Read More >>"> A Freedom (Bab 1) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - A Freedom
MENU
About Us  

Seorang gadis berambut panjang mengenakan seragam sekolah SMA Tunas Muda baru saja turun dari bus. Menyusuri jalan yang sengaja dibuat khusus untuk pejalan kaki dia melangkah riang menuju sekolahnya.

"Hei!"

Sontak saja gadis bernama lengkap Bestari Yuwana terkejut seraya menoleh kebelakang. Rupanya Nindia sahabatnya. Dengan wajah sedikit kesal Bestari menepis tangan Nindia, "kaget tau," sungutnya.

"Gitu doang kok udah marah," rayu Nindia dengan memelas sementara Bestari tetap acuh dengan ekspresi yang masih kesal. "Eh, kabarnya sekolah kita bakal kedatangan murid baru loh, cowok," Nindia tetap berusaha mencairkan kekesalan temannya.

"Bodoh amat," jawab Bestari masih cuek.

"Ih ... Padahal berita bagus loh, kan lumayan buat nambah pemandangan," kata Nindia. "Ya udah deh, ntar istirahat aku traktir bakso, jangan cuek lagi," kali ini dia menggunakan jurus yang sulit ditolak oleh Bestari. Dengan senyum mengembang Bestari menoleh dan bergantian menggandeng tangan Nindia.

"Gak mau istirahat, maunya sekarang," jawab Bestari.

"Nyebelin," bisik Nindia hampir tak terdengar.

 

Setibanya di sekolah mereka segera ke kantin dengan tetap membawa tas dan buku-bukunya. Sementara Bestari memesan dua mangkok bakso untuk sarapan tambahannya setelah sarapan dari rumah, Nindia asyik dengan ponselnya sambil sesekali tersenyum.

"Chatting sama siapa woi, pake senyam senyum segala," goda Bestari sambil membawa nampan berisi dua mangkok bakso.

"Mau tau aja," elak Nindia seraya menyimpan ponselnya kedalam tas. "Buruan makannya, lima menit lagi bel masuk," ujarnya lagi.

Merekapun makan dengan lahap tanpa berbincang lagi. Nindia yang lebih dulu menyelesaikan sarapannya segera bangkit membayar bakso.

"Yakin tuh perut aman?" Sindir Nindia melihat Bestari yang hampir kewalahan menghabiskan baksonya karena dia sudah sarapan dari rumah sebelumnya. Sementara yang disindir tetap fokus menghabiskan baksonya, Nindia hanya menggeleng.

 

Setibanya di kelas Bestari mulai memegang perutnya sesekali.

"Lo kenapa, Tar?" Tanya Nindia yang menyadari Bestari seperti tidak nyaman.

"Gapapa," jawabnya tersenyum malu. Akhirnya setelah tidak tahan lagi dikarenakan panggilan alam Bestari berlari terbirit-birit. "Titip tas bentar," pesannya pada Nindia.

"Yah ... Udah ditanyain dari tadi aman apa enggak malah sok bilang enggak apa, turutin lagi tuh nafsu," umpat Nindia pada sahabatnya itu sambil tertawa renyah sementara dia tetap baik-baik saja setelah makan bakso tadinya sebab memang dia belum sarapan dari rumah.

Hampir sepuluh menit berlalu dan Bestari belum juga selesai dengan urusannya. Sementara dikelas seorang anak laki-laki berdiri gagah dengan senyuman menawan yang membuat seluruh siswa perempuan tidak berhenti berbisik mengagumi ketampanannya.

"Baiklah anak-anak, kita kedatangan murid baru pindahan dari SMA Cendana dari Bogor, silahkan kamu perkenalkan diri kamu," ujar Pak Parhusip.

Anak laki-laki tersebut mengambil satu langkah kedepan. Setelah mengatur napas tanpa melepas senyumnya dia menyapa teman barunya seraya melambaikan tangan.

"Halo semuanya, perkenalkan nama saya Hendra Bagaskara, mohon bantuannya," ucapnya singkat.

"Baiklah kalau begitu, Bapak mau kalian bisa bekerja sama dengan baik terlebih sekarang kalian sudah kelas sebelas yang artinya perjuangan kalian mulai berat sebelum memasuki kelas dua belas nantinya. Paham?" Ucap Pak Parhusip disambung jawaban murid muridnya patuh. "Hendra silahkan duduk," sambungnya lagi.

Anak laki-laki bernama Hendra tersebut mengambil satu bangku kosong yang langsung dicegah anak perempuan dibelakangnya.

"Ada orangnya," ucapnya cepat sambil memegang kursi tersebut. SontakHendra keheranan.

"Ada apa Nindia," Pak Parhusip menangkap keributan kecil tersebut.

"Tidak apa-apa, Pak," jawab Nindia.

"Hendra, kenapa kamu belum duduk? Bangku itu, kemana Bestari?" Tanya Pak Parhusip seraya menunjuk ke arah Nindia.

"Bestari hadir, Pak!"

Sebuah suara muncul dari ambang pintu disusul Bestari yang lari sambil masih memegang perutnya.

"Darimana saja kamu?" Tanya Pak Parhusip dengan tatapan tajam.

"Dari toilet, Pak, maaf panggilan alam mendadak," jelas Bestari.

"Ah, alasan aja kamu, cepat masuk," perintah Pak Parhusip.

Bestari melangkah menuju bangkunya. Tanpa disadarinya sedari tadi Hendra belum juga beranjak. Bestari yang baru menyadari keberadaan Hendra tiba-tiba terpanah setelah beradu pandang dengan Hendra. Melihat ketampanan Hendra yang baginya mirip dengan Zhe Yuan Bestari menoleh pada Nindia. Dan Nindia hanya mengangguk sambil memejamkan mata.

"Jadi kamu yang punya bangku ini?" Tanya Hendra mengalihkan perhatian Bestari.

"Eh ... I-iya," jawab Bestari gugup.

"Oke, sorry," ucap Hendra sedikit membungkuk sebagai permintaan maaf kemudian berlalu.

Bestari kembali duduk di bangkunya sambil sesekali masih memperhatikan Hendra. Satu yang pasti, dia belum berkenalan dan belum tau siapa nama anak baru dikelasnya tersebut.

Setelah mengatur napas akibat hajatnya yang mendadak beberapa waktu lalu Bestari mulai fokus pada materi yang mulai disampaikan guru sekaligus wali kelasnya tersebut.

Seperti biasanya Bestari yang tidak bisa diam sesekali menulis hal lain selain materi yang dijelaskan. Saat hampir ketahuan gurunya dengan sigap dia menutupi buku catatan mininya dengan buku pelajaran dan berpura-pura sedang memperhatikan penjelasan guru. Selalu begitu sampai bel tanda jam pelajaran selesai berbunyi.

"Oke, sampai disini materi kita hari ini, jangan lupa minggu depan kumpulkan makalah hewan reptil dan sejenisnya, kumpulkan sebelum Bapak masuk kelas, paham Rio?" Ucap Pak Parhusip menunjuk ketua kelas.

"Baik, Pak, siap!" Jawab Rio dan Pak Parhusip meninggalkan kelas.

Bestari membereskan buku catatan dan buku pelajarannya kemudian mengecek ponselnya yang tadi dirasanya bergetar. Terpampang empat panggilan tak terjawab dari Riyani adiknya di bilah notifikasi. Bestari menekan tombol calling. Tak berselang lama suara adiknya menyambut dari seberang telepon.

"Bisa balik sekarang gak, Ayah di klinik, tiba-tiba," ucap Riyani.

Bestari yang paham segera bangkit membawa tasnya, "Nin, aku mau izin pulang, Ayah aku--" ucapnya menggantung.

Nindia yang paham bergegas menggandeng tangan Bestari, "ayok aku antar," timpalnya.

Setelah mendapat izin dari guru piket Bestari dan Nindia segera memesan taksi online agar bisa segera sampai ke klinik. Sesampainya di klinik nampak Riyani adiknya dan Marina ibunya duduk di bangku tunggu.

"Ibu," panggilnya.

Ibunya menyambut dan memeluknya, "gapapa sayang, beruntung cepat dibawa ke sini, dokternya bilang itu gejala stroke, tapi masih bisa diatasi," jelas ibunya menenangkan Bestari.

Lain dengan Riyani yang lebih dewasa dari usianya dia cukup lebih tenang dari Bestari. "Udah dikasih obat juga tadi sama dokter, Kak," bujuknya ikut menenangkan.

"Kak Arga udah dikasih tau?" Tanya Bestari seketika ingat dengan Kakak sulungnya.

"Udah, itu lagi temenin Ayah di dalam, tadi Riyani telpon dia langsung kesini," ucap ibunya.

Bestari yang mulai membaik mengambil tempat untuk menenangkan dirinya ditemani Nindia.

'semoga Ayah gapapa,' gumamnya dalam hati.

Pasalnya dahulu ketika dia baru menerima amplop kelulusan SMP dia juga mengalami hal serupa. Mendapatkan telpon tentang kabar Ayahnya yang terpeleset di kamar mandi dan sempat mengalami lumpuh sebagai badan. Setelah mengikuti terapi hingga lebih kurang enam bulan akhirnya Ayahnya bisa sembuh dan beraktivitas seperti sebelumnya. Baginya keluarganya adalah yang terpenting. Dia rela meninggalkan apapun demi keluarganya dan moto itu masih berlaku sampai hari ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags