POV: Penulis
Sore ini tiba-tiba gerimis datang menghampiri, gerimis di awal bulan juni. Aroma petrikor itu menguar, seorang gadis yang duduk di halte menghirupnya dalam-dalam. Ia selalu menyukai aroma tanah kering bercampur tetesan gerimis yang akhirnya semakin rapat menjadi hujan. Sebuah bus jalur sepuluh berhenti di hadapannya, seorang penumpang wanita paruh baya yang tadi bersama-sama dengannya duduk menunggu di halte, menaiki bus itu. Karena wanita itu berpamitan padanya mau tidak mau Si Gadis mendongak mengantarkan wanita itu ke dalam bus melalui pandangan ekor matanya.
Di saat itulah, Si Gadis merasa melihat orang yang selama sepekan ini terus di cari-carinya. Seorang pria muda tertangkap matanya pada bingkai jendela kaca bus jalur sepuluh tersebut. Pria berkacamata dengan poni terbelah hampir menutup kening.
Berkemeja flannel kotak-kotak serta menggendong tas ransel yang sama, sama seperti pertamakali Si gadis melihatnya di antara ribuan bendera sepekan lalu.
Sosok pria berkaca mata yang menikmati moment memotret yang menyita perhatiannya. Membuatnya tak sadar menarik tangan untuk mengarahkan kamera pada pria tersebut. Sampai akhirnya pria berkacamata memergokinya dan dirinya langsung merasa malu. Hendak menutupi pipinya yang besemu merah Si Gadis lantas berbalik pergi. sebentar saja keputusan itu telah ia sesali dan kemudian ia pun kembali mulai mencari-cari lagi sosok pria berkemeja flannel di antara para pemuda yang berorasi.
Melihat punggung pria itu berlari, Si Gadis bermaksud mengejar, tentunya kesulitan membawa dirinya diantara kerumunan tubuh para pria dan bendera. Sampai di sadari dirinya menginjak sesuatu, memungutnya dan membaca kartu mahasiswa yang tak sengaja terjatuh dari pria tadi. Saat itulah Si Gadis mengetahui pria itu bernama ‘Ilalang Alambara’. Melihat punggung pria itu menjauh pergi, ada kebulatan tekad dari diri Si Gadis untuk melakukan pencarian, setidaknya ia mengetahui kampus dan nama pria tersebut.
Tergugah dari ingatan, menyadari ia bisa saja kehilagan pria itu sekali lagi. Si Gadis berdiri melambaikan tangan namun sayang, bus jalur sepuluh mulai beranjak pergi.
Si Gadis berteriak. Ia menyerukan sebuah nama dan berlari mengejar.
“ Ilalang Alambara..!!” Serunya sekencang-kencangnya.
Namun suaranya terkalahkan oleh deru hujan yang semakin deras. Tubuh Si Gadis basah kuyup, terengah di tengah jalanan. Meratapi bagian belakang bus yang semakin menjauh. Sementara sebuah kartu tanda mahasiswa berlaminating dengan foto Ilalang berukuran dua kali tiga erat dalam genggamannya.
Sudah sepekan ini Si gadis terus mencari keberadaan pria dalam foto tersebut. Pria bernama Ilalang yang akhirnya ia ketahui telah lama tak muncul di kampus, bahkan betapa kagetnya Si Gadis bahwa ternyata Ilalang terusir dari tempat kosnya karena sebuah ketakutan orang-orang di sekitar tempat tinggalnya yang tidak beralasan.
Setelah mengetahui hal tersebut Si Gadis dengan cepat mencari wartel terdekat dengan tujuan menghubungi sebuah nomor yang di duga sebagai rumah tujuan kos Ilalang yang baru. Nomor itu ia peroleh dari ibu kos Ilalang yang lama. Rupanya Si Gadis terlambat sedikit saja, Ilalang baru saja mengangkut barang-barangnya tepat sebelum kedatangan Si gadis. Ilalang tak meninggalkan alamat baru hingga Si Gadis hanya bisa berlarian mencari wartel di dekat pasar. Namun entah beberapakali ia mencoba menghubungi, hingga detik ini belum pernah sekalipun ia berhasil berbicara dengan pria bernama Ilalang itu.
Si gadis mulai menyelusuri jejak Ilalang Alambara. Bertemu dengan gerobak angkringan tempat biasa Ilalang berada di sana. Si gadis seakan melihat pria berkacamata itu memegang gelas kopi menoleh padanya. Sayangnya bayangan pria itu terhapus begitu Si Gadis mendekati gerobak angkringan, ternyata itu hanyalah ilusi, Si Gadis menyentuh debar jantung yang semakin tak beraturan, hanya ilusi namun senyuman pria itu begitu nyata terekam di dalam kepala.
Tak patah semangat ia mulai melakukan pencarian kembali. Dalam masa penyelidikan itulah Si Gadis mengetahui tentang masa-masa sulit yang telah Ilalang tempuh. Semua itu terjadi karena salah paham di sebabkan wajah Ilalang terseret ke dalam arus berita.
Si Gadis menemui salah seorang kawannya yang kebetulan berprofesi sebagai wartawan dan ia pun bertemu di keramaian demonstrasi tempo hari. Si Gadis terus melakukan penyelidikan di temani kawan wartawan tersebut. Menemui redaksi media cetak yang memberitakan hal tidak benar tentang Ilalang. Sekali lagi Si Gadis di kejutkan oleh kenyataan bahwa sumber berita provoaksi tersebut justru berasal dari kawan Ilalang sendiri yang saat itu berdiri berorator dengan keras sementara Ilalang Alambara sibuk memotret aksinya.
Si Gadis merenung entah mengapa kawan Ilalang itu begitu tega memberi kesaksian palsu bahkan sengaja mengiring opini pada wartawan dan polisi sehingga di lakukan pencarian pada Ilalang di tempat tinggalnya. Untunglah semua hal yang di tuduhkan pada Ilalang tidak cukup bukti. Sementara itu Ilalang terlanjur mendapat sangsi sosial dengan tersebarnya berita yang tidak benar.
Saat bertemu dengan Ilalang nanti Si Gadis ingin menceritakan segala yang di ketahuinya. Namun untuk sekedar bertemu saja semesta seperti belum merestuinya. Pertemuan pertama dirinya dan pria berkacamata itu terlalu singkat. Tetapi seperti ada magnet yang menarik untuk terus memikirkan pria bernama ‘Ilalang Alambara’ yang mulai terasa di rindukannya.
***