Loading...
Logo TinLit
Read Story - Asmaraloka Jawadwipa (Sudah Terbit / Open PO)
MENU
About Us  

Penantian penuh kegamangan akhirnya terbayar juga. Kami balik kampung ke rumah Mbah Kakung yang terletak di pinggiran sawah di sisi timur Pulau Jawa. Tuan rumah tak menyangka sama sekali cucu dan buyutnya tiba malam-malam setelah belasan tahun tak bertandang. Mbah Sepi langsung memberondong Jasrin dengan banyak pertanyaan yang akhirnya mendapat sahutan ketus dari cucu buyutnya itu.

"Renjana! Bagaimana kamu mendidik anakmu ini sampai tak tahu sopan santun?!" Mbah Sepi melemparkan kekesalannya padaku. "Anak kurang ajar kok tidak ditegur."

"Aku sudah capek menegurnya," balasku tanpa minat.

"Habisnya Mbah nanya terus. Sekolahku lancar, Mama sama Papa gak pernah bertengkar, uang jajanku tiap hari cukup kok." Jasrin sepertinya sadar diri dengan siapa ia menghadap.

"Nah begitu. Kalau ditanya baik-baik, ya dijawab dengan baik juga. Anak sekarang sudah lupa unggah-ungguh* rupanya."

"Sudahlah! Mereka pasti lelah. Mari masuk, biar Sepi yang mulutnya ramai itu membuatkan minuman." Kakung melerai, membuatku mesem lebar sementara Mbah Sepi semakin manyun.

Mulutku gatal untuk lekas mengutarakan niat utamaku kemari, tetapi Jasrin terus menempel padaku sepanjang hari dan memaksaku tidur bersama nanti malam. Katanya, rumah Mbah Kakung dan Mbah Sepi hawanya tidak enak seperti ada makhluk halusnya. Apalagi sarang laba-laba di atap limasan tampak jarang dibersihkan.

"Wajar lah, mbah buyutmu itu kan semakin sepuh. Merapikan rumah itu sebetulnya tugas kita orang-orang muda," ujarku mencoba menyudahi rasa parnonya.

"Tetap saja ngeri, Ma. Pokoknya nanti malam aku gak mau tidur sendirian!"

Yah, masih ada hari esok untuk mengutarakan niatku. Tapi masih saja aku kuatir Jasrin keburu tertimpa sesuatu sebelum aku bilang apa-apa. Ah sudahlah, memikirkan hal buruk yang belum tentu terjadi hanya membuat tertekan.

🌼

Mumpung Jasrin masih meringkuk sambil mendengkur halus, aku beranjak dari dipan kemudian mengendap-endap dan membuka pintu yang berdecit pelan. Jam menunjukkan pukul empat pagi, Mbah Sepi sudah berkutat di dapur sederhana yang disebut pawon.

"Mbah, ada sesuatu yang mau kubicarakan sama Kakung," celetukku tanpa tedeng aling-aling setelah ikut duduk di dingklik*.

"Ya sana bicara sama Kakung, bangunkan di kamar. Kukira kau ke sini mau membantu simbahmu memasak." Mbah Sepi melanjutkan kesibukannya meniup bambu yang diarahkan pada tungku. Kuambil alih bambu itu kemudian menggantikannya sekadar membantu biar dia tak jadi menggerutu. "Sudah-sudah. Sana temui Kakung!"

"Mbah Sepi bagaimana sih...."

Aku bertolak dari dapur kemudian membangunkan Kakung yang masih pulas dengan posisi telentang dan mulut terbuka. Ia tampak linglung sementara nyawanya masih separuh terkumpul, sejenak menatapku tajam karena mengusik mimpinya. Ia memejamkan mata lagi, segera kutepuk pelan lengannya.

"Opo?" Ia menatapku tajam dengan mata yang memerah khas orang tua baru bangun.

"Kung, aku mau bicara mumpung Jasrin belum bangun." Aku menahan diri untuk sabar sementara ia beranjak dan menguap.

