih seperti berdiri dan membungkuk menerima tamu.

Sayup seperti ada yang memanggil, aku menoleh terkejut, bukan Kang Yok itu suara wanita. Aku tak menemukan siapapun, kulayangkan pandang ke segala penjuru, tak mungkin ada yang mengenaliku sebagai  ‘Ilalang’ bukan? pasti pikiranku sedang kacau karena teringat Emak, dugaku beralasan.

Punggungku seperti ada yang mengawasi. Beberapa kali aku menoleh tetap tak ada siapapun.

Tiba di lantai dua, aku belum menemukan bayang sosok Kang Yok. Aku terpesona dan berdiam sesaat. Menebar pandang sekeliling. Dinding di hadapanku di penuhi oleh deretan lukisan. Berjalan perlahan, mencoba menyelami lukisan tersebut satu persatu.

Tiba-tiba, pandanganku seperti terpukau, tak percaya pada apa yang terlihat. Sebuah lukisan cukup besar tergantung di dinding, di hadapanku saat ini. Lukisan pria yang sedang memotret, terlukis dengan indah sempurna, cukup detil sehingga aku merasa memakai baju kembar serupa lukisan tersebut. Aku terhenyak, ku letakkan telapak tangan di dada agar detak jantung tak memburu cepat. Pria dalam lukisan itu berkacamata dan menggendong tas ransel sama persis sepertiku saat ini. Pria dalam lukisan itu adalah.., aku? Aku tercenung, melihat pojok kanan bawah dan tertulis nama sang pelukis. ‘Rinjani’ apakah aku mengenal sosok bernama Rinjani, ragu aku menoleh ke arah belakang, seperti ada yang bergumam di balik punggung.

Benar saja, seorang gadis langsung menutup mulutnya seketika ku menoleh memandangnya, kami berdiri berhadapan, gadis itu gadis yang sama yang terlihat di bulan Mei’98, gadis yang sama yang memotretku di antara ribuan bendera.

Gadis itu berwajah mungil dan bermata bola, oh tidak, apakah gadis ini pula yang menemui Merry, menanyakan tentang diriku, pikiranku tertahan ketika gadis itu terlihat mulai menangis lalu duduk tertunduk meraung keras serta tangannya sibuk memukuli lantai keramik yang tak bersalah.

“ Akhirnya..,” ia berujar lirih.

“Akhirnya..!” kali ini hampir berteriak. Seolah melepaskan beban yang telah lama ia tanggung sendiri.

***

“Jani..,” sebuah seruan memanggil. Menyadarkanku dan gadis yang  masih terduduk di lantai. Beberapa detik yang lalu, aku dan dia seperti di selimuti dimensi yang tersekat dari kenyataan. Kami belum saling mengenal, tetapi memiliki perasaan dekat dan ingin bersua saatu sama lain.

Sebuah perasaan aneh yang tak pernah aku alami sebelumnya.

Kang Yok menepuk bahuku. Rupanya ia datang bersama seorang kawan. Kawannya itu pula yang memanggil ‘Jani’, kini ku tahu nama gadis itu.

Melihat cara ia menolong Jani berdiri, ku tahu mereka adalah teman.

“Loh, ko nangis, kamu apakan si Lang?” tanya Kang Yok begitu melihat Jani menyeka air mata. Mengedikan bahu kutatap Kang Yok dan kawannya bergantian. Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi.

Kawan kang Yok yang pertama menyadari. Melihatku dan lukisan di dinding dengan seksama.

“Ooh, jadi kamu yang bernama Ilalang itu?” kawan tersebut lalu memberi kode pada Kang Yok untuk melihat pada lukisan.

“Wuih, iyo. Mirip kamu Lang.” Kang Yok berseru antusias.

“Jani yang melukisnya.” Kawan kang Yok menepuk bahu Jani dengan perasaan bangga.

“Oalah, jadi kamu tho Rinjani yang terkenal itu.” Kang Yok berkata lagi.

“lha, dunia ini ko sempit ya. Ternyata lelaki yang kamu cari-cari selama ini, sampai kamu lukis sambil menangis itu Alang tho?” tanya Kang Yok.

Jani menatapku ragu lalu mengangguk.

