Read More >>"> Asmaraloka Jawadwipa (Sudah Terbit / Open PO) (47. Lubang Petaka) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Asmaraloka Jawadwipa (Sudah Terbit / Open PO)
MENU
About Us  

Penantian penuh kegamangan akhirnya terbayar juga. Kami balik kampung ke rumah Mbah Kakung yang terletak di pinggiran sawah di sisi timur Pulau Jawa. Tuan rumah tak menyangka sama sekali cucu dan buyutnya tiba malam-malam setelah belasan tahun tak bertandang. Mbah Sepi langsung memberondong Jasrin dengan banyak pertanyaan yang akhirnya mendapat sahutan ketus dari cucu buyutnya itu.

"Renjana! Bagaimana kamu mendidik anakmu ini sampai tak tahu sopan santun?!" Mbah Sepi melemparkan kekesalannya padaku. "Anak kurang ajar kok tidak ditegur."

"Aku sudah capek menegurnya," balasku tanpa minat.

"Habisnya Mbah nanya terus. Sekolahku lancar, Mama sama Papa gak pernah bertengkar, uang jajanku tiap hari cukup kok." Jasrin sepertinya sadar diri dengan siapa ia menghadap.

"Nah begitu. Kalau ditanya baik-baik, ya dijawab dengan baik juga. Anak sekarang sudah lupa unggah-ungguh* rupanya."

"Sudahlah! Mereka pasti lelah. Mari masuk, biar Sepi yang mulutnya ramai itu membuatkan minuman." Kakung melerai, membuatku mesem lebar sementara Mbah Sepi semakin manyun.

Mulutku gatal untuk lekas mengutarakan niat utamaku kemari, tetapi Jasrin terus menempel padaku sepanjang hari dan memaksaku tidur bersama nanti malam. Katanya, rumah Mbah Kakung dan Mbah Sepi hawanya tidak enak seperti ada makhluk halusnya. Apalagi sarang laba-laba di atap limasan tampak jarang dibersihkan.

"Wajar lah, mbah buyutmu itu kan semakin sepuh. Merapikan rumah itu sebetulnya tugas kita orang-orang muda," ujarku mencoba menyudahi rasa parnonya.

"Tetap saja ngeri, Ma. Pokoknya nanti malam aku gak mau tidur sendirian!"

Yah, masih ada hari esok untuk mengutarakan niatku. Tapi masih saja aku kuatir Jasrin keburu tertimpa sesuatu sebelum aku bilang apa-apa. Ah sudahlah, memikirkan hal buruk yang belum tentu terjadi hanya membuat tertekan.

🌼

Mumpung Jasrin masih meringkuk sambil mendengkur halus, aku beranjak dari dipan kemudian mengendap-endap dan membuka pintu yang berdecit pelan. Jam menunjukkan pukul empat pagi, Mbah Sepi sudah berkutat di dapur sederhana yang disebut pawon.

"Mbah, ada sesuatu yang mau kubicarakan sama Kakung," celetukku tanpa tedeng aling-aling setelah ikut duduk di dingklik*.

"Ya sana bicara sama Kakung, bangunkan di kamar. Kukira kau ke sini mau membantu simbahmu memasak." Mbah Sepi melanjutkan kesibukannya meniup bambu yang diarahkan pada tungku. Kuambil alih bambu itu kemudian menggantikannya sekadar membantu biar dia tak jadi menggerutu. "Sudah-sudah. Sana temui Kakung!"

"Mbah Sepi bagaimana sih...."

Aku bertolak dari dapur kemudian membangunkan Kakung yang masih pulas dengan posisi telentang dan mulut terbuka. Ia tampak linglung sementara nyawanya masih separuh terkumpul, sejenak menatapku tajam karena mengusik mimpinya. Ia memejamkan mata lagi, segera kutepuk pelan lengannya.

"Opo?" Ia menatapku tajam dengan mata yang memerah khas orang tua baru bangun.

"Kung, aku mau bicara mumpung Jasrin belum bangun." Aku menahan diri untuk sabar sementara ia beranjak dan menguap.

"Ceritakan."

"Sekitar seminggu lalu Jasrin kejatuhan cecak, pas sekali setelahnya aku bermimpi bahwa akan terjadi sesuatu dengannya."

"Aku takkan menyangkal kalau itu benar-benar akan terjadi."

"Aku panik, Kung. Kuharap Kakung bisa membuat jimat seperti kalungku supaya tak terjadi apa-apa dengan anakku."

Kakung bergeming, tampak berpikir keras. Aku meringis merasa bersalah karena membangunkan pria yang rambutnya telah jadi uban itu lantas memaksa mustaka-nya* untuk bekerja keras.

"Akan kubuatkan setelah mengambil badhek* nanti sore." Aku hendak memprotes tapi Kakung segera melanjutkan, "Hari ini tak baik membuat jimat dan sejenisnya. Kalau mau ya tunggu nanti sore."

Mau bagaimana lagi jika Kakung sudah berkata tentang hari yang baik atau buruk. Bagi perempuan yang sedari kecil hidup di lingkungan kejawen, mau tak mau aku memercayai hal yang sebagian orang anggap takhayul belaka. Apalagi pernah kualami sendiri perjalanan waktu yang sungguh tak masuk di akal.

Syukurlah sepanjang hari itu Jasrin tak sering-sering keluar kamar. Meski begitu, tiap setengah jam kucek ia demi memastikan seluruh bagian tubuhnya masih lengkap.

Rumah-rumah di pedesaan cenderung saling berjauhan sehingga suasana pun sunyi. Bosan menonton televisi dan lama-lama penat juga bolak-balik untuk mengecek Jasrin, aku merebahkan diri di peraduan yang sama dengan putriku itu yang tengah menyumbat kupingnya dengan earphone. Samar-samar kudengar suara melengking Mbah Sepi yang tengah beradu mulut dengan Pranaja. Tidak nenek, tidak suami, sama-sama kekanakan. Namun pada akhirnya mereka terbahak juga setelah Pranaja mengalah.

"Aneh banget, habis gelut bukannya bakar rumah malah ketawa," ujar Jasrin yang ikut bergolek di sebelahku.

"Sifat mereka sehaluan. Ayahmu itu malah lebih dekat dengan Mbah Sepi daripada mertuanya sendiri," balasku.

Sunyi lagi. Cuma belalang yang menyumbang suara dan sesekali burung emprit mencicit. Tenang sekali sampai kelopak mataku berat sebelum tertutup seiring kesadaran buyar menuju alam bawah sadar.

Tahu-tahu ketika bangun, otakku langsung mengingat putri semata wayangku. Tak peduli nyawa masih separuh terkumpul, aku kelabakan mencarinya di sekeliling kamar.

"Sial!" Aku tak dapat menahan untuk berteriak.

Tak membutuhkan waktu lama untuk Pranaja menyamperiku, disusul Mbah Sepi yang tangannya kuning sehabis mengupas kunyit. Aku mendelik sembari menanyakan di mana Jasrin, sebelum air mataku meluncur disertai debaran jantung yang semakin menjadi-jadi.

"Jasrin ikut Kakung ambil nira." Mbah Sepi menatapku dengan pandangan heran. "Kau kenapa jadi aneh begini?"

"Ke mana mereka?" Aku masih menyolot.

"Sudah dibilang ikut Kakung," sewot Pranaja.

"Maksudku ke tempat apa lebih tepatnya. Hutan mana?!"

"Jangan panik seperti itu, Jana. Bikin aku takut saja," kata Mbah Sepi. "Biasanya kakungmu ke Alas Ngares."

Alas Ngares lumayan jauh dari rumah. Jalan setapaknya sempit menurun, sisinya tebing dan jurang. Bukan itu yang membuatku takut setengah mati, tetapi hutan itu melewati hutan lain yang bernama Alas Kejenang. Nama itu sangat menggetarkan di benakku. Semua peristiwa ganjil yang kualami bermula di situ, hutan yang tampak lumrah tetapi hawanya amat berbeda.

"Kenapa kalian izinkan?! Jasrin tak boleh menginjakkan kaki di Alas Ngares apalagi Kakung belum membuatkannya jimat!"

Bagaimana aku tak gusar, jauh-jauh kemari demi mencari perlindungan untuk putriku, yang ada malah ia menjebloskan diri di hutan yang sungguh kuhindari kecuali untuk memimpikan Bapa Kara. Tahu begini, lebih baik aku tetap di Jogja dan mengubur paranoid dalam-dalam. Ini bermula dari cecak yang menjatuhi kepala Jasrin kemudian aku mendapat mimpi. Yang berarti seharusnya aku tak perlu serisau ini hanya karena dua hal sepele itu. Menyesal datang kemari, sama saja mengantar Jasrin pada lubang petaka.

"Halah, cuma lewat Alas Kejenang apa masalahnya? Kakungmu sudah biasa lewat situ dan tak terjadi apa-apa," ujar Mbah Sepi.

Aku tak mau berdebat dengan nenek yang tak mau kalah bicara itu. Aku hanya bergeming dengan dada yang berdentam tak keruan akibat ketakutan akan kehilangan Jasrin.

"Mau ke mana kamu?" seru Pranaja ketika aku melesat keluar rumah.

Tak mendapat jawaban, ia membuntutiku meninggalkan Mbah Sepi yang menggerutu karena tingkah cucunya ini. Kakiku terus melangkah di antara semak yang menjulang di sisi jalan setapak. Pranaja yang tak hafal medan tentu saja ketinggalan jauh di belakangku.

Hampir saja aku tersungkur akibat berhenti mendadak ketika kedapatan bayangan Bapa Kara yang jangkung menghadangku. Aku menghaturkan sembah padanya yang menampakkan raut muka garang. Aku mengerling, mendapati mulut berkumisnya mengatakan kata terlambat. Jantungku lagi-lagi mencelus, tangan yang mengatup di depan hidung pun bergetar. Bapa Kara menghilang, meninggalkan aroma cendana tepat ketika Pranaja tiba di sisiku.