"Ceritakan."

"Sekitar seminggu lalu Jasrin kejatuhan cecak, pas sekali setelahnya aku bermimpi bahwa akan terjadi sesuatu dengannya."

"Aku takkan menyangkal kalau itu benar-benar akan terjadi."

"Aku panik, Kung. Kuharap Kakung bisa membuat jimat seperti kalungku supaya tak terjadi apa-apa dengan anakku."

Kakung bergeming, tampak berpikir keras. Aku meringis merasa bersalah karena membangunkan pria yang rambutnya telah jadi uban itu lantas memaksa mustaka-nya* untuk bekerja keras.

"Akan kubuatkan setelah mengambil badhek* nanti sore." Aku hendak memprotes tapi Kakung segera melanjutkan, "Hari ini tak baik membuat jimat dan sejenisnya. Kalau mau ya tunggu nanti sore."

Mau bagaimana lagi jika Kakung sudah berkata tentang hari yang baik atau buruk. Bagi perempuan yang sedari kecil hidup di lingkungan kejawen, mau tak mau aku memercayai hal yang sebagian orang anggap takhayul belaka. Apalagi pernah kualami sendiri perjalanan waktu yang sungguh tak masuk di akal.

Syukurlah sepanjang hari itu Jasrin tak sering-sering keluar kamar. Meski begitu, tiap setengah jam kucek ia demi memastikan seluruh bagian tubuhnya masih lengkap.

Rumah-rumah di pedesaan cenderung saling berjauhan sehingga suasana pun sunyi. Bosan menonton televisi dan lama-lama penat juga bolak-balik untuk mengecek Jasrin, aku merebahkan diri di peraduan yang sama dengan putriku itu yang tengah menyumbat kupingnya dengan earphone. Samar-samar kudengar suara melengking Mbah Sepi yang tengah beradu mulut dengan Pranaja. Tidak nenek, tidak suami, sama-sama kekanakan. Namun pada akhirnya mereka terbahak juga setelah Pranaja mengalah.

"Aneh banget, habis gelut bukannya bakar rumah malah ketawa," ujar Jasrin yang ikut bergolek di sebelahku.

"Sifat mereka sehaluan. Ayahmu itu malah lebih dekat dengan Mbah Sepi daripada mertuanya sendiri," balasku.

Sunyi lagi. Cuma belalang yang menyumbang suara dan sesekali burung emprit mencicit. Tenang sekali sampai kelopak mataku berat sebelum tertutup seiring kesadaran buyar menuju alam bawah sadar.

Tahu-tahu ketika bangun, otakku langsung mengingat putri semata wayangku. Tak peduli nyawa masih separuh terkumpul, aku kelabakan mencarinya di sekeliling kamar.

"Sial!" Aku tak dapat menahan untuk berteriak.

Tak membutuhkan waktu lama untuk Pranaja menyamperiku, disusul Mbah Sepi yang tangannya kuning sehabis mengupas kunyit. Aku mendelik sembari menanyakan di mana Jasrin, sebelum air mataku meluncur disertai debaran jantung yang semakin menjadi-jadi.

"Jasrin ikut Kakung ambil nira." Mbah Sepi menatapku dengan pandangan heran. "Kau kenapa jadi aneh begini?"

"Ke mana mereka?" Aku masih menyolot.

"Sudah dibilang ikut Kakung," sewot Pranaja.

"Maksudku ke tempat apa lebih tepatnya. Hutan mana?!"

"Jangan panik seperti itu, Jana. Bikin aku takut saja," kata Mbah Sepi. "Biasanya kakungmu ke Alas Ngares."

Alas Ngares lumayan jauh dari rumah. Jalan setapaknya sempit menurun, sisinya tebing dan jurang. Bukan itu yang membuatku takut setengah mati, tetapi hutan itu melewati hutan lain yang bernama Alas Kejenang. Nama itu sangat menggetarkan di benakku. Semua peristiwa ganjil yang kualami bermula di situ, hutan yang tampak lumrah tetapi hawanya amat berbeda.

"Kenapa kalian izinkan?! Jasrin tak boleh menginjakkan kaki di Alas Ngares apalagi Kakung belum membuatkannya jimat!"

Bagaimana aku tak gusar, jauh-jauh kemari demi mencari perlindungan untuk putriku, yang ada malah ia menjebloskan diri di hutan yang sungguh kuhindari kecuali untuk memimpikan Bapa Kara. Tahu begini, lebih baik aku tetap di Jogja dan mengubur paranoid dalam-dalam. Ini bermula dari cecak yang menjatuhi kepala Jasrin kemudian aku mendapat mimpi. Yang berarti seharusnya aku tak perlu serisau ini hanya karena dua hal sepele itu. Menyesal datang kemari, sama saja mengantar Jasrin pada lubang petaka.

"Halah, cuma lewat Alas Kejenang apa masalahnya? Kakungmu sudah biasa lewat situ dan tak terjadi apa-apa," ujar Mbah Sepi.

Aku tak mau berdebat dengan nenek yang tak mau kalah bicara itu. Aku hanya bergeming dengan dada yang berdentam tak keruan akibat ketakutan akan kehilangan Jasrin.

"Mau ke mana kamu?" seru Pranaja ketika aku melesat keluar rumah.

Tak mendapat jawaban, ia membuntutiku meninggalkan Mbah Sepi yang menggerutu karena tingkah cucunya ini. Kakiku terus melangkah di antara semak yang menjulang di sisi jalan setapak. Pranaja yang tak hafal medan tentu saja ketinggalan jauh di belakangku.

Hampir saja aku tersungkur akibat berhenti mendadak ketika kedapatan bayangan Bapa Kara yang jangkung menghadangku. Aku menghaturkan sembah padanya yang menampakkan raut muka garang. Aku mengerling, mendapati mulut berkumisnya mengatakan kata terlambat. Jantungku lagi-lagi mencelus, tangan yang mengatup di depan hidung pun bergetar. Bapa Kara menghilang, meninggalkan aroma cendana tepat ketika Pranaja tiba di sisiku.