“Kamu mengenalnya Kang?” tanyaku pada Kang Yok.

“Ini loh Lang, weeh cerita ini terkenal sekali loh di kalangan mahasiswa seni rupa murni.” Cerita Kang Yok terhenti ketika kawannya berdehem.

“Oh ya, kenalkan Lang ini kawan seangkatanku, Danu. Sejurusan denganku, Kriya Logam.” Kang Yok mengenalkan Danu yang kemudian ku panggil dengan sebutan Mas Danu.

Kang Yok menyebutkan lagi, “Danu kamu tahu kan ini Alang yag ku ceritakan tempo hari, dia mahasiswa Sastra Indonesia, tapi dia biasa membantuku di kerajinan perak.”

Mas Danu menatapku lekat dan tersenyum, ia menyeret lengan Jani mendekat ke arahku, “Lang kenalkan ini Rinjani, dia sudah lama mencarimu.”

Tangan Jani bergetar menyambut uluran tanganku, dingin dan beku ketika telapak tangannya kurasakan tersentuh kulitku.

Entah berapa detik aliran darah ini seperti tersengat listrik. Sampai  kami menyadari, deheman Kang Yok dan Mas Danu mengganggu. Terpaksa segera kutarik kembali tanganku. Belum ada sepatah katapun keluar dari bibir Rinjani. Padahal aku begitu menantikannya. Terlebih ceritanya yang konon melukisku sambil menangis hingga rumornya tersebar di seluruh kampus.

 

“ Jadi kamu Ilalang Alambara, nama kamu ada di judul lukisan loh..,” seru Mas Danu menunjuk kertas kecil yang selalu tersemat pada bagian bawah lukisan yang di pamerkan.

Aku mengangguk, “Panggil saja Alang Mas, Ilalang Alambara itu nama lengkapku.” Mengatakan itu keningku berkerut, kutatap Rinjani bertanya-tanya darimana ia tahu nama lengkapku.

Rinjani yang masih seperti membeku, tersadar. Ia mengulurkan sebuah barang yang hilang dari diriku. KTM (kartu tanda mahasiswa).

Sekilas aku menangkap gelagat, tangan Jani enggan menyerahkannya. Atau mungkin itu hanya perasaanku saja.

Mas Danu memecah suasana canggung antara aku dan Jani.

“Asalmu darimana Lang?” tanyanya asal.

“ Dataran tinggi Dieng Mas, .” Kujawab santun.

“Ooh, tapi kamu seperti orang Hongkong, mirip Aoron Kwok HeHeHe..,” ia terkekeh setelah menyebutkan salah satu nama artis Hongkong. Menyebutkan ras tertentu di tahun-tahun ini memang sangat sensitif, aku memuji pilihannya untuk melempar menjadi guyonan.

“Konon katanya, kakekku orang jepang Mas,” jawabku santai.

“Oh ya pinter bahasa jepang dong?” mata Mas Danu terbelalak.

“Oh ya tidak Mas, aku tidak sempat bertemu dengannya, Bapakku saja meninggal ketika aku masih kecil.” Kataku memberi alasan.

Mas Danu termanggut-manggut, “Sorry lang..,” katanya kemudian.

“Mboten nopo Mas.., santai saja.” Aku melirik ke arah Rinjani. Jani langsung mengalihkan pandangan saat terpergok sedang menatapku. Di kibaskan poni yang menutupi dahi. Ia menjadi salah tingkah kembali. Aku tersenyum kecil.

***

Kang Yok dan Mas Danu akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kami berdua. Mereka berdalih hendak membicarakan projek besama kawan yang lain.

Jadilah kini aku dan Jani duduk berdua, menepi dari keramaian, duduk berdua di bawah pohon rindang di halaman kampus. Sepertinya ini halaman yang sama dengan cerita ketika Jani melukisku dengan menangis. Aku melihat beberapa mahasiswa pun sedang melukis. Mereka tersebar, tidak berdekatan satu sama lain.

“Ilalang Alambara” Jani bergumam lirih, menunjuk pada KTM yang telah berpindah tangan di genggamanku.

“ Sudah dua bulan ini, benda itu selalu menemaniku. Selalu kubawa kemanapun.” Suaranya hampir lirih tak terdengar.

Aku masih dengan sabar menunggu ia melanjutkan cerita, tak sedikitpun terbesit untuk menyela atau memotong percakapan.

“Kau menjatuhkannya saat keramaian demonstrasi bulan Mei, apa kau ingat?” tanyanya.

Aku menggeleng pelan. Ia melanjutkan lagi.

“Sejak itu aku terus mencarimu, dan tanpa sengaja aku larut dalam segala cerita tentangmu.”

“Aku tahu kau mendapat masalah karena headline berita yang salah, putus cinta, terusir juga berhenti dari kampus.” Jani mulai terisak kembali. Entah mengapa Jani mudah sekali melelehkan air mata. Aku menyadari sesuatu kekeliruan.

“Kau menyelidiki kehidupanku?” tanyaku dengan nada sedikit meninggi.

Jani tergagap, “Oh tidak, semula aku hanya ingin mengembalikan KTM itu,” katanya terbata.

“ Tapi kau menghilang dan aku terus mencarimu, akhirnya aku putus asa ketika mereka mengatakan kau pulang ke kampung halaman, aku kira tak akan bisa bertemu denganmu.” Tangan Jani menutupi matanya, aku menjadi kasihan melihatnya.

Aku menghela nafas sejenak. Menatap Jani lekat meski ia terus menunduk.

Ada sesuatu yang menggelitik di benakku. Gadis itu, mengapa berperasaan begitu dalam kepadaku. Bulan Mei 1998 itu hanya pertemuan singkat tanpa bersentuhan, lalu selama dua bulan setelahnya , ia tersiksa dengan melakukan pencarian dan penyelidikan terhadapku.

“Rinjani..,” akhirnya kusebut namanya lembut. Ia mendongak, menatapku. Ingin  sekali rasanya mengelus kepala Jani tapi kutahan. Hari ini adalah hari pertama aku berbicara dengannya. Tidak masuk akal jika aku bersikap berlebihan.

“Aku bukannya marah karena kau selidiki, tapi penyelidikanmu itu tidak benar.” Kata-kataku mencoba menenangkan Jani.

“Aku tidak berhenti kuliah, hanya cuti satu semester. Aku juga tidak pulang ke kampung halaman. Darimana kau mendengar hal itu?” tanyaku masih dengan nada lembut yang kuusahakan. Untuk tidak menyinggungnya untuk tidak membuatnya terpojok.

Jani beringsut dari tempat duduknya. Ia menatapku dengan sepasang mata bolanya yang berair.

“Seorang wanita, yang kutemui di kampus sastra.” Katanya lirih.

Aku terperanjat, apalagi kemudian Jani menceritakan ciri-ciri gadis yang bertemu dengannya itu. Jika benar kecurigaanku bahwa gadis yang di temui Jani adalah Seruni, mengapa Runi harus berbohong, bukankah Runi tahu aku hanya cuti satu semester. Jelas-jelas pacarnya sekarang yang memintaku.

Ku abaikan bayanganku tentang Runi, kini aku fokus pada cerita Jani. Menyimak cerita Jani yag kini telah meluncur cepat tanpa terbata, memunculkan sisi lain Rinjani yang akhirnya ku tahu. Sepertinya kebekuan Jani telah mencair.

“ Apa kau tahu Lang, bahkan sekelebat bayang punggungmu saja, ketika kau memakai kemeja flanel kotak itu dapat langsung ku kenali.” Selanjutnya Jani dengan berapi-api, menceritakan kejadian di mana ia melihatku di dalam bus jalur sepuluh, lalu ketika tadi dengan tergesa ia menuruni anak tangga dalam gedung seni rupa ketika menyadari keberadaanku di parkiran.

Sampai akhirnya ia menemukanku berdiri tepat di hadapan lukisannya, lukisan yang menurutnya sebagai tempat ia mencurahkan segala bentuk perasaan selama mencari seseorang bernama Ilalang Alambara.

Sungguh aku tak menduga, ada seseorang yang begitu berusaha untuk menemuiku. Di saat yang bersamaan aku justru hanya memikirkan sepiring nasi untuk bertahan hidup dan sejumlah uang yang harus terkumpul untuk biaya kuliah semester depan.

***

Tags: romancefiksi

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags