Malam ini tidak dingin dan kelam seperti biasanya, suasana di pendopo rumah Mbah Karsa Kotagede kali ini terasa hangat penuh tawa dan canda. Beberapa lelaki penghuni kamar kos bercengkerama satu sama lain. Duduk melingkar, menceritakan unek-unek, ngopi sembari ‘nyebat’ (menghisap sebatang rokok) menjadi pilihan pelipur lara bagi mereka setelah seharian bekerja. Sepiring sukun goreng tersedia di tengah-tengah, enak untuk di nikmati selagi hangat.
Salah seorang teman Kang Yok menyodorkan rokoknya kepadaku.
“Mboten Mas..,” telapak tangan reflek menolak sopan. Aku memang tidak merokok, pernah mencoba tapi memang tidak suka. Rasa pahit di lidah memuatku sering terbatuk.
“Sesekali tidak apa-apa,” kata Kang Yok menyalakan rokoknya. Aku mengangguk.
“Nggih Kang, saya takut jadi suka Kang..,”ujarku lagi.
“Loh memangnya kenapa?” tanya teman Kang Yok, ia menghembuskan asap rokoknya ke samping, tak ingin mengenaiku.
“Takut tidak bisa belinya Mas..,” jawabku sambil tertawa. Kelakarku di sambut tawa oleh mereka dan beberapa orang lainnya yang kebetulan mendengar.
Seketika aku merasa mereka seperti keluargaku. Dulu aku hanya punya Merry yang seperti kakak bagiku. Tetapi di sini aku seolah menemukan keluarga baru.
“Lang, Lang.., sama rokok saja kok takut.” Kang Yok menggelengkan kepala. Aku mencomot sukun goreng berwarna kuning yang sudah menarik perhatianku sedari tadi. Hangat dan enak. Seduhan kopi panas dalam wadah gelas belimbing menjadi pelengkap.
Terlalu mensyukuri nikmat yang ku peroleh saat ini, hampir saja aku makan sukun goreng itu sambil menangis. Pikirku, untung ada orang-orang baik ini, jika tidak tentunya nasibku akan terlunta-lunta dan kelaparan.
Sudah sebulan tidak ada kabar dari Emak, maupun kiriman weselnya. Bulan Juni hampir berakhir. Seharusnya aku sudah membayar semesteran. Namun akhirnya aku memutuskan cuti saja karena aku enggan menelepon menanyakan pada Emak. Pernah sekali aku menelepon ke rumah Tuan tanah, menanyakan apakah Emak sehat, apakah Emak baik-baik saja. Syukurlah mereka berkata Emak baik dan sehat. Selebihnya aku sengaja tidak ingin berbicara pada Emak. Bukannya tidak rindu tetapi lidahku terlalu kelu untuk menutupi suaraku agar tidak sentimentil mendengar suara ibu sendiri. Entahlah bersama Emak sepertinya semua rasa ingin tertumpah.
Selain karena tidak ada uang, juga pasti karena permintaan Bang Putra yang lebih seperti perintah. Beberapakali kemunculanku di kampus selalu terhadang olehnya. Dia mengatakan ada wartawan yang mencariku di kampus, seorang pria dan wanita. Hal ini di benarkan oleh kawan-kawan lain di kansas, sehingga sudah di pastikan kebenarannya. Semula aku memang mengira Bang Putra hanya mengada-ada. Melihat cara Bang Putra menatapku seolah ada hal yang di sembunyikan atau ia rencanakan.
Tentang ia dan Seruni, sudah pasti ku tak peduli. Seruni pernah berpapasan denganku di pintu parkiran Fakultas Ekonomi, saat itu aku bersama seorang kawan bermaksud mengambil jalan pintas ke arah FISIP.
Seruni berdiri canggung, enggan menyapa. Ku berikan senyuman menawan, sengaja, ku ingin tahu bagaimana perasaannya padaku. Aku mendengar kabar Runi telah menjadi pacar Bang Putra. Ternyata usahaku berhasil. Runi salah tingkah dan gugup. Buku-buku akutansi yang di bawanya jatuh berserakan. Ia gugup dan bingung. Seketika menjadi iba, ku beri kode pada kawanku untuk berlalu pergi. Dengan santainya ku bantu Runi merapikan buku dan berdiri. Ku tatap ia lekat, saat itu aku tak memakai kacamata, rambut yang baru terpangkas di padu dengan jacket biru yang ku tutup hingga leher membuatku terlihat lebih muda. Dulu Runi menyukai penampilanku yang seperti itu, manis katanya. Benar saja, ada binar pada mata Runi, aku senang menggodanya.
Ku kira ia akan mengucapkan terimakasih, ternyata aku salah. Runi tak mampu berkata-kata dan langsung melengos pergi. Aku terus memandanginya hingga menjauh. Menghela nafas tenang lalu ku coba meletakan telapak tangan pada dada sebelah kiri. Ku rasa tidak ada degup kesukaan di sana. Aku telah ikhlas melepaskan kekasihku selama satu tahun itu untuk menjadi pacar Bang Putra.
Lamunanku buyar, ketika teman Kang Yok berkata dua kali mengangkat telepon seorang gadis yang mencariku. Memang aku juga pernah di panggil oleh Mbah Karsa karena hal ini. Aku pikir ini ada hubungannya dengan wartawan yang mencariku di kampus sehingga lain hari pernah kebetulan aku sendiri mengangkat teleponnya, dan aku merasa tidak mengenali suara gadis yang mencariku ini sehingga kusampaikan padanya bahwa pria yang bernama Ilalang belum pulang bekerja. Ketika gadis itu menanyakan alamat aku justru balik memarahinya karena tidak sopan diam-diam menanyakan tempat tinggal orang yang belum di kenal. Namun entah mengapa hatiku tergetar dan merasa sedih berbohong seperti itu.
Kang Yok dan temannya terkekeh ketika akhirnya kuceritakan tentang kebohonganku pada gadis yang mencariku itu.
“Alang, Alang, apakah kamu ini juga takut pada gadis?” tanya Kang Yok mengejek.
Temannya menimpali, “ Iya, sama seperti takutnya pada rokok!”
Kang Yok Dan temannya serempak berkata sambil tertawa “Sama-sama takut jadi suka, HAHAHA .." tawa mereka membahana, di iringi senyuman simpul di bibirku.
***
Kini kegiatan rutinku adalah menjadi asisten Kang Yok, memperdalam dan melatih skill membuat sketsa, juga membantu pekerjaan pengrajin perak di tempat kerja Kang Yok. Untunglah bos tempat Kang Yok bekerja terlalu baik dan tidak banyak bertanya. Ia hanya langsung senang ketika ada lelaki muda yang tekun bekerja dan mau di bimbing. Upah yang kuterima tidak sebesar Kang Yok, karena aku memang hanya pekerja serabutan di toko kerajinan perak tersebut.
Keadaan berubah seiring waktu. Ketika semua hal ku ikhlaskan untuk berhenti sementara waktu dari perkuliahan. Tiba-tiba keajaiban terjadi padaku. Suatu sore di akhir bulan juni, galeri perhiasan perak kedatangan sekelompok wisatawan asing. Hal itu memang sudah biasa terjadi. Tetapi sayangnya sore itu kedatangan mereka tidak bersama tour guide ataupun penerjemah. Sedangkan bos kerajinan perak kewalahan menerima tamu.
Aku menawarkan diri membantu, di kansas aku sering bertemu dan bercengkerama dengan bermacam-macam mahasiswa asing seperti Jepang, Spanyol, Inggris, Belanda dan lainnya. Kebanyakan dari mahasiswa asing itu adalah pertukaran pelajar yang mengambil jurusan Sastra Indonesia sama sepertiku. Ini akan menjadi mudah bagiku. Bos yang hanya bisa sedikit berbahasa inggris merasa terbantu, beberapa tamu yang hanya bisa berbahasa inggris di serahkannya padaku. Kesulitan kembali datang, ternyata tamu jepang tidak begitu paham bahasa inggris. Mulai kuberanikan diri menyapa mereka dengan ‘Nihongo’ (bahasa jepang). Kebetulan aku berteman dengan mahasiswa Sastra Jepang di kampus. Kawanku itu sering mengajari nihongo bahkan membaca hiragana dan katakana, sekedar untuk percakapan ringan saja sepertinya aku masih bisa.
Ketika para tamu asing itu berhasil ku bujuk untuk memborong perhiasan, bos terlihat senang dan akhirnya memberikan bonus dalam sebuah amplop coklat untukku. Itulah pertama kalinya aku menerima uang hasil keringat sendiri.
Selanjutnya bos tidak mengizinkan aku berada di ruang produksi membantu Kang Yok. Melainkan menyuruhku untuk terus berada di galeri, pekerjaanku hanya berdiri di galeri dan siap menyambut tamu yang datang. Upahku kali ini dua kali lipat daripada menjadi asisten pengrajin perak di ruang produksi. Tak lupa bos menyuruhku untuk selalu berpenampilan rapi sekaligus menampilkan senyuman memikatku setiap waktu.
Upah tersebut aku kumpulkan dan berniat untuk tidak membebani Emak lagi guna membiayai uang kuliahku semester depan. Aku hanya mengambilnya sedikit untuk biaya hidup. Itupun Kang Yok sering memberiku makan malam. Beberapa kali Merry dan Kang Wok datang mengunjungi kami. Biasanya kami akan makan malam bersama di pendopo, Merry tidak boleh memasuki kamar kos karena berpakaian wanita. Mbah Karsa memiliki aturan ketat untuk itu. Sejujurnya Merry masih lelaki, ia berpenampilan wanita untuk mengamen. Kehidupan jalanan mengubahnya gemulai.
Jadi lain kali, Mbah Karsa mengijinkan Merry menginap karena ia datang berpakaian lelaki juga berbicara normal layaknya lelaki. Lucunya kami masih memanggilnya Merry, seakan sudah melupakan nama asli Merry yang jarang tersebut. Nama Merry yang sebenarnya adalah ‘Bagas Perkasa’ itulah nama yang tertera di KTP-nya.
Saat ini, lagi-lagi aku mendengar dari Merry bahwa seorang gadis pernah datang menemuinya ketika sedang mengamen.
“Dia terus menanyakan tentang Ilalang Alambara.” Ujar Merry bercerita.
Aku mendongak, menatapnya ragu, apakah masih gadis yang sama yang selama sebulan ini tiada henti meneleponku.
“ Gadis itu cantik, wajahnya kecil, hidungnya mancung, tapi mata gadis itu besar seperti bola.” Merry menambahkan.
“Katanya ia memiliki sesuatu darimu.” Tiba-tiba mata Merry menyelidik, melepas kaca mataku tiba-tiba, lalu berkata.., “ Apa kau menghamilinya?” Merry melotot.
“Huss, ngawur!” jawabku sewot.
Tetapi akhirnya aku tertawa karena kusadari saat Merry melotot tadi ia lupa melepaskan bulu mata palsunya.
Kang Yok dan Kang Wok pun menggeleng tanda tak setuju dengan kesimpulan yang Merry buat.
Kang Wok hanya berpesan pada Merry agar tidak memberitahu tentang alamat tempat tinggalku ini pada siapapun. Kata Kang Wok masih terlalu berbahaya jika aku memang di targetkan sebagai sasaran fitnah seseorang.
Kang Yok berdehem, ia pun bercerita pada kang Wok juga Merry, bahwa “Kehidupan Alang menjadi lebih baik untuk saat ini, kurasa tak ada yang perlu di khawatirkan.”
“Ciee..,” Merry menggoda, mendorongku dengan bahunya, Merry yang sudah tahu dari kang Yok tentang tugas baruku di galeri perhiasan perak turut merasa senang.
Aku tersipu, tetapi lagi-lagi aku berpikir siapakah gadis yang terus mencariku itu?
Ciri-ciri yang Merry sebutkan, mengapa mengingatkanku pada gadis yang kulihat di suatu hari di bulan Mei 1998 yang memotretku diam-diam lantas berlalu pergi.
***