Aku baru sadar telah menjejakkan kaki di Alas Kejenang. Tak ada waktu untuk memberitahu Pranaja apa yang dikatakan Bapa Kara. Segera kugeret lengannya untuk bergegas menyusuri tanah landai sebelum turun ke Alas Ngares. Sepanjang jalan ia bungkam, dan aku sungguh berterima kasih sebab ia memahamiku yang emosinya tak stabil. Hatiku berkali-kali mengharap bagai sedang merapal mantra, semoga Jasrin masih bersama Kakung di Alas Ngares dengan keadaan baik-baik saja.
_______
*Unggah-ungguh : Tata krama.
*Dingklik : Bangku kecil pendek.
*Mustaka : Kepala.
*Badhek : Air nira.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
KELANA [Kenzie - Elea - Naresh]
3640      1442     0     
Fan Fiction
Kenzie, Elea, Naresh, tiga sahabat yang ditakdirkan menjadi seorang bintang. Elea begitu mengagumi Naresh secara diam-diam, hingga dia amat sangat peduli terhadap Naresh. Naresh yang belakangan ini sering masuk lambe turah karena dicap sebagai playboy. Bukan tanpa sebab Naresh begitu, laki-laki itu memiliki alasan dibalik kelakuannya. Dibantu dengan Kenzie, Elea berusaha sekuat tenaga menyadarka...
EPHEMERAL
99      90     2     
Romance
EPHEMERAL berarti tidak ada yang kekal, walaupun begitu akan tetap kubuktikan bahwa janji kita dan cinta kita akan kekal selamanya walaupun nanti kita dipisahkan oleh takdir. Aku paling benci perpisahan tetapi tanpa perpisahan tidak akan pernah adanya pertemuan. Aku dan kamu selamanya.
The Maze Of Madness
3776      1537     1     
Fantasy
Nora tak banyak tahu tentang sihir. Ia hidup dalam ketenangan dan perjalanan normal sebagai seorang gadis dari keluarga bangsawan di kota kecilnya, hingga pada suatu malam ibunya terbunuh oleh kekuatan sihir, begitupun ayahnya bertahun-tahun kemudian. Dan tetap saja, ia masih tidak tahu banyak tentang sihir. Terlalu banyak yang terjadi dalam hidupnya hingga pada saat semua kejadian itu merubah...
Langit Indah Sore Hari
98      84     0     
Inspirational
Masa lalu dan masa depan saling terhubung. Alka seorang remaja berusia 16 tahun, hubungannya dengan orang sekitar semakin merenggang. Suatu hari ia menemukan sebuah buku yang berisikan catatan harian dari seseorang yang pernah dekat dengannya. Karena penasaran Alka membacanya. Ia terkejut, tanpa sadar air mata perlahan mengalir melewati pipi. Seusai membaca buku itu sampai selesai, Alka ber...
Rembulan
768      428     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Just For You
4121      1621     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
Premium
SHADOW
4072      1330     0     
Fantasy
Setelah ditinggalkan kekasihnya, Rena sempat mencoba bunuh diri, tapi aksinya tersebut langsung digagalkan oleh Stevan. Seorang bayangan yang merupakan makhluk misterius. Ia punya misi penting untuk membahagiakan Rena. Satu-satunya misi supaya ia tidak ikut lenyap menjadi debu.
Nyanyian Burung di Ufuk Senja
2350      908     0     
Romance
Perceraian orangtua Salma membuatnya memiliki kebimbangan dalam menentukan suami masa depannya. Ada tiga pria yang menghiasi kehidupannya. Bram, teman Salma dari semenjak SMA. Dia sudah mengejar-ngejar Salma bahkan sampai menyatakan perasaannya. Namun Salma merasa dirinya dan Bram berada di dunia yang berbeda. Pria kedua adalah Bagas. Salma bertemu Bagas di komunitas Pencinta Literasi di kampu...
Kisah Kemarin
4098      1344     2     
Romance
Ini kisah tentang Alfred dan Zoe. Kemarin Alfred baru putus dengan pacarnya, kemarin juga Zoe tidak tertarik dengan yang namanya pacaran. Tidak butuh waktu lama untuk Alfred dan Zoe bersama. Sampai suatu waktu, karena impian, jarak membentang di antara keduanya. Di sana, ada lelaki yang lebih perhatian kepada Zoe. Di sini, ada perempuan yang selalu hadir untuk Alfred. Zoe berpikir, kemarin wak...
A Freedom
102      88     1     
Inspirational
Kebebasan adalah hal yang diinginkan setiap orang. Bebas dalam menentukan pilihan pun dalam menjalani kehidupan. Namun sayang kebebasan itu begitu sulit bagi Bestari. Seolah mendapat karma dari dosa sang Ayah dia harus memikul beban yang tak semestinya dia pikul. Mampukah Bestari mendapatkan kebebasan hidup seperti yang diinginkannya?