Aku baru sadar telah menjejakkan kaki di Alas Kejenang. Tak ada waktu untuk memberitahu Pranaja apa yang dikatakan Bapa Kara. Segera kugeret lengannya untuk bergegas menyusuri tanah landai sebelum turun ke Alas Ngares. Sepanjang jalan ia bungkam, dan aku sungguh berterima kasih sebab ia memahamiku yang emosinya tak stabil. Hatiku berkali-kali mengharap bagai sedang merapal mantra, semoga Jasrin masih bersama Kakung di Alas Ngares dengan keadaan baik-baik saja.
_______
*Unggah-ungguh : Tata krama.
*Dingklik : Bangku kecil pendek.
*Mustaka : Kepala.
*Badhek : Air nira.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta Sebelum Akad Itu Palsu
135      105     1     
Inspirational
Hayy dear...menurut kalian apa sih CINTA itu?? Pasti kalian berfikir bahwasanya cinta itu indah, menyenangkan dan lainnya. Namun, tahukah kalian cinta yang terjadi sebelum adanya kata SAH itu palsu alias bohong. Jangan mudah tergiur dan baper dengan kata cinta khususnya untuk kaum hawa niii. Jangan mudah menjatuhkan perasaan kepada seseorang yang belum tentu menjadi milikmu karena hal itu akan ...
RIUH RENJANA
535      384     0     
Romance
Berisiknya Rindu membuat tidak tenang. Jarak ada hanya agar kita tau bahwa rindu itu nyata. Mari bertemu kembali untuk membayar hari-hari lalu yang penuh Renjana. "Riuhnya Renjana membuat Bumantara menyetujui" "Mari berjanji abadi" "Amerta?"eh
Kembali Bersama Rintik
3638      1646     5     
Romance
Mendung tidak selamanya membawa duka, mendung ini tidak hanya membawa rintik hujan yang menyejukkan, namun juga kebahagiaan dan kisah yang mengejutkan. Seperti yang terjadi pada Yara Alenka, gadis SMA biasa dengan segala kekurangan dalam dirinya yang telah dipertemukan dengan seseorang yang akan mengisi hari-harinya. Al, pemuda misterius yang berhati dingin dengan segala kesempurnaan yang ada, ya...
1'
4350      1456     5     
Romance
Apa yang kamu tahu tentang jatuh cinta? Setiap kali ada kesempatan, kau akan diam-diam melihatnya. Tertawa cekikikan melihat tingkah konyolnya. Atau bahkan, kau diam-diam mempersiapkan kata-kata indah untuk diungkapkan. Walau, aku yakin kalian pasti malu untuk mengakui. Iya, itu jarak yang dekat. Bisa kau bayangkan, jarak jauh berpuluh-puluh mil dan kau hanya satu kali bertemu. Satu kese...
Unlosing You
465      321     4     
Romance
... Naas nya, Kiran harus menerima keputusan guru untuk duduk sebangku dengan Aldo--cowok dingin itu. Lambat laun menjalin persahabatan, membuat Kiran sadar bahwa dia terus penasaran dengan cerita tentang Aldo dan tercebur ke dalam lubang perasaan di antara mereka. Bisakah Kiran melepaskannya?
A Freedom
151      131     1     
Inspirational
Kebebasan adalah hal yang diinginkan setiap orang. Bebas dalam menentukan pilihan pun dalam menjalani kehidupan. Namun sayang kebebasan itu begitu sulit bagi Bestari. Seolah mendapat karma dari dosa sang Ayah dia harus memikul beban yang tak semestinya dia pikul. Mampukah Bestari mendapatkan kebebasan hidup seperti yang diinginkannya?
My World
756      513     1     
Fantasy
Yang Luna ketahui adalah dirinya merupakan manusia biasa, tidak memiliki keistimewaan yang sangat woah. Hidup normal menyelimutinya hingga dirinya berusia 20 tahun. Sepucuk surat tergeletak di meja belajarnya, ia menemukannya setelah menyadari bahwa langit menampilkan matahari dan bulan berdiri berdampingan, pula langit yang setengah siang dan setengah malam. Tentu saja hal ini aneh baginya. I...
One-Week Lover
1869      939     0     
Romance
Walter Hoffman, mahasiswa yang kebosanan saat liburan kuliahnya, mendapati dirinya mengasuh seorang gadis yang entah dari mana saja muncul dan menduduki dirinya. Yang ia tak tahu, adalah fakta bahwa gadis itu bukan manusia, melainkan iblis yang terlempar dari dunia lain setelah bertarung sengit melawan pahlawan dunia lain. Morrigan, gadis bertinggi badan anak SD dengan gigi taring yang lucu, meng...
Premium
MARIA
8077      2346     1     
Inspirational
Maria Oktaviana, seorang fangirl akut di dunia per K-Popan. Dia adalah tipe orang yang tidak suka terlalu banyak bicara, jadi dia hanya menghabiskan waktunya sebagian besar di kamar untuk menonton para idolanya. Karena termotivasi dia ingin bercita-cita menjadi seorang idola di Korea Selatan. Hingga suatu ketika, dia bertemu dengan seorang laki-laki bernama Lee Seo Jun atau bisa dipanggil Jun...
Percayalah , rencana Allah itu selalu indah !
152      112     2     
True Story
Hay dear, kali ini aku akan sedikit cerita tentang indahnya proses berhijrah yang aku alami. Awal mula aku memutuskan untuk berhijrah adalah karena orang tua aku yang sangat berambisi memasukkan aku ke sebuah pondok pesantren. Sangat berat hati pasti nya, tapi karena aku adalah anak yang selalu menuruti kemauan orang tua aku selama itu dalam kebaikan yaa, akhirnya dengan sedikit berat hati aku me...